Selasa, 03 Desember 2013

Karena Kami Perempuan

Karena pekerjaan perempuan tak pernah selesai dan dibayar murah atau tak dibayar atau berulang-ulang dan karena kami lah yang paling pertama dipecat dan bagaimana penampilan kami lebih penting ketimbang apa yang kami lakukan dan jika kami diperkosa maka itu adalah salah kami dan jika kami ditampar maka pasti karena kami memprovokasinya dan jika kami meninggikan suara kami maka kami adalah sundal yang cerewet dan jika kami menikmati seks maka kami adalah 'lacur' dan jika kami tidak maka kami dibilang frigid dan jika kami mencintai sesama perempuan itu karena kami tidak bisa mendapatkan laki-laki "sejati" dan jika kami terlalu banyak bertanya pada dokter maka kami dibilang neurotik (menderita kelainan syaraf) dan/atau agresif, dan jika kami menuntut pelayanan pemeliharaan anak di masyarakat kami dibilang mementingkan diri sendiri dan jika kami bangkit berdiri untuk hak-hak kami maka kami dibilang agresif dan "tidak feminin" dan jika kami tidak maka kami dianggap perempuan lemah dan jika kami mau menikah kami dibilang menjebak laki-laki dan jika kami tidak mau menikah kami dibilang tidak normal dan karena kami belum bisa mendapatkan kontrasepsi aman yang layak tetapi laki-laki sudah bisa jalan ke bulan dan jika kami tak sanggup dan tak mau mengandung maka kami dibuat merasa bersalah atas aborsi dan.... ... ... ... ... 
atas banyak sekali alasan-alasan lainnya maka kami adalah bagian dari pergerakan pembebasan perempuan.

"Ditulis oleh Joyce Stevens untuk Pamflet Pembebasan Perempuan, pada Hari Perempuan Internasional tahun1975.
Joyce Stevens adalah penulis Taking the Revolution Home, Work Among Women in the Communist Party of Australia 1920 -1945, dan banyak buku lainnya"

sumber: kamisundal

"Habis manis sepah dibuang"

Peribahasa tersebut seakan mewakili rasa kecewa kelompok yang selama ini dianggap minoritas, berbeda, terdiskriminasi, dan terpinggirkan. Beberapa pekan ini, media komunitas tempat saya bekerja mencoba mengangkat suara-suara komunitas yang selama ini dinilai terpinggrirkan dan terdiskriminasi. Lalu terjadilah berbincang-bincang dengan tokoh-tokoh yang digambarkan demikian. Dari curahan hati mereka, peribahasa “habis manis sepah dibuang” kerap mereka ungkapkan ketika menggambarkan kekecewaan mereka atas para calon pemimpin. Dalam “Kamus Peribahasa Indonesia”, sepah sama dengan ampas. Kalau kita makan tebu, setelah tebu kita kunyah-kunyah untuk mengisap airnya yang manis dan setelah airnya habis, sepahnya kita buang. Yang kita ambil hanya manisnya saja, sepahnya tidak kita perlukan lagi, karena itu kita buang.


Dalam konteks ini, peribahasa tersebut mengiaskan seseorang/kelompok yang setelah dianggap tidak berguna lagi, lalu disia-siakan. Setidaknya demikian salah satu hal yang dirasakan mereka, korban janji manis para calon pemimpin negeri ini. Harapan akan perubahan yang lebih baik atas kondisi mereka, seakan hanya sekadar janji manis demi memperoleh suara lebih banyak.

Ya, di tengah hiruk pikuk Pemilu 2014 mendatang, beragam suara kian menggema. Tak terkecuali suara-suara yang merasa kecewa dengan Pemilu sebelumnya maupun pemilihan kepala daerah (Pemilukada) yang sampai saat ini akan dan telah berlangsung di sejumlah daerah. Menjadi apatis terhadap Pemilu, memilih Golput (Golongan Putih), serta bersuara lantang menggugat sistem Pemilu, bisa menjadi puncak rasa kekecewaan mereka atas harapan adanya perubahan yang lebih baik.

Mereka adalah kelompok yang disebut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai kelompok rentan. Karena dianggap minoritas, mereka rentan terpinggirkan dan terdiskriminasi. Termasuk suara mereka dalam Pemilu, ada yang enggan menyentuh komunitas mereka karena khawatir dianggap menjadi bagian dari mereka, atau sebaliknya, memanfaatkan suara mereka dengan janji-janji manis yang entah terlaksana atau tidak.

