Tampilkan postingan dengan label thought. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label thought. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Desember 2013

Karena Kami Perempuan

Karena pekerjaan perempuan tak pernah selesai dan dibayar murah atau tak dibayar atau berulang-ulang dan karena kami lah yang paling pertama dipecat dan bagaimana penampilan kami lebih penting ketimbang apa yang kami lakukan dan jika kami diperkosa maka itu adalah salah kami dan jika kami ditampar maka pasti karena kami memprovokasinya dan jika kami meninggikan suara kami maka kami adalah sundal yang cerewet dan jika kami menikmati seks maka kami adalah 'lacur' dan jika kami tidak maka kami dibilang frigid dan jika kami mencintai sesama perempuan itu karena kami tidak bisa mendapatkan laki-laki "sejati" dan jika kami terlalu banyak bertanya pada dokter maka kami dibilang neurotik (menderita kelainan syaraf) dan/atau agresif, dan jika kami menuntut pelayanan pemeliharaan anak di masyarakat kami dibilang mementingkan diri sendiri dan jika kami bangkit berdiri untuk hak-hak kami maka kami dibilang agresif dan "tidak feminin" dan jika kami tidak maka kami dianggap perempuan lemah dan jika kami mau menikah kami dibilang menjebak laki-laki dan jika kami tidak mau menikah kami dibilang tidak normal dan karena kami belum bisa mendapatkan kontrasepsi aman yang layak tetapi laki-laki sudah bisa jalan ke bulan dan jika kami tak sanggup dan tak mau mengandung maka kami dibuat merasa bersalah atas aborsi dan.... ... ... ... ... 
atas banyak sekali alasan-alasan lainnya maka kami adalah bagian dari pergerakan pembebasan perempuan.

"Ditulis oleh Joyce Stevens untuk Pamflet Pembebasan Perempuan, pada Hari Perempuan Internasional tahun1975.
Joyce Stevens adalah penulis Taking the Revolution Home, Work Among Women in the Communist Party of Australia 1920 -1945, dan banyak buku lainnya"

sumber: kamisundal

"Habis manis sepah dibuang"

Peribahasa tersebut seakan mewakili rasa kecewa kelompok yang selama ini dianggap minoritas, berbeda, terdiskriminasi, dan terpinggirkan. Beberapa pekan ini, media komunitas tempat saya bekerja mencoba mengangkat suara-suara komunitas yang selama ini dinilai terpinggrirkan dan terdiskriminasi. Lalu terjadilah berbincang-bincang dengan tokoh-tokoh yang digambarkan demikian. Dari curahan hati mereka, peribahasa “habis manis sepah dibuang” kerap mereka ungkapkan ketika menggambarkan kekecewaan mereka atas para calon pemimpin. Dalam “Kamus Peribahasa Indonesia”, sepah sama dengan ampas. Kalau kita makan tebu, setelah tebu kita kunyah-kunyah untuk mengisap airnya yang manis dan setelah airnya habis, sepahnya kita buang. Yang kita ambil hanya manisnya saja, sepahnya tidak kita perlukan lagi, karena itu kita buang.


Dalam konteks ini, peribahasa tersebut mengiaskan seseorang/kelompok yang setelah dianggap tidak berguna lagi, lalu disia-siakan. Setidaknya demikian salah satu hal yang dirasakan mereka, korban janji manis para calon pemimpin negeri ini. Harapan akan perubahan yang lebih baik atas kondisi mereka, seakan hanya sekadar janji manis demi memperoleh suara lebih banyak.

Ya, di tengah hiruk pikuk Pemilu 2014 mendatang, beragam suara kian menggema. Tak terkecuali suara-suara yang merasa kecewa dengan Pemilu sebelumnya maupun pemilihan kepala daerah (Pemilukada) yang sampai saat ini akan dan telah berlangsung di sejumlah daerah. Menjadi apatis terhadap Pemilu, memilih Golput (Golongan Putih), serta bersuara lantang menggugat sistem Pemilu, bisa menjadi puncak rasa kekecewaan mereka atas harapan adanya perubahan yang lebih baik.

Mereka adalah kelompok yang disebut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai kelompok rentan. Karena dianggap minoritas, mereka rentan terpinggirkan dan terdiskriminasi. Termasuk suara mereka dalam Pemilu, ada yang enggan menyentuh komunitas mereka karena khawatir dianggap menjadi bagian dari mereka, atau sebaliknya, memanfaatkan suara mereka dengan janji-janji manis yang entah terlaksana atau tidak.

Tapi siapakah mereka sehingga disebut minoritas? Dari kaca mata sosiologi seperti dipaparkan Anthony Giddens dalam “Sociolog” (1995, 253-254), minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga gambaran berikut: (1) anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka; (2) anggotanya memiliki solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; (3) biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar.

Istilah minoritas di sini mengacu pada sekelompok orang yang dianggap ‘kecil’ oleh sebuah proses historis, politis, dan sosiologis, selain juga proses intelektual. Oleh karena itu, pengertian ‘kecil’ tidak selalu berarti angka atau jumlah, tetapi juga berarti posisi atau peran. Pada masa Orde Baru, orang Cina atau Tionghoa adalah kelompok yang paling sering disebut sebagai kaum minoritas karena secara politik mereka dipinggirkan, meski secara ekonomi mereka sangat dominan. Memasuki masa reformasi, istilah kaum minoritas mengacu pada kelompok-kelompok yang lebih luas, tidak hanya orang Cina atau Tionghoa, tetapi juga kaum perempuan, masyarakat adat, penganut agama non-mayoritas, Ahmadiyah, dan seterusnya.

Sampai saat ini, masih banyak partai-partai tertentu, termasuk partai Islam yang tidak pernah menjadikan isu pembelaan terhadap kaum minoritas sebagai isu utama politiknya. Bahkan, tidak jarang, partai-partai Islam ikut menyudutkan kelompok minirotas untuk menarik simpati dari kelompok mayoritas. Nasib kelompok minoritas kian mengenaskan dan di saat yang sama hukum impoten karena selalu ada kepentingan-kepentingan politik di baliknya.

Pemilu yang harusnya adil dan damai, namun tidak bagi mereka yang sampai saat ini mendapat perlakuan tidak adil baik oleh Negara maupun masyarakat golongan tertentu. Jemaat Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, mereka terancam Golput (Golongan Putih) karena tidak memiliki KTP.  

BAYANGKAN! Seperti apa wajah demokrasi Indonesia ke depan kalau Golput semakin menjadi pilihan politik masyarakat? Maka, sangat mungkin kekuatan legitimasi kekuasaan pun menjadi berkurang. Dengan meningkatnya perlakuan diskriminasi seperti dirasakan komunitas seperti Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah komunitas adat, sangat mungkin akan terjadi peningkatan angka Golput. Kenapa semakin banyak orang memilih Golput? Selain mungkin karena ada kesalahan administrasi, setidaknya ada tiga penyebab. Pertama, bisa jadi karena mereka kecewa terhadap praktik demokrasi. Mereka tidak percaya bahwa Pemilu akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Kedua, mereka tidak sreg dengan kandidat yang ditawarkan untuk dipilih. Ketiga, hari pelaksanaan Pemilu yang diliburkan membuat mereka lebih memilih untuk berlibur ketimbang harus datang ke TPS.

Janji-janji kampanye yang menggiurkan ternyata tidak mampu memikat mereka. Kenapa? Betapa mereka sudah kenyang dengan janj-janji, yang semuanya dianggap sebagai kebohongan dan kemunafikan. Bukti tentang itu tersaji secara terbuka berdasarkan Pemilu-Pemilu sebelumnya.

Selasa, 16 Juli 2013

mengurai kehidupan mulai dari istilah gender

sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki mengomentari seorang perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan oleh lelaki. lalu, tiba-tiba dia berseloroh, "waaahh...gender banget" atau komentar-komentar lain yang intinya merujuk pada istilah "gender". bagi saya yang merasa telah membaca, mencoba memahaminya baik dari pengalaman sehari-hari maupun dari bacaan tentang apa itu gender, rasanya ingin sekali meralatnya, tapi setiap orang memang butuh proses tersendiri. karena istilah gender, bisa jadi tidak hanya butuh dipahami, tapi juga mau diterima atau tidak. artikel berjudul "mengurai kehidupan mulai dari istilah gender" yang ditulis oleh Mariana Amirudin ini adalah salah satu dari sekian banyak artikel yang memaparkan tentang apa itu istilah gender. selamat membaca kawan...
*****
Masih banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa istilah gender semata-mata merujuk pada perempuan. Masih banyak pula yang salah paham atau rancu dalam memahami istilah gender dan jenis kelamin (seks). Kesalahpahaman tersebut bahkan masih terjadi pada pihak-pihak yang berurusan dengan program-program kesetaraan gender di Indonesia. Saya tidak ingin mengatakan bahwa ini suatu kesalahan, tetapi ini suatu pekerjaan kita semua yang memiliki keahlian khusus di bidang studi gender (gender expert). Istilah gender memang perlu dipahami secara tuntas, sebelum kita menggunakannya, mengucapkannya, dan sebelum kita bekerja untuk hal tersebut.

Ada banyak pengertian terkait dengan istilah gender. Gender memang bukan berakar dari bahasa Indonesia, dan gender bukanlah sekedar satu kata dengan satu pengertian. Gender adalah sebuah konsep yang menceritakan banyak hal mengenai kehidupan dua jenis kelamin manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Istilah gender berangkat dari kesadaran kita bahwa manusia tidaklah satu, manusia bermacam-macam, dalam hal ini adalah jenis kelaminnya.


Gender, merujuk pada suatu kebudayaan yang memperlakukan -- manusia  berjenis kelamin -- laki-laki dan perempuan secara berbeda, yang padahal dalam prinsip kemanusiaan, mereka adalah dua jenis manusia yang memiliki hak-hak kemanusiaan yang setara. Gender merujuk pada suatu pandangan kebudayaan sosial masyarakat, yang membuat kehidupan perempuan dan laki-laki dibedakan, membuat pengalaman kehidupan dibedakan. Gender adalah istilah yang ingin menerangkan bahwa, ada faktor-faktor di luar eksistensi manusia yang mempengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Gender bukan soal jenis kelamin, sementara jenis kelamin adalah semata-mata bicara soal biologi. Perempuan punya rahim, payudara, bisa melahirkan, menyusui, mengandung, sedangkan laki-laki tidak. Laki-laki memiliki sperma untuk membuahi sel telur, laki-laki punya hormon khas, yang berbeda dengan hormon perempuan untuk melakukan fungsi biologisnya.

