Kamis, 26 Juli 2012

"obrog-obrog", tradisi membangunkan sahur

Bulan puasa tahun ini adalah bulan puasa di mana aku bisa menikmati suasana puasa seperti dulu ketika masa kanak-kanak. Menjelang buka puasa akan diramaikan dengan "obrog-obrog" seperti biasa. Paginya, "obrog-obrog" juga akan membangunkan sahurku. Kenapa aku mengatakan ini, karena selama hampir lima tahun lebih, bulan puasa pertamaku selalu ada di luar daerah kelahiranku. Dan yang tidak pernah kutemukan di daerah sekitar Jawa Barat tersebut adalah tradisi "obrog-obrog" salah satunya seperti yang kutemukan di Cirebon. Hari ini saja, sudah ada sekitar tiga grup "obrog-obrog" yang lewat di depan rumahku. Sore hari menjelang buka puasa, para grup "obrog-obrog" tersebut juga kembali menghibur warga di desa. Biasanya, saat menjelang puasa, grup bisa lebih banyak dan lebih meriah dari pada menjelang sahur.

Saat itulah aku baru sadar bahwa "obrog-obrog" belum tentu ada di semua daerah, apalagi di perkotaan. Ternyata, menurut sejumlah artikel yang saya baca, "obrog-obrog" ini juga merupakan bagian dari tradisi di Kabupaten Cirebon. Seperti keterangan dari artikel wong dewek "obrog-obrog" memang merupakan tradisi khas di Kabupaten Cirebon.
Lazimnya pada bulan Ramadhan, orang membangunkan sahur dengan cara berteriak atau memukul beduk keliling kampung. Tapi berbeda dengan wilayah pantai utara, Indramayu, Cirebon & Brebes. Di daerah pantura ini bukan saja terkena dengan beragam kekayaan laut yang melimpah, tetapi juga beragam tradisi unik ada di sana. Di sana, menjelang sahur akan ramai dengan suara nyanyian yang diiringi musik oleh suatu rombongan yang berkeliling. Bulan Ramadhan kota Indramayu dan Cirebon semarak dengan hingar-bingar musik dari kesenian obrog. Warga di daerah pantai utara (pantura) ini “dibangunkan” dari tidurnya untuk melaksanakan sahur dengan bunyi musik yang khas.

Fenomena obrog, sebagai sebuah seni tradisi sangat menarik untuk ditelisik, khususnya pada perubahan media (alat musik), bentuk, dan pergeseran fungsinya. Apa itu obrog? Nama obrog berasal dari bunyi alat musik yang sering dipakai, semacam kendang. Tidak diketahui dengan pasti kapan kesenian ini tercipta. Obrog merupakan kesenian yang banyak ditemui selama bulan Ramadhan. Selama sebulan penuh, rombongan musik obrog berkeliling dari desa ke desa guna membangunkan warga untuk segera begegas makan sahur. Mereka menyusuri desa-desa dengan memainkan alat-alat musik dan bernyanyi pagi-pagi buta. Biasanya beraksi mulai pukul 2 atau 3 dini hari.

Alat-alat musik yang dimainkan oleh rombongan obrog, dahulu berupa alat-alat musik tradisional. Sekarang rombongan obrog bermain dengan menggunakan alat musik modern. Mulai dari gitar elektrik, bass, organ, tamborin, dilengkapi dengan sound system yang didorong di atas roda. Ada juga rombongan obrog yang menyediakan panggung mini yang didorong di atas roda. Para biduannya juga banyak yang membawakan lagu-lagu dangdut kontemporer. Mirip sebuah grup organ tunggal. Pada tahun 1985-an, obrog banyak dimainkan oleh grup dangdut kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap.
Teknologi karaoke yang marak pada 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog. Beberapa tahun belakangan obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal. Pada saat bulan puasa tiba, grup obrog menjamur di sekitar wilayah pantura. Satu grup obrog biasanya masih terikat hubungan kerabat. Dahulu para pelakunya melulu kaum laki-laki. Ini disebabkan karena kaum perempuan dianggap tabu untuk keluar malam oleh masyarakat. Namun sekarang rombongan obrog banyak menyertakan perempuan di dalamnya, terutama yang bertindak sebagai seorang biduan.

