Sabtu, 30 Juni 2012

drama korea, sinetron & kepemilikan media

Mungkin kita masih ingat tentang bagaimana gencarnya pemerintah Indonesia mempromosikan Pulau Komodo sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Baru atau New7Wonders. Terlepas dari sejumlah pro kontra dan konflik di dalamnya, walau bagaimana pun kemudian pada tanggal 11 November 2011 Pulau Komodo berhasil masuk dalam urutan ketujuh New7Wonders. Selain Pulau Komodo, yang kemudian menarik bagi saya adalah Jeju Island (Pulau Jeju) di Korea Selatan yang juga masuk salah satu Tujuh Keajaiban Dunia Baru.

Ketika berbulan-bulan kita tengah gencar-gencarnya promosi vote Komodo, pemerintah Korea Selatan (Korsel) tidak hanya memanfaatkan promosi melalui iklan-iklan di televisi dan sejumlah media lainnya, namun juga memanfaatkan drama Korea-nya. Yang masih saya ingat sekali adalah salah satu drama Korea berjudul “Lie to Me”. Meskipun drama diputar di televisi Korea, namun para pecinta drama Korea seperti saya misalnya, bisa download via youtube secara gratis tiap episodenya, selain youtube juga banyak sekali situs-situs di mana kita bisa update drama terbaru Korea yang sekarang tengah tayang di televisi Korea. “Lie To Me” sebenarnya sebuah tontonan dengan konflik yang sangat biasa menjadi menarik untuk disaksikan.

Didukung kemampuan akting pemeran utamanya yang diceritakan sebagai pegawai negeri di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Korea. Meskipun jelas ini hanya sebuah komedi romantis, namun hal menarik lainnya, di serial ini juga mengangkat keindahan pulau Jeju sebagai salah satu tempat pariwisata di Korea. Serial tersebut sepertinya dibuat khusus mempromosikan pulau Jeju yang kini menjadi salah satu Tujuh Keajaiban Baru Dunia. Bahkan banyak sekali adegan-adegan seperti dalam kisah nyata di mana pemeran utama mempromosikan pulau Jeju dengan mempresentasikan dan mengantarkan para pejabat dan turis-turis local maupun internasional keliling pulau Jeju dan menikmati pemadangan menarik, mulai dari hotel-hotel mewah dan unik yang ada di sekitarnya hingga puncak tertinggi di Korea Selatan, dan pantai-pantai indahnya.

Budaya Korea, utamanya yang disosialisasikan melalui industri hiburannya, telah menarik minat masyarakat dunia. “Lie to Mie” hanyalah satu dari sekian banyaknya drama Korea yang menurut saya cukup berkualitas. Jika dibandingkan dengan sinetron Indonesia, siapapun penikmat drama Korea pasti akan sama seperti saya betapa sinetron Indonesia masih sangat jauh dari berkualitas. Korea memiliki kelebihan dan keunikan yang sulit bisa ditemukan di sinetron Indonesia. Mulai dari setting ceritanya, acting pemainnya, kostumnya, hingga jumlah episodenya yang tidak begitu pajang seperti sinetron Indonesia. 

Nilai yang juga tidak pernah ketinggalan dari drama-drama Korea adalah nilai edukasi (pendidikan), seperti pada penghormatan dan pelestarian budaya leluhur. Bagaimana menghormati orang tua atau yang lebih tua, menjaga dan melestarikan makanan tradisional seperti sup Kimchi atau kue beras untuk perayaan tertentu. Tidak heran kemudian budaya Korea melanda dunia khususnya Indonesia, atau yang popular disebut Korean Wave (gelombang Korea). Seolah tak ada pilihan, penetrasi dasyat berbagai produk budaya Korea itu mulai dari film, lagu, fashion, style, hingga gaya hidup, harus ditelan mentah.

Secara jujur kita harus mengakui bahwa gelombang budaya Korea ini memang sangat luar biasa dahsyat. Dunia mengakuinya. Narasi sukses penetrasi budaya ini, tentu berimbas positif bagi citra Korea. Kesuksesan mengekspor budaya ini, pasti tidak lahir secara tiba-tiba. Korea berhasil menciptakan gelombang budaya ini berkat kebijakan budaya yang sepenuhnya mendukung industri kreatif negara. Industri film misalnya, dikelola dan dibuat untuk memperkenalkan budaya Korea ke dunia luar. 

Pajak rendah untuk film lokal diberlakukan, bahkan diberikan bantuan dana khusus untuk produksi film yang mengusung budaya Korea. Bahkan menurut Kepala Pendidikan Indonesian and Korean Cultural Studies (IKCS), Chang Ik Hwan yang dilansir Republika Online (27/12), mulai 20 tahun silam Pemerintah Korea memberikan beasiswa besar-besaran kepada artis dan seniman untuk belajar di Eropa dan Amerika. Kemudian artis-artis dipoles sedemikian rupa sampai benar-benar menjadi artis ‘’jadi’’ untuk kemudian diluncurkan. Kini, Korea memetik hasil dari keseriusan mereka menggarap industri kreatifnya.

Sementara dunia hiburan kita, termasuk program televisi kita masih jauh dari berkualitas. Belum lagi sejumlah pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang penyiaran. Tidak heran kemudian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sering mengeluarkan surat peringatan pada sejumlah proram televise termasuk sinetron Belum lama ini, seperti tahun 2009, KPI pernah menetapkan ada enam sinetron bermasalah yang ditayangkan pada Januari 2009. Enam sinetron itu melanggar Undang-Undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, begitu pun yang terjadi saat ini, pelanggaran-pelanggaran terus dilakukan sejumlah program di televisi. Selain sinetron sejumlah program talkshow, infotaimen, maupun reality show seperti di transtv misalnya yang juga tidak luput dari surat peringatan dari KPI baik programnya maupun actor dan aktrisnya. Di sisi lain, dunia pertelevisian Indonesia sendiri sampai saat ini masih belum beranjak dari sejumlah persoalan di bidang penyiaran terutama kebijakan-kebjikannya, seperti yang masih hangat terkait kepemilikan media (media ownership) yang kini telah dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha) yang secara tidak langsung akan berdampak pada isi media.

Padahal sampai hari ini, kita masih masih prihatin terhadap berbagai tayangan televisi kita. Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2002, dalam menjalankan fungsinya KPI mempunyai wewenang, menetapkan standar program siaran, menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran, serta mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran. Pun, masih saja ada tayangan "bermasalah" yang lolos dari monitoring KPI.