Namun fungsi-fungsi biologi laki-laki dan perempuan ini kemudian dicampur-aduk dalam kehidupan sosial politik mereka. Padahal determinasi biologi laki-laki dan perempuan ini semata-mata perangkat reproduksi tubuh mereka, yang terjadi pula pada berbagai macam spesies mahluk lainnya, yang seharusnya tidak ada intervensi penilaian atau pandangan sosial apapun diluar fungsinya. Jenis kelamin bukanlah gender, tetapi eksistensi biologi mahluk manusia.

Gender adalah di luar faktor-faktor biologi manusia, dan istilah gender sebetulnya ingin menjelaskan bahwa ada persoalan dalam dua jenis kelamin ini dalam kehidupan sosial politik mereka. Ada persoalan dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam menghadapi keadaan sosial politik mereka. Persoalan itu bukan dari diri mereka yang lahir dalam keadaan (berjenis kelamin) laki-laki atau perempuan, tetapi karena cara pandang sosial politik masyarakat terhadap mereka. Gender adalah istilah yang dapat kita umpamakan sebagai kunci yang berhasil membuka kotak misteri kehidupan manusia, dan ketika kotak misteri itu dibuka, nampak isinya berbagai macam masalah, yang ternyata masalah itu dapat mengakibatkan seseorang atas dasar jenis kelaminnya, mengalami diskriminasi atau ketidakadilan yang mengerikan. Mengurai masalah dari kotak misteri tersebut tidak mudah, karena kita perlu menyadari terlebih dahulu fakta-fakta bahwa misalnya seseorang mengalami pelecehan ataupun kekerasan seksual akibat jenis kelamin mereka. Perempuan, dan anak-anak perempuan adalah jumlah terbesar yang menjadi korban kekerasan seksual karena kekerasan tersebut terjadi semata-mata karena mereka perempuan.

Kekerasan dalam rumah tangga, sebagian besar perempuan, semata-mata karena mereka perempuan, istri, ibu, yang dalam kebudayaan kita terutama dalam perkawinan, adalah jenis kelamin yang harus tunduk dan patuh pada laki-laki atau suami, karena hanya jenis kelamin laki-laki yang diakui menguasai rumah tangga. Karena hubungan kuasa dan yang dikuasai inilah sangat rentan terjadi kekerasan. Di dalam rumah, suami akan sangat rentan melakukan kekerasan terhadap istri, sementara dalam kehidupan publik atau di luar rumah, sang suami di tuntut mencari nafkah, menghidupi seluruh kebutuhan keluarga secara ekonomi, harta benda, jaminan sosial dan kesehatan, yang padahal dalam dunia kerja mereka mengalami ketidakadilan yang sama, saat ada hubungan yang berkuasa dan yang dikuasai. Bagi laki-laki yang hanya memiliki jabatan rendah, dan ekonomi yang pas-pasan, mereka tidak menemukan kebahagiaan sekalipun ia memiliki seorang istri yang mendukungnya secara penuh. Tuntutan sosial politik yang berlebihan pada laki-laki untuk sukses dan mapan, adalah tuntutan yang membuat mereka harus istimewa, harus menjadi super. Bagi yang tidak berhasil menjadi superman, banyak mengalami frustasi, mengalami ketidakpercayaan diri, rusak mentalnya, dan rumah tangga menjadi sasaran, dan tindakan kekerasan rentan terjadi pada dirinya.

Istilah gender ingin menjelaskan bahwa persoalan laki-laki dan perempuan berawal dari rumah. Dari tempat tidur, dapur, dan urusan rumah tangga. Kotak misteri yang selama berabad-abad tak terjangkau inilah ternyata terletak di dalam gudang alam bawah sadar rumah tangga sekelompok manusia bernama keluarga, yang tertutup rapat dan tidak bisa diketahui orang lain tentang hal-hal yang terjadi di dalamnya. Tanpa disadari persoalan rumah tangga ternyata terepresentasi dalam persoalan politik ekonomi dan hukum kita, yang mewakili hampir sepenuhnya kebudayaan kita yang belum tentu adil terhadap laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak diharapkan untuk menjadi pintar, bekerja, berkarir dan sukses di bidang-bidang tertentu, mereka hanya diharapkan mengelola rumah tangga, mengasuh anak.

 Sementara laki-laki ditempatkan berseberangan dengan perempuan, mereka harus sukses dalam kerja, harus pintar, harus punya karir yang tinggi, harus kaya raya. Tidak ada yang lebih tidak berharga dari seorang laki-laki yang miskin tidak mampu menafkhi keluarganya, daripada perempuan yang miskin tetapi bisa dinafkahi oleh suaminya. Tidak ada yang lebih terhina daripada seorang suami dinafkahi oleh istrinya sehingga ada istilah “numpang di ketiak istri”. Laki-laki akan mengalami frustasi dan kerendahan diri yang luar biasa. Atau dalam tradisi dan agama tertentu, seorang istri diperbolehkan dipukul oleh suaminya, apabila dia tidak ijin keluar rumah. Pemukulan pada istri adalah suatu tindakan yang dianggap amat sangat wajar dalam hal ini. Bukankah ini suatu keganjilan ketika kita bicara soal kemanusiaan?

Istilah gender ingin menjelaskan bahwa kebudayaan telah membuat hubungan dua jenis kelamin manusia, laki-laki dan perempuan, mengalami kesenjangan dengan jurang yang begitu dalam. Mereka “tidak nyambung” dalam berkomunikasi, mereka terbangun oleh mental dan cara berpikir yang berseberangan. Mereka berdiri di atas kebudayaan mereka masing-masing. Budaya perempuan sangat berbeda dengan budaya laki-laki. Nilai-nilai mereka terpecah menjadi dua. Mereka disebut maskulin dan feminin. Mereka tidak boleh bertukar peran, yang padahal hakekat manusia begitu indahnya, sama-sama memiliki pikiran, hati dan jiwa, yang seharusnya teraktualisasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka dipenjara oleh peran-peran atas alasan jenis kelamin mereka, dan inilah fungsi dari konsep gender, dan dalam perkembangannya gender menjadi sebuah studi yang dapat dipelajari melalui berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, antropologi, sosiologi, politik, hukum, seni dan kebudayaan, juga sains dan teknologi. Istilah gender adalah sebuah pisau yang membentangkan kenyataan pahit konstruksi sosial dan budaya yang diyakini dan dipercaya sebagai kebenaran atau takdir manusia ternyata hanya membuat dua jenis kelamin manusia ini terus menerus dirundung masalah, tanpa tahu bagaimana menyelesaikannya. Inilah yang disebut ketidakadilan gender.

Kamis, 31 Januari 2013

lagi, perempuan dalam cengkeram kebijakan diskriminatif

...Proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya...(Komnas Perempuan, 2012)

Saat ini perbincangan publik tengah diramaikan dengan pro dan kontra larangan perempuan yang ngangkang saat di sepeda motor.  Pro kontra tersebut mengemuka setelah Walikota Lhokseumawe, Suaydi Yahya menyatakan berencana mengeluarkan peraturan larangan tentang perempuan ngangkang ketika naik sepeda motor. Sontak pernyataan ini menjadi pembicaraan hangat yang terus bergulir di masyarakat, terutama di social media. Seperti diketahui umum, sebelumnya Aceh juga memberlakukan larangan perempuan memakai celana jeans.

Suaydi menilai bahwa, perempuan duduk ngangkang di atas sepeda motor dinilai tidak sesuai dengan Syariat Islam dan adat istiadat setempat. Larangan duduk ngangkang tersebut hanya bagi perempuan. Nantinya, penumpang yang duduk di belakang juga dilarang memakai jeans karena pakaian seperti ini dinilai tak sesuai syariat Islam. Dengan dalih tambahan untuk meneruskan budaya dalam masyarakat yang hampir hilang, Suaydi begitu yakin dan memastikan akan menetapkan aturan tersebut. Bahkan ia juga akan segera menghimbau masyarakat di desa-desa. Namun seperti dikutip sejumlah media massa, kendati dia mengaku belum memastikan bentuk aturan yang akan diberlakukan tersebut, namun sejumlah pihak telah mengeluarkan argumentasinya terkait pelarangan yang ditujukan pada perempuan ini. Yang cukup berbeda, kali ini bukan hanya Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah aktifis gerakan perempuan yang tidak sungkan menyatakan keberatan dan larangannya terhadap rencana pemberlakuan tersebut, namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turut mengeluarkan argumen yang intinya bias memberatkan rencana pemberlakuan aturan tersebut.

Buruknya Kualitas Pendidikan

Komnas Perempuan menilai larangan perempuan duduk ngangkang di sepeda motor, adalah peraturan sia-sia. Selain tidak perlu diatur, hal tersebut dianggap mengada-ada dan bermuatan politis. Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan, Husein Muhammad seperti dikutip Okezone.com pada Rabu (2/1/2013) , menilai kebijakan Pemkot Lhokseumawe tersebut menandakan buruknya kualitas pendidikan. Menurutnya, masih banyak hal yang perlu diperhatikan, namun para pemegang kebijakan justru lebih mengurusi hal-hal sepele. Seperti masalah pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, itu yang menurutnya semestinya menjadi perhatian. Kebijakan juga semestinya dibuat bukan untuk mengatur individu atau moral personal melainkan publik secara umum.

Kebijakan yang akan segera diberlakukan di Lhokseumawe itu , dinilainya sebagai peraturan yang pertama kali ada di dunia. Sebab menurutnya, negara-negara Islam pun tidak memberlakukan peraturan itu. Tidak ada negara yang memberlakukan aturan seperti di Aceh, bahkan negara seperti Mesir dan Pakistan juga tidak memberlakukannya. Komnas Perempuan juga akan melayangkan surat ke sejumlah instansi terkait mengenai peraturan kontroversial itu.

Syariat Islam Tidak Mengatur Perempuan Ngangkang

Alasan tidak sesuai syari’at seperti diungkapkan Suaydi, segera dibahas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menyikapi Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh, yang akan memberlakukan larangan bagi perempuan duduk terbuka atau ngangkang di atas sepeda motor.  Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan, dalam Syariat Islam tidak ada aturan yang secara jelas membahas perempuan duduk ngangkang. Hal tersebut lebih menyangkut etika dan sopan santun, bukan pada hukum Syariat Islam. Bahkan jika dengan duduk ngangkang, lanjut Amidhan, tidak membahayakan ketika mengendarai sepeda motor, maka hal tersebut justru dianjurkan. Untuk kepentingan yang mendesak, maka ngangkang di sepeda motor di-ma’fu (dimaafkan).