Dinamika "Obrog-Obrog"
Sebagai tradisi khas bulan Ramadhan, makna kesenian obrog di Cirebon dan Indramayu telah bergeser. Ini adalah salah satu ciri kesenian daerah pantai utara yang dihidupi oleh pendukungnya, yaitu rakyat kebanyakan. Obrog adalah tradisi warga Indramayu dan Cirebon membangunkan orang untuk sahur. Inti dari kesenian ini adalah membuat bebunyian keras pada dini hari sambil berjalan berkeliling permukiman. Uniknya, saat Lebaran masyarakat akan memberi uang, beras, atau makanan sebagai tanda terima kasih telah dibangunkan sahur selama bulan puasa.

Menurut Rektor Universitas Wiralodra Ir Tohidin MP, selain fungsi religius, obrog juga menjadi media komunikasi sosial masyarakat. Di sini, kita melihat hubungan timbal balik antara pemberi dan penerima manfaat. Pengamat kebudayaan Indramayu, Supali Kasim, mengatakan, ada beberapa tradisi membangunkan warga untuk sahur di pantai utara (pantura). Misalnya, kempling, yakni membangunkan warga secara berkeliling menggunakan gamelan lengkap. Karena tidak praktis, budaya ini kalah populer dengan obrog yang alat musiknya bisa dijinjing dengan mudah.

Kata "obrog" berasal dari bebunyian yang dihasilkan alat musik semacam kendang. Sebagai tradisi masyarakat, sulit ditelusuri kapan tradisi ini berawal. Kesenian ini berkembang ketika masyarakat wilayah pantura sadar bahwa kesenian merupakan hiburan massa.



Menghibur Mereka yang Berpuasa, tapi Tidak Berpuasa

Saat ini yang lazim disebut obrog adalah permainan organ tunggal dengan biduan wanita menyanyikan lagu-lagu dangdut populer. Namun, hal itu berbeda dengan obrog pada masa lalu. Karena merupakan kesenian rakyat, obrog tidak sakral dan bisa berubah sesuai dengan pergeseran selera masyarakat. Menurut Supali, obrog mengalami perubahan dari waktu ke waktu tergantung tren yang sedang berlaku pada masa itu. Obrog zaman dahulu hanya menggunakan alat musik tradisional. Pelakunya hanya laki-laki karena perempuan dianggap tidak pantas keluar malam. Berbeda dengan sekaranng, perempuan seakan wajib ada sebagai penyanyi, sedangkan para lelaki memainkan musik. Hal ini berlaku tidak hanya pada saat membangunkan sahur, tetapi juga pada sore hari saat menjelang buka puasa.

Pada tahun 1985-an, obrog banyak dimainkan oleh grup dangdut kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap. Teknologi karaoke yang marak pada 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog. Beberapa tahun belakangan obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal. Selain pergeseran bentuk, Supali melihat pergeseran orientasi. Dahulu, bermain obrog kental dengan tujuan religius. Atau, kalaupun tidak, bermain obrog didorong unsur kesenangan termain musik.

Bahkan, banyak grup organ tunggal sudah memulai permainannya pukul 22.00. Tentu saja masih terlalu dini untuk membangunkan orang sahur. Sebab itu, ada pihak yang sebenarnya kurang setuju dengan bentuk obrog yang sekarang. Meski demikian, sejauh ini obrog organ tunggal tetap populer. Pihak yang kurang berkenan juga tidak pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan aksi anarkis.

Sekarang, tradisi obrog tak bisa lepas dari tujuan ekonomi untuk memperoleh pendapatan. Ini nyata terlihat dari adanya saweran dan pembayaran uang untuk permintaan lagu. Saya pribadi dalam beberapa tahun terakhir, merasakan bagaimana perubahan tradisi ini merupakan sebuah ironi di bulan Ramadhan. Karena tujuan ekonomi untuk memperoleh pendapatan tersebut, malah mendorong para 'artis' "obrog-obrog" tersebut menghalalkan segala cara.