Tapi siapakah mereka sehingga disebut minoritas? Dari kaca mata sosiologi seperti dipaparkan Anthony Giddens dalam “Sociolog” (1995, 253-254), minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga gambaran berikut: (1) anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka; (2) anggotanya memiliki solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; (3) biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar.

Istilah minoritas di sini mengacu pada sekelompok orang yang dianggap ‘kecil’ oleh sebuah proses historis, politis, dan sosiologis, selain juga proses intelektual. Oleh karena itu, pengertian ‘kecil’ tidak selalu berarti angka atau jumlah, tetapi juga berarti posisi atau peran. Pada masa Orde Baru, orang Cina atau Tionghoa adalah kelompok yang paling sering disebut sebagai kaum minoritas karena secara politik mereka dipinggirkan, meski secara ekonomi mereka sangat dominan. Memasuki masa reformasi, istilah kaum minoritas mengacu pada kelompok-kelompok yang lebih luas, tidak hanya orang Cina atau Tionghoa, tetapi juga kaum perempuan, masyarakat adat, penganut agama non-mayoritas, Ahmadiyah, dan seterusnya.

Sampai saat ini, masih banyak partai-partai tertentu, termasuk partai Islam yang tidak pernah menjadikan isu pembelaan terhadap kaum minoritas sebagai isu utama politiknya. Bahkan, tidak jarang, partai-partai Islam ikut menyudutkan kelompok minirotas untuk menarik simpati dari kelompok mayoritas. Nasib kelompok minoritas kian mengenaskan dan di saat yang sama hukum impoten karena selalu ada kepentingan-kepentingan politik di baliknya.

Pemilu yang harusnya adil dan damai, namun tidak bagi mereka yang sampai saat ini mendapat perlakuan tidak adil baik oleh Negara maupun masyarakat golongan tertentu. Jemaat Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, mereka terancam Golput (Golongan Putih) karena tidak memiliki KTP.  

BAYANGKAN! Seperti apa wajah demokrasi Indonesia ke depan kalau Golput semakin menjadi pilihan politik masyarakat? Maka, sangat mungkin kekuatan legitimasi kekuasaan pun menjadi berkurang. Dengan meningkatnya perlakuan diskriminasi seperti dirasakan komunitas seperti Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah komunitas adat, sangat mungkin akan terjadi peningkatan angka Golput. Kenapa semakin banyak orang memilih Golput? Selain mungkin karena ada kesalahan administrasi, setidaknya ada tiga penyebab. Pertama, bisa jadi karena mereka kecewa terhadap praktik demokrasi. Mereka tidak percaya bahwa Pemilu akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Kedua, mereka tidak sreg dengan kandidat yang ditawarkan untuk dipilih. Ketiga, hari pelaksanaan Pemilu yang diliburkan membuat mereka lebih memilih untuk berlibur ketimbang harus datang ke TPS.

Janji-janji kampanye yang menggiurkan ternyata tidak mampu memikat mereka. Kenapa? Betapa mereka sudah kenyang dengan janj-janji, yang semuanya dianggap sebagai kebohongan dan kemunafikan. Bukti tentang itu tersaji secara terbuka berdasarkan Pemilu-Pemilu sebelumnya.

Selasa, 24 September 2013

sesuatu itu "menulis"

sesuatu itu sungguh mampu melenakanku. jika sudah memulainya maka waktu terasa begitu kejam, karena terpaksa harus kuhentikan. sesuatu itu membuatku selalu ingin melakukannya lagi dan lagi. mengikat pikiranku. memanggil-manggilku untuk segera dikerjakan. berusaha kubunuh di waktu tertentu tapi hidup lagi di pikiran. terus mengejar-menuntutku untuk menuntaskannya. sesuatu itu adalah menulis. apapun kalimat di dalamnya, selesai tidak selesai, di ruang manapun, dinikmati sendiri atau oleh yang lain, sesuatu itu tak pernah mati kendati kubunuh berkali-kali di saat-saat tertentu kuingin membunuhnya. sesuatu itu adalah menulis.

kali pertama aku menyapanya, ia begitu ramah. bahkan ketika aku merasa ditinggalkan oleh siapapun, ia begitu hangat merangkulku. ia mengajariku bagaimana menahan sebuah atau beberapa emosi. ia mengajariku kemandirian, dan kekuatan-kekuatan lainnya. banyak istilah yang ingin kuungkap tentangnya. dan sesuatu itu adalah "menulis". terimakasih kepada Sang Maha Pencipta yang menganugerahiku kecintaan tuk menulis. apapun itu.