Selain masih kerepotan dengan isi (content) media dari sejumlah program televisi, dunia pertelevisian juga masih harus berhadapan dengan isu kepemilikan media (media ownership) yang secara tidak langsung akan berdampak pada kebijakan isi media. Sementara, selama ini tidak ada tafsir tunggal atas penerapan kedua pasal 18 (1) dan pasal 34 (4) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Kondisi ini menyebabkan dunia penyiaran Indonesia bergeser dari semangat awalnya untuk menerapkan keberagaman kepemilikan (diversity of ownerships) dan keberagaman isi siaran (diversity of contents). Kemudian pasal 18 (1) UU Penyiaran menyatakan kepemilikian dan penguasaan Lembaga Peyiaran Swasta oleh satu wilayah siaran atau di beberapa wilayah siaran adalah dibatasi. Sedangkan Pasal 34 ayat (4) dan penjelasannya, menegaskan bahwa izin Penyelenggaraan dan Penyiaran dilarang dipindahtangankan dengan cara dijual, dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain di tingkat manapun.

Tulisan ini bermaksud membahas mengenai kedua Undang-Undang penyiaran tersebut terkait isu kepemilikan media (media ownership) serta dampak terhadap kepemilikan media terhadap kebijakan isi (contents) media.

Media Dikuasai Segelintir Orang

Dalam pendekatan ekonomi politik, kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat. Menurut Anthonny Giddens, sebagaimana dikutip Werner A. Meier, para pemilik media merupakan pihak yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam demokrasi. Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol media sebagai sebuah hubungan tidak langsung. Bahkan pemilik media, menurut Meier, dapat memainkan peranan yang signifikan dalam melakukan legitimasi terhadap ketidaksetaraan pendapatan (wealth), kekuasaan (power) dan privilege.

Hal mendasar yang harus dipahami dari struktur media adalah pertanyaan mengenai kepemilikan dan bagaimana kekuasaan dari pemilik digunakan. Pendapat yang mengatakan bahwa pemiliklah yang akhirnya menentukan sifat dari media tidak hanya teori Marxist, namun sebenarnya aksiom pemikiran yang sama juga disimpulkan dalam Altschull (1984): “Isi dari media selalu merefleksikan kepentingan dari orang-orang yang membiayai media”. Tidak heran, ada beberapa bentuk yang berbeda dari kepemilikan media yang berbeda, dan bagaimana kekuasaan dari pemilik digunakan dengan cara yang berbeda pula.”

Termasuk di dalam pernyataan Altshull, bahwa tidak hanya kepemilikan yang diperhitungkan, ada pertanyaan yang lebih meluas mengenai siapa yang sebenarnya membeli produk dari media. Walaupun ada media yang pemiliknya membayar secara personal untuk memperoleh hak istimewa dalam mempengaruhi isi, kebanyakan media hanya menginginkan untung dan kebanyakan media dibiayai dari sumber yang berbeda. Di sini termasuk jangkauan dari private investor (di antara perusahaan media mereka), advertisers, consumers, publik yang beraneka macam, para pembeli subsidi, dan pemerintah.

Kebanyakan dari media mengacu kepada satu dari tiga kategori dari kepemilikan; perusahaan komersial, badan usaha publik non-profit, dan public sector. Walaupun begitu, setiap kategori dari ketiganya adalah bagian yang penting. Untuk kepemilikan media ini akan menjadi sangat relevan apakah perusahaan tersebut “public” atau “private”, rangkaian media yang luas atau konglomerat, atau kecil yang berdiri sendiri. Inilah yang juga menjadi masalah tidaknya, perusahaan media dimiliki oleh media tycoon atau mogul, yang dilambangkan sebagai seseorang yang ingin menggunakan kepentingan pribadi dalam kebijakan editorial (Turnstall dan Palmer,1991). Badan usaha non-profit dapat dipercaya netral, dibentuk untuk melindungi kebebasan dalam beroperasi atau badan-badan usaha dengan dengan budaya yang spesial atau untuk kepentingan sosial semacam partai-partai politik, masjid, dan lainnya. Kepemilikan publik juga datang dengan bentuk yang beraneka ragam, menjangkau secara langsung administrasi untuk memperluas dan membuat beraneka ragam konstruksi untuk memaksimalkan kebebasan pengambilan keputusan mengenai isi.

Sejak abad ke 20, kepentingan kapital telah menentukan arah tumbuhnya media, bahkan besar-kuatnya media. Pemilik media adalah para “businessman”; mereka merupakan pemilik modal yang mendirikan atau turut mendirikan usaha media dan berupaya untuk mencari keuntungan ekonomi melalui usahanya itu. Struktur organisasi media menjadi terkait dengan sistem ekonomi kapitalis yang membawa tujuan bisnis kompetitif dari pemilik industri media. Setiap media menghitung laba yang dikeluarkan dari tiap kerja pemberitaannya. Maka, item-item pemberitaan pun diseleksi dengan menggunakan asumsi riset pasar. Kerja pemberitaan bukan lagi dihitung hanya berdasar ongkos operasional liputan.

Dalam menjalankan usahanya, media atau pemilik media bersinggungan dengan kekuasaan. Para pemilik media kerap ditemukan sebagai elite-elite bisnis industri yang berhubungan erat dengan para elite pemegang kekuasaan. Bisnis mereka kerap terkait dengan kebijakan elite kekuasaan. Hal itu mengakibatkan “politik dagang” para pemilik media dituding ikut melestarikan status quo kekuasaan para tokoh politik yang menjadi rekanan mereka. Inilah pentingnya mengapa isu kepemilikan media menjadi isu yang cukup mengkhawatirkan, karena jika memang demikian, maka kekuasaan pemilik media, meski secara etik dibatasi dan secara normatif disangkal, bukan saja memberi pengaruh pada konten media, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat selaku audience. Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi; muatannya kerap memperhitungkan aspek pasar dan politik. Produk pemberitaan menjadi margin komoditas laba ekonomi sekaligus margin kepentingan politik. Hal itu, pada banyak kasus, telah mereduksi kemandirian institusi media. Akibatnya, terjadi kasus-kasus dimana liputan media harus berhadapan dengan kepentingan politik dan bisnis. Tema-tema liputan disesuaikan dengan orientasi tersebut.