Di antara mereka tidak jarang tanpa malu-malu membatalkan puasanya dengan meminum air pada saat ngobrog. Selain itu, persaingan ketat antara grup "obrog-obrog" satu desa dengan desa yang lain terkadang membuat mereka saling menghasut dan menjatuhkan. Hal lain yang menurut saya sangat tidak pantas adalah ketika meminta uang di tiap-tiap rumah, mereka memanfaatkan anak kecil yang terkadang ikut-ikutan tidak puasa. Selebihnya, kemunculan grup "obrog-obrog" yang semakin banyak, membuat warga harus mengeluarkan uang lebih banyak ketika mereka datang untuk meminta-minta uang dari rumah ke rumah.

Kamis, 05 Juli 2012

perceraian meningkat, jangan salahkan UUPKDRT

Kemarin saya baru membaca berita bahwa agka perceraian di kabupaten Cirebon semakin tinggi. Saya membacanya dari media online suarajabar. Hanya saja, ada yang membuat saya tidak nyaman ketika membacanya, yaitu kalimat “angka perceraian di kabupaten Cirebon diprediksi akan naik seratus persen”. Dalam benak saya, kok seenaknya memprediksi perceraian seperti memprediksi penjualan. Tapi saya akui informasi ini penting, setelah teridentifikasi penyebabnya, tentunya ada gambaran bagaimana agar segera dicarikan solusinya. Jika bukan dari pemerintah, setidaknya individu yang membacanya.

Data tersebut berasal dari Pengadilan Agama Sumber kelas 1, yang mencatat sebanyak 6156 kasus perceraian yang diterima selama setahun. kasus itu terdiri dari kasus cerai gugat, cerai talak, izin poligami, dan isbat nikah. Penyebab dari kasus perceraian tersebut ada beberapa faktor. di antaranya karena krisis akhlak, cemburu dan piligami tidak sehat, itu yang termasuk dalam penyebab perceraian dari faktor moral. Sedangkan dari faktor lainnya adalah karena meninggalkan kewajiban yang indikatornya karena kawin paksa, ekonomi dan tidak ada tanggung jawab. Dari penyebab perceraian karena poligami tidak sehat terdaapat 15 kasus, krisis akhlak 33 dan karena cemburu sebanyak 72 kasus. Adapun karena faktor ekonomi menjadi dominan dengan jumlah 1563 kasus dan tidak bertanggung jawab sebanyak 1351.

Saat saya memberi komentar bahwa jika memungkinkan bisa diliput bagaimana nasib perempuanya, seorang komentator lainnya (sepertinya reporternya) mengatakan bahwa perempuan yang lebih banyak menceraikan. Dia juga mengatakan bahwa menurut pihak pengadilan agama, itu disebabkan faktor HAM dan UU PKDRT. Lalu dia bertanya balik kepada saya, apakah ini faktor negatif atau positif? lalu saya menjawab, untuk menjawabnya bukan soal melamparkan atau menunjuk penyebab persoalan tersebut apakah karena faktor HAM atau lainnya, ini kasuistik.

Perempuan Semakin Memahami Haknya

Pada tahun 2009, Komnas Perempuan mendata adanya kekerasan terhadap perempuan yaitu mencapai 143.586 kasus atau naik 263% dari jumlah kekerasan terhadap perempuan tahun lalu sebanyak 54.425 kasus. Peningkatan kesadaran korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya menjadi sebuah catatan penting. Diperkirakan kenaikan tingkat kesadaran korban melaporkan kasusnya dikarenakan mereka sudah mulai memahami hak-haknya, terutama hak atas keadilan. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang telah disosialisasikan secara massif juga dinilai menjadi faktor pendukung terbangunnya pemahaman masyarakat atas hak-hak perempuan untuk memperoleh keadilan dari tindak kekerasan.

Publik lebih peka terhadap kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan bisa menerima (tidak ragu lagi) ketika ada perempuan mengadukan tentang kekerasan yang dialaminya. Lahirnya UU PKDRT yang merupakan salah satu manifestasi perlindungan hukum yang tegas oleh negara terhadap korban kekerasan. Tujuan UU PKDRT adalah untuk melindungi korban kekerasan khususnya perempuan ternyata dianggap oleh sebagian pihak memberikan peluang besar bagi terjadinya perceraian.

Angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan hanya merupakan puncak gunung es, masih banyak korban yang diam atau menutup mulut karena penanganan korban, baik dari aspek hukum, sosial maupun kebijakan institusi belumlah terbangun dengan baik, jauhnya penyelesaian kasus dari keadilan. Lebih spesifik lagi adalah data perkara KDRT yang pernah masuk di Pengadilan Agama di Kabupaten Cirebon.

Hal ini menunjukkan bahwa korban yang melaporkan/berani melaporkan perkara ke pihak berwajib adalah mereka yang mengalami kekerasan dalam kurun waktu cukup lama. Hampir tidak ditemukan, istri yang melapor karena baru sekali mengalami perlakuan kekerasan.
Bahkan berdasarkan pengalaman di lembaga saya, fahmina-institute, ketika mendampingi perempuan korban KDRT yang meminta cerai dari suaminya, terpidana kasus KDRT cenderung mengungkapkan penyesalan mendalam dan menyatakan keinginan mempertahankan rumah tangganya. Namun, korban KDRT menolak karena sudah tidak dapat lagi menahan penderitaan psikis dan fisik yang dialaminya. Jadi, tidak cukup alasan fakta yang mengungkapkan perceraian ditempuh karena perasaan dendam akibat dilaporkan oleh pasangannya. Dengan demikian, tidak bisa mengatakan bahwa munculnya UU PKDRT sebagai penyebab perceraian. Perceraian bukanlah akibat dari adanya UU PKDRT namun, salah satunya karena kekerasan itu sendiri.

Rabu, 04 Juli 2012

buktikan, siapa lebih peduli perempuan!

“Marzuki Ali bilang : menteri Pemberdayaan perempuan lebih baik dijabat lelaki karena lelaki lebih peduli pada perempuan. Ooooo kalau begitu semua jabatan harus diberikan kepada perempuan. Soal peduli ayo tanding sama kami!!! lu nyuci kolor aja kagak becus, pake bilang siapa lebih peduli , ngaca luh!!!!”
Judul artikel saya kali ini terinspirasi oleh lontaran salah satu aktifis perempuan, Lies Marcoes Natsir. Saya juga secara langsung meminta izin beliau untuk mengutipnya di artikel ini. Paragraf pertama tulisan ini merupakan lontaran asli dari status facebooknya kemarin malam. Merasa menjadi bagian dari perjuangan perempuan, tentu saja saya turut kecewa dengan pernyataan Marzuki Alie dan memahami mengapa seorang mba Lies sampai melontarkan kalimat seperti itu pada status facebooknya.

Hampir semua dari kita tentu faham bagaimana Marzuki Alie sering melontarkan pernyataan-pernyataan yang kurang bijak, bahkan sejumlah pakar komunikasi politik menilainya terlalu polos dan tidak cerdas untuk ukuran Ketua DPR RI. Kali ini, dia lagi-lagi harus berhadapan dengan publik karena melontarkan pernyataan kontroversial.

Pernyataannya lagi-lagi kurang bijak. Seperti pernyataannya tentang Menteri Pemberdayaan Perempuan, salah satunya dikutip Kompas.com pada Senin (2/7/2012). Marzuki Alie mengusulkan agar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diisi oleh laki-laki. Usulan itu disampaikan Marzuki dalam seminar “Peran Anggota Parlemen Laki-Laki dalam Pencapaian Kesetaraan Gender” di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Tentu saja, di tengah upaya memperjuangkan kuota 30% perempuan, pernyataan Marzuki Alie sangat kurang bijak dan terkesan pragmatis. Belum lagi persoalan maraknya peraturan daerah (Perda) yang cenderung mendiskriminasikan perempuan, serta Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang terus mendapat resistensi dari kelompok-kelompok tertentu, persoalan keterwakilan perempuan di parlemen, dan sejumlah persoalan perempuan lainnya. Bayangkan jika keterwakilan perempuan yang ada kemudian diganti oleh laki-laki, keterlibatan perempuan di dunia politik yang memang masih minim, bisa jadi semakin minim.