Kamis, 19 September 2013

dunia ruang kepala

benar. setiap perubahan, kerugian, seharusnya tidak membuat kita seperti seorang 'korban'. orang lain bisa saja mengguncang kita, mengejutkan kita, bahkan mengecewakan kita. tetapi mereka tidak dapat mencegah kita dari melakukan sesuatu, mengambil hikmah dari setiap kejadian, lalu 'moving on'. tidak peduli di mana kita berada, tidak peduli bagaimana situasinya, kita selalu bisa melakukan sesuatu. kita selalu punya pilihan dan pilihan tersebut bisa menjadi kekuatan. benar juga, ketika seseorang atau seluruh dunia tidak menerimamu, maka ciptakanlah duniamu sendiri di hatimu, di dadamu, di ruang kepalamu, di mana pun dengan caramu sendiri. dan sekecil dan sesimpel apapun itu, jangan lupa, seorang bijak Paulo Coelho menulis "the simple things are also the most extraordinary things, and only the wise can see them".

-aku tidak dalam dilema, karena aku yakin sesuatu itu bukan akhir.

Selasa, 16 Juli 2013

mengurai kehidupan mulai dari istilah gender

sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki mengomentari seorang perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan oleh lelaki. lalu, tiba-tiba dia berseloroh, "waaahh...gender banget" atau komentar-komentar lain yang intinya merujuk pada istilah "gender". bagi saya yang merasa telah membaca, mencoba memahaminya baik dari pengalaman sehari-hari maupun dari bacaan tentang apa itu gender, rasanya ingin sekali meralatnya, tapi setiap orang memang butuh proses tersendiri. karena istilah gender, bisa jadi tidak hanya butuh dipahami, tapi juga mau diterima atau tidak. artikel berjudul "mengurai kehidupan mulai dari istilah gender" yang ditulis oleh Mariana Amirudin ini adalah salah satu dari sekian banyak artikel yang memaparkan tentang apa itu istilah gender. selamat membaca kawan...
*****
Masih banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa istilah gender semata-mata merujuk pada perempuan. Masih banyak pula yang salah paham atau rancu dalam memahami istilah gender dan jenis kelamin (seks). Kesalahpahaman tersebut bahkan masih terjadi pada pihak-pihak yang berurusan dengan program-program kesetaraan gender di Indonesia. Saya tidak ingin mengatakan bahwa ini suatu kesalahan, tetapi ini suatu pekerjaan kita semua yang memiliki keahlian khusus di bidang studi gender (gender expert). Istilah gender memang perlu dipahami secara tuntas, sebelum kita menggunakannya, mengucapkannya, dan sebelum kita bekerja untuk hal tersebut.

Ada banyak pengertian terkait dengan istilah gender. Gender memang bukan berakar dari bahasa Indonesia, dan gender bukanlah sekedar satu kata dengan satu pengertian. Gender adalah sebuah konsep yang menceritakan banyak hal mengenai kehidupan dua jenis kelamin manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Istilah gender berangkat dari kesadaran kita bahwa manusia tidaklah satu, manusia bermacam-macam, dalam hal ini adalah jenis kelaminnya.


Gender, merujuk pada suatu kebudayaan yang memperlakukan -- manusia  berjenis kelamin -- laki-laki dan perempuan secara berbeda, yang padahal dalam prinsip kemanusiaan, mereka adalah dua jenis manusia yang memiliki hak-hak kemanusiaan yang setara. Gender merujuk pada suatu pandangan kebudayaan sosial masyarakat, yang membuat kehidupan perempuan dan laki-laki dibedakan, membuat pengalaman kehidupan dibedakan. Gender adalah istilah yang ingin menerangkan bahwa, ada faktor-faktor di luar eksistensi manusia yang mempengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Gender bukan soal jenis kelamin, sementara jenis kelamin adalah semata-mata bicara soal biologi. Perempuan punya rahim, payudara, bisa melahirkan, menyusui, mengandung, sedangkan laki-laki tidak. Laki-laki memiliki sperma untuk membuahi sel telur, laki-laki punya hormon khas, yang berbeda dengan hormon perempuan untuk melakukan fungsi biologisnya.