Kendati demikian, menurut Amidhan, aturan yang akan diberlakukan di Lhokseumawe itu karena sebagai daerah otonomi khusus sehingga dapat membuat aturan tersendiri. Ada tiga hal yang menjadi landasan diterbitkannya suatu aturan baru yakni, pada aspek budaya, pendidikan, dan Agama Islam.

Larangan perempuan ngangkang ketika mengendarai sepeda motor, tambah Amidhan, bisa jadi hanya cocok diberlakukan di Aceh dan beberapa daerah lain yang memiliki kebiasaan atau budaya menutup aurat. Seperti Kalimantan Selatan dan Sumatera Barat yang kental nuansa agamanya, ketika perempuan dibonceng duduknya satu arah. Itu bukan karena aturan agama, melainkan kebiasaan dan budaya di sana. Berbeda halnya ketika di kota besar seperti Jakarta, perempuan yang duduk satu arah ketika dibonceng sepeda motor justru mengancam keselamatan jiwanya. Sebab kondisi lalu lintas yang padat dan macet, membuatnya rawan jatuh.

Lagi-lagi Perempuan Menjadi Objek Kebijakan

Sejumlah pro kontra yang bermula dari rencana pemberlakuan kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) di Aceh, ini mau tidak mau mengingatkan kita pada sejumlah kebijakan yang juga tak kalah ramai menuai pro kontra. Mungkin kita masih ingat membaca berita atau setidaknya mendengar tentang peristiwa meninggalnya Lilis Lisdawati pada tahun 2008. Ia adalah korban salah tangkap berlatar belakang Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005 di Kota Tangerang. Saat itu media setempat cukup ramai memberitakan ini, salah satunya seperti diberitakan Suara Warga (Edisi 007/011), Lilis Lisdawati adalah karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan. Suaminya Kustoyo, adalah guru SD. Tanggal 27 Februari 2006, Lilis ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di daerah Tangerang. Ia dituduh telah melanggar Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Aturan Perda tersebut memang multitafsir sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menyebabkan salah tangkap. Pasal 4 ayat 1 misalnya, menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah.”

Petugas lalu bisa menangkap seseorang, terutama perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah pelacur (PSK). Meski telah menyampaikan bahwa ia bukan PSK, Lilis tetap ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8 hari penjara dan denda Rp 300 Ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4 hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda tersebut.

Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan Lilis semakin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda tersebut. Alasannya, Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk merehabilitasi nama baik Lilis. Lilis mengalami keguguran pasca peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar dari pekerjaan karena tertekan dengan tudingan beristrikan pekerja seks. Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008 dalam kondisi depresi.

Tangerang adalah satu dari 38 daerah yang memiliki perda tentang pelacuran yang mengkriminalisasi perempuan. Tidak satupun peraturan daerah serupa ini yang dibatalkan. Bahkan, Mahkamah Agung juga kembali menolak permohonan judicial review untuk Perda serupa dari Bantul. Kali ini dengan alasan bahwa permohonan diajukan melewati batas waktu yang diperbolehkan, yaitu 180 hari sejak Perda itu ditetapkan. Dari depresi Lilis hingga meninggal dunia, setidaknya jelas bagi kita bahwa ini efek dari penahanan-nya atau efek dari berbagai masalah (sosial, hukum, ekonomi) yang juga turut di-blow-up media. Selain Lilis, ada sejumlah korban salah tangkap petugas ketentraman dan ketertiban (Tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang juga dicurigai sebagai pelacur.

Selain korban salah tangkap Perda Tangerang, yang juga cukup ramai diberitakan adalah kasus penggundulan di Aceh oleh polisi Syariah. Meskipun pada akhirnya Qanun Jinayat yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2009, harus segera dibatalkan untuk kemudian dilakukan revisi dan dilengkapi sesuai dengan kaidah hukum Islam kaffah atas desakan Ulama se-Aceh. Menurut mereka, dalam sejumlah pemberitaan, Qanun tersebut masih mengabaikan hal-hal prinsipil dalam Hukum Islam. Ulama Aceh juga mengimbau semua pihak baik Gubernur, politisi, DPRA, Ulama dan komponen masyarakat agar turut berpartisipasi member masukan kepada ulama. Hal tersebut terkait polemik yang terjadi terhadap pengesahan Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang disahkan pada pertengahan September 2009.


Perda Berpotensi Merugikan Perempuan

Berdasarkan hasil mini riset penulis dan kawan-kawan (dkk) tentang Qanun Jinayat pada tahun 2009, tahun 1998 awal mulai terjadi dinamika politik hukum Indonesia, yang ikut membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum Islam yang merupakan bagian dari hukum nasional turut mengalami perubahan, tidak terkecuali sektor hukum pidana (jinayat) yang sebelumnya penuh dengan ketidakmenentuan. Dinamika hukum, terutama sekali, ditandai peralihan sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem otonomi. Sistem ini tertuang di dalam UU No. 32 Tahun 2004. Provinsi Aceh yang mayoritas muslim dan memiliki pengalaman di bidang hukum Islam Qanun dan memberlakukannya di dalam sosio-yuridis masyarakat. Masa dinamika ini kerap dikenal era reformasi. Bagi Aceh, era ini menjadi awal penyelesainan konflik selama 30 tahunan secara beradab, melalui jalur perundang-undangan.

Lalu tahun 2000-an mulai marak kemunculan Perda-perda diskriminatif, bahkan dalam beberapa tahun terakhir sejumlah hasil penelitian mengungkap Perda-perda diskriminatif di Indonesia semakin meningkat. Dimulai dari munculnya sejumlah pemberitaan tentang deretan persoalan dalam menyikapi proses eksekusi atas seorang terpidana, mulai dari gugatan atas konsistensi perundang-undangan yang dianggap merendahkan martabat, tidak manusiawi, tidak efektif dan lan sebagainya. Termasuk awal tahun 2012 ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis data tentang maraknya berbagai kebijakan diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan Jender, berupa kebijakan di tingkat nasional maupun kebijakan lokal.

Dalam kajian perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pronografi, yang justru menghalangi perempuan untuk dapat menikmati hak asasinya secara utuh khsususnya hak atas kepastian hukum dan atas kebebasan berekspresi. Komnas Perempuan mencatat hingga bulan Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebanyak 78 dari 207 kebijakan tersebut secara khusus menyasar pada perempuan, lewat pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan.

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, melihat proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya.

Pentingnya Peningkatan Keterwakilan Perempuan

Di sisi lain, dalam dunia politik sendiri, perempuan adalah bagian dari warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi. Termasuk jumlah perempuan yang duduk di DPR-RI hasil 10 kali Pemilihan Umum yang tidak pernah mencapai angka kritis 30% adalah buktinya. Padahal, minimnya keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan secara lagsung akan menyebabkan suata perempuan menjadi tidak terwakili, sehingga pengalaman khas dan spesifik yang dialami perempuan tidak terangkat. Lebih jauh, masih berdasarkan rilis yang pernah dikeluarkan Komnas Perempuan pada Rabu (8/2/2012), fakta kekerasan terhadap perempuan akan kehilangan ruang untuk disuarakan dan diangkat sebagai bagian dari persoalan bangsa yang harus dicegah dan ditangani.

Berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh per seartus) merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Penetapan 30% ditujukan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan politik. Dengan demikian, diharapkan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menjadi salah satu ruang penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan publik.

Sumber tulisan: okezone.com pada tanggal 2, 3, dan 4 Januari 2013; hasil mini riset Alimah dkk tentang Qonun Jinayat tahun 2009; salah satu tulisan penulis (Alimah) di http://kppri.or.id/index.php/id/artikel/11-perempuan-dalam-cengkeraman-kebijakan-diskriminatif; http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/02/apa-kabar-perda-diskriminatif-474053.html

Kamis, 29 November 2012

hanya karena berbeda, mereka dibungkam, dan dipaksa mengikuti identitas 'resmi'

Karena dinilai 'berbeda' dan tak mampu mengungkapkan identitas agama, etnis, dan bangsanya. Mereka dipaksa mengikuti identitas yang resmi. Perlakuan-perlakuan tidak adil pun tak jarang harus mereka terima...

Selain tentang Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah komunitas lain yang semakin akrab kita ketahui melalui media massa. Tentunya kita juga pernah mengetahui tentang bagaimana seseorang dari sebuah komunitas sulit mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), hanya karena ia bukan termasuk penganut agama resmi seperti diakui Negara. Pengalaman ini sudah biasa dialami oleh komunitas Sunda Wiwitan. Mereka  terbiasa dimainkan aparat birokrasi.

Seperti keterangan yang diungkapkan Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan yang akrab disapa Rama Djati, ini melalui pengalaman pribadinya, keluarganya, serta sejumlah penganut Sunda Wiwitan terutama di Cigugur Kuningan, tak jarang harus berhadapan dengan perlakuan tidak adil para pejabat negara setempat. Khususnya berkaitan soal agama. Para penghayat (sebutan untuk penganut Sunda Wiwitan) ditanya agama mereka masuk agama mana: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha? Jika sudah demikian, maka penghayat Sunda Wiwitan akan menjawab: “agamanya, ya, Sunda Wiwitan”.

Demikianlah, terutama sejak masa Orde Baru (Orba), para penghayat masih juga mengalami diskriminasi. Hak-hak sipil dan politik mereka tidak diperhatikan oleh pemerintah. Alasan yang diberikan oleh pemerintah dan petugas biasanya adalah karena masalah agama. Seperti dalam kasus untuk mendapatkan KTP, birokrasi hanya mengetahui dan mengakui Lima Agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dalam perkembangannya kemudian Khong Hu Cu masuk di dalamnya sehingga menjadi Enam agama resmi yang diakui pemerintah) berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)" (Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama). Dari sini lah kemudian perlakuan-perlakuan tidak adil sering diterima penghayat Sunda Wiwitan.
13540782941796866590
Rama Jatikusuma, salah satu tokoh penghayat di Cigugur Kuningan.