Lalu membaca status mba Lies, demikian saya menyapanya, perasaan saya merasa terwakili dengan apa yang ditulisnya melalui akun facebooknya. Mba Lies, ia adalah salah seorang penggerak feminisme Islam pertama di Indonesia.  Pada tahun 1992, mba Lies melakukan workshop pertama tentang Islam dan gender di Indonesia dan mbak Lies kini menjadi salah satu trainer di Indonesia yang menguasai metode pendidikan orang dewasa berperspektif gender. Ia pernah bergabung dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Jakarta untuk mengembangkan program penguatan hak reproduksi perempuan dan program Fiqh an-Nisa’ sebagai cikal bakal pengembangan isu gender dan Islam di Indonesia. Mbak Lies juga aktif menulis didasarkan pada penelitiannya. Pada tahun 1999-2000, mbak Lies mendapatkan MA dalam bidang antropologi kesehatan dari University of Amsterdam. Hasil penelitiannya telah dipublikasikan, baik dalam jurnal nasional maupun internasional. Selain itu, mba Lies juga masih menjadi Dewan Kebijakan LSM Fahmina-Institute. Ah, tidak ada habisnya jika harus menyebutkan bagaimana bukti-bukti perjuanagnnya untuk perempuan Indonesia.

Sementara Marzuki Alie, sebagai public figure dan wakil rakyat, seharusnya bersikap bijak, bukan justru menimbulkan kehebohan. Namun sejak menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dia terlalu sering mengeluarkan pendapat atau tanggapan yang tak jarang mengundang sebagian orang terheran-heran, bahkan dibuat jengah. Termasuk pernyataan Marzuki tentang kasus yang mrenimpa tenaga kerja wanita di luar negeri, dia tak berpihak malah berkomentar sinis, “PRT TKW itu membuat citra buruk. Sebaiknya tidak kita kirim karena memalukan.”

Pernyataannya ini sontak mendapat kecaman Indonesian Migrant Workers Union (IMWU- Serikat TKI Pekerja Rumah Tangga di Hong Kong). Ketua IMWU, Sringatin menilai pernyataan Marzuki itu menunjukkan tingkat pengetahuan dan etika dari seorang Ketua DPR. “Penyataan yang ‘asal jeplak’ ini telah menyakiti perasaan enam juta lebih buruh migran Indonesia di berbagai negeri penempatan dan anggota keluarganya, secara khusus 147 ribu BMI di Hong Kong yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga asing,” demikian Sringatin seperti dikutip hukumonline, Sabtu (26/2).

Memang benar, penilaian Marzuki Alie, justru bukan mencerminkan rendahnya skill para PRT asal Indonesia, melainkan cerminan dari bobroknya sistem penempatan buruh migran Indonesia (BMI). UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN) disebut hanya produk hukum yang berorientasi pada “jualan manusia”.

Sebelumnya, seperti diberitakan media, Marzuki Alie juga mengeluarkan pernyataan pribadi meminta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menghentikan pengiriman tenaga kerja wanita pekerja rumah tangga ke negara lain. Dia berpendapat, TKW PRT ini mencoreng citra Indonesia di luar negeri. Pendapat dia itu dilontarkan setelah bertemu Presiden Suriah beberapa waktu lalu. Salah satu yang dibicarakan adalah perilaku dan kinerja TKW PRT yang dianggap tak profesional. Misalnya tak bisa membedakan cairan setrika dan menggoda anak majikan. Akhirnya Marzuki mewajarkan ketika sang majikan marah dan menempelkan setrika di tubuh PRT.

Atau memang benar dia terlalu polos, tidak faham sejarah bagaimana Negara Indonesia yang meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik Perempuan pada masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto di tahun 1968. CEDAW diratifikasi pada tahun 1984. Pemerintah Habibie kemudian meratifikasi Protokol Opsi yang merupakan bagian dari Konvensi Perempuan. Lalu belakangan kita kembali diramaikan dengan perdebatan isu peningkatan jumlah perempuan di panggung politik, seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut terjadi tepatnya setelah pemerintah Indonesia mengambil beberapa langkah yang ditujukan untuk menyempurnakan kebijakan terkait persoalan jender. Salah satu yang utama adalah masalah gender mainstreaming, yang merupakan sebuah strategi penting yang termuat dalam Platform Aksi Beijing (Bejing Platform for Action). Keppres Nomor 9/2000 berisi arahan kepada semua sektor pemerintahan Indonesia untuk menerapkan konsep gender mainstreaming ini.

