Kamis, 19 Januari 2012

sedikit mengenal perempuan Lombok

bagiku sepertinya sulit mencari istilah yang tepat untuk judul di atas. bagaimana agar tetap berbagi cerita yang tak sekadar berbagi. tapi bersama-sama membangun sudut pandang yang tetap memihak perempuan. maka tanpa berpikir agar bombastis dan memang tidak ada kepentingan agar bombastis, maka secara sederhana kuberi judul yang sangat biasa. selain itu, tulisan ini juga tidak untuk mewakili bagaimana gambaran perempuan Lombok seluruhnya, ini hanya sedikit yang baru kuketahui dari perempuan Lombok. ini juga tentang perempuan Lombok juga label-label yang dilemparkan pada mereka. yang jujur, aku masih tidak sepakat dengan itu dan mencari istilah yang tepat untuk menggantikannya. pertemuan pertamaku dengan mereka, perempuan Lombok, sangat singkat. tepatnya awal Oktober 2-5 Oktober 2011 lalu. itu pun hanya demi kepentingan salah satu workshop. namun sebelumnya aku telah mendengar cerita salah seorang kawan aseli Lombok dan juga salah satu peneliti budaya Lombok. selebihnya hanya membaca dari media. dan awal Oktober itu adalah pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di Lombok dan menatap secara langsung perempuan-perempuan Lombok.

sampai pada awal Januari lalu menemukan sebuah artikel tentang Lombok Pulau Janda yang diangkat di website Radio Nederland Wereldomroep Indonesia (NWI). pemilihan judul artikel yang cukup singkat itu membuatku risih, meskipun ampuh untuk menarik pembaca dan menggelitik pemerintah agar lebih memperhatikan nasib mereka. menulis apapun, akan memiliki kesan tersendiri pada pembacanya. maka menulis sesuatu juga harus ada perspektif tersendiri. bagiku pribadi, menulis tentang perempuan maka wajib menggunakan perspektif gender, artinya tulisan tersebut memiliki keberpihakan terhadap perempuannya. keberpihakan ini yang kemudian berpengaruh pada pemilihan judul dan kata-katanya. memang di sini kita harus berhati-hati, tidak semata bombastis. karena apa yang akan kita tulis berdampak pada sudut pandang dan imajinasi yang dibangun pembaca terhadap objek penulisan.


tentang label “janda”


sebelum berlanjut pada artikel (NWI), mari sejenak berbagi kembali pada label “janda”. janda adalah sebuah predikat bagi seorang perempuan (isteri) yang tak lagi bersuami, baik ditinggal cerai atau ditinggal mati. secara sosial predikat janda cerai kerap menimbulkan ‘hambatan psikologis’ dalam berinteraksi. bisa jadi hambatan ini muncul lantaran cerai berkonotasi dengan ‘huru-hara’. konotasi ini semakin menghujam karena tak menjelaskan siapa yang membuat ulah dan akhirnya siapa yang bersalah. masalah ini hanya konsumsi ruang privat bukan publik. namun, tak urung menjadi pembicaraan publik. lain lagi dengan isteri yang ditinggal mati sang suami. predikat ini dianggap masih mengundang rasa simpatik. kendati demikian, tetap tak mampu mengubah omongan miring yang membuat hati miris.


tapi mengapa masyarakat tidak merasa perlu terjun dalam ‘kesibukan’ saat melihat fenomena para duda? padahal realita keduanya sama. sama-sama ditinggalkan cerai atau ditinggal mati pasangannya. realitasnya, janda lebih ‘survive’ menghadapi kehidupan selanjutnya dibanding duda, meski harus berperan ganda sebagai ibu dan ayah. status janda akhirnya menjadi “sesuatu yang berbeda”. ‘perbedaan’ itu memang telah lama dicitrakan oleh masyarakat sekaligus ‘disetujui’ pula oleh masyarakat pada umumnya. meski semestinya, sebagai fenomena kemanusiaan, status janda tidak harus disikapi dengan berlebihan.

janda. sebuah label yang membuat banyak perempuan takut menyandang predikat itu. tak sedikit yang menganggap perempuan berstatus janda, terutama karena cerai, bukan sebagai ‘warga’ masyarakat biasa. seakan ada catatan merah. ada lingkaran penanda.


‘gelar’ baru pulau Lombok


di ruang kepala kita, selain Lombok dikenal sebagai pulau seribu masjid, bayangan lainnya adalah keindahan alamnya, juga pantainya yang indah. namun selain itu, Lombok juga dikenal dengan jumlah penduduk perempuannya yang lebih banyak dari kaum lelakinya. mereka yang pernah ke Lombok, setidaknya akan berkisah bahwa selama di Lombok mereka lebih banyak bertemu dengan perempuan. termasuk pengalamanku ketika pertama kali menginjak Lombok dan mencicipi Bandara barunya. di depan Bandara dipenuhi warga sekitar yang juga tengah asyik menikmati Bandara baru mereka. sebagaian besar mereka adalah perempuan dan anaknya. selain itu, mereka menjadi pedagang di pasar tradisional, pelayan di hotel atau bahkan perempuan yang gigih menawarkan cindera mata khas Lombok di tempat-tempat wisata. senyum di bibir kering mereka tetap tulus, meski di tengah terik dan juga keringnya Lombok sekitar Bandara. sepertinya mereka baik-baik saja, tidak ada yang faham bahwa sebelum mereka berangkat bekerja untuk menjajakan barang dan jasa mereka, paginya mereka mendapat kekerasan dari suami -suami mereka baik dalam bentuk fisik maupun batin. setidaknya demikian penggambaran mereka yang pernah menyaksikan secara langsung kehidupan perempuan Lombok.


kekerasan terhadap perempuan di pulau nan indah ini sepertinya sudah menjadi mainstream yang berlaku luas pada masyarakat Lombok pada umumnya. bahkan fenomena kawin cerai menjadi hal yang biasa dan seakan tidak ada masalah dan sangat biasa. termasuk cerita Fadlurrahman, Administrative Reform Team @Center for Good Governance Jogja. dia memiliki catatan tersendiri tentang ini, setidaknya, paparnya, ia menjadi saksi bagaimana pola ini membentuk circle yang melekat erat dalam budaya masayarakat Lombok pada umumnya.