Namun fungsi-fungsi biologi laki-laki dan perempuan ini kemudian dicampur-aduk dalam kehidupan sosial politik mereka. Padahal determinasi biologi laki-laki dan perempuan ini semata-mata perangkat reproduksi tubuh mereka, yang terjadi pula pada berbagai macam spesies mahluk lainnya, yang seharusnya tidak ada intervensi penilaian atau pandangan sosial apapun diluar fungsinya. Jenis kelamin bukanlah gender, tetapi eksistensi biologi mahluk manusia.

Gender adalah di luar faktor-faktor biologi manusia, dan istilah gender sebetulnya ingin menjelaskan bahwa ada persoalan dalam dua jenis kelamin ini dalam kehidupan sosial politik mereka. Ada persoalan dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam menghadapi keadaan sosial politik mereka. Persoalan itu bukan dari diri mereka yang lahir dalam keadaan (berjenis kelamin) laki-laki atau perempuan, tetapi karena cara pandang sosial politik masyarakat terhadap mereka. Gender adalah istilah yang dapat kita umpamakan sebagai kunci yang berhasil membuka kotak misteri kehidupan manusia, dan ketika kotak misteri itu dibuka, nampak isinya berbagai macam masalah, yang ternyata masalah itu dapat mengakibatkan seseorang atas dasar jenis kelaminnya, mengalami diskriminasi atau ketidakadilan yang mengerikan. Mengurai masalah dari kotak misteri tersebut tidak mudah, karena kita perlu menyadari terlebih dahulu fakta-fakta bahwa misalnya seseorang mengalami pelecehan ataupun kekerasan seksual akibat jenis kelamin mereka. Perempuan, dan anak-anak perempuan adalah jumlah terbesar yang menjadi korban kekerasan seksual karena kekerasan tersebut terjadi semata-mata karena mereka perempuan.

Kekerasan dalam rumah tangga, sebagian besar perempuan, semata-mata karena mereka perempuan, istri, ibu, yang dalam kebudayaan kita terutama dalam perkawinan, adalah jenis kelamin yang harus tunduk dan patuh pada laki-laki atau suami, karena hanya jenis kelamin laki-laki yang diakui menguasai rumah tangga. Karena hubungan kuasa dan yang dikuasai inilah sangat rentan terjadi kekerasan. Di dalam rumah, suami akan sangat rentan melakukan kekerasan terhadap istri, sementara dalam kehidupan publik atau di luar rumah, sang suami di tuntut mencari nafkah, menghidupi seluruh kebutuhan keluarga secara ekonomi, harta benda, jaminan sosial dan kesehatan, yang padahal dalam dunia kerja mereka mengalami ketidakadilan yang sama, saat ada hubungan yang berkuasa dan yang dikuasai. Bagi laki-laki yang hanya memiliki jabatan rendah, dan ekonomi yang pas-pasan, mereka tidak menemukan kebahagiaan sekalipun ia memiliki seorang istri yang mendukungnya secara penuh. Tuntutan sosial politik yang berlebihan pada laki-laki untuk sukses dan mapan, adalah tuntutan yang membuat mereka harus istimewa, harus menjadi super. Bagi yang tidak berhasil menjadi superman, banyak mengalami frustasi, mengalami ketidakpercayaan diri, rusak mentalnya, dan rumah tangga menjadi sasaran, dan tindakan kekerasan rentan terjadi pada dirinya.

Istilah gender ingin menjelaskan bahwa persoalan laki-laki dan perempuan berawal dari rumah. Dari tempat tidur, dapur, dan urusan rumah tangga. Kotak misteri yang selama berabad-abad tak terjangkau inilah ternyata terletak di dalam gudang alam bawah sadar rumah tangga sekelompok manusia bernama keluarga, yang tertutup rapat dan tidak bisa diketahui orang lain tentang hal-hal yang terjadi di dalamnya. Tanpa disadari persoalan rumah tangga ternyata terepresentasi dalam persoalan politik ekonomi dan hukum kita, yang mewakili hampir sepenuhnya kebudayaan kita yang belum tentu adil terhadap laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak diharapkan untuk menjadi pintar, bekerja, berkarir dan sukses di bidang-bidang tertentu, mereka hanya diharapkan mengelola rumah tangga, mengasuh anak.