Tahun berlanjut, perdebatan tentang representasi dan partisipasi politik perempuan semakin meningkat dan mendominasi agenda politik, berkat gigihnya organsisasi-organisasi dan para aktivis masyarakat madani yang vokal menyuarakan isu ini. Salah satu isu terpentingnya adalah penerapan kuota 30 persen bagi perempuan dalam proses pemilu. Perdebatan yang terus berlanjut dan terkadang menimbulkan kontroversi seputargender dan demokrasi itu diakibatkan oleh tiga faktor dari masa lalu Indonesia. Faktor pertama adalah kenyataan historis dan berkelanjutan tentang rendahnya representasi perempuan Indonesia di semua tingkat pengambilan keputusan.

Apalagi berkaca dari hasil pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009, untuk mencapai angka kritis 30% keterwakilan perempuan sebagaimana diamanatkan Undang-undang, ternyata dalam tataran implikasinya masih sangat sulit diwujudkan. Pengalaman empirik menunjukkan bahwa perjuangan menuju ke arah itu memerlukan energi luar biasa, berupa pengawalan dan dukungan tak kenal lelah dari banyak pihak. Khususnya, gerakan perempuan serta berbagai aliansi dan koalisi masyarakat sipil perlu secara bersama-sama mengupayakan penguatan jaminan keterwakilan perempuan dalam UU Pemilihan Umum (Pemilu).

Sayangnya sampai saat ini yang terjadi, jumlah kandidat ideal keterwakilan perempuan Indonesia dalam lembaga perwakilan tidak mencapai rasio yang sama dengan jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan. Hal ini didasari pemikiran bahwa peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mampu melindungi perempuan, tidak dapat dilepaskan dari kehadiran atau representasi yang mampu melindungi perempuan dalam lembaga penentu dan pengambil kebijakan, baik di pusat maupun daerah. Seperti keterangan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dalam rilisnya, terkait keterwakilan perempuan dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pada Rabu (8/2). Ternyata bahwa keterwakilan perempuan di parlemen hanya 18% saja, atau 203 dari 560 orang anggota DPR, sementara berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik, jumlah perempuan Indonesia adalah sebesar 118.010.413 jiwa atau sekitar 49% dari total jumlah penduduk.

Kebijakan afirmatif untuk perempuan merupakan sebuah interaksi atas perlunya partisipasi politik yang luas dari seluruh kelompok masyarakat dalam pengambilan keputusan politik dengan institusi politik formal, yang juga berproses secara internal pasca otoritas yang panjang. Maka dari itu, kebijakan afirmatif perempuan dalam politik haruslah dilihat sebagai wilayah “proses bersama”. Proses tersebut penting baik bagi perempuan sebagai warga negara, gerakan/organisasi perempuan sebagai motor penggerak kemajuan perempuan, partai politik sebagai institusi rekrutmen dan seleksi penyelenggara Negara, maupun bagi rakyat sebagai pemangku kepentingan utama dari berbagai proses politik beserta.

:::
saya batasi sampai di sini, meskipun tak akan pernah puas dan butuh lebih banyak dan lebih sering lagi mengingatkan mereka yang lupa atau memang tidak memahami.

Senin, 02 Juli 2012

maraknya Perda diskriminatif

Beberapa hari lalu saya berdiskusi dengan salah satu dosen saya di Paramadina Graduate School (PGS) Jakarta. Awalnya kami hanya mengobrol tentang pemberitaan media yang bervisi misi Islam namun isinya hanya memicu sikap intoleransi di negeri ini. Sampai pada pembicaraan tentang pengalamannya meneliti sejumlah peraturan daerah (Perda) Syari’ah diskriminatif terhadap golongan tertentu, terutama pada perempuan. Salah satu kalimatnya yang saya ingat adalah, Perda-Perda itu sebagian besar kopi paste terhadap Perda dari satu daerah untuk daerah lainnya. Bahkan bisa dikatakan sekadar proyek, dan lucunya mereka yang membuat Perda tersebut sadar bahwa Perda itu tidak akan terimplementasikan. Ini sungguh ironi di tengah rakyat Indonesia yang masih jauh dari sejahtera, di mana dana-dana proyek itu terbuang percuma untuk kepentingan sekelompok orang. Lalu obrolan kami pun melebar pada Raperda itu. Beberapa bulan lalu saya juga sempat berbagi informasi tentang ini diwebsite kppri tentang ini.