sementara dalam artikel NWI tersebut, Pulau Lombok, NTB, mendapat gelar baru karena kerap disebut sebagai pulau dengan ribuan janda. meski lagi-lagi aku tidak sepakat dengan gelar tersebut, karena akan berdampak pada bagaimana perempuan Lombok dilihat dan diperlakukan dunia. bahkan meskipun pemerintah telah mencoba menghapus gelar tersebut, akan sulit hilang di kepala kita karena telah melekat kuat. perempuan yang ditinggalkan suaminya itu, pada umumnya masih berusia belia, belasan tahun. para suami dengan mudahnya menceraikan isteri, dan perempuan-perempuan muda itu tak berdaya. lalu salah satu reporter KBR68H Rony Rahmatha menemui para perempuan yang disebut “janda muda” tersebut di sejumlah daerah di Lombok Barat. sang reporter pun mulai me-list penyebab mereka menjadi janda. mulai dari tidak disetujui orang tua (Ortu) sampai pada bahwa semua itu merupakan sebuah pembenaran.

perempuan-perempuan perkasa Lombok (2) dari DetikFoto


tidak disetujui Ortu. di sini reporter mewawancarai salah satu perempuan Lombok berusia mendekati dua puluh tahun dan telah menjadi janda. namanya Fatmini, di usianya yang tergolong muda tersebut, ia sudah harus sibuk dengan keseharian membesarkan anaknya yang berusia satu tahun. menurut si reporter, seharusnya ia tak perlu terlalu sibuk kalau masih ada suaminya. meski saya menangkapnya bukan berarti perempuan tidak perlu terlalu sibuk, tapi perempuan muda itu kini memiliki beban ganda. sebelum Fathimi menikan dengan suaminya, ia telah melalui masa pacaran yang dijalani selama dua tahun. pernikahan yang tak disetujui orang tua. pernikahan berakhir setelah suaminya menjadi TKI di Malaysia. tragisnya, perceraian hanya dilakukan melalui telpon genggam. kini Fatmini menyandarkan hidupnya bersama orang tua di Hambalan, Lombok Barat. ia malu menjadi beban ibunya dan bertekad mencari pekerjaan. “mau kita cari kerja, tapi bayi ini kan masih kecil. nggak ada yang jagain juga. malu juga kita, apalagi ibu kita sudah tua, bapak aku udah meninggal juga."


selain tidak disetujui Ortu, juga korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sayangnya reporter ragu untuk menulisnya sebagai korban KDRT, ia lebih memilih menuliskannya sebagai “korban kekerasan menikah”. reporter bercerita tentang Kaswati, usianya lebih belia dibanding Fathimi, umurnya baru 15 tahun saat itu, baru tamat SMP. warga Hambalan, Lombok Barat ini menjadi korban KDRT. suaminya sering memukuli Kasmawati pada saat sedang mabuk minuman keras. dan berakhri cerai. perceraian itu tidak melalui pengadilan karena sebelumnya ia menikah tanpa surat akte nikah. “waktu itu belum banyak yang buat semacam akte nikah. perceraian nggak melalui pengadilan agama, tapi kan kalau di penduduk sini kalau lakinya sudah bilang cerai, kita cerai. misalnya dia sudah menjatuhkan talak satu kan kita cerai. secara sah secara agama.


kemudian ada juga istilah “Janda Malaysia”. berbeda dengan Fatmini dan Kasmawati, dua dari ribuan perempuan Lombok yang menikah di usia muda dan menjadi janda, juga di usia muda. namun ternyata pada umumnya perceraian terjadi setelah suami menjadi TKI di luar negeri, seperti di Malaysia. akhirnya para perempuan muda itu sering dijuluki Jamal alias Janda Malaysia. sungguh miris bukan? selain itu mereka juga tidak mudah mendapatkan data akurat dari pengadilan agama terkait perceraian. baik itu di ibukota provinsi, Mataram, maupun di kabupaten lainnya di Lombok. sebabnya, banyak pernikahan di Lombok tidak didaftarkan ke pengadilan agama setempat.


sang reporter juga mewawancarai Ketua Dewan Pengawas Perempuan dari Solidaritas Perempuan Mataram, Yuni Riawati. menurutnya, perceraian hanya dilakukan melalui proses ritual agama yang mereka yakini dan dianggap sah. “faktanya di Lombok ini, kawin cerai itu banyak sekali. Kemudian menjadi beban saat terjadi cerai itu adalah ibu. bapak itu, tidak mengurus, karena dia bisa kawin ke sana ke mari dan beban anak adalah ibunya. kenapa hal itu terjadi, karena administrasi pernikahan tidak terurus. akte nikah mereka tidak ada, apalagi akte cerai.”


Yuni Riawati melanjutkan, akibat tak ada administrasi pernikahan, anak dan ibu menjadi korban kesemena-menaan kaum lelaki. menurutnya banyak sekali pelanggaran hak, terutama hak anak. “kalau perceraian, anak masih memperoleh nafkah dari bapaknya. karena tidak ada putus hubungan dengan bapak, itu nggak ada seperti itu. apalagi pelanggaran pada hak istri. Sebenarnya selama istri belum nikah, bisa mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. itu nggak ada. karena dari proses menikahnyapun mereka tidak ada itu. ini juga menjadi pelanggengan kekerasan terhadap perempuan.”

tradisi kawin lari di Lombok


Aturan adat


sementara itu masyarakat adat Pulau Lombok memiliki aturan adat dalam perhelatan pernikahan. aturan adat atau awiq-awiq mengajarkan tata krama pernikahan atau dalam bahasa Suku Sasak disebut Merariq. dalam pelaksanaan merariq atau pernikahan, diharuskan seorang calon pengantin pria membawa lari calon mempelai perempuan secara rahasia. Budayawan Nusa Tenggara Barat Jalaluddin Arzaki: “Diambil secara rahasia itu dilakukan, pertama, untuk menunjukkan orang tuanya memberikan kesempatan demokratis kepada anaknya memilih calon pasangannya. nggak boleh orang tua yang menentukan. jadi unsur demokrasinya ada di situ. kedua, orang tua itu ingin menunjukkan secara adil kepada calon suami atau pacar-pacar lainnya yang mau sama anaknya. kalau ada satu atau tiga orang yang mau, maka kalau satu saja kelihatan terang-terangan dikasih, maka yang lain akan iri. demi keadilan dan bukti kalau ini pilihan anaknya, maka dia diambil secara rahasia itu.”