 Sementara laki-laki ditempatkan berseberangan dengan perempuan, mereka harus sukses dalam kerja, harus pintar, harus punya karir yang tinggi, harus kaya raya. Tidak ada yang lebih tidak berharga dari seorang laki-laki yang miskin tidak mampu menafkhi keluarganya, daripada perempuan yang miskin tetapi bisa dinafkahi oleh suaminya. Tidak ada yang lebih terhina daripada seorang suami dinafkahi oleh istrinya sehingga ada istilah “numpang di ketiak istri”. Laki-laki akan mengalami frustasi dan kerendahan diri yang luar biasa. Atau dalam tradisi dan agama tertentu, seorang istri diperbolehkan dipukul oleh suaminya, apabila dia tidak ijin keluar rumah. Pemukulan pada istri adalah suatu tindakan yang dianggap amat sangat wajar dalam hal ini. Bukankah ini suatu keganjilan ketika kita bicara soal kemanusiaan?

Istilah gender ingin menjelaskan bahwa kebudayaan telah membuat hubungan dua jenis kelamin manusia, laki-laki dan perempuan, mengalami kesenjangan dengan jurang yang begitu dalam. Mereka “tidak nyambung” dalam berkomunikasi, mereka terbangun oleh mental dan cara berpikir yang berseberangan. Mereka berdiri di atas kebudayaan mereka masing-masing. Budaya perempuan sangat berbeda dengan budaya laki-laki. Nilai-nilai mereka terpecah menjadi dua. Mereka disebut maskulin dan feminin. Mereka tidak boleh bertukar peran, yang padahal hakekat manusia begitu indahnya, sama-sama memiliki pikiran, hati dan jiwa, yang seharusnya teraktualisasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka dipenjara oleh peran-peran atas alasan jenis kelamin mereka, dan inilah fungsi dari konsep gender, dan dalam perkembangannya gender menjadi sebuah studi yang dapat dipelajari melalui berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, antropologi, sosiologi, politik, hukum, seni dan kebudayaan, juga sains dan teknologi. Istilah gender adalah sebuah pisau yang membentangkan kenyataan pahit konstruksi sosial dan budaya yang diyakini dan dipercaya sebagai kebenaran atau takdir manusia ternyata hanya membuat dua jenis kelamin manusia ini terus menerus dirundung masalah, tanpa tahu bagaimana menyelesaikannya. Inilah yang disebut ketidakadilan gender.

Kamis, 31 Januari 2013

lagi, perempuan dalam cengkeram kebijakan diskriminatif

...Proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya...(Komnas Perempuan, 2012)

Saat ini perbincangan publik tengah diramaikan dengan pro dan kontra larangan perempuan yang ngangkang saat di sepeda motor.  Pro kontra tersebut mengemuka setelah Walikota Lhokseumawe, Suaydi Yahya menyatakan berencana mengeluarkan peraturan larangan tentang perempuan ngangkang ketika naik sepeda motor. Sontak pernyataan ini menjadi pembicaraan hangat yang terus bergulir di masyarakat, terutama di social media. Seperti diketahui umum, sebelumnya Aceh juga memberlakukan larangan perempuan memakai celana jeans.

Suaydi menilai bahwa, perempuan duduk ngangkang di atas sepeda motor dinilai tidak sesuai dengan Syariat Islam dan adat istiadat setempat. Larangan duduk ngangkang tersebut hanya bagi perempuan. Nantinya, penumpang yang duduk di belakang juga dilarang memakai jeans karena pakaian seperti ini dinilai tak sesuai syariat Islam. Dengan dalih tambahan untuk meneruskan budaya dalam masyarakat yang hampir hilang, Suaydi begitu yakin dan memastikan akan menetapkan aturan tersebut. Bahkan ia juga akan segera menghimbau masyarakat di desa-desa. Namun seperti dikutip sejumlah media massa, kendati dia mengaku belum memastikan bentuk aturan yang akan diberlakukan tersebut, namun sejumlah pihak telah mengeluarkan argumentasinya terkait pelarangan yang ditujukan pada perempuan ini. Yang cukup berbeda, kali ini bukan hanya Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah aktifis gerakan perempuan yang tidak sungkan menyatakan keberatan dan larangannya terhadap rencana pemberlakuan tersebut, namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turut mengeluarkan argumen yang intinya bias memberatkan rencana pemberlakuan aturan tersebut.

