Kamis, 31 Januari 2013

lagi, perempuan dalam cengkeram kebijakan diskriminatif

...Proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya...(Komnas Perempuan, 2012)

Saat ini perbincangan publik tengah diramaikan dengan pro dan kontra larangan perempuan yang ngangkang saat di sepeda motor.  Pro kontra tersebut mengemuka setelah Walikota Lhokseumawe, Suaydi Yahya menyatakan berencana mengeluarkan peraturan larangan tentang perempuan ngangkang ketika naik sepeda motor. Sontak pernyataan ini menjadi pembicaraan hangat yang terus bergulir di masyarakat, terutama di social media. Seperti diketahui umum, sebelumnya Aceh juga memberlakukan larangan perempuan memakai celana jeans.

Suaydi menilai bahwa, perempuan duduk ngangkang di atas sepeda motor dinilai tidak sesuai dengan Syariat Islam dan adat istiadat setempat. Larangan duduk ngangkang tersebut hanya bagi perempuan. Nantinya, penumpang yang duduk di belakang juga dilarang memakai jeans karena pakaian seperti ini dinilai tak sesuai syariat Islam. Dengan dalih tambahan untuk meneruskan budaya dalam masyarakat yang hampir hilang, Suaydi begitu yakin dan memastikan akan menetapkan aturan tersebut. Bahkan ia juga akan segera menghimbau masyarakat di desa-desa. Namun seperti dikutip sejumlah media massa, kendati dia mengaku belum memastikan bentuk aturan yang akan diberlakukan tersebut, namun sejumlah pihak telah mengeluarkan argumentasinya terkait pelarangan yang ditujukan pada perempuan ini. Yang cukup berbeda, kali ini bukan hanya Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah aktifis gerakan perempuan yang tidak sungkan menyatakan keberatan dan larangannya terhadap rencana pemberlakuan tersebut, namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turut mengeluarkan argumen yang intinya bias memberatkan rencana pemberlakuan aturan tersebut.

Buruknya Kualitas Pendidikan

Komnas Perempuan menilai larangan perempuan duduk ngangkang di sepeda motor, adalah peraturan sia-sia. Selain tidak perlu diatur, hal tersebut dianggap mengada-ada dan bermuatan politis. Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan, Husein Muhammad seperti dikutip Okezone.com pada Rabu (2/1/2013) , menilai kebijakan Pemkot Lhokseumawe tersebut menandakan buruknya kualitas pendidikan. Menurutnya, masih banyak hal yang perlu diperhatikan, namun para pemegang kebijakan justru lebih mengurusi hal-hal sepele. Seperti masalah pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, itu yang menurutnya semestinya menjadi perhatian. Kebijakan juga semestinya dibuat bukan untuk mengatur individu atau moral personal melainkan publik secara umum.

Kebijakan yang akan segera diberlakukan di Lhokseumawe itu , dinilainya sebagai peraturan yang pertama kali ada di dunia. Sebab menurutnya, negara-negara Islam pun tidak memberlakukan peraturan itu. Tidak ada negara yang memberlakukan aturan seperti di Aceh, bahkan negara seperti Mesir dan Pakistan juga tidak memberlakukannya. Komnas Perempuan juga akan melayangkan surat ke sejumlah instansi terkait mengenai peraturan kontroversial itu.

Syariat Islam Tidak Mengatur Perempuan Ngangkang

Alasan tidak sesuai syari’at seperti diungkapkan Suaydi, segera dibahas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menyikapi Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh, yang akan memberlakukan larangan bagi perempuan duduk terbuka atau ngangkang di atas sepeda motor.  Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan, dalam Syariat Islam tidak ada aturan yang secara jelas membahas perempuan duduk ngangkang. Hal tersebut lebih menyangkut etika dan sopan santun, bukan pada hukum Syariat Islam. Bahkan jika dengan duduk ngangkang, lanjut Amidhan, tidak membahayakan ketika mengendarai sepeda motor, maka hal tersebut justru dianjurkan. Untuk kepentingan yang mendesak, maka ngangkang di sepeda motor di-ma’fu (dimaafkan).