Pemuka adat


setelah proses melarikan calon mempelai perempuan, barulah kedua belah pihak keluarga akan bertemu untuk mencari kesepakatan pernikahan adat. Pertemuan akan dijembatani oleh pemuka adat dari wilayah mempelai masing-masing. namun saat ini telah terjadi pergeseran pemahaman adat itu. istilah melarikan calon mempelai perempuan dalam aturan merariq disamakan dengan menculik. bahkan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Lombok Barat Raden Rais mengatakan, bukan hanya pemahaman yang bergeser, aturan merariq juga sudah dilanggar. “Anak muda sekarang, banyak yang dipelesetkan, ketemu di sekolah, kawin, lari. Ketemu di pasar, bawa lari, dengan alasan merariq secara adat Sasak. padahal itu sudah diatur di dalam awiq-awiq itu, itu sudah melanggar.”

di saat Lombok terancam krisis air, perempuan-perempuan mereka tak berhenti bergerak


Pembenaran


seorang pelopor kesetaran gender di Nusa Tenggara Barat, Hasanain Juani mengatakan, pilihan bercerai seakan menjadi budaya pembenaran di Pulau Lombok. hal ini dipicu oleh faktor ekonomi, rendahnya pendidikan dan pemahaman yang kurang akan arti dan tujuan pernikahan. Adat merariq tidak sampai mengatur hal ini. “tidak ada dalam tradisi kita ini mempersiapkan secara khusus pra nikah, itu yang tidak ada. untung saja dalam sekolah agama itu ada pelajaran figih nikah. tapi kan tidak semua mereka dapat mempelajari figih nikah ini. sehingga persiapan mereka untuk menjadi perempuan yang baik, ibu yang siap itu memang lemah.”


Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Lombok Barat Raden Rais mengatakan, pemuka adat Sasak tengah memikirkan mencari solusi untuk meluruskan kembali tata krama adat Sasak, termasuk merariq. “Banyak sekali penyimpangan di ranah hukum adatnya, sehingga kami berfikir bagaimana caranya agar adat istiadat, pakem yang ada di fair di nambalat itu dihidupkan kembali sesuai dengan khitahnya. Kalau yang dulu di pakem adat suku Sasak yang khusus di fair nambalat tata cara merariq atau kawin itu adalah, pertama harus cukup umur dan harus diketahui identitas keturunannya laki dan perempuan sama kedua keluarga. Itu yang tergeser sehingga kami membangun lembaga itu.” Fair nambalat yang dimaksud Raden Rais adalah lembaga adat di tingkat kecamatan. Lembaga inilah yang akan memberikan pemahaman kembali kepada masyarakat tentang tata cara adat yang sudah mulai menyimpang.


*terlepas dari segala label yang dilemparkan pada perempuan-perempuan Lombok dan lainnya, bagiku mereka tetap perempuan-perempuan tangguh yang tak hanya hidup demi kehidupannya, tapi juga demi kehidupan yang lain.


Alimah, 19 Januari 2012

Selasa, 17 Januari 2012

perempuan di kereta

suatu hari seorang perempuan menghubungiku dan merencanakan sebuah pertemuan antara ia dan suaminya. suaranya di siang menyengat itu membuatku berhenti dan berpikir sejenak. apa yang sudah terjadi pada perempuan itu dan suaminya. meski penasaran, sayangnya aku tak mendapat kesempatan bertanya lebih banyak lagi. ia menutup pembicaraannya, lalu sms berisi waktu pertemuan kami. sayangnya lagi, pikiranku saat itu dipenuhi dengan paper-paper tugas kuliah yang tak kunjung terselesaikan. maka meminta maaf tak bisa bertemu secepatnya adalah satu-satunya alasan yang bisa kuberikan. setelah itu panggilan-panggilan dan pesannya tak sesering sebelum aku beberapa kali menolak pertemuan yang kami rencanakan. tiba-tiba dalam kondisi seperti ini, aku dipaksa untuk tak peduli. aku menjelma sosok yang egois dan tak mau berbagi. tapi saat ini aku tak bisa berbuat lebih. kondisiku memaksaku untuk fokus pada satu hal. semoga rumah tangganya baik-baik saja, hanya itu yang bisa kulakukan. 

perempuan itu adalah seorang perempuan paruh baya yang memilih duduk di sampingku, ketika pertemuan pertama kami. saat itu aku tak banyak berpikir kenapa. bagiku itu sesuatu yang wajar, duduk di kereta sendirian dan akan segera datang penumpang lain entah laki-laki perempuan. aku hanya orang pertama yang kebetulan lebih awal mendapatkan tempat dudukku. “ini bukan nomorku,” ujarnya tiba-tiba. “tapi aku memilih duduk dengan sesama perempuan, nomor dudukku di sebelah sana,” lanjutnya sambil menunjuk tempat duduk yang sudah terisi laki-laki. “aku tak terbiasa duduk bersama lelaki yang bukan muhrimku,” ujarnya lagi. “oh, silahkan bu,” jawabku singkat sembari menyunggingkan senyum yang biasa saja. 

kami adalah penumpang yang sama-sama tidak mendapat tiket eksekutif karena telah habis. di gerbong Bisnis kereta Cirebon Ekspres (Cireks) tujuan Cirebon-Jakarta. aku pikir tak apa meski tak senyaman eksekutif. tapi melihat penampilan perempuan itu di tengah gerbong Bisnis, rasanya sedikit janggal. penampilannya yang begitu berkilau lengkap dengan aksesoris dan tas-tas jinjing yang juga bukan tas perjalanan biasa. tak perlu lama menebak dan menanti jawabannya, aku sudah faham, ia juga kemungkinan tak mendapat tiket di gerbong yang nyaman itu. dan benar juga, seperti mampu membaca pikiranku, tiba-tiba ia menjelaskan bahwa ia juga tidak mendapat tiket eksekutif karena sudah habis. saat itu kami memang melakukan perjalanan di hari Minggu sore. ah, tapi seharusnya tak seramai itu. tapi bisa juga terjadi. 
 