Dampak lainnya ialah perubahan arah pemberitaan. Area pemberitaan “hard journalism” berubah jadi “soft journalism”. Kisah-kisah soft news dan human interest menjadi buruan wartawan. Liputan politik, seperti korupsi dan manipulasi serta nepotisme, menjadi fleksibel dan adaptabel. Berita-berita tersebut tidak segera atau bahkan terkadang tidak dapat disiarkan. Tapi, kerap dihambat, difilter, diatur, atau dikontrol. Kepemilikan media itu bersifat kapitalistik. Analisis kepemilikan media yang bersifat kapitalistik akan dapat dijumpai jika berada pada satu negara yang menganut sistem demokrasi, dimana campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam mengatur media dan pasar memegang kendali dalam semangat kapitalisme.

Para peneliti, baik liberal maupun Marxis, sama-sama sepakat bahwa analisis kepemilikan media berhubungan erat pada kapitalisme. Kepemilikan media juga menjadi sebuah term yang selalu dihubungkan dengan konglomerasi dan monopoli media. Untuk melihat lebih dekat bentuk kepemilikan media, ini menyarankan untuk membedakan media menjadi media komunitas, media publik dan media privat. Media komunitas -misalnya televisi lokal, blog, electronic magazine atau newsletter- merupakan media yang diorganisir secara non-profit dan berbasiskan pada kelompok kepentingan tertentu yang spesifik (seperti kelompok perempuan, kelompok etnik, kelompok pelajar, dan lain-lain). Media komunitas mencoba untuk mengakomodir dan menarik audience secara terbatas dan dalam ruang atau tempat yang juga terbatas, seperti di kampus-kampus atau di kota tertentu. 

Operasionalisasi media dihidupi oleh sejumlah kecil iklan dan sponsorship sehingga media komunitas cenderung independen dari berbagai kepentingan. Kepemlikan media komunitas berada di tangan “komunitas” bukan di tangan pemilik modal tertentu atau di tangan satu-dua orang elit pemilik.

Teori liberal berasumsi bahwa kepemilikan media secara efektif harus terpisah dari kontrol dan editorial decisions. Keputusan yang lebih besar mengenai sumber daya, strategi bisnis, dan kepentingan dapat diambil oleh pemilik atau para pemegang faham, sedangkan editor dan pengambil keputusan yang lain dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan yang profesional mengenai isi media berdasarkan keahlian mereka. Dalam beberapa situasi dan di beberapa negara ada lembaga penengah yang sudah ditetapkan (semacam UU editorial) yang dibuat untuk menjaga integritas dari kebijakan editorial dan kebebasan jurnalis. Sebaliknya, professionalism, kode etik, public reputation (sejak media selalu dalam pengawasan publik), dan common sense mengharuskan untuk memperhatikan permasalahan yang tampak dan tidak pantas untuk dipegaruhi oleh pemilik.

Eksistensi dari check and balance tidak dapat, walaupun begitu, mengaburkan beberapa fakta kehidupan operasi media. Salah satunya adalah fakta bahwa, media komersial, harus menghasilkan keuntungan untuk tetap dapat bertahan hidup, dan hal ini sering melibatkan pengambilan keputusan yang langsung mempengaruhi isi (seperti menghemat biaya, penggantian staf, selidiki atau tidak, dan operasi gabungan). Pada dasarnya pemilik media tidak akan jauh dari pemikiran ekonomi yang berimbang. Ini juga merupakan fakta bahwa kebanyakan private media memiliki kepentingan pribadi yang tetap dalam sistem kapitalis dan cenderung memberikan dukungan yang nyata kepada partai politik defenders-conservative. Misalnya, besar sekali dukungan koran-koran di Amerika yang memuat berita calon presiden dari partai Republik selama bertahun-tahun (Gaziano 1989), dan fenomena yang serupa juga terjadi di beberapa negara di Eropa, mungkin merupakan akibat dari perubahan dan kebijakan alami yang mungkin tidak sama.

Banyak cara nyata yang sedikit banyak sama dalam kecenderungan yang berlaku, tidak lain adalah tekanan dari para pengiklan. Media yang dimiliki oleh publik (public sector) berpikiran netral dan seimbang terhadap tekanan semacam ini. Teori Kebijakan Liberal Konvesional menyatakan bahwa cara terbaik atau satu-satunya jalan keluar dari permasalahan semacam ini adalah terletak pada keberagaman dari kepemilikan pribadi. Situasi ideal bila salah satu perusahaan baik kecil atau menengah berkompetisi dengan yang lain untuk menarik perhatian publik dengan menawarkan secara luas ide-ide, informasi dan berbagai tipe budaya. Kekuatan yang dimiliki oleh para pemilik media tidak seburuk kelihatan namun dapat menjadi buruk bila konsentrasi dan penggunaannya secara selektif untuk membatasi atau mencegah akses. Posisi ini cenderung merendahkan tekanan fundamental di antara ukuran kriteria pasar, keuntungan, dan kriteria kualitas dan pengaruh. Mereka tidak akan mudah untuk saling dipertemukan. Perhatian utama dari isi terpusat pada debat teoritikal.

Konteks Indonesia

Media privat merupakan media yang dikelola oleh satu atau segelintir orang tertentu yang biasanya merupakan pemilik modal. Tujuan media ini sangat jelas, yakni mencari profit dalam bentuk keuntungan ekonomi. Karena itu operasionalisasi media privat sangat bergantung pada iklan, sponsorship dan berbagai aktivitas komersial lain. Dengan kata lain, media privat inilah yang sering disebut sebagai “media konglomerat” yang dikelola secara kapitalistik.

Dalam konteks Indonesia, terutama sejak era reformasi bergulir, media privat tumbuh dengan sangat cepat dan subur. Berbeda dengan era Orde Baru ketika di mana media masih sangat dikontrol oleh pemerintah baik dari produksi maupun distribusi media. Kepemilikan media dengan model media privat atau dengan kata lain media dimiliki oleh satu atau segelintir orang pemilik modal menumbuhkan ekses kepada konglomerasi dan monopoli media. Di Indonesia beberapa contoh konglomerasi dan monopoli tersebut dapat dilihat pada kepemilikan Jawa Post Grup, MNC Grup, Media Grup, Bakri Grup, Trans Media Grup, Gramedia Grup dan Femina Grup. Masing-masing memiliki lebih dari satu media dan bentuknya sangat beragam, misalnya Media Grup memiliki jaringan televisi (Metro TV) sekaligus koran (Media Indonesia); Jawa Post Grup memiliki koran, tabloid dan majalah.
Pada dasarnya masalah kepemilikan media dengan menggunakan model media privat sudah mendapat batasan dari pemerintah melalui regulasi yang mengaturnya, yakni melalui Undang-Undang Penyiaran. Dalam Undang-Undang Penyiaran misalnya dikatakan bahwa kepemilikan media harus berjaringan atau bisa menggunakan sistem kepemilikan silang (cross ownership). UU Penyiaran Pasal 16 ayat 2 mengatakan; “Kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio, dan lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi; antara lembaga penyiaran swasta dengan perusahaan media cetak; dan antara lembaga penyiaran swasta dengan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya; baik langsung maupun tidak langsung, dilarang.”