Buruknya Kualitas Pendidikan

Komnas Perempuan menilai larangan perempuan duduk ngangkang di sepeda motor, adalah peraturan sia-sia. Selain tidak perlu diatur, hal tersebut dianggap mengada-ada dan bermuatan politis. Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan, Husein Muhammad seperti dikutip Okezone.com pada Rabu (2/1/2013) , menilai kebijakan Pemkot Lhokseumawe tersebut menandakan buruknya kualitas pendidikan. Menurutnya, masih banyak hal yang perlu diperhatikan, namun para pemegang kebijakan justru lebih mengurusi hal-hal sepele. Seperti masalah pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, itu yang menurutnya semestinya menjadi perhatian. Kebijakan juga semestinya dibuat bukan untuk mengatur individu atau moral personal melainkan publik secara umum.

Kebijakan yang akan segera diberlakukan di Lhokseumawe itu , dinilainya sebagai peraturan yang pertama kali ada di dunia. Sebab menurutnya, negara-negara Islam pun tidak memberlakukan peraturan itu. Tidak ada negara yang memberlakukan aturan seperti di Aceh, bahkan negara seperti Mesir dan Pakistan juga tidak memberlakukannya. Komnas Perempuan juga akan melayangkan surat ke sejumlah instansi terkait mengenai peraturan kontroversial itu.

Syariat Islam Tidak Mengatur Perempuan Ngangkang

Alasan tidak sesuai syari’at seperti diungkapkan Suaydi, segera dibahas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menyikapi Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh, yang akan memberlakukan larangan bagi perempuan duduk terbuka atau ngangkang di atas sepeda motor.  Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan, dalam Syariat Islam tidak ada aturan yang secara jelas membahas perempuan duduk ngangkang. Hal tersebut lebih menyangkut etika dan sopan santun, bukan pada hukum Syariat Islam. Bahkan jika dengan duduk ngangkang, lanjut Amidhan, tidak membahayakan ketika mengendarai sepeda motor, maka hal tersebut justru dianjurkan. Untuk kepentingan yang mendesak, maka ngangkang di sepeda motor di-ma’fu (dimaafkan).

Kendati demikian, menurut Amidhan, aturan yang akan diberlakukan di Lhokseumawe itu karena sebagai daerah otonomi khusus sehingga dapat membuat aturan tersendiri. Ada tiga hal yang menjadi landasan diterbitkannya suatu aturan baru yakni, pada aspek budaya, pendidikan, dan Agama Islam.

Larangan perempuan ngangkang ketika mengendarai sepeda motor, tambah Amidhan, bisa jadi hanya cocok diberlakukan di Aceh dan beberapa daerah lain yang memiliki kebiasaan atau budaya menutup aurat. Seperti Kalimantan Selatan dan Sumatera Barat yang kental nuansa agamanya, ketika perempuan dibonceng duduknya satu arah. Itu bukan karena aturan agama, melainkan kebiasaan dan budaya di sana. Berbeda halnya ketika di kota besar seperti Jakarta, perempuan yang duduk satu arah ketika dibonceng sepeda motor justru mengancam keselamatan jiwanya. Sebab kondisi lalu lintas yang padat dan macet, membuatnya rawan jatuh.

Lagi-lagi Perempuan Menjadi Objek Kebijakan

Sejumlah pro kontra yang bermula dari rencana pemberlakuan kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) di Aceh, ini mau tidak mau mengingatkan kita pada sejumlah kebijakan yang juga tak kalah ramai menuai pro kontra. Mungkin kita masih ingat membaca berita atau setidaknya mendengar tentang peristiwa meninggalnya Lilis Lisdawati pada tahun 2008. Ia adalah korban salah tangkap berlatar belakang Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005 di Kota Tangerang. Saat itu media setempat cukup ramai memberitakan ini, salah satunya seperti diberitakan Suara Warga (Edisi 007/011), Lilis Lisdawati adalah karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan. Suaminya Kustoyo, adalah guru SD. Tanggal 27 Februari 2006, Lilis ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di daerah Tangerang. Ia dituduh telah melanggar Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Aturan Perda tersebut memang multitafsir sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menyebabkan salah tangkap. Pasal 4 ayat 1 misalnya, menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah.”