sesaat kami duduk dalam diam. dan suasana hening, diam dan tak peduli satu sama lain adalah hal yang biasa terjadi dalam kereta, bus, angkot, pesawat, dan perjalanan lainnya. lalu perempuan dengan pernak-pernik di kerudungnya itu membuka pembicaraan. “saya tak terbiasa naik kereta bisnis, apalagi harus satu bangku dengan laki-laki,” tukasnya membuka pembicaraan. aku masih membacanya, sepertinya perempuan di sampingku akan bercerita lebih banyak lagi. itu petanda perjalananku sekitar tiga jam akan diisi sebagai pendengar yang setia. benar saja, ceritanya terus mengalir. tentang suaminya yang begitu keras bagai batu, demikian dia mengistilahkan sikap dan karakter suaminya. bahkan sampai ia pensiun dan anak-anaknya telah berumah tangga. suaminya sulit merubah sikapnya.
kepadaku, perempuan yang baru dikenalnya di kereta, perempuan itu terus bercerita dan sangat terbuka tentang rumah tangganya. dan kesimpulan dari semua yang dialaminya adalah ia harus terus bersabar. seperti perempuan lainnya, ia ingin suaminya mampu memahaminya dan sesekali mengalah. tapi sikap keras kepala suaminya membuatnya takut setengah mati. bahkan di dunia ini, yang paling ditakutinya adalah suaminya. dia takut dicerai, karena anak-anaknya telah dewasa. suaminya adalah pekerja keras yang sukses, namun kini telah pensiun. meski demikian, sikapnya tak selayaknya orang tua. sama-sama tak memiliki banyak waktu untuknya. sikapnya tak ubahnya pria muda yang tak pernah absen berkumpul dengan tema-temannya di kafe-kafe dan club-club malam. 


seperti perempuan lainnya, perempuan itu hanya ingin agar suaminya normal seperti suami teman-teman pengajiannya. “apalagi sudah tua,” ujarnya. “setidaknya memikirkan akhirat,” tuturnya lagi. tanpa kuminta dan bertanya, dia bercerita begitu detail dengan rumah tangganya. sementara aku masih memilih menjadi pendengar setia. hingga tiba-tiba dia mulai bertanya siapa aku dan ada kepentingan apa ke Jakarta. usai kuceritakan, dia terkejut. “bagaimana bisa perempuan menikah tak berkumpul dengan suami? ah, itu namanya bukan rumahtangga. rumahtangga adalah suami isteri harus ada di rumah bersama-sama,” ungkapnya. 

aku tak sampai berpikir, ada perempuan yang begitu terkejut mendengar pengalamanku yang sering berjauhan dengan suami. tapi aku memahaminya. karena pengalamannya berbeda dengan pengalamanku. “apakah ini pengaruh emansipasi Kartini itu? tapi saya sangat tidak sepakat, sungguh keluarga yang akan dikorbankan. bagaimana kamu bisa menjalankan ini?,” tanyanya bertubi. lalu kami pun melanjutkan obrolan kami. ia membagi pengalamannya, dan aku membagi pengalamannya. termasuk pengalamanku bertemu dengan perempuan-perempuan lain yang juga mengalami persoalan serupa dialaminya. aku tak bisa mengatakan bahwa aku begitu banyak memberi masukan dan saran kepadanya. namun dia mengaku pikirannya terbuka, meski lagi-lagi pada akhirnya ia tetap merasa berat menerima kenyataan ada perempuan sepertiku. namun ia menerima dan antusias bertanya lebih jauh ketika kami membahas tentang strategi komunikasi yang tepat dan baik dengan pasangan kita masing-masing. 

sungguh tak bisa bercerita lebih lagi tentang perempuan ini, namun bertemu dan mendengarkan perempuan yang lain menjadi satu pengalaman yang sangat berharga. bagaimana kita belajar mendengarkan, bertanya, dan saling berbagi pengalaman. sepanjang perjalanan ketika dia mendapat panggilan dari suaminya via mobile, dia melanjutkan dan mempertajam ceritanya, hingga akhirnya kami berpisah setelah saling bertanya nama dan nomor Hp. semoga rumahtangganya semakin baik. 

Senin, 16 Januari 2012

mengenal kyai feminis Indonesia

mungkin masih ingat tentang paragraf-paragraf yang disusunnya sehingga berhasil membuatku ‘menangis’ pada benar, aku menangis. aku juga pernah berbagi tentang salah satu pemikirannya dalam berdialoglah. mengenal sosoknya dalam keseharian dan menjadi bagian dari salah satu perjuangannya, membuatku selalu ingin menulis tentangnya. keinginan yang begitu besar dan bahkan ingin mencatat detail dan banyak tentangnya. tapi di luar sana juga sudah banyak yang menuliskan tentang sosoknya. dia adalah Husein Muhammad. salah satu penulis di kompasiana, Much. Aly Taufiq, menuliskan sosoknya dengan judul Satu-satunya Kyai Feminis Indonesia, yang kemudian juga diangkat dalam website lembaga Fahmina-institute, LSM tempatku bekerja. 

 

aku pikir menarik bagaimana membaca pikiran orang lain tentang Kyai kelahiran cirebon 9 Mei 1953 ini. karena selama ini aku sering setengah-setengah berbagi informasi tentangnya, semoga apa yang ditulis Much. Aly Taufiq dan sedikit aku paparkan dengan gaya berceritaku di blog ini, semoga bisa menambah informasi kita tentang sosok yang merasa dirinya muda di masa tuanya, dan merasa tua di masa mudanya. aku dan sejumlah orang yang mungkin merasa akrab dengan sosoknya, biasa menyapanya buya Husein. ia kerap menjadi narasumber dalam berbagai pertemuan yang mendialogkan isu keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan Perempuan. bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. misalnya, sebagai pembicara dalam konferensi internasional bertema “Trends in Family Law Reforms in Muslim Countries” di Kuala Lumpur, Malaysia. sebelumnya, dia diundang ke Dhaka, Banglades, dalam konferensi internasional pula. ia juga pernah mengisi mata kuliah yang diampu oleh Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, padahal saat itu Nasr Hamid tidak berhalangan. Nasr Hamid hanya ingin melihat pengasuh pesantren Dar al Tauhid Cirebon itu memberi pencerahan kepada mahasiswanya.