Namun UU yang mengatur cross ownership ini ditentang bahkan mendapat penolakan keras dari pemilik media dan praktisi. Mereka bergabung dalam berbagai organisasi, di antaranya Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), serta Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI). Dasar dari penolakan terhadap larangan cross ownership ini dilakukan atas nama kebebasan pers, revolusi teknologi informasi dan wacana demokrasi yang sedang dibangun Indonesia. Untuk komunikasi massa, permasalahan utama adalah selalu berkaitan dengan keputusan akhir untuk mempublikasikan.

Sampai saat ini yang terjadi dalam prakteknya, satu orang atau satu badan hukum boleh memiliki berapapun lembaga penyiaran swasta di satu atau beberapa wilayah siaran. Seperti MNC Group (sebelumnya disebut TPI) dan GlobalTV, selain jejaring stasiun televise likal. Demikian juga VisiMedia Group yang menguasai dua frekuensi lewat TVOne dan ANTV. Juga TransCorp yang punya Trans7 (sebelumnya TV7) dan Transtv. Pendeknya, telah terjadi pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran yang luar biasa, baik vertical maupun horizontal. Ini tentu bertentangan dengan semangat demokratisasi penyiaran dan bertentangan dengan bunyi pasal 18 (1) UU Penyiaran 2002.

Selain itu seakan sudah lazim terjadi sekarang ini, merger atau akuisisi lembaga penyiaran swasta yang diikuti dengan pengambilalihan frekuensi siaran. Padahal, UU Penyiaran sudah jelas menegaskan bahwa bahwa frekuensi adalah sumber daya alam milik negara yang mengusai negara dan seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Yang terjadi saat ini, berdasarkan sejumlah pemberitaan, para pemiliki stasiun televise berkilah bahwa merger terjadi di tingkat perusahaan induk (holding companies), sehingga sama sekali tidak terjadi perpindahan kepemilikan frekuensi.

Padahal, semua ini jelas tanpa frekuensi penyiaran yang dikuasainya, lembaga penyiaran swasta nyaris tidak mempunyai nilai apapun. Karena itu, amat sangat tidak masuk akal, jika pemilik SCTV bersedia mengakuisisi Indosiar semata-mata karna programnya. Jelas ada motif penguasaan frekuensi dari strategi eskpansi para pemiliki stasiun televise ini. Sementara pihak pemerintah dan DPR masih berkilah bahwa sudah ada PP Nomor 50 Tahun 2005 yang mengatur soal kepemilikan lembaga penyiaran lebih dari satu, sebagai penafsiran atas pasal 18 dan pasal 34 UU Penyiaran. Sehingga DPR sendiri menurut sejumlah media, memandang bahwa dalam pasal tersebut tidak memerlukan tafsir pertama dan kedua. 

Padahal yang menjadi masalah justru menegasikan ketentuan UU Penyiaran. Pemerintah bersikeras itulah tafsir yang benar atau UU itu, meski jelas bertolak belakang dengan ketentuan di atasnya. Dalam situasi ketidakpastian hukum macam ini, banyak sekali pihak yang mencoba mengail keuntungan dari suasana status quo yang transisional ini. Di mana kepemilikan saham media bisa tersebar di sejumlah tangan pemodal yang sangat mungkin memiliki bisnis inti di wilayah lain. Para pemilik media ini lazim mendirikan, membeli atau menanam saham di perusahaan media semata-mata atas alasan keuntungan finansial.

Dalam konteks ini, secara tidak langsung akan berpengaruh pada keberagaman dan kualitas isi media. Inilah pentingnya mengapa isu kepemilikan media menjadi isu yang cukup mengkhawatirkan, karena jika memang demikian, maka kekuasaan pemilik media, meski secara etik dibatasi dan secara normatif disangkal, bukan saja memberi pengaruh pada konten media, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat selaku audience. Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi; muatannya kerap memperhitungkan aspek pasar dan politik. Produk pemberitaan menjadi margin komoditas laba ekonomi sekaligus margin kepentingan politik. Hal itu, pada banyak kasus, telah mereduksi kemandirian institusi media. Akibatnya, terjadi kasus-kasus dimana liputan media harus berhadapan dengan kepentingan politik dan bisnis. Tema-tema liputan disesuaikan dengan orientasi tersebut. Sehingga sangat bisa dipahami bahwa segenap gagasan tentang media sebagai ’agen pencerahan’ tidak pernah dipertimbangkan secara serius. Sebagaimana digambarkan Herman tentang sistem pertelevisian di AS: ’’Tak ada ruang bagi para manajer yang memiliki tanggungjawab sosial dalam sebuah sistem yang matang, dan di AS seluruh jaringan televisi secara faktual kini dikuasai oleh para pemilik perusahaan yang sepenuhnya digerakkan oleh pasar’’ (1993, hal. 181).

Dengan segenap karakteristik itu, pilihan untuk mengembangkan swastanisasi dan liberalisasi pertelevisian di sebuah negara akan memiliki implikasi serius. Sebagaimana dikatakan Golding dan Murdock (1974, hal. 228), dalam sebuah sistem komersial, segenap proses pengumpulan dan pemrosesan informasi yang dijalani akan memproduksi sebuah artifak budaya yang melegitimasi konsensus kelas dominan. Stasiun televisi komersial tidak apat diharapkan bersikap kritis terhadap kebijakan yang mendorong laju ekspansi perusahaan-perusahaan transnasional, misalnya, bukan karena tidak ada jurnalis profesional dengan gagasan-gagasan tercerahkan yang bekerja di divisi pemberitaan stasiun tersebut, atau bahkan karena divisi pemberitaan ditekan oleh para pemasang iklan, tapi bisa juga karena alasan yang lebih mendasar: secara kolektif, terinternalisasi gagasan di antara para pengelola dan pekerja media bahwa bersikap kritis terhadap kecenderungan-kecenderungan utama dalam sistem kapitalistik adalah sesuatu yang bertentangan dengan kodrat media komersial itu sendiri. Peningkatan kompetisi akan mempersulit laju pengembalian modal, yang dengan sendirinya akan mendorong perusahaan media untuk memfokuskan perhatian mereka pada upaya memperbanyak penonton yang pada gilirannya akan meningkatkan jumlah iklan. Dalam kondisi ini, berbagai pertimbangan tentang potensi positif media untuk mendidik dan mencerahkan masyarakat akan terpinggirkan. Manajemen yang gagal merespons peluang pasar dan berada di bawah tekanan pemilik dan mungkin pula ditendang keluar oleh proses internal.