Petugas lalu bisa menangkap seseorang, terutama perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah pelacur (PSK). Meski telah menyampaikan bahwa ia bukan PSK, Lilis tetap ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8 hari penjara dan denda Rp 300 Ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4 hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda tersebut.

Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan Lilis semakin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda tersebut. Alasannya, Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk merehabilitasi nama baik Lilis. Lilis mengalami keguguran pasca peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar dari pekerjaan karena tertekan dengan tudingan beristrikan pekerja seks. Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008 dalam kondisi depresi.

Tangerang adalah satu dari 38 daerah yang memiliki perda tentang pelacuran yang mengkriminalisasi perempuan. Tidak satupun peraturan daerah serupa ini yang dibatalkan. Bahkan, Mahkamah Agung juga kembali menolak permohonan judicial review untuk Perda serupa dari Bantul. Kali ini dengan alasan bahwa permohonan diajukan melewati batas waktu yang diperbolehkan, yaitu 180 hari sejak Perda itu ditetapkan. Dari depresi Lilis hingga meninggal dunia, setidaknya jelas bagi kita bahwa ini efek dari penahanan-nya atau efek dari berbagai masalah (sosial, hukum, ekonomi) yang juga turut di-blow-up media. Selain Lilis, ada sejumlah korban salah tangkap petugas ketentraman dan ketertiban (Tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang juga dicurigai sebagai pelacur.

Selain korban salah tangkap Perda Tangerang, yang juga cukup ramai diberitakan adalah kasus penggundulan di Aceh oleh polisi Syariah. Meskipun pada akhirnya Qanun Jinayat yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2009, harus segera dibatalkan untuk kemudian dilakukan revisi dan dilengkapi sesuai dengan kaidah hukum Islam kaffah atas desakan Ulama se-Aceh. Menurut mereka, dalam sejumlah pemberitaan, Qanun tersebut masih mengabaikan hal-hal prinsipil dalam Hukum Islam. Ulama Aceh juga mengimbau semua pihak baik Gubernur, politisi, DPRA, Ulama dan komponen masyarakat agar turut berpartisipasi member masukan kepada ulama. Hal tersebut terkait polemik yang terjadi terhadap pengesahan Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang disahkan pada pertengahan September 2009.


Perda Berpotensi Merugikan Perempuan

Berdasarkan hasil mini riset penulis dan kawan-kawan (dkk) tentang Qanun Jinayat pada tahun 2009, tahun 1998 awal mulai terjadi dinamika politik hukum Indonesia, yang ikut membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum Islam yang merupakan bagian dari hukum nasional turut mengalami perubahan, tidak terkecuali sektor hukum pidana (jinayat) yang sebelumnya penuh dengan ketidakmenentuan. Dinamika hukum, terutama sekali, ditandai peralihan sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem otonomi. Sistem ini tertuang di dalam UU No. 32 Tahun 2004. Provinsi Aceh yang mayoritas muslim dan memiliki pengalaman di bidang hukum Islam Qanun dan memberlakukannya di dalam sosio-yuridis masyarakat. Masa dinamika ini kerap dikenal era reformasi. Bagi Aceh, era ini menjadi awal penyelesainan konflik selama 30 tahunan secara beradab, melalui jalur perundang-undangan.

Lalu tahun 2000-an mulai marak kemunculan Perda-perda diskriminatif, bahkan dalam beberapa tahun terakhir sejumlah hasil penelitian mengungkap Perda-perda diskriminatif di Indonesia semakin meningkat. Dimulai dari munculnya sejumlah pemberitaan tentang deretan persoalan dalam menyikapi proses eksekusi atas seorang terpidana, mulai dari gugatan atas konsistensi perundang-undangan yang dianggap merendahkan martabat, tidak manusiawi, tidak efektif dan lan sebagainya. Termasuk awal tahun 2012 ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis data tentang maraknya berbagai kebijakan diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan Jender, berupa kebijakan di tingkat nasional maupun kebijakan lokal.

Dalam kajian perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pronografi, yang justru menghalangi perempuan untuk dapat menikmati hak asasinya secara utuh khsususnya hak atas kepastian hukum dan atas kebebasan berekspresi. Komnas Perempuan mencatat hingga bulan Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebanyak 78 dari 207 kebijakan tersebut secara khusus menyasar pada perempuan, lewat pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan.