fatwanya tentang imam perempuan

sekali lagi, Much. Aly Taufik menyebutnya sebagai satu-satunya Kyai feminis Indonesia yang tak pernah merasa lelah membela perempuan. ia berjuang mendongkrak kemapanan pemahaman relasi gender yang telah mapan. pandangannya banyak berbeda dengan pandangan keagamaan arus utama, terutama ketika membahas fikih mengenai perempuan. salah satu fatwanya yang berbeda adalah, ia membolehkan perempuan sebagai Imam Salat yang makmumnya laki-laki. Menurutnya, Imam Salat hendaknya yang pandai membaca Al-qur’an, ahli fiqih, dan yang pandai di antara kamu. al-qur’an tidak pernah menyebutkan soal laki-laki dan perempuan, justru yang ditekankan sebagai Imam salat adalah kemampuan individu, bukan jenis kelamin.

satu-satunya hadis yang melarang perempuan sebagai imam adalah “Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam Salat bagi laki-laki,”. dalam riset Husein Muhammad, hadits itu bertumpu pada periwayat bernama Muhammad bin Abdullah al-Adawi. Sosok ini banyak menuai kritik. Imam Bukhari menyebutnya “munkar”. Abu Hatim menyebutnya “syaikh majhul”. Daruquthni menilai hadisnya “matruk”. Ibnu Hibban menyebut hadisnya “tidak boleh dijadikan dasar hukum”.

menurut buya Husein, ada hadis sahih yang memperbolehkan perempuan menjadi Imam atas laki-laki, Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh Ummu Waraqah mengimami Salat penghuni rumahnya. hadits itu dipersepsi luas para periwayatnya dipercaya kredibel. dalam hadits Abu Daud, Imbuh Husein Mhammad, ada penjelasan tambahan: pembaca azannya seorang pria. Ummu Waraqah juga dijelaskan memiliki budak pria. di rumahnya pun ada kakek-kakek. isi hadits itu, menurut Husein, sejalan dengan prinsip Islam yang memberi kesetaraan laki-laki dan perempuan. dari sini Husein Muhammad menyimpulkan, tidak ada nash agama yang melarang perempuan jadi imam.

sejak dahulu, tutur Husein, sudah ada ulama sekaliber Mujtahid Mutlak yang memperbolehkan Imam perempuan. di antaranya, seorang ahli fiqih Abu Tsaur, Al-Muzani (wafat 878 M) dan Ibnu Jarir al-Thabari (wafat 923 M). namun, pendapat mereka kurang dikenal hingga saat ini.

mengapa arus utama ahli fikih melarang? Husein menyimpulkan, karena kondisi masyarakat Arab pada saat itu sangat dominan dengan laki-laki, selain itu perempuan di depan atau di tengah laki-laki, seperti diungkap banyak buku fikih, bisa menggoda pikiran laki-laki. tapi, bagi Husein, itu cara pandang yang bias laki-laki.

menuliskan pemikirannya

Husein Muhammad adalah satu-satunya Kyai yang concern meneliti Gender. Ia begitu erat dengan khasanah kitab-kitab klasik. maklum, masa mudanya ia habiskan untuk mendalami kitab kuning. sejak kecil, ia sudah hidup di lingkungan pesantren. sembari bersekolah, ia belajar ilmu agama dari orang tua sendiri.

namun, ia tidak puas hanya belajar di pesantren orangtuanya sendiri. “Belajar ke yang pintar, beguru ke yang pandai”, pepatah itulah yang menyulutkan semangat Husein untuk merantau ke kediri, menimba Ilmu agama di pesantren Lirboyo, Tahun 1969 sampai 1973.
pada tahun 1973, ia melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Ilmu Al-qur’an (PTIQ) Jakarta. di sini, ia mendapatkan ilmu-ilmu baru, tentang organisasi, menulis karya ilmiyah, hingga demonstrasi. pada 1976, ia tercatat sebagai pendiri dan pemimpin redaksi buletin PTIQ, “Fajrul Islam”. meskipun buletin itu masih menggunakan mesin ketik dan tulisan tangan, namun tidak mengurangi semangatnya berkarya.

tahun 1980 ia merasa lega, sebab telah berhasil menjadi sarjana jebolan PTIQ. namun, ayah dari lima anak ini belum merasa puas. “Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi”, pekerjaan yang dilakukan dengan tanggung-tanggung tidak akan mencapai hasil yang baik. karena tidak mau setengah-setengah, ia pergi ke Mesir. menyeberang pulau ia jalani, berkelana ke negara lainpun ia sanggupi.

namun, setelah sampai di Universitas Al-Azhar Mesir, Husein Muhammad dikecewakan dengan Kurikulum yang banyak pengulangan dan menggunakan sistem hafalan. ia merasa apa yang diajarkan di sana kurang menantang. semua sudah dipelajarinya di pesantren. akhirnya ia mengurungkan niat untuk melanjutkan studinya. selama tiga tahun di Mesir, ia habiskan waktunya di perpustakaan dan mengisi diskusi di Kaum Muda Nahdlatul Ulama (KMNU) cabang Mesir.

akhirnya pada tahun 1983, Ia pulang ke Indonesia tanpa gelar dari Universitas al-Azhar. namun membawa segudang ilmu yang akan digunakan berjuang membela kaum yang didiskriminasikan, yaitu perempuan.

sebagai bentuk pembelaan terhadap perempuan, pada bulan November 2000, ia mendirikan Fahmina Institute. Lalu pada tangga 3 Juli 2000, bersama Sinta Nuriyah A. Wahid, Mansour Fakih, dan Mohamad Sobari, ia mendirikan Pesantren Pemberdayaan Kaum Perempuan ‘Puan Amal Hayati’. Pada tahun 2000 juga, ia mendirikan RAHIMA Institute, dan pada tahun yang sama pula, ia mendirikan Forum Lintas Iman, tiga tahun kemudian, ia tercatat sebagai Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on population and Development. lalu pada tahun 2005, ia bergabung sebagai pengurus The Wahid Institute Jakarta. Selain itu ia juga tercatat sebagai angota National Board of International Center for Islam and Pluralisme (ICIP).