Agama yang diakui oleh pemerintah hanya Lima pada waktu itu (enam saat sekarang) menghambat para pengikut Sunda Wiwitan untuk mendapatkan kartu tanda penduduk, akta lahir, dan surat kependudukan lainnya. Bahkan, anak-anak para pengikut Sunda Wiwitan mengalami kesulitan saat hendak masuk sekolah pemerintah. Oleh karena itu, banyak sekali warga Sunda Wiwitan yang akhirnya memeluk agama Islam maupun Katolik. Meskipun sekarang masyarakat Sunda Wiwitan memeluk agama yang berbeda akan tetapi mereka menjiwai ajaran dan filosofi hidup yang sama yang menjamin kerukunan umat beragama tetap lestari juga menciptakan pluralisme yang berlandaskan pada kultur asli tanpa rekayasa sosial apapun. Prinsip pluralisme yang tertanam jauh di lubuk hati masyarakat Sunda Wiwitan dan selalu didengungkan oleh mereka adalah meskipun tidak sekeyakinan akan tetapi sepengakuan.

Persoalan pembuatan KTP dan administrasi lainnya, hanyalah bagian kecil dari sejumlah masalah ketidakadilan yang harus diterima penganut Sunda Wiwitan. Remeh kelihatannya. Tapi itulah fakta. Penganut Sunda Wiwitan telanjur dicap negara sebagai anonimitas, tak punya status. Di zaman Orde Baru, mereka akan diidentifikasi sebagai subversif. Setiap penduduk harus memiliki identitas yang lengkap. Petugas sensus yang ditunjuk Badan Pusat Statistik tidak diperkenankan mengosongkan kolom agama pada lembar identitas penduduk. Kolom agama harus diisi.

Namun sebenarnya apa dan bagaimana sesungguhnya Sunda Wiwitan ? Dalam laporan kali ini, bersama Rama Djati, penghayat asal Cigugur Kuningan Jawa Barat (Jabar) megulas apa dan bagaimana Sunda Wiwitan. Para penganut Sunda Wiwitan di Cigugur telah akrab dengan perlakuan tidak adil pemerintah. Namun di tengah-tengah pemeberitaan miring tentang kerukunan umat beragama dengan maraknya kekerasan atas nama agama, radikalisme, terorisme, dan lain sebagainya, siapa sangka dari mereka yang selama ini diperlakukan tidak adil, kita mendapatkan pelajaran berharga bagaimana seharusnya berkehidupan di tengah perbedaan agama.

Menengok Kehidupan Sunda Wiwitan di Cigugur

Sebelumnya mungkin tidak pernah terbayang dalam benak kita betapa dalam satu kampung, setiap rumahnya terdapat perbedaan agama, ayah seorang penghayat, tapi anak-anaknya ada yang beragama muslim dan katolik. Tapi hal demikian nyata terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa Cigugur Kabupaten Kuningan. Di desa yang terletak di kaki Gunung Ciremai tersebut, masyarakat hidup rukun walaupun berbeda agama.

Kerukunan ini bisa dilihat misalkan jika ada salah satu masyarakat beragama Islam meninggal dunia, maka tak sungkan orang yang beragama Katolik maupun Penghayat untuk mengurus acara pengurusan jenazah hingga tahlilan. Begitu pun jika yang meninggal adalah orang yang beragama kristen, maka orang dari umat agama lain tak segan untuk terlibat dalam acara pengurusan jenazah. Selain itu, di Desa Cigugur sendiri terdapat berbagai macam tempat ibadah dari berbagai agama, dari mulai gereja hingga masjid.

Awalnya masyarakat Cigugur adalah pemeluk ajaran adat Sunda Wiwitan yang dikembangkan oleh Ki Madrais. Akan tetapi, oleh karena ada larangan dan tekanan dari Pemerintah di masa Orde Baru (Orba), maka pemeluk ajaran ini ada yang berpindah ke agama katolik dan Islam untuk mendapatkan hak sipil dan politiknya nya sebagai warga negara yang sah. Sampai saat ini, hak sipol masih menjadi masalah bagi sebagian warga Cigugur yang masih berpegang teguh menjadi penghayat adat Sunda Wiwitan.

Lebih Dekat Mengenal Sunda Wiwitan

Dari arti bahasa, Sunda Wiwitan berarti Sunda Permulaan, akar, pertama. Makna Sunda Wiwitan sama dengan yang tertulis dalam naskah Carita Parahiyangan dengan apa yang disebut Jati Sunda. Ajaran sunda wiwitan sangat berpegang teguh dengan adat budaya sunda, tempat di mana para pemeluknya hidup. Pangkal ajaran ini sebenarnya adalah mendasari hidup dengan memaknai kehidupan sehari-hari, dari tanah dan air yang dipijak.

Berdasarkan penuturan dari Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan, ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya meyakini bahwa setiap manusia yang dilahirkan ke dunia tidak merasa mempunyai keinginan untuk menjadi manusia. Juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi orang Sunda atau pun orang Jawa. Semuanya itu atas kehendak Maha Pencipta. Dengan kata lain, menjadi manusia adalah perintah dari Maha Pencipta.

Setiap manusia mempunyai kodratnya sendiri-sendiri menyebutnya dengan Cara-ciri. Karena itu, Sunda Wiwitan sangat memegang teguh Pikukuh Tilu, yakni, pertama, cara-ciri manusia (kodrat manusia) yakni unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Dalam konsep Sunda Wiwitan, ada lima unsur yang termasuk di dalamnya, Welas Asih (cinta kasih), Undak Usuk (tatanan/hierarki dalam kekeluargaan, Tata krama (tatanan perilaku), Budi bahasa dan budaya, Wiwaha Yudha Naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya). Kalau satu saja Cara-ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.

Kedua, Cara-ciri bangsa (kodrat kebangsaan). Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara-ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada Cara-ciri bangsa yang terdiri dari Rupa, Adat, Bahasa, Aksara, Budaya. Pikukuh yang ketiga adalah Madep ka ratu raja (mengabdi kepada yang seharusnya).

Sampai di sini bisa dilihat kenapa masyarakat adat Sunda Wiwitan sangat toleran, mereka sangat meyakini bahwa semua manusia itu pada dasarnya adalah sama dan tak berdaya terhadap kodrat kemanusiaannya. Pada taraf yang sangat hakiki, manusia itu sama dalam Cara-cirinya, terbedakan dari hewan dan tumbuhan serta makhluk hidup lainnya. Selanjutnya, universalitas kemanusiaan yang melekat pada diri setiap manusia tersebut menampakan perbedaanya saat manusia harus menempati ruang dan waktu. Manusia menempati tempat tertentu di waktu tertentu yang dia juga tidak bisa menentukan sendiri tempat lahir hidup dan berkembangnya. Dari lingkungan kehidupan yang tidak bisa manusia negosiasikan. Inilah kemudian manusia mempunyai adat, budaya, bahasa, rupa, aksara dan mungkin agama yang berbeda-beda.

Ciptakan Kehidupan Damai di Bumi Cigugur

Toleransi dan kerukunan yang diresapi oleh masyarakat Sunda Wiwitan adalah toleransi yang berpegang teguh pada adat budayanya, kesadaran ruang dan waktu menjadikan mereka kukuh pada adat dan budaya sunda. Kalau mereka berada di daerah yang bukan sunda mungkin mereka akan berpegang pada kultur mereka bertempat tinggal tersebut. Inti dan akar toleransi yang dimiliki mereka bukan pada adat sundanya tapi pada cara berfikir mereka terhadap kehidupan, budaya dan adat. Jadi, sikap seperti ini sepertinya bisa juga untuk diadopsi oleh orang di daerah lain (selain sunda) dengan cara berfikir seperti demikian.

Menurut Rama Djati, seorang yang mengamalkan Sunda Wiwitan tidak harus beragama tertentu, dia boleh beragama apa saja tapi dia menghayati benar tempat dan waktu dia hidup. Rama mencontohkan bagaimana seharusnya orang yang beragama Islam tanpa harus berbangsa Timur Tengah ataupun beragama Kristen tanpa harus berbangsa Romawi. Akan tetapi beragama apapun dengan menghayati tempat dimana dia hidup. Dia juga mencontohkan bagaimana hidup harus mengikuti zaman (berbeda dengan keyakinan Sunda Wiwitan Kanekes Banten). Artinya kesadaran akan kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat Sunda Wiwitan adalah kesadaran kodrat manusia, kemanusiaan yang terbatas ruang dan juga waktu. Oleh karena itu, masyarakat  Sunda Wiwitan tidak anti dan menutup diri dari teknologi atau apapun yang muncul pada zaman sekarang yang bersifat positif.

Sikap hidup yang demikian menciptakan kehidupan yang damai di bumi Cigugur. Setiap orang di kampung ini menghayati kehidupan beragama dengan tidak mengadu kepercayaan, akan tetapi dengan mengembalikan perbedaan kepada yang sama, yakni sama-sama percaya kepada Yang Maha Pencipta, Tuhan. Seperti yang diutarakan oleh warga Sunda Wiwitan setempat Arga dan Sarka sebagaimana saat berbincang-bincang dengan mereka di tengah-tengah kesibukan mereka menyiapkan acara Seren Taun. Mereka meyakini bahwa apapun agamanya itu tidak penting yang penting adalah dia percaya ada Tuhan Maha Pencipta.

Arga (73), salah seorang Penghayat Sunda Wiwitan, mempunyai anak yang memeluk Agama Islam dan Kristen, tapi dia tetap mempersilahkan anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Rama Djati sendiri membebaskan anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Walaupun dari kecil anak-anaknya dididik dengan ajaran adat, akan tetapi setelah menginjak dewasa mereka dibebaskan untuk memeluk agama yang diyakininya. Kecuali untuk anak laki-laki yang paling tua, dia harus kukuh menjaga dan meneruskan ajaran adat Sunda Wiwitan.

Agama dilihat oleh mereka hanya sebagai kodrat kebangsaan, kodrat yang melekat setelah kita memasuki dimensi ruang dan waktu. Hal demikian tersebut lebih rendah dan bersifat permukaan dan untuk memahaminya lebih mendalam harus ditarik ke arah kodrat yangn lebih tinggi yakni kodrat manusia, dimana setiap orang yang dilahirkan sebagai manusia mempunyai cara-ciri yang sama.