Belum lagi pertimbangan tingginya rating (minat masyarakat untuk menonton) pada segmentasi tertentu, televisi rela menghilangkan dua fungsi yang lain sebagai informatif dan edukatif. Indonesia, terutama dengan dikuasainya industry televise oleh segelintir orang menyebabkan sulit terwujudnya fungsi pelayanan informasi yang sehat, salah satunya seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program, yang salah satunya disebabkan ketidakberagaman pemilik media. Yang juga akan berbeda dengan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Karena prinsip Diversity of Ownership juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.

Sumber:
Ade Armando, 2011. Televisi Jakarta diatas Indonesia, kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia. Yogyakarta : Bentang.
Sandi Suwardi Hasan, 2011. Pengantar Cultural Studies, Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut. Yoyakarta : Ar-Ruzz Media.
Kompas.com

Senin, 11 Juni 2012

bukan "robohnya surau kami"

“Robohnya gereja kami...” ini bukan judul sebuah novel maupun film. Namun pertama kali membacanya memang mengingatkan saya pada sebuah judul kumpulan cerpen sosio-religi karya A.A. Navis berjudul “Robohnya Surau Kami” yang diterbitkan tahun 1956. Cerpen ini menceritakan dialog Tuhan dengan Haji Saleh, seorang warga Negara Indonesia yang selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah. Namun ini adalah status facebook seorang kawan. Tentu saja langsung mengingatkan saya pada salah satu karya monumental dalam dunia sastra Indonesia tersebut. Ia adalah individu yang juga menjadi bagian dari komunitasnya.

Sepertihalnya ia, pada situasi dan kondisi yang kurang lebih sama, bisa jadi saya juga mengungkapkan hal yang sama tentang apa yang terjadi pada kehidupan dan komunitas di mana saya berada. Termasuk ketika kita mendengar dan menyaksikan sejumlah aksi kekerasan, terutama yang dilatarbelakangi perbedaan agama maupun keyakinan, seakan tidak pernah selesai terutama dalam kurun sepuluh tahun terakhir pasca tumbangnya rezim Orde Baru (Orba). Sejumlah aksi kekerasan secara tidak langsung mempertegas, meskipun kebebasan telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat sehari-hari, namun tidak demikian halnya dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Karena pada saat yang sama, beberapa kelompok ‘bebas’ melakukan intimidasi, teror, dan penyerangan terhadap orang lain yang dianggap berbeda. Seperti praktik diskriminasi dan kekerasan yang menimpa sejumlah komunitas di Indonesia seperti komunitas gereja, Ahmadiyah, Syi’ah dan sejumlah komunitas lainnya.

Tindak kekerasan dan intolerasi terus meningkat setiap tahunnya. Jika malas membuktikannya berdasarkan sejumlah riset meningkatnya intoleransi di negeri ini, saya pikir bagi kita yang peka sudah cukup untuk membuktikanya melalui pemberitaan di media massa. Dalam kasus-kasus penyerangan seperti terhadap Ahmadiyah dan sejumlah gereja, aparat pemerintah dalam hal ini kepolisian dan militer telah bertindak abai dan membiarkan meski mengetahui adanya potensi ancaman dan penindasan yang akan terjadi . Terlalu seringnya menyaksikan peristiwa kekerasan dan bagaimana pemerintah kita menyikapi hal ini, tentunya kita juga telah faham bahwa Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan jaminan hak-hak dasar sebagai bagian dari pelaksanaan konstitusi negara.

Indonesia merupakan negara yang majemuk baik dari segi budaya, bahasa, agama maupun sistem sosialnya. Kemajemukan dapat menjadi sumber kekayaan dan pengikat bangsa, namun juga dapat menjadi sumber konflik, jika penyelenggara negara tidak mampu mengelolanya. Bangsa Indonesia telah memilih Pancasila sebagai ideologi negara dan menjadikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai puncak nilai dan tujuan akhir negara. Ahmadiyah misalnya, mengalami tindakan kekerasan terbanyak pada era reformasi. Pelarangan Ahmadiyah menjadi issue yang digunakan dalam proses pemiihan umum. 

Pelanggaran hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan telah mengakibatkan pelanggaran hak-hak dasar lainnya baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budayanya baik sebagai individu, maupun kelompok. Hal ini disebabkan pemerintah sebagai pemangku kewajiban, tidak mengacu kepada konstitusi yang telah disepakati, melainkan menggunakan nalar agama dalam kebijakan-kebijakan publik. Kondisi ini memberikan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa empat pilar kebangsaan tidak dijadikan dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga dapat dipastikan akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan ‘mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Untuk mengatasinya, seluruh elemen harus kembali menjadikan empat pilar kebangsaan sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan mendorong proses demokratisasi ke arah kedewasaan untuk hidup berdampingan

Hak Individu (dari Hobbes dan Locke)

Dalam judul kecil ini, saya ingin mengawalinya dengan berdiskusi tentang konsep individu dalam tatanan politik dari konsep kedua tokoh ini, keduanya berangkat dari sebuah konsep yang sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamiah atau yang lebih dikenal dengan konsep “State of Nature”. Dalam diskusi-diskusi politik, apa yang saya diskusikan ini sangat sering dikutip. Namun saya benar-benar ingin mendiskusikan ini dengan bahasa saya sendiri, semoga mudah difahami.

Hobbes (1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam "State of Nature" individu itu pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia ingin hidup damai. Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru—suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain di mana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa).

Sedangkan John Locke (1632 – 1704) berpendapat bahwa individu pada “State of Nature” adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/pihak ketiga (Negara), di mana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.

Bertolak dari ke semua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu ke depannya tergantung pemimpin negara. Sementara Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas—hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik.

Lalu bagaimana asumsi Hobbes dan Locke tentang tatanan politik dan individu?