 

saat ini, selain sibuk sebagai Komisioner pada Komnas Perempuan dan konsultan Yayasan Balqis untuk hak-hak perempuan, kesehariannya ia jalani dengan menulis berbagai buku dan artikle. bukunya yang sudah terbit adalah Fiqh Perempuan, Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender (Lkis, Yogyakarta, 2001), Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiyai Pesantren (LkiS, Yogyakarta, 2005), Spiritualitas Kemanusiaan, Perspektif Islam Pesantren, (LKiS Yogyakarta ,2005). Ijtiihad Kyai Husein ; upaya membangun keadilan (2011), Mengaji Pluralisme maha guru pencerahan (sedang tahap akhir).

sedangkan buku yang ia tulis bersama-sama adalah Dawrah Fiqh Perempuan, Modul Kursus Islam dan Gender, (Fahmina Institute, Cirebon, 2006), Fiqh Anti Trafiking, Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, (Fahmina Institute, Cirebon, 2009), Fiqh Hiv Dan Aids, Pedulikah Kita, (PKBI-Jakarta), Kembang Setaman Perkawinan, (Kompas, Jakarta). selain buku di atas, artikel Husein muhammad juga tersebar di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Ia juga seringkali diminta memberi komentar dan pengantar berbagai buku.

tak seorang pun meragukan kegigihan perjuangannya dalam membela hak perempuan. bahkan, Ia tidak segan mengkritik buku ataupun kitab yang dinilai mendiskriminasikankan perempuan. Bersama Forum Kajian Kitab Kuning, selama tiga tahun ia mendikusikan isi dan meneliti kembali kualitas hadis yang terdapat dalam kitab Uqud al Lujain fi Huquq al Zaujain. walhasil, ia menemukan 33 % hadis Maudhu’, 22 % hadis Dhoif, sisanya ada yang Hasan dan Sahih, namun dari sisi matan masih diperdebatkan. penelitian itu terbit dengan judul Ta’liq wa Takhrij Syarh Uqud al Lujain (LkiS, Yogyakarta, Tahun 2001)
lengkaplah sudah. K.H. Husein Muhammad mampu membuktikan kepada publik, bahwa ia menjadi tokoh lantaran Keihlasan dan konsistensinya dalam memilih jalan hidup. ia terus membela perempuan dan tidak pernah beralih ke dunia lain yang mungkin lebih banyak memberikan materi.

apa yang dimiliki Husein Muhammad semua mendukung citranya bergelut di dunia Gender. belum nampak sosok yang lain seperti Husein Muhammad yang peduli dengan Gender. kalaupun ada, mungkin hanya sosok semangatnya saja yang menonjol, tetapi belum tentu dedikasinya. Kalau Husein Muhammad, semua yang ada pada dirinya memang betul-betul medukung untuk membela perempuan.

sehingga tidak heran jika Moch. Nur Ichwan mensejajarkan Husein Muhammad dengan feminis internasional seperti Qasim Amin, Tahir Haddad di Tunisia, Asghar Ali Angineer di India, dan Nasr Hamid Abu Zayd di Mesir. Tak usah heran pula jika Ulil Abshar Abdalla menjulukinya dengan “Pemulung kebenaran terpinggirkan”.

meskipun pujian dan cacian mendera, Kyai Husein tetap membela perempuan. Kemanapun pergi, ia tetap sebagai Kyai dan sarjana jebolan PTIQ yang kaya dengan prinsip tawadhu’ serta berakhlak mulia.

Husein menuturkan, bahwa PTIQ telah memberi pengaruh besar pada dirinya. PTIQ ikut terlibat pada proses pencarian karakternya, hingga menjadi seperti saat ini. “Terima kasih PTIQ” imbuhnya. Namun, Husein menyayangkan, PTIQ saat ini belum menghasilkan intelektual yang berkualitas. banyak sekali alumni yang menjadi politisi, Imam masjid, hakim MTQ, pengasuh pesantren, birokrat dan akademisi, namun sedikit yang menjadi intelektual produktif.

jika diibaratkan PTIQ sedang membangun sebuah tembok, maka sudah ada “batu bata” politisi, “batu bata” Imam masjid, hakim MTQ, pengasuh pesantren, birokrat dan akademisi, namun “batu bata” intelektual belum ada, sehingga tembok itu masih berlubang. Itu adalah tugas alumni mendatang, untuk mengisi lubang “batu bata” intelektual yang masih kosong.

tulisan ini adalah bagian dari buku “PTIQ dan Para Tokohnya”
Sumber: http://sejarah.kompasiana.com
Sumber: http://fahmina.or.id/

pemimpin transforming

jika aku bertanya, apa yang muncul di kepalamu tentang kesan pemimpin negeri kita sekarang? atau silahkan jika ingin menambahkan daftar nama pemimpin-pemimpin sebelumnya. jika bisa kutebak, pasti di antara kita memiliki kesan yang sama. tentang sosok pemimpin yang kurang tegas, penakut, bimbang, lebay, atau ganteng mungkin, yang terakhir itu relatif, tapi bukan itu yang aku maksud. atau mungkin ada yang berpikir dia telah melakukan perubahan yang signifikan atau bagaimana, silahkan ungkapkan. tapi di ruangan ini aku akan lebih banyak berbagi bahwa kita tidak membutuhkan pemimpin yang kurang tegas dan lain sebagainya. tapi tentang pemimpin yang transforming, bukan transaksional. 

suatu waktu secara berulang-ulang, aku dan sejumlah teman membincangkan sejumlah isu di negeri ini. aku pikir dengan era mediatisasi dengan mudahnya bersosial media, tidak hanya aku, hampir setiap orang melakukan hal yang sama. berdiskusi dan berbagi. ketika kau tak mampu mendiskusikannya di ruang nyata yang sudah terlalu padat dan tidak terlalu praktis, maka ruang maya adalah alternatif yang tepat. facebook, twitter, blog, atau media apapun yang mampu kau jangkau. termasuk akhir tahun 2011 dan awal tahun 2012, dinding facebook-ku dan sejumlah dinding facebook teman masih terus dipenuhi dengan perbincangan tentang sejumlah persoalan sensitif negeri ini. dan aku pikir ini sudah semacam tugas utama kita sebagai warga negara di negara yang tengah merangkak pada sistem demokrasi yang bermutu.