Ajaran Sunda Wiwitan tentang kodrat manusia dan kodrat kebangsaan yang ditanamkan oleh Ki Madrais meniscayakan bahwa kehidupan manusia yang benar adalah dengan berpegang teguh hanya pada kodrat kebangsaan dalam hal sosial dengan tanpa melupakan kodrat manusia dalam hal spiritual. Kedua kesadaran terhadap kodrat ini saling berkait, tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain, artinya landasan spiritual kemanusiaan seperti yang diajarkan oleh Madrais akan paripurna jika terejawantahkan dalam kehidupan sosial dengan landasan sosial tentunya. Karena spiritualisme tanpa sosial akan sulit dipahami oleh orang lain, sebagaimana Rama Djati mencontohkan sosok Syeikh Siti Jenar  sebagai manusia yang mempunyai pemahaman spiritual yang tinggi akan tetapi tidak menggunakan sifat sosialnya.

Ajaran sosial Sunda Wiwitan berprinsip pada kodrat kebangsaan, artinya dalam kehidupan sosial manusia tidak lepas dari karakteristik masing-masing daerah. Beda tempat beda zaman, beda pula karakteristiknya. Setiap karakter muncul dari dalam hidup keseharian manusia, dari tanah dan air yang dipijaknya, sehingga setiap manusia mempunyai budaya sebagai usaha mengatasi kehidupan sehari-harinya, mempunya bahasa sebagai usaha berkomunikasi satu sama lain/bersosialisasi, dan lain-lain. Madrais meyakini bahwa setiap bangsa akan berbeda dalam menghayati hidup, sehingga bangsa yang satu tidak bisa memaksakan nilai, norma, aturan, atau agama kepada bangsa yang lain. Ajaran Madrais inilah yang kemudian menjadi batu sandungan dan kerikil tajam bagi usaha pemerintah Belanda untuk menjajah.

Kalau kita Ingat, penjajahan (imperialisme) pada prinsipnya adalah menguasai kelompok tertentu secara ekonomi politik. Sebelum dapat dilaksanakan dengan baik, Imperialisme meniscayakan terjadinya kolonisasi. Kolonisasi lebih bersifat paradigmatik, artinya dia mempengaruhi wilayah kesadaran dengan pemaksaan nilai, moral, agama, aturan, dan semacamnya. Ajaran Madrais dalam hal ini adalah ajaran yang menggelorakan semangat anti-kolonial dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, wajar jika kemudian Belanda sangat membenci Madrais dan ajaran yang dibawanya. Hingga untuk mengawasi gerak-gerik Madrais, Belanda harus mengirimkan mata-mata yang menginap di Cigugur, yang diingat oleh masyarakat nama mereka adalah Yakob, Steepen, Relles dan Destra.

Marginalisasi Sunda Wiwitan

Bagi pemerintah Belanda, Madrais adalah biang kerok yang selalu dicurigai siang dan malam. Segala cara pun dilakukan oleh pemerintah belanda untuk menghilangkan pengaruh ajarannya dari masyarakat Cigugur. Pada tahun 1901-1908 Belanda mengasingkan Madrais ke Marauke setelah sebelumnya dia dituduh melakukan pemerasan dan penipuan kepada masyarakat. Setalah pulang dari marauke dan kembali ke Cigugur pada tahun 1908, Belanda melarang para pengikutnya mendatangi Ki Madrais.

Tak habis akal, setelah pesantrennya dilarang oleh belanda, Madrais pun berjuang di wilayah pertanian, selain menanam padi beliau juga dikenal sebagai orang yang pertama kali menanam bawang merah di Cigugur. Pada akhirnya, pengikutnya pun bisa sering bertemu dengan madrais sebelum akhirnya ketahuan juga dan sempat beberapa kali keluar masuk bui.

Setelah ditekan selama bertahuan-tahun, Belanda memperbolehkan Madrais meneruskan ajarannya dengan syarat menyanjung-nyanjung Belanda. Meskipun pada akhirnya Belanda mengakui ajaran Madrais dalam adapt recht (hukum adat) akan tetapi hasutan terus dilakukan oleh pihak Belanda kepada Madrais. Segala cara diusahakan untuk melumpuhkan pengaruh ajaran anti-kolonial dari Madrais, termasuk saat memplintir salah satu ajaran pokok madrais. Belanda menghembuskan berita bahwa “madrais mengajarkan pengikutnya untuk minum air keringatnya sendiri”, dia adalah tukang sihir dan segala macam (kekeliruan dan stigma ini sempat dijadikan inspirasi pembuatan film Kafir yang disutradarai oleh Mardali Syarif dengan pemeran utama Sudjiwo Tejo). Padahal ucapan Madrais yang sebenarnya adalah “makan minumlah kalian dari keringat sendiri” yang berarti pengikutnya harus makan dan minum dari hasil kerja kerasnya sendiri, tidak dengan memeras orang lain ataupun meminta-minta. Inilah prinsip kehidupan mandiri, berdikari dan anti-kolonial yang diajarkan Madrais.

(Tulisan ini disusun berdasarkan pengalaman lembaga kami, Yayasan Fahmina, selama beberapa bulan berinteraksi dengan masyarakat di Cigugur, terutama komunitas Sunda Wiwitan. Sudah banyak sebenarnya yang menuliskan prihal Sunda Wiwitan serta pendampingan maupun advokasi masalah yang menimpa mereka. Tulisan ini hanya secuilnya saja untuk media alternatif lembaga kami, disusun berdasarkan laporan Abdul Rosyidi, salah satu mahasiswa Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Crebon,dan sedikit saya edit)

Sabtu, 01 September 2012

maaf, saya sedang hamil

“Maaf pak asap rokoknya, saya sedang hamil.”

Akhir-akhir ini, saya seakan harus sering konfirmasi bahwa saya adalah perempuan yang sedang hamil muda. Entah di angkot, ojek, mini bus, di kantor, di rumah, di warung makan, dan di beberapa tempat lainnya. Terutama masalah asap rokok, nyaris di manapun bisa kita temui. Jangankan bagi perempuan hamil muda yang belum kelihatan jelas menonjol perut besarnya. Bagi perempuan hamil tua yang sudah menonjol perutnya, pun terkadang para perokok itu tidak peduli. Entah faktor pengetahuan atau memang watak/karakter perokok yang begitu egois.
Setelah empat tahun menikah dan kini akan dikaruniai anak, siapa yang tidak bahagia dan bersyukur karenanya. Sejak saat itu, saya yang biasa berangkat ke kantor dengan mengendarai motor sendiri, kini mau tidak mau harus menggunakan angkutan umum. Maka terkadang meskipun terkesan lebay atau cerewet, saya akan tetap melakukannya demi melindungi janin saya. Apalagi banyak ibu hamil, terutama yang masih muda, banyak mengalami keguguran. Saya bukan seorang dokter kandungan, namun berdasarkan nasehat dari dokter, artikel yang saya baca, serta masukan-masukan antara mitos dan fakta dari sejumlah mereka yang berpengalaman, hamil muda di tiga bulan pertama (trimester pertama) memang sangat rawan. Apalagi bagi perempuan bekerja, selain kelelahan, stress karena banyak pikiran juga sering menjadi pemicu keguguran. Tak hanya mereka yang bekerja, tetanggaku yang masih tergolong ABG (Anak Baru Gede) dan perempuan rumahan, mengalami keguguran karena terlalu banyak pikiran akibat ditinggalkan suaminya setelah beberapa bulan menikah dan hamil.
Jadi, menurut salah satu dokter di Puskesmas terdekat desaku, hal mendasar yang menyebabkan para perempuan hamil muda mengalami keguguran adalah bukan karena kelelahan dan stress karena banyak pikiran. Namun karena ketidaktahuan atau ketidakfahaman para ibu hamil dalam melindungi diri dan janinnya.
Pentingnya Informasi Kespro
Bagi perempuan yang memiliki akses informasi begitu mudah dan banyak, tentunya mendapatkan informasi seputar kesehatan reproduksi (Kespro) sangatlah mudah. Namun, berpendidikan tinggi dan akses informasi mudah, belum tentu mau membaca informasi terkait Kespro jika kesadaran tentang pentingnya pemahaman Kespro belum terbangun. Itulah mengapa penting adanya sosialisasi tentang betapa pentingnya mengenal Kespro kita (baik perempuan maupun lelaki).
Apalagi sudah jelas, bahwa mendapatkan informasi merupakan salah satu dari 12 hak pokok dalam Hak Asasi Manusi (HAM) yang harus diberikan negara kepada warganya. Artinya ketika kita mendapatkan informasi, berarti sudah mendapatkan apa yang sudah menjadi hak kita. Dalam hal ini termasuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi (Kespro).
Selain soal kehamilan, hal-hal kecil dan mendasar lainnya, terkadang kita tidak benar-benar memahaminya. Dalam kehidupan sehari-hari contohnya sangat banyak, mulai dari soal keputihan, haid tidak lancar, hingga soal kamar mandi dan air yang tidak bersih dan berdampak pada Kespro kita.
Di dalam kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo dalam chapter VII dari plan of action, Kesproadalah kesehatan reproduksi mencakup fisik, mental dan sosial serta perolehan hak atas pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, efektif dan terjangkau. “Kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik, mental, kelaikan sosial yang menyeluruh dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi berikut fungsi-fungsi dam proses-prosesnya. “…hak laki-laki dan perempuan untuk memperoleh informasi dan mendapat akses pada perencanaan keluarga yang aman, efektif, terjangkau, dan layak, atas pilihannya sendiri”.