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, melihat proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya.

Pentingnya Peningkatan Keterwakilan Perempuan

Di sisi lain, dalam dunia politik sendiri, perempuan adalah bagian dari warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi. Termasuk jumlah perempuan yang duduk di DPR-RI hasil 10 kali Pemilihan Umum yang tidak pernah mencapai angka kritis 30% adalah buktinya. Padahal, minimnya keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan secara lagsung akan menyebabkan suata perempuan menjadi tidak terwakili, sehingga pengalaman khas dan spesifik yang dialami perempuan tidak terangkat. Lebih jauh, masih berdasarkan rilis yang pernah dikeluarkan Komnas Perempuan pada Rabu (8/2/2012), fakta kekerasan terhadap perempuan akan kehilangan ruang untuk disuarakan dan diangkat sebagai bagian dari persoalan bangsa yang harus dicegah dan ditangani.

Berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh per seartus) merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Penetapan 30% ditujukan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan politik. Dengan demikian, diharapkan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menjadi salah satu ruang penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan publik.

Sumber tulisan: okezone.com pada tanggal 2, 3, dan 4 Januari 2013; hasil mini riset Alimah dkk tentang Qonun Jinayat tahun 2009; salah satu tulisan penulis (Alimah) di http://kppri.or.id/index.php/id/artikel/11-perempuan-dalam-cengkeraman-kebijakan-diskriminatif; http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/02/apa-kabar-perda-diskriminatif-474053.html

Rabu, 19 Desember 2012

salju dan catatan ke sekian

pagi buta tadi, aku menyadari satu hal. bahwa salju sudah berjatuhan memenuhi ruangan blog-ku. kau yang pernah merasakan nyata bagaimana lembutnya salju dan menyaksikan bahwa mereka memang benar-benar putih, mungkin akan menertawaiku yang menulis ini. tapi ini adalah kali ke sekian, seperti biasa di bulan yang sama, Desember. di bulan itu, tanpa sadar catatanku dipenuhi tema tentang “kelak”. kelak aku akan seperti ini, melangkah seperti ini, mendapatkan ini dan itu dan seterusnya.

tapi setelah pagi buta itu, aku tak langsung mencatatnya di blog ini. aku malah asyik mengikatnya di ruang kepalaku. tak ingin tema “kelak” itu lari dari ruang kepalaku, aku pun terus berkisah tentang “kelak”-ku. orang pertama yang dengan setia mendengarkanku adalah seorang sepupu perempuanku yang mimpinya juga sama besarnya denganku. sementara orang kedua setelah sepupuku adalah kakak perempuan iparku, yang juga memiliki rencana-rencana yang tak terduga.

tiba-tiba, aku merasa lelah dengan pikiranku sendiri. pikiran yang tak habis-habisnya dipenuhi gagasan tentang sesuatu. yang bahkan terkadang memenuhi dan menuntut untuk dituntaskan pada saat yang kurang tepat. beruntung aku menyadarinya. ibuku yang dulu terbiasa melihat pekat di mataku, mungkin tak pernah menyangka aku menyimpan sesuatu yang begitu besar yang kapanpun bisa meledak. tapi tidak, aku menyadarinya, artinya aku faham kapan semua itu akan kuledakkan.

kali ini aku dalam proses menahan. menahan semua itu untuk tidak berjalan begitu cepat. meski jika kumau, aku bisa mempercepatnya. tentang bagaimana aku menahan semuanya, hanya aku yang faham. kendati mereka tak berhenti bertanya dan menuntutku, aku tetap bertahan dengan ‘pertahananku’. lalu aku akan terus berterimakasih pada Tuhan karena mampu membuatku bertahan dengan pertahananku. sampai tiba saatnya aku kembali menjalankan satu demi satu rencana-rencana besarku. bagiku, semua rencana bernilai besar. tapi untuk sejenak, saat ini, biarkan aku merasakan kenyataan dari mimpiku dahulu. 
sebelum kembali pada kelak-kelak berikutnya. yang berarti aku tidak lagi dengan “dunia sendiri”, tapi ada si kecil yang menemaniku yang juga akan kudengarkan mimpi-mimpinya.