perbincangan kami biasanya berujung pada, “lalu bagaimana, apa yang harus dilakukan?”. kami perlahan berpikir tentang solusi, berpikir tentang tindakan apa yang bisa dilakukan. bagiku, yang juga menjadi pikiran sejumlah orang, negeri ini butuh pemimpin-pemimpin yang berani melakukan perubahan. okay, itu sudah pasti, setiap rakyat membutuhkan sosok pemimpin yang demikian. namun apa dan bagaimana sosok pemimpin ini, mari kita diskusikan di ruangan ini.

pemimpin yang mengubah

aku mungkin tergolong telat dalam memahami ini, tapi mari kita saling berbagi tentang teori Kepemimpinan, salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang paling komprehensif berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori kepemimpinan transformasional dan transaksional (Bass, 1990). gagasan awal mengenai gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James MacFregor Gurns yang menerapkannya dalam konteks politik. gagasan ini selanjutnya disempurnakan serta diperkenalkan ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Berry dan Houston, 1993). Burns (1997) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional dapat dipilah secara tegas dan keduanya merupakan gaya kepemimpinan yang saling bertentangan. 


Prof. R. William Liddle

menyebut nama Burns, aku jadi ingin mengaitkannya dengan R.William Liddle atau biasa disapa Bill, guru besar Emeritus, Departemen Ilmu Politik, Ohio State University Amerika baru-baru ini dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Marx atau Machiavelli” dalam Nurcholis Madjid Memorial Lecture V, pada Kamis (08 Desember 2011). Bill juga yang mengenalkanku bahwa kita membutuhkan pemimpin transforming dari pada transaksional. jika ingin sempurna, sebenarnya begitu banyak teori tentang kepemimpinan transforming dan transaksional. seperti dalam pidatonya Bill.

mengungkapkan tentang tantangan terbesar terhadap demokrasi bermutu pada masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya politik yang tidak merata. setidaknya kalau demokrasi dimaknai sebagai kesetaraan politik antara semua warganegara, definisi Robert Dahl, salah satu pencipta tersohor teori demokrasi abad ke-20. sayangnya, menurut Bill, cita-cita itu sulit diwujudkan di ekonomi-ekonomi kapitalis pasar, baik yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang seperti Indonesia. masalahnya: secara ironis, kapitalisme pasar sekaligus merupakan dasar ekonomi mutlak buat negara demokratis modern sambil menggerogoti terus dasar politik negara tersebut.

serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan pada pertengahan abad ke-19 oleh teoretisi sosial Karl Marx yang mengutamakan perbenturan kelas selaku kekuatan dinamis dalam sejarah. namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21 tidak banyak membantu kita memahami apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi. di Indonesia Bill memberi contoh tulisan-tulisan Richard Robison dan Vedi Hadiz. selain yakin berlebihan terhadap peran perbenturan kelas, mereka menyepelekan mandirinya lembaga-lembaga demokrasi yang dijuluki demokrasi borjuis, demokrasi yang hanya melayani kepentingan kelas kapitalis.

 

Niccolo Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke-16, menurutnya lebih tepat selaku pemandu global abad ke-21 ketimbang Marx. pendekatan Machiavelli terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik. ia menawarkan kerangka berharga, terdiri atas konsep-konsep virtu dan fortuna, yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan teori tindakan baru pada zaman kita. virtu, ketrampilan, berarti luas semua sumber daya yang berguna bagi aktor politik untuk mencapai tujuannya. kita juga diingatkan Machiavelli bahwa ada tensi, mungkin tak terhindarkan sepanjang masa, antara moralitas pribadi dan moralitas politik. 

teori tindakan Machiavelli diterapkan secara persuasif oleh sejumlah ilmuwan politik di Amerika pada paruh kedua abad ke-20 dan dasawarsa pertama abad ke-21. Richard Neustadt mengamati dari dekat tiga presiden Amerika: Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower. Bagi Neustadt, sumber daya politik terpenting seorang presiden yang mau berprestasi adalah the power to persuade, kekuatan untuk meyakinkan orang lain tentang kebijakan-kebijakannya. Neustadt menawarkan lima ukuran keberhasilan presidensial: keterlibatan pribadi sepenuh hati; pernyataan posisi yang tidak samar-samar; pesan yang disiarkan seluas-luasnya; persiapan pelaksanaan yang matang; serta pengakuan keabsahan presiden oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat atau berkepentingan. 

 

James MacGregor Burns, intelektual dan aktivis kiri ternama, menulis tatkala Amerika sedang bergejolak akibat protes gerakan hak sipil minoritas Amerika-Afrika dan perlawanan luas terhadap perang Amerika di Vietnam. Dalam bukunya yang terbaik, Leadership, ia menciptakan konsep-konsep followership, kepengikutan, dan transforming leadership, kepemimpinan yang mengubah masyarakat secara mendasar. perubahan yang mendasar bergantung pada pengejaran moralitas tinggi antara pemimpin dan pengikut secara intensif, bersama dan terus menerus. Burns bersitegas bahwa kepemimpinan tak terpisahkan dari moralitas, lalu memuji Mao Zedong selaku transforming leader. buku James MacGregor Burns yang paling berpengaruh, Leadership, diterbitkan hampir dua dasawarsa setelah buku Neustadt. zaman sudah berubah drastis, khususnya di Amerika, tempat semakin banyak warganegara dimobilisasi untuk melawan berbagai kemapanan yang memalukan. perjuangan minoritas Amerika-Afrika untuk hak sepadan dengan kaum putih sudah banyak berhasil, tetapi tokoh kharismatisnya, Martin Luther King, telah tewas terbunuh di Memphis, Tennessee. pada waktu yang sama protes dan oposisi jutaan orang dipicu perang Amerika yang kebablasan di Vietnam. Presiden Lyndon Johnson mengaku gagal memimpin bangsa. dalam pemilihan presiden berikut, dia digantikan oleh Richard Nixon, yang kemudian merasa terpaksa menerima penyatuan kembali negara Vietnam di bawah kepemimpinan komunis.