Saya jadi ingin sedikit bergeser dari soal kehamilan ke persoalan Kespro yang lebih umum lagi. Lembaga di tempat saya bekerja, Fahmina-institute pernah melakukan penelitian untuk memaksimalkan “Program Penguatan Kesadaran Kritis Kesehatan Reproduksi (Kespro) Berbasis Islam bagi Kelompok Muda dan Usia Produktif di Pondok Pesantren Se-Wilayah III Cirebon.” Nah, salah satu cara menggali informasi dari sahabat-sahabat santri puteri itu dengan cara melakukan sharing, dalam focused group discussion (FGD) di 15 Ponpes Wilayah III Cirebon pada tahun 2010. Dari FGD tersebut, ternyata banyak dari mereka yang memiliki masalah namun bingung bagaimana mengatasi masalah tersebut. Parahnya, karena ketidakfahaman mereka, mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka ungkapkan adalah termasuk masalah Kespro.
Ternyata selama ini beberapa pengetahuan santri tentang kesehatan reproduksi, salah satunya tidak didasari oleh informasi yang tepat dan benar. Bahkan ada yang justru menyesatkan dan berbahaya lho! Terutama bagi kesehatan reproduksinya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, selama ini pemahaman santri perempuan terhadap kesehatan reproduksi terbagi dalam tiga sub bahasan, yaitu pertama, pemahaman santri yang beragam dan timpang; kedua, pengetahuan santri didominasi oleh mitos; dan ketiga, Santri berada dalam dualism nilai.
Pemahaman santri perempuan terhadap kesehatan reproduksinya secara umum masih sangat terbatas. Hal ini di antara sebabnya karena tidak adanya kurikulum khusus kesehatan reproduksi yang diberikan kepada santri perempuan. Pengetahuan santri diperoleh dari berbagai sumber yang mayoritas santri sudah tidak lagi ingat sumbernya.
Hal ini, terlihat dalam setiap wawancara, santri menyampaikan pengetahuannya dengan kalimat yang ragu dan tidak yakin. Seperti yang diungkapkan dengan pernyataan “kayaknya…”, “kalau tidak salah…”, atau diakhiri dengan kalimat pertanyaan “bener nggak bu..?”. Bahkan beberapa santri secara tegas menjawab “tidak tahu” atau “lupa” ketika ditanyakan sumber informasi dari pernyataan yang disampaikan sebelumnya.
Beberapa pengetahuan santri tentang kesehatan reproduksi juga tidak didasari oleh informasi yang tepat dan benar, bahkan ada yang justru menyesatkan dan berbahaya bagi kesehatan reproduksinya. Salah satu contohnya adalah keputihan. Hampir semua santri menyatakan mengalami keputihan sepanjang masa suci (tidak menstruasi) dalam tiap bulan. Keputihan ini kebanyakan dialami seminggu sebelum haid dan seminggu setelah haid, sementara masa suci santri kebanyakan berkisar 15-20 hari.
Itu artinya, kemungkinan tidak adanya keputihan hanya sekitar seminggu di masa suci santri. Ketika mengalami keputihan, respon yang dilakukan santri berbeda-beda. Ada yang menggunakan produk pembersih vagina seperti Resik V dan betadine cair yang dicampur air hangat, ada juga yang meramu sendiri dengan air rebusan daun sirih dan ramuan dari buah delima, ada juga yang mengganti celana dua kali sehari. Pada sebagian kasus, kondisi keputihan santri ada yang sampai berwarna hijau, berbau dan gatal. Pada kasus keputihan berbau dan gatal, kebanyakan santri tidak melakukan intervensi apa-apa karena dianggap sesuatu yang sudah biasa dan tidak perlu dikhawatirkan, sebagaimana seorang santri menjawab, “…biasa aja, gak terlalu apa namanya ya…, gak terlalu penting.”
Bahkan ada kisah satu santri yang mencoba melakukan tindakan karena tidak tahan menahan rasa gatal, dengan mengoleskan minyak kayu putih pada kemaluannya. Tindakan ini menjadikannya merasa kepanasan pada area kemaluannya, namun dia mengakui rasa gatalnya berkurang. Apabila dikategorisasikan, pemahaman dan pengetahuan santri dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok yang cukup paham beberapa isu tertentu, kelompok yang mengetahui beberapa hal tentang kesehatan reproduksi, dan kelompok yang hampir tidak tahu tentang kesehatan reproduksi perempuan kecuali pengalaman yang dirasakan saja.

*tentang persoalan Kespro yang dialami santriwati di Pondok Pesantren, masih ada lagi beberapa faktor penyebab selain karena kekurangan informasi yang benar tentang Kespro. Namun saya singkatkan sampai di sini saja. Terimakasih sudah membaca.

Selasa, 14 Agustus 2012

Konflik Etnis Rohingya Berusaha Dimanipulasi ke Konflik Agama

Siapa yang tidak turut prihatin melihat kesadisan atau kekejaman seseorang atau kelompok terhadap kelompok lainnya. Apalagi jelas terlihat bagaimana tubuh manusia seperti tak berharga, bahkan meskipun diperlihatkan melalui sebuah gambar. Saya salah satunya yang pernah tidak berpikir panjang tentang gambar-gambar tersebut. Ketika ada gambar yang memperlihatkan kekejaman suatu kaum, dengan penuh empati, saya turut menyebarkannya. Apalagi saat itu gambar-gambar tersebut juga saya dapat dari orang-orang yang begitu banyak turut men-share di timeline -nya.

Namun beruntungnya banyak kawan-kawan yang segera memberitahukan kebenaran gambar tersebut, serta konteks bagaimana gambar tersebut diambil sampai akhirnya dimanfaatkan atau dimanipulasi golongan tertentu untuk menyudutkan golongan lainnya. Yang sekarang masih hangat dibicarakan terutama terkait konflik etnis Rohingnya. Baru saja saya membaca sharing tentang fakta gambar-gambar tersebut dari milis “pluralisme-indonesia” yang saya ikuti.

Apakah di antara kita juga pernah merasa, terutama sejak mulai maraknya media memberitakan konflik etnis Rohingnya, terutama beberapa bulan terakhir ini?

Berita-berita yang disebar menimbulkan prasangka yang mengintimidasi kalangan Buddhis. Konfliknya sendiri berawal dari 3 orang pria etnis Rohingya yang di Myanmar merupakan suku pendatang dari Bangladesh, memperkosa seorang gadis Myanmar suku Rakkhine yang beragama Buddha. Kemarahan warga suku Rakkhine memicu terjadinya bentrokan antara kedua etnis. Berita-berita di dunia maya dimanipulasi, bahkan unjuk rasa di Indonesia sendiri menggunakan gambar-gambar yang dimanipulasi sehingga berakibat terjadinya intimidasi terhadap kalangan Buddhis di beberapa daerah.

Berikut adalah pelurusan gambar-gambar yang digunakan oleh beberapa kalangan untuk memecah belah kerukunan ber-bangsa dan ber-agama.
Berikut adalah gambar-gambar yang dimanipulasi:

https://fbcdn-photos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-snc6/165886_3568842147951_1810485170_n.jpg

Pelurusan gambar dengan bukti-buktinya:

Gambar 1): ditulis bahwa mayat-mayat tersebut adalah Muslim Rohingya yang dibantai Biksu Buddha. Faktanya adalah umat Buddha (warga Tibet) tengah mengevakuasi korban gempa besar di Kyigudo provensi Yulshul, Tibet pada 14 April 2010. Bukti-buktinya bisa dilihat dalam video, gambar, dan keterangan lengkapnya dalam link Tibet Community.

Gambar 2): ditulis bahwa ada pembunuhan masal terhadap Muslim Rohingya oleh Biksu Buddha. Lebih dari 1000 terbunuh. Faktanya adalah foto tersebut bukan mayat, melainkan foto para demonstran Muslim yang ditangkap dan sedang disuruh tiarap oleh tentara Thailand ketika terjadi kerusuhan Pattani di negara Thailand pada Oktober 2004. Uraian tentang peristiwa ini juga bisa dilihat dalam pemberitaan Telegraph.

Selain gambar-gambar terkait konflik etnis Rohingnya, saya yakin di antara kita masih sering mendapat informasi-informasi keliru bahkan dalam bentuk gambar sekalipun. Hampir di setiap konflik, selalu saja ada pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan ini, entah karena ada kepentingan tertentu atau memang karena ketidakfahamannya dan malas mencari kebenarannya. Namun siapapun kita, sebagai orang yang menginginkan negara Aman & Damai, hendaknya mulai selektif dan tidak mudah terpancing dengan gambar-gambar yang belum jelas kebenarannya.

Mungkin di antara kita banyak yang sudah memahami dan tidak mudah terpancing untuk berprasangka pada golongan tertentu hanya dengan melihat sebuah gambar, namun sharing ini meski singkat, semoga bisa semakin membuka mata kita tentang kebenaran di balik sebuah gambar. Selanjutnya silahkan jika ada yang ingin sharing lebih banyak lagi.

Kamis, 26 Juli 2012

"obrog-obrog", tradisi membangunkan sahur

Bulan puasa tahun ini adalah bulan puasa di mana aku bisa menikmati suasana puasa seperti dulu ketika masa kanak-kanak. Menjelang buka puasa akan diramaikan dengan "obrog-obrog" seperti biasa. Paginya, "obrog-obrog" juga akan membangunkan sahurku. Kenapa aku mengatakan ini, karena selama hampir lima tahun lebih, bulan puasa pertamaku selalu ada di luar daerah kelahiranku. Dan yang tidak pernah kutemukan di daerah sekitar Jawa Barat tersebut adalah tradisi "obrog-obrog" salah satunya seperti yang kutemukan di Cirebon. Hari ini saja, sudah ada sekitar tiga grup "obrog-obrog" yang lewat di depan rumahku. Sore hari menjelang buka puasa, para grup "obrog-obrog" tersebut juga kembali menghibur warga di desa. Biasanya, saat menjelang puasa, grup bisa lebih banyak dan lebih meriah dari pada menjelang sahur.

Saat itulah aku baru sadar bahwa "obrog-obrog" belum tentu ada di semua daerah, apalagi di perkotaan. Ternyata, menurut sejumlah artikel yang saya baca, "obrog-obrog" ini juga merupakan bagian dari tradisi di Kabupaten Cirebon. Seperti keterangan dari artikel wong dewek "obrog-obrog" memang merupakan tradisi khas di Kabupaten Cirebon.
Lazimnya pada bulan Ramadhan, orang membangunkan sahur dengan cara berteriak atau memukul beduk keliling kampung. Tapi berbeda dengan wilayah pantai utara, Indramayu, Cirebon & Brebes. Di daerah pantura ini bukan saja terkena dengan beragam kekayaan laut yang melimpah, tetapi juga beragam tradisi unik ada di sana. Di sana, menjelang sahur akan ramai dengan suara nyanyian yang diiringi musik oleh suatu rombongan yang berkeliling. Bulan Ramadhan kota Indramayu dan Cirebon semarak dengan hingar-bingar musik dari kesenian obrog. Warga di daerah pantai utara (pantura) ini “dibangunkan” dari tidurnya untuk melaksanakan sahur dengan bunyi musik yang khas.

Fenomena obrog, sebagai sebuah seni tradisi sangat menarik untuk ditelisik, khususnya pada perubahan media (alat musik), bentuk, dan pergeseran fungsinya. Apa itu obrog? Nama obrog berasal dari bunyi alat musik yang sering dipakai, semacam kendang. Tidak diketahui dengan pasti kapan kesenian ini tercipta. Obrog merupakan kesenian yang banyak ditemui selama bulan Ramadhan. Selama sebulan penuh, rombongan musik obrog berkeliling dari desa ke desa guna membangunkan warga untuk segera begegas makan sahur. Mereka menyusuri desa-desa dengan memainkan alat-alat musik dan bernyanyi pagi-pagi buta. Biasanya beraksi mulai pukul 2 atau 3 dini hari.