Hobbes

Hobbes seringkali dianggap orang yang berjasa memperkenalkan teori kontrak sosialnya yang kemudian diikuti oleh dua penerusnya, Locke, dan Rosseau. Walau pun di antara ketiganya ada juga perbedaan-perbedaan yang cukup tajam. Berdasarkan pemikiran Hobbes dalam “The State of Nature and the Basis of Obligation,” Hobbes memulai pendapatnya dengan memandang secara negatif terhadap manusia. Hobbes berpendapat bahwa individu-individu itu bersifat egois dan saling mencurigai satu sama lain. Karena kebutuhan-kebutuhan mereka harus dipenuhi dalam wilayah dan dari persediaan alamiah yang sama.
Mereka berada dalam situasi persaingan. Individu satu merupakan pesaing bagi individu lainnya, dan karena itu harus dimusuhi. Akhirnya, terpaksa masing-masing mengambil tindakan untuk saling melindungi. Dari pandangan inilah kemudian muncul catchword dari Hobbes yang sangat terkenal, yakni homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dan bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua).

Keadaan inilah yang akhirnya memaksa individu-individu itu untuk mengambil tindakan bersama. Mereka mengadakan perjanjian di antara mereka sendiri dan saling memberi janji untuk mendirikan satu lembaga dengan wewenang mutlak untuk menata mereka melalui undang-undang dan untuk memaksa semua agar taat terhadap undang-undang itu. Mereka menyerahkan semua hak alamiahnya kepada lembaga itu, kecuali tentu hak untuk melindungi diri. Hal ini disebabkan hak itulah yang mendasarkan kerelaan mereka untuk tunduk terhadap lembaga itu. Dari perjanjian bersama ini lahirlah negara.

Perjanjian itu tidak diadakan antara individu-individu dengan negara (karena pada waktu mereka mengadakan perjanjian, negara belum ada), tapi antara individu-individu saja. Isi perjanjian itu adalah untuk manciptakan negara. Jadi, negara bukanlah patner dalam perjanjian itu, tetapi hasil buahnya. Hobbes menarik kesimpulan bahwa negara—karena tidak ikut mengadakan perjanjian itu—tidak terikat olehnya dan tidak dapat juga melanggarnya. Artinya, dalam perjanjian itu individu-individu menyerahkan semua hak mereka kepada negara, tetapi negara tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap mereka. Begitu mereka selesai menciptakan negara, negara akan berdiri tegak dengan segala hak, tetapi tanpa kewajiban apa pun.

Negara yang telah terbentuk itu memiliki hak menentukan nilai-nilai moralitas. Negara menentukan baik dan buruknya suatu norma atau sistem nilai. Negara berhak memutuskan sistem perkara yang dipersengketakan. Dalam hal ini negara merupakan hakim tertinggi. Apa yang dianggap nilai-nilai kebenaran haruslah haruslah sesuai dengan apa yang ditentukan negara. Hak atas pemilikan kekayaan dapat di sita negara kapan pun bila negara menghendakinya. Kedekatan pada negara akan berarti kemudahan memperoleh akses atas kekayaan. Pengangkatan jabatan-jabatan strategis, baik dalam birokrasi sipil atau militer sepernuhnya hak prerogative penguasa negara.

Negara juga lembaga politik yang hanya mengenal hak, tapi minus kewajiban. Penguasa diberi hak untuk melakukan apa saja demi kebaikan negara. Dengan alat-alat kekerasan yang dilembagakan, negara berhak memaksa warganya untuk patuh kepada aturan-aturan yang ditetapkannya. Bila menentang, negara dapat menjatuhkan hukuman kepadanya. Penggunaan koersi dan penggunaan ancaman kekerasan dibenarkan dalam menegakkan hukum.

Negara versi Hobbes memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaannya tidak boleh terbelah. Kekuasaan terbelah akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang sipil atau perang agama dalam negara. Dengan logika yang sama, Hobbes juga tidak setuju dengan demokrasi atau sejenis dewan rakyat. Sebab, negara demokrasi menuntut adanya pluralism politik, termasuk dalam arti adanya berbagai pusat-pusat kekuasaan. Kekuasaan negara menjadi tidak solid dan padu. Adanya banyak pusat-pusat kekuasaan dalam negara inilah yang dikhawatirkan Hobbes menjadi cikal bakal terjadinya konflik kekuasaan. Sehingga menurutnya, Monarkhi absolute dengan hanya memiliki seorang penguasa akan bisa tetap konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya. Sedangkan bila negara dikuasai oleh sebuah dewan besar kemungkinan kebijakan negara akan mudah berubah.

Locke

Jika Hobbes berpandangan bahwa negara itu harus diatur oleh seorang penguasa yang kuat dan diperbolehkan menggunakan segala cara untuk menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik, sebab menilai bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat dan tidak baik, maka perlu ada yang mengaturnya dengan cara yang ”keras” pula. Namun Locke yang hidup setelah masa itu berpandangan lain, dia berusaha membawa masyarakat dan negara kepada pemikiran yang lebih baik dengan meninggalkan kesewenang-wewnangan dan cara pemerintahan yang absolut (seperti abad kegelapan). Dia menilai bahwa asal manusia (State of Nature) dan kehidupan itu adalah baik dan tidak seperti yang dikatakan oleh Hobbes.

Sebelum Locke menulis Two Treatises of Government kehidupan politik Inggris dan Perancis Abad XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam konteks sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan jawaban terhadap kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan perang-perang agama yang terjadi pada saat itu. Locke adalah penentang gigih monarki absolut di negaranya, karena bertentangan dengan prinsip civil society yang diyakininya.

Tentang kekuasaan, Locke menilai penguasa bukan berasal dari Tuhan atau diwariskan turun-temurun, melainkan kekuasaan merupakan produk perjanjian sosial antara warga negara dengan penguasa negara sebab manusia dilahirkan dengan kesamaan derajat. Pada kesimpulannya Locke menganggap bahwa kekuasaan absolut adalah antitesis dari kebebasan.

Seperti pemikir sebelumnya termasuk Hobbes, Locke pun membahas eksistensi negara dengan mendasari pada keadaan alamiah manusia (state of nature). Banyak ilmuan lain saat ini juga membandingkan Locke dengan Hobbes sebagai sebuah hubungan yang anti-tesis, sebab konsep negara yang dikemukakan oleh Locke sangat berbeda dengan Leviathannya Hobbes. Menurut Ahmad Suhelmi (2001), asal muasal pemerintahan adalah suatu keadaan alamiah. Keadaan alamiah menurut Locke merujuk pada keadaan di mana manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tidak ada rasa takut dan penuh kesetaraan.