Kendati demikian, menurut Amidhan, aturan yang akan diberlakukan di Lhokseumawe itu karena sebagai daerah otonomi khusus sehingga dapat membuat aturan tersendiri. Ada tiga hal yang menjadi landasan diterbitkannya suatu aturan baru yakni, pada aspek budaya, pendidikan, dan Agama Islam.

Larangan perempuan ngangkang ketika mengendarai sepeda motor, tambah Amidhan, bisa jadi hanya cocok diberlakukan di Aceh dan beberapa daerah lain yang memiliki kebiasaan atau budaya menutup aurat. Seperti Kalimantan Selatan dan Sumatera Barat yang kental nuansa agamanya, ketika perempuan dibonceng duduknya satu arah. Itu bukan karena aturan agama, melainkan kebiasaan dan budaya di sana. Berbeda halnya ketika di kota besar seperti Jakarta, perempuan yang duduk satu arah ketika dibonceng sepeda motor justru mengancam keselamatan jiwanya. Sebab kondisi lalu lintas yang padat dan macet, membuatnya rawan jatuh.

Lagi-lagi Perempuan Menjadi Objek Kebijakan

Sejumlah pro kontra yang bermula dari rencana pemberlakuan kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) di Aceh, ini mau tidak mau mengingatkan kita pada sejumlah kebijakan yang juga tak kalah ramai menuai pro kontra. Mungkin kita masih ingat membaca berita atau setidaknya mendengar tentang peristiwa meninggalnya Lilis Lisdawati pada tahun 2008. Ia adalah korban salah tangkap berlatar belakang Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005 di Kota Tangerang. Saat itu media setempat cukup ramai memberitakan ini, salah satunya seperti diberitakan Suara Warga (Edisi 007/011), Lilis Lisdawati adalah karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan. Suaminya Kustoyo, adalah guru SD. Tanggal 27 Februari 2006, Lilis ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di daerah Tangerang. Ia dituduh telah melanggar Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Aturan Perda tersebut memang multitafsir sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menyebabkan salah tangkap. Pasal 4 ayat 1 misalnya, menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah.”

Petugas lalu bisa menangkap seseorang, terutama perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah pelacur (PSK). Meski telah menyampaikan bahwa ia bukan PSK, Lilis tetap ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8 hari penjara dan denda Rp 300 Ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4 hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda tersebut.

Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan Lilis semakin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda tersebut. Alasannya, Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk merehabilitasi nama baik Lilis. Lilis mengalami keguguran pasca peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar dari pekerjaan karena tertekan dengan tudingan beristrikan pekerja seks. Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008 dalam kondisi depresi.

Tangerang adalah satu dari 38 daerah yang memiliki perda tentang pelacuran yang mengkriminalisasi perempuan. Tidak satupun peraturan daerah serupa ini yang dibatalkan. Bahkan, Mahkamah Agung juga kembali menolak permohonan judicial review untuk Perda serupa dari Bantul. Kali ini dengan alasan bahwa permohonan diajukan melewati batas waktu yang diperbolehkan, yaitu 180 hari sejak Perda itu ditetapkan. Dari depresi Lilis hingga meninggal dunia, setidaknya jelas bagi kita bahwa ini efek dari penahanan-nya atau efek dari berbagai masalah (sosial, hukum, ekonomi) yang juga turut di-blow-up media. Selain Lilis, ada sejumlah korban salah tangkap petugas ketentraman dan ketertiban (Tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang juga dicurigai sebagai pelacur.