Alat-alat musik yang dimainkan oleh rombongan obrog, dahulu berupa alat-alat musik tradisional. Sekarang rombongan obrog bermain dengan menggunakan alat musik modern. Mulai dari gitar elektrik, bass, organ, tamborin, dilengkapi dengan sound system yang didorong di atas roda. Ada juga rombongan obrog yang menyediakan panggung mini yang didorong di atas roda. Para biduannya juga banyak yang membawakan lagu-lagu dangdut kontemporer. Mirip sebuah grup organ tunggal. Pada tahun 1985-an, obrog banyak dimainkan oleh grup dangdut kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap.
Teknologi karaoke yang marak pada 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog. Beberapa tahun belakangan obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal. Pada saat bulan puasa tiba, grup obrog menjamur di sekitar wilayah pantura. Satu grup obrog biasanya masih terikat hubungan kerabat. Dahulu para pelakunya melulu kaum laki-laki. Ini disebabkan karena kaum perempuan dianggap tabu untuk keluar malam oleh masyarakat. Namun sekarang rombongan obrog banyak menyertakan perempuan di dalamnya, terutama yang bertindak sebagai seorang biduan.

Dinamika "Obrog-Obrog"
Sebagai tradisi khas bulan Ramadhan, makna kesenian obrog di Cirebon dan Indramayu telah bergeser. Ini adalah salah satu ciri kesenian daerah pantai utara yang dihidupi oleh pendukungnya, yaitu rakyat kebanyakan. Obrog adalah tradisi warga Indramayu dan Cirebon membangunkan orang untuk sahur. Inti dari kesenian ini adalah membuat bebunyian keras pada dini hari sambil berjalan berkeliling permukiman. Uniknya, saat Lebaran masyarakat akan memberi uang, beras, atau makanan sebagai tanda terima kasih telah dibangunkan sahur selama bulan puasa.

Menurut Rektor Universitas Wiralodra Ir Tohidin MP, selain fungsi religius, obrog juga menjadi media komunikasi sosial masyarakat. Di sini, kita melihat hubungan timbal balik antara pemberi dan penerima manfaat. Pengamat kebudayaan Indramayu, Supali Kasim, mengatakan, ada beberapa tradisi membangunkan warga untuk sahur di pantai utara (pantura). Misalnya, kempling, yakni membangunkan warga secara berkeliling menggunakan gamelan lengkap. Karena tidak praktis, budaya ini kalah populer dengan obrog yang alat musiknya bisa dijinjing dengan mudah.

Kata "obrog" berasal dari bebunyian yang dihasilkan alat musik semacam kendang. Sebagai tradisi masyarakat, sulit ditelusuri kapan tradisi ini berawal. Kesenian ini berkembang ketika masyarakat wilayah pantura sadar bahwa kesenian merupakan hiburan massa.



Menghibur Mereka yang Berpuasa, tapi Tidak Berpuasa

Saat ini yang lazim disebut obrog adalah permainan organ tunggal dengan biduan wanita menyanyikan lagu-lagu dangdut populer. Namun, hal itu berbeda dengan obrog pada masa lalu. Karena merupakan kesenian rakyat, obrog tidak sakral dan bisa berubah sesuai dengan pergeseran selera masyarakat. Menurut Supali, obrog mengalami perubahan dari waktu ke waktu tergantung tren yang sedang berlaku pada masa itu. Obrog zaman dahulu hanya menggunakan alat musik tradisional. Pelakunya hanya laki-laki karena perempuan dianggap tidak pantas keluar malam. Berbeda dengan sekaranng, perempuan seakan wajib ada sebagai penyanyi, sedangkan para lelaki memainkan musik. Hal ini berlaku tidak hanya pada saat membangunkan sahur, tetapi juga pada sore hari saat menjelang buka puasa.

Pada tahun 1985-an, obrog banyak dimainkan oleh grup dangdut kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap. Teknologi karaoke yang marak pada 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog. Beberapa tahun belakangan obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal. Selain pergeseran bentuk, Supali melihat pergeseran orientasi. Dahulu, bermain obrog kental dengan tujuan religius. Atau, kalaupun tidak, bermain obrog didorong unsur kesenangan termain musik.

Bahkan, banyak grup organ tunggal sudah memulai permainannya pukul 22.00. Tentu saja masih terlalu dini untuk membangunkan orang sahur. Sebab itu, ada pihak yang sebenarnya kurang setuju dengan bentuk obrog yang sekarang. Meski demikian, sejauh ini obrog organ tunggal tetap populer. Pihak yang kurang berkenan juga tidak pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan aksi anarkis.

Sekarang, tradisi obrog tak bisa lepas dari tujuan ekonomi untuk memperoleh pendapatan. Ini nyata terlihat dari adanya saweran dan pembayaran uang untuk permintaan lagu. Saya pribadi dalam beberapa tahun terakhir, merasakan bagaimana perubahan tradisi ini merupakan sebuah ironi di bulan Ramadhan. Karena tujuan ekonomi untuk memperoleh pendapatan tersebut, malah mendorong para 'artis' "obrog-obrog" tersebut menghalalkan segala cara.

Di antara mereka tidak jarang tanpa malu-malu membatalkan puasanya dengan meminum air pada saat ngobrog. Selain itu, persaingan ketat antara grup "obrog-obrog" satu desa dengan desa yang lain terkadang membuat mereka saling menghasut dan menjatuhkan. Hal lain yang menurut saya sangat tidak pantas adalah ketika meminta uang di tiap-tiap rumah, mereka memanfaatkan anak kecil yang terkadang ikut-ikutan tidak puasa. Selebihnya, kemunculan grup "obrog-obrog" yang semakin banyak, membuat warga harus mengeluarkan uang lebih banyak ketika mereka datang untuk meminta-minta uang dari rumah ke rumah.

Kamis, 05 Juli 2012

perceraian meningkat, jangan salahkan UUPKDRT

Kemarin saya baru membaca berita bahwa agka perceraian di kabupaten Cirebon semakin tinggi. Saya membacanya dari media online suarajabar. Hanya saja, ada yang membuat saya tidak nyaman ketika membacanya, yaitu kalimat “angka perceraian di kabupaten Cirebon diprediksi akan naik seratus persen”. Dalam benak saya, kok seenaknya memprediksi perceraian seperti memprediksi penjualan. Tapi saya akui informasi ini penting, setelah teridentifikasi penyebabnya, tentunya ada gambaran bagaimana agar segera dicarikan solusinya. Jika bukan dari pemerintah, setidaknya individu yang membacanya.

Data tersebut berasal dari Pengadilan Agama Sumber kelas 1, yang mencatat sebanyak 6156 kasus perceraian yang diterima selama setahun. kasus itu terdiri dari kasus cerai gugat, cerai talak, izin poligami, dan isbat nikah. Penyebab dari kasus perceraian tersebut ada beberapa faktor. di antaranya karena krisis akhlak, cemburu dan piligami tidak sehat, itu yang termasuk dalam penyebab perceraian dari faktor moral. Sedangkan dari faktor lainnya adalah karena meninggalkan kewajiban yang indikatornya karena kawin paksa, ekonomi dan tidak ada tanggung jawab. Dari penyebab perceraian karena poligami tidak sehat terdaapat 15 kasus, krisis akhlak 33 dan karena cemburu sebanyak 72 kasus. Adapun karena faktor ekonomi menjadi dominan dengan jumlah 1563 kasus dan tidak bertanggung jawab sebanyak 1351.

Saat saya memberi komentar bahwa jika memungkinkan bisa diliput bagaimana nasib perempuanya, seorang komentator lainnya (sepertinya reporternya) mengatakan bahwa perempuan yang lebih banyak menceraikan. Dia juga mengatakan bahwa menurut pihak pengadilan agama, itu disebabkan faktor HAM dan UU PKDRT. Lalu dia bertanya balik kepada saya, apakah ini faktor negatif atau positif? lalu saya menjawab, untuk menjawabnya bukan soal melamparkan atau menunjuk penyebab persoalan tersebut apakah karena faktor HAM atau lainnya, ini kasuistik.

Perempuan Semakin Memahami Haknya

Pada tahun 2009, Komnas Perempuan mendata adanya kekerasan terhadap perempuan yaitu mencapai 143.586 kasus atau naik 263% dari jumlah kekerasan terhadap perempuan tahun lalu sebanyak 54.425 kasus. Peningkatan kesadaran korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya menjadi sebuah catatan penting. Diperkirakan kenaikan tingkat kesadaran korban melaporkan kasusnya dikarenakan mereka sudah mulai memahami hak-haknya, terutama hak atas keadilan. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang telah disosialisasikan secara massif juga dinilai menjadi faktor pendukung terbangunnya pemahaman masyarakat atas hak-hak perempuan untuk memperoleh keadilan dari tindak kekerasan.

Publik lebih peka terhadap kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan bisa menerima (tidak ragu lagi) ketika ada perempuan mengadukan tentang kekerasan yang dialaminya. Lahirnya UU PKDRT yang merupakan salah satu manifestasi perlindungan hukum yang tegas oleh negara terhadap korban kekerasan. Tujuan UU PKDRT adalah untuk melindungi korban kekerasan khususnya perempuan ternyata dianggap oleh sebagian pihak memberikan peluang besar bagi terjadinya perceraian.

Angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan hanya merupakan puncak gunung es, masih banyak korban yang diam atau menutup mulut karena penanganan korban, baik dari aspek hukum, sosial maupun kebijakan institusi belumlah terbangun dengan baik, jauhnya penyelesaian kasus dari keadilan. Lebih spesifik lagi adalah data perkara KDRT yang pernah masuk di Pengadilan Agama di Kabupaten Cirebon.

Hal ini menunjukkan bahwa korban yang melaporkan/berani melaporkan perkara ke pihak berwajib adalah mereka yang mengalami kekerasan dalam kurun waktu cukup lama. Hampir tidak ditemukan, istri yang melapor karena baru sekali mengalami perlakuan kekerasan.
Bahkan berdasarkan pengalaman di lembaga saya, fahmina-institute, ketika mendampingi perempuan korban KDRT yang meminta cerai dari suaminya, terpidana kasus KDRT cenderung mengungkapkan penyesalan mendalam dan menyatakan keinginan mempertahankan rumah tangganya. Namun, korban KDRT menolak karena sudah tidak dapat lagi menahan penderitaan psikis dan fisik yang dialaminya. Jadi, tidak cukup alasan fakta yang mengungkapkan perceraian ditempuh karena perasaan dendam akibat dilaporkan oleh pasangannya. Dengan demikian, tidak bisa mengatakan bahwa munculnya UU PKDRT sebagai penyebab perceraian. Perceraian bukanlah akibat dari adanya UU PKDRT namun, salah satunya karena kekerasan itu sendiri.