Locke berpendapat bahwa kebebasan individu hanya dapat dijamin dengan suatu pemerintahan yang memiliki kewenangan yang terbatas. Sebelum terbentuknya masyarakat dan pemerintah, secara alamiah manusia berada dalam keadaan yang bebas sama sekali dan berkedudukan sama (perfectly free and equals). Karena bebas dan berkedudukan sama, tiada orang yang bermaksud merugikan kehidupan, kebebasan, dan harta milik orang lain. Manusia bersifat rasional karena dialah satu-satunya makhluk yang memiliki akal budi. Locke percaya akal akan selalu membuat manusia berperilaku rasioanal dan tidak merugikan manusia lain. Ini karena akal budi tidak lain adalah hukum alam yang dikatakan Locke memiliki sifat-sifat ketuhanan atau Locke menyebut akal sebagai “suara tuhan” (reason is the voice of god).

Tidak boleh sesorang atau individu tertentu lebih tinggi dari pada individu yang lain atau dikenal dengan keadaan sub-ordinasi, kecuali keadaan tersebut bagi seorang penguasa dan pemimpin. Artinya tidak dimaknai bahwa keadaan masyarakat itu memungkinkan dan membolehkan manusia untuk berbuat sekehendak hatinya. Nilai-nilai moral yang diajarkan di antaranya bahwa manusia sebagai individu tidak boleh saling membalas yang menghancurkan dirinya dan orang lain, sebab keadaan alami memiliki sebuah hukum alam untuk mengaturnya. Hukum alam menurut Locke bersifat normatif. Hukum ini menyuruh orang bagaimana seharusnya ia bersikap, bukan bagaimana sebenarnya ia bersikap. Sikap yang dikemukakan oleh Locke inilah yang kemudian membuat ia lebih dikenal sebagai Bapak Hak Asasi Manusia (HAM) dunia.

Dalam bukunya “Etika Politik”, Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa Locke dikenal sebagai pelopor HAM, sebab menurutnya hak untuk hidup adalah sesuatu yang terpenting, dan manusia penting pula mempertahankan hidupnya. Dari hak untuk hidup inilah kemudian ia mengembangakan hak atas milik. Dengan demikian, pada dasarnya manusia sudah mengenal hubungan-hubungan sosial, maka mungkin sekali untuk menghindari perpecahan dan hal-hal yang memicu peperangan.

Pemikiran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada “delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah.

Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara didirikan juga untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik tetapi juga kehidupan dan kebebasan. Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah hak-hak yang tidak asing dan negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.

Dari penjelasan di atas, Locke tampak sekali telah melakukan desakralisasi terhadap kekuasaan politik. Ia menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat sekuler. Artinya, kekuasaan bersifat duniawi dan sama sekali tidak berkaitan dengan transendensi ketuhanan atau gereja. Selanjutnya Locke menegaskan bahwa bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan sipil itu, cara apa pun boleh dilakukan oleh negara. Negara diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan bersama. Hobbes dan Locke, keduanya membatasi kekuasaan negara walaupun pembatasan Hobbes tidak efektif. Sebaliknya, Locke mengembangkan konstitusi negara untuk menjamin kekuasaan negara tidak melampaui batas yang wajar.

Konsekuensi Pemikiran Hobbes dan Locke terhadap Isu Toleransi dan Pluralism

Konsekuensi pemikiran Hobbes dan Locke tentang individu berpengaruh pada bagaimana mereka memandang isu toleransi dan pluralism. Berdasarkan penjabaran di atas, asumsi Hobbes dan Locke tentang manusia sangat berbeda. Perbedaan pandangan tersebut juga mempengaruhi cara pandang mereka tentang toleransi agama dan isu pluralism.
Locke misalnya, karena berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah pada dasarnya rasional dan baik, maka ada universal values. Manusia pada dasarnya baik, ketika manusia tidak toleran, itu karena manusia belum tercerahkan saja. Manusia di mana-mana di dunia ini pada dasarnya baik. Sehingga ketika di dunia ini terjadi intoleransi dan lain sebagainya, hal tersebut disebabkan karena mereka belum tercerahkan (enlightenment).

Sehingga kembali lagi pada based assumption keduanya tentang manusia. Seperti Locke, pada dasarnya manusia adalah baik, ada universal value (nilai-nilai universal) yang kita bisa secara serempak kita percaya dan kita sepakati, karena kita pada dasarnya manusia itu baik dan rasional seperti perdamaian (peace) dan keadilan (justice). Jadi peace dan justice misalnya sangat kontekstual. Peace dan justice di suatu tempat atau negara berbeda, seperti di Israel dan Palestina. Meskipun sama-sama peace dan justice (dua ‘universal values’), namun dalam kondisi dan konteks yang berbeda akan menimbulkan konflik, satu dan yang lain tidak bisa dipertukarkan.

Selain itu juga pemaknaan manusia universal (universal human) sendiri tidak ada, hanya ada di angan-angan kaum liberal saja. Seperti Hobbes (proto liberal) yang mengasumsikan tidak adanya universal human. Yang ada adalah kehidupan bersama walaupun berbeda atau beragam budaya, suku, maupun agama. Sehingga menurut Hobbesian, local identity tidak bertentangan dengan national identity. Dalam konteks Indonesia, menurut Malik Gismar, Indonesia bukanlah nation state, Indonesia sangat beragam maka harus dikelola dengan baik. Sehingga pancasila seharusnya tidak hanya mudah disebutkan, tetapi juga harus dipraktikkan.

Apa yang diasumsikan Hobbes tentang universal human tersebut adalah apa yang tidak ditoleransi oleh Locke. Kebebasan menurut Locke adalah nilai berharga, sehingga menurut pemikiran ini eksistensi kehidupan manusia akan lenyap seiring lenyapnya kebabasan dari diri manusia. Salah satu bentuk kebebasan yang harus dihargai menurut Locke adalah kebabasan menganut agama dan keyakinan dalam civil society. Dalam konteks inilah terletak relevansi pembahasan gagasan toleransi agama dalam pemikiran Locke.