Selain korban salah tangkap Perda Tangerang, yang juga cukup ramai diberitakan adalah kasus penggundulan di Aceh oleh polisi Syariah. Meskipun pada akhirnya Qanun Jinayat yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2009, harus segera dibatalkan untuk kemudian dilakukan revisi dan dilengkapi sesuai dengan kaidah hukum Islam kaffah atas desakan Ulama se-Aceh. Menurut mereka, dalam sejumlah pemberitaan, Qanun tersebut masih mengabaikan hal-hal prinsipil dalam Hukum Islam. Ulama Aceh juga mengimbau semua pihak baik Gubernur, politisi, DPRA, Ulama dan komponen masyarakat agar turut berpartisipasi member masukan kepada ulama. Hal tersebut terkait polemik yang terjadi terhadap pengesahan Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang disahkan pada pertengahan September 2009.


Perda Berpotensi Merugikan Perempuan

Berdasarkan hasil mini riset penulis dan kawan-kawan (dkk) tentang Qanun Jinayat pada tahun 2009, tahun 1998 awal mulai terjadi dinamika politik hukum Indonesia, yang ikut membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum Islam yang merupakan bagian dari hukum nasional turut mengalami perubahan, tidak terkecuali sektor hukum pidana (jinayat) yang sebelumnya penuh dengan ketidakmenentuan. Dinamika hukum, terutama sekali, ditandai peralihan sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem otonomi. Sistem ini tertuang di dalam UU No. 32 Tahun 2004. Provinsi Aceh yang mayoritas muslim dan memiliki pengalaman di bidang hukum Islam Qanun dan memberlakukannya di dalam sosio-yuridis masyarakat. Masa dinamika ini kerap dikenal era reformasi. Bagi Aceh, era ini menjadi awal penyelesainan konflik selama 30 tahunan secara beradab, melalui jalur perundang-undangan.

Lalu tahun 2000-an mulai marak kemunculan Perda-perda diskriminatif, bahkan dalam beberapa tahun terakhir sejumlah hasil penelitian mengungkap Perda-perda diskriminatif di Indonesia semakin meningkat. Dimulai dari munculnya sejumlah pemberitaan tentang deretan persoalan dalam menyikapi proses eksekusi atas seorang terpidana, mulai dari gugatan atas konsistensi perundang-undangan yang dianggap merendahkan martabat, tidak manusiawi, tidak efektif dan lan sebagainya. Termasuk awal tahun 2012 ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis data tentang maraknya berbagai kebijakan diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan Jender, berupa kebijakan di tingkat nasional maupun kebijakan lokal.

Dalam kajian perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pronografi, yang justru menghalangi perempuan untuk dapat menikmati hak asasinya secara utuh khsususnya hak atas kepastian hukum dan atas kebebasan berekspresi. Komnas Perempuan mencatat hingga bulan Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebanyak 78 dari 207 kebijakan tersebut secara khusus menyasar pada perempuan, lewat pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan.

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, melihat proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya.

Pentingnya Peningkatan Keterwakilan Perempuan

Di sisi lain, dalam dunia politik sendiri, perempuan adalah bagian dari warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi. Termasuk jumlah perempuan yang duduk di DPR-RI hasil 10 kali Pemilihan Umum yang tidak pernah mencapai angka kritis 30% adalah buktinya. Padahal, minimnya keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan secara lagsung akan menyebabkan suata perempuan menjadi tidak terwakili, sehingga pengalaman khas dan spesifik yang dialami perempuan tidak terangkat. Lebih jauh, masih berdasarkan rilis yang pernah dikeluarkan Komnas Perempuan pada Rabu (8/2/2012), fakta kekerasan terhadap perempuan akan kehilangan ruang untuk disuarakan dan diangkat sebagai bagian dari persoalan bangsa yang harus dicegah dan ditangani.

Berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh per seartus) merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Penetapan 30% ditujukan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan politik. Dengan demikian, diharapkan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menjadi salah satu ruang penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan publik.

Sumber tulisan: okezone.com pada tanggal 2, 3, dan 4 Januari 2013; hasil mini riset Alimah dkk tentang Qonun Jinayat tahun 2009; salah satu tulisan penulis (Alimah) di http://kppri.or.id/index.php/id/artikel/11-perempuan-dalam-cengkeraman-kebijakan-diskriminatif; http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/02/apa-kabar-perda-diskriminatif-474053.html