Beberapa hari lalu saya berdiskusi dengan salah satu dosen saya di
Paramadina Graduate School (PGS) Jakarta. Awalnya kami hanya mengobrol
tentang pemberitaan media yang bervisi misi Islam namun isinya hanya
memicu sikap intoleransi di negeri ini. Sampai pada pembicaraan tentang
pengalamannya meneliti sejumlah peraturan daerah (Perda) Syari’ah
diskriminatif terhadap golongan tertentu, terutama pada perempuan. Salah
satu kalimatnya yang saya ingat adalah, Perda-Perda itu sebagian besar
kopi paste terhadap Perda dari satu daerah untuk daerah lainnya. Bahkan
bisa dikatakan sekadar proyek, dan lucunya mereka yang membuat Perda
tersebut sadar bahwa Perda itu tidak akan terimplementasikan. Ini
sungguh ironi di tengah rakyat Indonesia yang masih jauh dari sejahtera,
di mana dana-dana proyek itu terbuang percuma untuk kepentingan
sekelompok orang. Lalu obrolan kami pun melebar pada Raperda itu.
Beberapa bulan lalu saya juga sempat berbagi informasi tentang ini diwebsite kppri tentang ini.
Mungkin
kita masih ingat membaca berita atau setidaknya mendengar tentang
peristiwa meninggalnya Lilis Lisdawati pada tahun 2008. Ia adalah korban
salah tangkap berlatar belakang Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005 di
Kota Tangerang. Saat itu media setempat cukup ramai memberitakan ini,
salah satunya seperti diberitakan Suara Warga (Edisi 007/011), Lilis
Lisdawati adalah karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan.
Suaminya Kustoyo, adalah guru SD. Tanggal 27 Februari 2006, Lilis
ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di daerah
Tangerang. Ia dituduh telah melanggar Perda No. 8 Tahun 2005 tentang
Pelarangan Pelacuran.
Aturan
Perda tersebut memang multitafsir sehingga menyebabkan ketidakpastian
hukum dan berpotensi menyebabkan salah tangkap. Pasal 4 ayat 1 misalnya,
menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya
mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka
pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di
rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan,
warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di
sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di
daerah.”
Petugas lalu bisa menangkap seseorang, terutama
perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah
pelacur (PSK). Meski telah menyampaikan bahwa ia bukan PSK, Lilis tetap
ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8
hari penjara dan denda Rp 300 Ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4
hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda
tersebut.
Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban
salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan
Lilis semakin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak
permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda tersebut.
Alasannya, Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang
disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk
merehabilitasi nama baik Lilis. Lilis mengalami keguguran pasca
peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar
dari pekerjaan karena tertekan dengan tudingan beristrikan pekerja seks.
Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan
ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup
berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008
dalam kondisi depresi.
Tangerang adalah satu dari 38 daerah yang
memiliki perda tentang pelacuran yang mengkriminalisasi perempuan. Tidak
satupun peraturan daerah serupa ini yang dibatalkan. Bahkan, Mahkamah
Agung juga kembali menolak permohonan judicial review untuk Perda serupa
dari Bantul. Kali ini dengan alasan bahwa permohonan diajukan melewati
batas waktu yang diperbolehkan, yaitu 180 hari sejak Perda itu
ditetapkan. Dari depresi Lilis hingga meninggal dunia, setidaknya jelas
bagi kita bahwa ini efek dari penahanan-nya atau efek dari berbagai
masalah (sosial, hukum, ekonomi) yang juga turut di-blow-up media.
Selain Lilis, ada sejumlah korban salah tangkap petugas ketentraman dan
ketertiban (Tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri
sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang juga dicurigai sebagai pelacur.
Selain
korban salah tangkap Perda Tangerang, yang juga cukup ramai diberitakan
adalah kasus penggundulan di Aceh oleh polisi Syariah. Meskipun pada
akhirnya Qanun Jinayat yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA) pada tahun 2009, harus segera dibatalkan untuk kemudian dilakukan
revisi dan dilengkapi sesuai dengan kaidah hukum Islam kaffah atas
desakan Ulama se-Aceh. Menurut mereka, dalam sejumlah pemberitaan, Qanun
tersebut masih mengabaikan hal-hal prinsipil dalam Hukum Islam. Ulama
Aceh juga mengimbau semua pihak baik Gubernur, politisi, DPRA, Ulama dan
komponen masyarakat agar turut berpartisipasi member masukan kepada
ulama. Hal tersebut terkait polemik yang terjadi terhadap pengesahan
Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang disahkan pada pertengahan September
2009.
Berpotensi Merugikan Perempuan
Tahun
1998 awal mulai terjadi dinamika politik hukum Indonesia, yang ikut
membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum Islam yang merupakan
bagian dari hukum nasional turut mengalami perubahan, tidak terkecuali
sektor hukum pidana (jinayat) yang sebelumnya penuh dengan
ketidakmenentuan. Dinamika hukum, terutama sekali, ditandai peralihan
sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem otonomi. Sistem ini
tertuang di dalam UU No. 32 Tahun 2004. Provinsi Aceh yang mayoritas
muslim dan memiliki pengalaman di bidang hukum Islam Qanun dan
memberlakukannya di dalam sosio-yuridis masyarakat. Masa dinamika ini
kerap dikenal era reformasi. Bagi Aceh, era ini menjadi awal
penyelesainan konflik selama 30 tahunan secara beradab, melalui jalur
perundang-undangan.