Mungkin kita masih ingat membaca berita atau setidaknya mendengar tentang peristiwa meninggalnya Lilis Lisdawati pada tahun 2008. Ia adalah korban salah tangkap berlatar belakang Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005 di Kota Tangerang. Saat itu media setempat cukup ramai memberitakan ini, salah satunya seperti diberitakan Suara Warga (Edisi 007/011), Lilis Lisdawati adalah karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan. Suaminya Kustoyo, adalah guru SD. Tanggal 27 Februari 2006, Lilis ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di daerah Tangerang. Ia dituduh telah melanggar Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Aturan Perda tersebut memang multitafsir sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menyebabkan salah tangkap. Pasal 4 ayat 1 misalnya, menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah.”

Petugas lalu bisa menangkap seseorang, terutama perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah pelacur (PSK). Meski telah menyampaikan bahwa ia bukan PSK, Lilis tetap ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8 hari penjara dan denda Rp 300 Ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4 hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda tersebut.

Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan Lilis semakin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda tersebut. Alasannya, Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk merehabilitasi nama baik Lilis. Lilis mengalami keguguran pasca peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar dari pekerjaan karena tertekan dengan tudingan beristrikan pekerja seks. Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008 dalam kondisi depresi.

Tangerang adalah satu dari 38 daerah yang memiliki perda tentang pelacuran yang mengkriminalisasi perempuan. Tidak satupun peraturan daerah serupa ini yang dibatalkan. Bahkan, Mahkamah Agung juga kembali menolak permohonan judicial review untuk Perda serupa dari Bantul. Kali ini dengan alasan bahwa permohonan diajukan melewati batas waktu yang diperbolehkan, yaitu 180 hari sejak Perda itu ditetapkan. Dari depresi Lilis hingga meninggal dunia, setidaknya jelas bagi kita bahwa ini efek dari penahanan-nya atau efek dari berbagai masalah (sosial, hukum, ekonomi) yang juga turut di-blow-up media. Selain Lilis, ada sejumlah korban salah tangkap petugas ketentraman dan ketertiban (Tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang juga dicurigai sebagai pelacur.

Selain korban salah tangkap Perda Tangerang, yang juga cukup ramai diberitakan adalah kasus penggundulan di Aceh oleh polisi Syariah. Meskipun pada akhirnya Qanun Jinayat yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2009, harus segera dibatalkan untuk kemudian dilakukan revisi dan dilengkapi sesuai dengan kaidah hukum Islam kaffah atas desakan Ulama se-Aceh. Menurut mereka, dalam sejumlah pemberitaan, Qanun tersebut masih mengabaikan hal-hal prinsipil dalam Hukum Islam. Ulama Aceh juga mengimbau semua pihak baik Gubernur, politisi, DPRA, Ulama dan komponen masyarakat agar turut berpartisipasi member masukan kepada ulama. Hal tersebut terkait polemik yang terjadi terhadap pengesahan Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang disahkan pada pertengahan September 2009.

Berpotensi Merugikan Perempuan

Tahun 1998 awal mulai terjadi dinamika politik hukum Indonesia, yang ikut membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum Islam yang merupakan bagian dari hukum nasional turut mengalami perubahan, tidak terkecuali sektor hukum pidana (jinayat) yang sebelumnya penuh dengan ketidakmenentuan. Dinamika hukum, terutama sekali, ditandai peralihan sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem otonomi. Sistem ini tertuang di dalam UU No. 32 Tahun 2004. Provinsi Aceh yang mayoritas muslim dan memiliki pengalaman di bidang hukum Islam Qanun dan memberlakukannya di dalam sosio-yuridis masyarakat. Masa dinamika ini kerap dikenal era reformasi. Bagi Aceh, era ini menjadi awal penyelesainan konflik selama 30 tahunan secara beradab, melalui jalur perundang-undangan.