Rabu, 04 Juli 2012

buktikan, siapa lebih peduli perempuan!

“Marzuki Ali bilang : menteri Pemberdayaan perempuan lebih baik dijabat lelaki karena lelaki lebih peduli pada perempuan. Ooooo kalau begitu semua jabatan harus diberikan kepada perempuan. Soal peduli ayo tanding sama kami!!! lu nyuci kolor aja kagak becus, pake bilang siapa lebih peduli , ngaca luh!!!!”
Judul artikel saya kali ini terinspirasi oleh lontaran salah satu aktifis perempuan, Lies Marcoes Natsir. Saya juga secara langsung meminta izin beliau untuk mengutipnya di artikel ini. Paragraf pertama tulisan ini merupakan lontaran asli dari status facebooknya kemarin malam. Merasa menjadi bagian dari perjuangan perempuan, tentu saja saya turut kecewa dengan pernyataan Marzuki Alie dan memahami mengapa seorang mba Lies sampai melontarkan kalimat seperti itu pada status facebooknya.

Hampir semua dari kita tentu faham bagaimana Marzuki Alie sering melontarkan pernyataan-pernyataan yang kurang bijak, bahkan sejumlah pakar komunikasi politik menilainya terlalu polos dan tidak cerdas untuk ukuran Ketua DPR RI. Kali ini, dia lagi-lagi harus berhadapan dengan publik karena melontarkan pernyataan kontroversial.

Pernyataannya lagi-lagi kurang bijak. Seperti pernyataannya tentang Menteri Pemberdayaan Perempuan, salah satunya dikutip Kompas.com pada Senin (2/7/2012). Marzuki Alie mengusulkan agar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diisi oleh laki-laki. Usulan itu disampaikan Marzuki dalam seminar “Peran Anggota Parlemen Laki-Laki dalam Pencapaian Kesetaraan Gender” di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Tentu saja, di tengah upaya memperjuangkan kuota 30% perempuan, pernyataan Marzuki Alie sangat kurang bijak dan terkesan pragmatis. Belum lagi persoalan maraknya peraturan daerah (Perda) yang cenderung mendiskriminasikan perempuan, serta Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang terus mendapat resistensi dari kelompok-kelompok tertentu, persoalan keterwakilan perempuan di parlemen, dan sejumlah persoalan perempuan lainnya. Bayangkan jika keterwakilan perempuan yang ada kemudian diganti oleh laki-laki, keterlibatan perempuan di dunia politik yang memang masih minim, bisa jadi semakin minim.

Lalu membaca status mba Lies, demikian saya menyapanya, perasaan saya merasa terwakili dengan apa yang ditulisnya melalui akun facebooknya. Mba Lies, ia adalah salah seorang penggerak feminisme Islam pertama di Indonesia.  Pada tahun 1992, mba Lies melakukan workshop pertama tentang Islam dan gender di Indonesia dan mbak Lies kini menjadi salah satu trainer di Indonesia yang menguasai metode pendidikan orang dewasa berperspektif gender. Ia pernah bergabung dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Jakarta untuk mengembangkan program penguatan hak reproduksi perempuan dan program Fiqh an-Nisa’ sebagai cikal bakal pengembangan isu gender dan Islam di Indonesia. Mbak Lies juga aktif menulis didasarkan pada penelitiannya. Pada tahun 1999-2000, mbak Lies mendapatkan MA dalam bidang antropologi kesehatan dari University of Amsterdam. Hasil penelitiannya telah dipublikasikan, baik dalam jurnal nasional maupun internasional. Selain itu, mba Lies juga masih menjadi Dewan Kebijakan LSM Fahmina-Institute. Ah, tidak ada habisnya jika harus menyebutkan bagaimana bukti-bukti perjuanagnnya untuk perempuan Indonesia.

Sementara Marzuki Alie, sebagai public figure dan wakil rakyat, seharusnya bersikap bijak, bukan justru menimbulkan kehebohan. Namun sejak menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dia terlalu sering mengeluarkan pendapat atau tanggapan yang tak jarang mengundang sebagian orang terheran-heran, bahkan dibuat jengah. Termasuk pernyataan Marzuki tentang kasus yang mrenimpa tenaga kerja wanita di luar negeri, dia tak berpihak malah berkomentar sinis, “PRT TKW itu membuat citra buruk. Sebaiknya tidak kita kirim karena memalukan.”

Pernyataannya ini sontak mendapat kecaman Indonesian Migrant Workers Union (IMWU- Serikat TKI Pekerja Rumah Tangga di Hong Kong). Ketua IMWU, Sringatin menilai pernyataan Marzuki itu menunjukkan tingkat pengetahuan dan etika dari seorang Ketua DPR. “Penyataan yang ‘asal jeplak’ ini telah menyakiti perasaan enam juta lebih buruh migran Indonesia di berbagai negeri penempatan dan anggota keluarganya, secara khusus 147 ribu BMI di Hong Kong yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga asing,” demikian Sringatin seperti dikutip hukumonline, Sabtu (26/2).

Memang benar, penilaian Marzuki Alie, justru bukan mencerminkan rendahnya skill para PRT asal Indonesia, melainkan cerminan dari bobroknya sistem penempatan buruh migran Indonesia (BMI). UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN) disebut hanya produk hukum yang berorientasi pada “jualan manusia”.

Sebelumnya, seperti diberitakan media, Marzuki Alie juga mengeluarkan pernyataan pribadi meminta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menghentikan pengiriman tenaga kerja wanita pekerja rumah tangga ke negara lain. Dia berpendapat, TKW PRT ini mencoreng citra Indonesia di luar negeri. Pendapat dia itu dilontarkan setelah bertemu Presiden Suriah beberapa waktu lalu. Salah satu yang dibicarakan adalah perilaku dan kinerja TKW PRT yang dianggap tak profesional. Misalnya tak bisa membedakan cairan setrika dan menggoda anak majikan. Akhirnya Marzuki mewajarkan ketika sang majikan marah dan menempelkan setrika di tubuh PRT.

Atau memang benar dia terlalu polos, tidak faham sejarah bagaimana Negara Indonesia yang meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik Perempuan pada masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto di tahun 1968. CEDAW diratifikasi pada tahun 1984. Pemerintah Habibie kemudian meratifikasi Protokol Opsi yang merupakan bagian dari Konvensi Perempuan. Lalu belakangan kita kembali diramaikan dengan perdebatan isu peningkatan jumlah perempuan di panggung politik, seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut terjadi tepatnya setelah pemerintah Indonesia mengambil beberapa langkah yang ditujukan untuk menyempurnakan kebijakan terkait persoalan jender. Salah satu yang utama adalah masalah gender mainstreaming, yang merupakan sebuah strategi penting yang termuat dalam Platform Aksi Beijing (Bejing Platform for Action). Keppres Nomor 9/2000 berisi arahan kepada semua sektor pemerintahan Indonesia untuk menerapkan konsep gender mainstreaming ini.

Tahun berlanjut, perdebatan tentang representasi dan partisipasi politik perempuan semakin meningkat dan mendominasi agenda politik, berkat gigihnya organsisasi-organisasi dan para aktivis masyarakat madani yang vokal menyuarakan isu ini. Salah satu isu terpentingnya adalah penerapan kuota 30 persen bagi perempuan dalam proses pemilu. Perdebatan yang terus berlanjut dan terkadang menimbulkan kontroversi seputargender dan demokrasi itu diakibatkan oleh tiga faktor dari masa lalu Indonesia. Faktor pertama adalah kenyataan historis dan berkelanjutan tentang rendahnya representasi perempuan Indonesia di semua tingkat pengambilan keputusan.

Apalagi berkaca dari hasil pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009, untuk mencapai angka kritis 30% keterwakilan perempuan sebagaimana diamanatkan Undang-undang, ternyata dalam tataran implikasinya masih sangat sulit diwujudkan. Pengalaman empirik menunjukkan bahwa perjuangan menuju ke arah itu memerlukan energi luar biasa, berupa pengawalan dan dukungan tak kenal lelah dari banyak pihak. Khususnya, gerakan perempuan serta berbagai aliansi dan koalisi masyarakat sipil perlu secara bersama-sama mengupayakan penguatan jaminan keterwakilan perempuan dalam UU Pemilihan Umum (Pemilu).

Sayangnya sampai saat ini yang terjadi, jumlah kandidat ideal keterwakilan perempuan Indonesia dalam lembaga perwakilan tidak mencapai rasio yang sama dengan jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan. Hal ini didasari pemikiran bahwa peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mampu melindungi perempuan, tidak dapat dilepaskan dari kehadiran atau representasi yang mampu melindungi perempuan dalam lembaga penentu dan pengambil kebijakan, baik di pusat maupun daerah. Seperti keterangan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dalam rilisnya, terkait keterwakilan perempuan dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pada Rabu (8/2). Ternyata bahwa keterwakilan perempuan di parlemen hanya 18% saja, atau 203 dari 560 orang anggota DPR, sementara berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik, jumlah perempuan Indonesia adalah sebesar 118.010.413 jiwa atau sekitar 49% dari total jumlah penduduk.

Kebijakan afirmatif untuk perempuan merupakan sebuah interaksi atas perlunya partisipasi politik yang luas dari seluruh kelompok masyarakat dalam pengambilan keputusan politik dengan institusi politik formal, yang juga berproses secara internal pasca otoritas yang panjang. Maka dari itu, kebijakan afirmatif perempuan dalam politik haruslah dilihat sebagai wilayah “proses bersama”. Proses tersebut penting baik bagi perempuan sebagai warga negara, gerakan/organisasi perempuan sebagai motor penggerak kemajuan perempuan, partai politik sebagai institusi rekrutmen dan seleksi penyelenggara Negara, maupun bagi rakyat sebagai pemangku kepentingan utama dari berbagai proses politik beserta.

:::
saya batasi sampai di sini, meskipun tak akan pernah puas dan butuh lebih banyak dan lebih sering lagi mengingatkan mereka yang lupa atau memang tidak memahami.