Gagasan Locke mengenai toleransi agama sejalan dengan pandangannya tentang perjanjian masyarakat dan wewenang kekuasaan negara. Yaitu, bahwa negara tidak memiliki hak mencampuri persoalan keyakinan individual atau kehidupan beragama seseorang. Agama merupakan keyakinan subjektif individu dan hanya individu bersangkutan yang berhak mendefinisikan benar tidaknya keyakinan yang dianutnya. Masalah agama menurut Locke adalah masalah keyakinan pribadi yang tidak ada otoritas mana pun berhak menggugat kebenarannya. Campur tangan negara terhadap persoalan keberagaman individu bertentangan dengan hak-hak manusia yang paling dasar dan melanggar asas kebebasan berkeyakinan.

Lalu, haruskah pemerintah memiliki seluruh kekuasaan sebagaimana dipersaratkan oleh Hobbes dalam rangka menjamin keamanan? Dapatkah keamanan (security) dipastikan/dijamin dengan cara lain?

Dalam kondisi tertentu, kekuasaan seperti yang dipersyaratkan Hobbes sangat penting. Dalam konteks Indonesia misalnya dalam situasi di mana sejumlah golongan terus berkonflik, serta aksi kekerasan terjadi secara terus menerus dalam beragam bentuk, maka negara harus memonopoli kekerasan. Karena dengan memonopoli kekerasan, menurut Hobbes ini akan menjadi syarat pertama agar negara aman. Di mana negara harus memonopoli penggunaan kekuasaan dan ancaman, seperti terjadinya premanisme dan sejumlah aksi kekerasan yang dipimpin oleh kelompok tertentu karena persoalan beda keyakinan dan lain sebagainya. Karena ketika aksi kekerasan apapun bentuknya masih terjadi di mana-maa, maka berarti bahwa kekuasaan tidak dimonopoli negara.

Selain itu, tentunya jika warga menyerahkan haknya dan negara memonopoli kekerasan, maka negara harus memberi jaminan. Dan ini yang menjadi kekhawatiran dari penerapan konsep kekuasan Hobbes, dikhawatirkan negara tidak memberikan jaminan. Setelah Leviathan menerima dan individu menyerahkan haknya untuk mempertahankan negara, apa obligasi negara, melalui hukum yang dibangun dan sebagainya, negara harus menjamin interaksi sosial itu terjadi, economic affair, negara punya obligasi dan jaminan-jaminan lainnya, bukan sekadar menangkap hak, tetapi juga penyerahan hak itu harus disertai dengan jaminan hak.

Hal-hal yang dikhawatirkan atau penyimpangan dari kekuasaan yang dikonsepkan Hobbes adalah seperti yang terjadi dalam konteks Indonesia pada rezim Suharto, di mana obligasi negara banyak tidak dipenuhi. Sedangkan dalam konsep Hobbes, menuntut obligasi besar oleh negara. Sehingga dalam hal ini, tentunya Leviathan dan the ruler-nya tidak bisa terpisah. Antara konsep Leviathan itu dan the ruler-nya itu satu, berarti kalau ada penguasa tidak memahami bahwa Leviathan sebagai penjaga keamanan, maka si penguasanya tidak masuk dalam kategori si peguasa ini, tapi justru dia terintegrasikan.

Selain itu, konsep Leviathan juga memiliki kekuatan memaksa. Apakah yang memaksa itu presiden atau kah gabungan Presiden dan DPR. Maka gabungan negara bukan secara keseluruhan oleh Presiden tapi juga ada di dalamnya DPR, Jaksa Agung, dan sejumlah state apparatus (dalam konsep Montequi) untuk menertibkan negara. Kemudian Civil society, dalam konteks jamannya Thomas Hobbes berada di bawah gereja, yang waktu itu justeru gereja dan negara bukan seseuatu yang terpisah. Jaman itu civil society bagian dari negara, lewat gereja. Leviathan, tidak termasuk dengan gereja. Maka diisyaratkan saja, orangnya harus Leviathan.

Kekhawatiran dari konsep kekuasaan Hobbes juga jika menyerahkan total ke negara, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kepemimpinan dictator, contohnya semua keputusan ada di negara, seharusnya kekuasaan itu diserahkan ke rakyat melalui perwakilannya di DPR, maka wajar kalau DPR seharusnya meminta hak interpelasi kenapa pemerintah menurunkan TNI hanya untuk menghalau massa demo rencana kenaikan BBM. Hal ini karena rakyat tidak diberi kesempatan. Kasus BBM, dikhawatirkan seperti itu jika semuaya diserahkan kepada negara. Dikhawatirkan memberangus hak-hak warga sipil. Meskipun awalnya mau melindungi sipil, namun kecenderungannya malah mengekang hak-haknya.

Karena kekhawatiran kemungkinan munculnya negara totaliter, maka cara lain adalah dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Seperti menurut Locke, kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini menurut Locke dilakukan dengan memisahkan politik ke dalam tiga bentuk: kekuasaan eksekutif (excecutive power), kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan federasi (federative power). Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang sedangkan kekuasaan legislative merupakan lembaga perumus undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental negara lainnya. Menurut Locke kekuasaan legislative adalah manifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara. Kekuasaan ini dijalankan oleh parlemen yang merupakan pengejawantahan atau bentuk representasi semua kelas sosial masyarakat baik kaum bangsawan, orang-orang kaya maupun representasi semua kelas sosial itu, yaitu House of Commons dan House of Lord. Kekuatan suara di parlemen itu menurut Locke ditentukan oleh prinsip mayoritas.

Sehingga dalam konteks menjamin keamanan, cara lainnya adalah dengan penegakan hukum yang seadil-adilnya. Kalau memang terbukti melakukan tindak kriminal, maka harus dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Jadi cara lainnya adalah penegakan hukum, di mana hukum berupa undang-undang dan sejumlah kebijakan lainnya, berdasarkan inisiasi dari kekuatan suara di parlemen itu menurut Locke ditentukan oleh prinsip mayoritas. Tetapi kelemahannya dalam praktiknya adalah suara minoritas dalam kasus tertentu seringkali terabaikan. Contohnya seperti maraknya peraturan daerah (Perda) yang diskriminatif gender, meskipun disahkan berdasarkan kesepakatan suara di parlemen, namun suara parlemen itu sendiri tidak seimbang antara suara laki-laki parlemen dan perempuan di parlemen. Pada umumnya suara laki-laki lebih mendominasi, apalagi laki-laki di parlemen sendiri tidak memiliki perspektif gender. Sehingga dengan mudah mengesahkan Perda yang diskriminatif gender yang akan berdampak pada misalnya pengekangan terhadap perempuan, fitnah terhadap perempuan, serta aksi masa dalam kondisi tertentu karena pengaruh penerapan Perda yang tidak sensitive gender.