Lalu tahun 2000-an mulai marak kemunculan
Perda-perda diskriminatif, bahkan dalam beberapa tahun terakhir sejumlah
hasil penelitian mengungkap Perda-perda diskriminatif di Indonesia
semakin meningkat. Dimulai dari munculnya sejumlah pemberitaan tentang
deretan persoalan dalam menyikapi proses eksekusi atas seorang
terpidana, mulai dari gugatan atas konsistensi perundang-undangan yang
dianggap merendahkan martabat, tidak manusiawi, tidak efektif dan lan
sebagainya. Termasuk awal tahun 2012 ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan merilis data tentang maraknya berbagai kebijakan
diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan Jender, berupa kebijakan
di tingkat nasional maupun kebijakan lokal.
Dalam kajian
perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan pronografi, yang justru menghalangi perempuan untuk dapat
menikmati hak asasinya secara utuh khsususnya hak atas kepastian hukum
dan atas kebebasan berekspresi. Komnas Perempuan mencatat hingga bulan
Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan
moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebanyak 78 dari 207
kebijakan tersebut secara khusus menyasar pada perempuan, lewat
pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan
pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan.
Berdasarkan
pemantauan Komnas Perempuan, melihat proses pembentukan suatu kebijakan
yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung
melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif.
Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan
dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok
masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif
yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada
keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya.
Pentingnya Peningkatan Keterwakilan Perempuan
Di
sisi lain, dalam dunia politik sendiri, perempuan adalah bagian dari
warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi. Termasuk jumlah
perempuan yang duduk di DPR-RI hasil 10 kali Pemilihan Umum yang tidak
pernah mencapai angka kritis 30% adalah buktinya. Padahal, minimnya
keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan secara lagsung
akan menyebabkan suata perempuan menjadi tidak terwakili, sehingga
pengalaman khas dan spesifik yang dialami perempuan tidak terangkat.
Lebih jauh, masih berdasarkan rilis Komnas Perempuan pada Rabu
(8/2/2012), fakta kekerasan terhadap perempuan akan kehilangan ruang
untuk disuarakan dan diangkat sebagai bagian dari persoalan bangsa yang
harus dicegah dan ditangani.
Berdasarkan penelitian Perserikatan
Bangsa-bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh per seartus) merupakan
suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan
membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam
lembaga-lembaga publik. Penetapan 30% ditujukan untuk menghindari
dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik
yang merumuskan kebijakan politik. Dengan demikian, diharapkan
peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menjadi salah satu
ruang penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan publik.
Hal
senada juga diungkapkan Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik
Indonesia (KPP-RI), Ir. Hj. Andi Timo Pangerang. Menurutnya, maraknya
kebijakan diskriminatif terutama di daerah-daerah tidak terlepas dari
persoalan keterwakilan perempuan.
“Munculnya sebuah Perda tidak
terlepas dari kondisi sosial-budaya dan politik di daerah tersebut,
sementara perwakilan perempuan di daerah sendiri sangat minim, semakin
di daerah, perwakilan perempuan semakin minim, terutama di Kabupaten. Di
provinsi juga hanya sekitar 15% sampai 16 %, apalagi di Kabupaten makin
rendah lagi, sehinga berdampak pada suara perempuan dan pada akhirnya
suara perempuan sebagai minoritas dan proses pengesahan Perda-perda
lebih didominasi suara laki-laki. Jadi walaubagaimana pun, kualitas dan
kuantitas perwakilan perempuan di parlemen sama-sama pentingnya,” ungkap
perempuan yang akrab disapa Bu Andi ini.
Bu Andi juga
menambahkan, sampai saat ini KPP-RI terus bekerjasama dengan sejumlah
pihak yang peduli terhadap persoalan perempuan, seperti Komnas Perempuan
serta jaringan KPP-RI di kabupaten. Karena menghapus kekerasan terhadap
perempuan melalui upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam lembaga
perwakilan hendaknya dibaca sebagai upaya bersama untuk mengevaluasi
segala hal yang mendiskriminasi perempuan, mulai dari multi-burden
(beban berganda), stereotyping (pelabelan negatif), hingga budaya yang
cenderung menghalangi atau bahkan membatasi perempuan untuk beraktivitas
di ruang publik dan politik seperti larangan perempuan menjadi pemimpin
dan larangan perempuan keluar malam.
Selain itu pemunculan
pendapat tertentu yang mencoba menegasikan kepemimpinan perempuan, perlu
direspon melalui pengungkapan kekayaan penafsiran yang mencoba melihat
kembali relasi perempuan dan laki-laki dalam konteks setara dan ramah
pada kemanusiaan. Seperti larangan terhadap perempuan beraktivitas di
malam hari dengan alasan untuk menghindarkan perempuan dari tindak
kejahatan seharusnya direvisi oleh pemerintah daerah setempat, melalui
penyediaan tenaga keamanan yang berpatroli dan berjaga pada malam hari
agar perempuan tetap mendapatkan jaminan atas hak keamanan selama
beraktivitas.
mengurai kehidupan mulai dari istilah gender
-
sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki mengomentari seorang
perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan
oleh lelaki...
11 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca, mari kita berbagi pengalaman hidup :)