Lalu tahun 2000-an mulai marak kemunculan Perda-perda diskriminatif, bahkan dalam beberapa tahun terakhir sejumlah hasil penelitian mengungkap Perda-perda diskriminatif di Indonesia semakin meningkat. Dimulai dari munculnya sejumlah pemberitaan tentang deretan persoalan dalam menyikapi proses eksekusi atas seorang terpidana, mulai dari gugatan atas konsistensi perundang-undangan yang dianggap merendahkan martabat, tidak manusiawi, tidak efektif dan lan sebagainya. Termasuk awal tahun 2012 ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis data tentang maraknya berbagai kebijakan diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan Jender, berupa kebijakan di tingkat nasional maupun kebijakan lokal.

Dalam kajian perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pronografi, yang justru menghalangi perempuan untuk dapat menikmati hak asasinya secara utuh khsususnya hak atas kepastian hukum dan atas kebebasan berekspresi. Komnas Perempuan mencatat hingga bulan Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebanyak 78 dari 207 kebijakan tersebut secara khusus menyasar pada perempuan, lewat pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan.

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, melihat proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya.

Pentingnya Peningkatan Keterwakilan Perempuan

Di sisi lain, dalam dunia politik sendiri, perempuan adalah bagian dari warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi. Termasuk jumlah perempuan yang duduk di DPR-RI hasil 10 kali Pemilihan Umum yang tidak pernah mencapai angka kritis 30% adalah buktinya. Padahal, minimnya keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan secara lagsung akan menyebabkan suata perempuan menjadi tidak terwakili, sehingga pengalaman khas dan spesifik yang dialami perempuan tidak terangkat. Lebih jauh, masih berdasarkan rilis Komnas Perempuan pada Rabu (8/2/2012), fakta kekerasan terhadap perempuan akan kehilangan ruang untuk disuarakan dan diangkat sebagai bagian dari persoalan bangsa yang harus dicegah dan ditangani.

Berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh per seartus) merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Penetapan 30% ditujukan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan politik. Dengan demikian, diharapkan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menjadi salah satu ruang penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan publik.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI), Ir. Hj. Andi Timo Pangerang. Menurutnya, maraknya kebijakan diskriminatif terutama di daerah-daerah tidak terlepas dari persoalan keterwakilan perempuan.
“Munculnya sebuah Perda tidak terlepas dari kondisi sosial-budaya dan politik di daerah tersebut, sementara perwakilan perempuan di daerah sendiri sangat minim, semakin di daerah, perwakilan perempuan semakin minim, terutama di Kabupaten. Di provinsi juga hanya sekitar 15% sampai 16 %, apalagi di Kabupaten makin rendah lagi, sehinga berdampak pada suara perempuan dan pada akhirnya suara perempuan sebagai minoritas dan proses pengesahan Perda-perda lebih didominasi suara laki-laki. Jadi walaubagaimana pun, kualitas dan kuantitas perwakilan perempuan di parlemen sama-sama pentingnya,” ungkap perempuan yang akrab disapa Bu Andi ini.


Bu Andi juga menambahkan, sampai saat ini KPP-RI terus bekerjasama dengan sejumlah pihak yang peduli terhadap persoalan perempuan, seperti Komnas Perempuan serta jaringan KPP-RI di kabupaten. Karena menghapus kekerasan terhadap perempuan melalui upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam lembaga perwakilan hendaknya dibaca sebagai upaya bersama untuk mengevaluasi segala hal yang mendiskriminasi perempuan, mulai dari multi-burden (beban berganda), stereotyping (pelabelan negatif), hingga budaya yang cenderung menghalangi atau bahkan membatasi perempuan untuk beraktivitas di ruang publik dan politik seperti larangan perempuan menjadi pemimpin dan larangan perempuan keluar malam.

Selain itu pemunculan pendapat tertentu yang mencoba menegasikan kepemimpinan perempuan, perlu direspon melalui pengungkapan kekayaan penafsiran yang mencoba melihat kembali relasi perempuan dan laki-laki dalam konteks setara dan ramah pada kemanusiaan. Seperti larangan terhadap perempuan beraktivitas di malam hari dengan alasan untuk menghindarkan perempuan dari tindak kejahatan seharusnya direvisi oleh pemerintah daerah setempat, melalui penyediaan tenaga keamanan yang berpatroli dan berjaga pada malam hari agar perempuan tetap mendapatkan jaminan atas hak keamanan selama beraktivitas.