 

leadership merupakan respon Burns terhadap perubahan dan tuntutan itu. Pandangan hidupnya lebih kiri dari Neustadt, walaupun dalam konstelasi partisan Amerika mereka berdua berada di lingkungan Partai Demokrat. Artinya, mereka menerima prinsip positif peran negara, berbeda dengan Partai Republik yang menjunjung prinsip peran pasar di atas negara. namun, Burns lebih menekankan keharusan konflik sebagai pendorong perubahan sosial. lagi pula, pendekatannya lebih psikologis dan moralis ketimbang ilmu politik empiris murni. Burns memperkenalkan dua unsur baru: konsep followership, kepengikutan, selaku saudara kembar Siam tak terpisahkan dari konsep leadership, kepemimpinan; serta pemisahan kepemimpinan dalam dua tipe baru, transactional (bertransaksi atau bertukaran) dan transforming (mengubah bentuk). kepemimpinan transactional yang lebih umum dijelaskan sebagai tertukarnya sumber daya politik dalam bentuk barang dan jasa, termasuk suara dalam pemilu, antara pemimpin dan pengikut. dua belah pihak memperoleh sesuatu yang berharga dan masyarakat juga diuntungkan. Namun, tidak ada tujuan lebih tinggi yang mengikatkan pemimpin dan pengikut dalam suatu pengejaran tujuan luhur bersama-sama dan terus menerus.

tipe kepemimpinan tinggi itu disebut transforming. ilustrasinya diambil dari berbagai negara, termasuk Amerika, Inggris Raya, Perancis, Rusia, dan Tiongkok. sumbangan Burns kepada pengembangan teori tindakan cukup berkesan dan menjanjikan. konsep followership yang dipelajari selaku interaksi timbal-balik dengan kepemimpinan bisa membantu kita untuk mengerti pasang-surut gerakan-gerakan sosial yang sering punya dampak politik. di Amerika, Martin Luther King berhasil menjembatani desakan keras orang Amerika-Afrika untuk memperoleh hak-hak konstitusional mereka dengan resistensi orang putih yang juga cukup keras. kuncinya: strategi kepemimpinan King yang mementingkan ahimsa, perjuangan tanpa kekerasan, dari bawah serta tuntutannya kepada pemerintah agar cita-cita Pernyataan Kemerdekaan Amerika terkabul bagi semua warganegara. di Indonesia, konsep followership Burns bisa dipakai untuk menelusuri segala macam gerakan, dari zaman Pergerakan sampai zaman kita, tempat banyak kelompok sosial berjuang untuk mencapai tujuannya. satu contoh: kemampuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk survive, sintas, dan bertumbuh pada zaman Orde Baru bisa dipelajari sebagai kasus leadership dan followership berbarengan dan saling mengisi. kasus kasus Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga menarik dipelajari dalam kerangka ini.

distingsi antara kepemimpinan transactional dan transforming kini populer sekali di Amerika sebagai alat jurnalis dan sejarawan mengukur keberhasilan presiden-presiden kami. hal itu wajar saja. banyak yang dituntut dari presiden-presiden AS dan kita memerlukan konsep analitis yang tepat untuk mengukur jenis dan tingkat prestasi mereka. salah satu presiden favorit saya, Bill Clinton, pernah mengeluh bahwa dia mustahil dianggap transforming leader di mata sejarawan, sebab pada masa kekuasaannya tak ada tantangan besar! Clinton memang perlu dilihat selaku transactional leader, namun sumbangan positifnya cukup baik di dalam maupun di luar negeri. jumlah presiden di Indonesia sudah cukup banyak untuk dibandingkan tingkat prestasi mereka. sekilas saja, menurut pendapat Bill, Sukarno adalah presiden transforming sampai tahun 1949, tetapi setelah itu beliau sama sekali gagal baik sebagai transforming maupun transactional leader. Soeharto berhasil mentransformasikan ekonomi Indonesia, tetapi ongkos represifnya tinggi. menurut ukuran Burns, Soeharto bukan seorang pemimpin sejati. di bawah kepemimpinan B. J. Habibie, politik Indonesia tertransformasi dari kediktatoran ke demokrasi, tetapi perilaku Habibie sendiri lebih bersifat transactional ketimbang transforming. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden transactional. sumbangan mereka, seperti Bill Clinton, perlu diukur dalam kerangka itu.

setiap kali membaca kembali buku Burns, sambil kagum saya teringat pada dua keberatan saya terhadap pendekatannya. pertama, kompas moralnya keliru. seperti banyak intelektual kiri pada zamannya, Burns terlalu bersedia memaafkan perilaku kejam atas nama higher purpose yang dikejarnya. satu contoh: pada pertengahan tahun 1970-an, riwayat Mao Zedong selaku pembunuh massal, mungkin yang terbesar pada abad ke-20, sudah banyak terungkap. namun, Burns masih mencap Mao pemimpin transforming yang berhasil “meningkatkan kesadaran dan mentransformasikan nilai-nilai pada skala yang sangat besar, memobilisasikan harapan-harapan tinggi rakyat Tionghoa.” tentu bukan hanya pengamat kiri yang melihat zamannya sendiri dengan sebelah mata. Bill juga mengaku belum pernah menulis secara berimbang tentang kepemimpinan Soeharto yang boleh jadi bertanggungjawab sekaligus atas pembantaian massal 1965-1966 dan pembangunan ekonomi yang terjadi setelah itu. kedua, dan lebih pokok, Burns menuntut terlalu banyak waktu dan tenaga baik jasmani maupun rohani dari kita sebagai warganegara biasa negara-negara besar dan modern. menurutnya, anjurannya lekas sekali melelahkan! Pendekatan Burns mirip teori-teori normatif demokrasi partisipatoris (participatory democracy), tempat anggota masyarakat diajak berpartisipasi langsung dalam keputusan publik, dan deliberative democracy, tempat anggota masyarakat diajak bermusyawarah sampai mufakat tercapai.

ide-ide seperti itu mungkin bisa dipraktikkan di polis, negara-kota Yunani kuno, atau di tingkat desa/kelurahan di Indonesia masa kini. namun, di mana-mana kesediaan manusia untuk melibatkan diri, langsung, dan sepenuh hati dalam kegiatan politik bersifat sangat terbatas. pendek kata, sebuah teori normatif atau moral yang mengharuskan partisipasi tinggi dan terus-menerus mustahil terwujud dalam dunia nyata. kemudian salah satu ilmuwan yang diakui Bill sebagai ilmuan favoritnya, selaku penerus tradisi pemikiran Machiavelli adalah John Kingdon, profesor ilmu politik kawakan di Universitas Michigan. Kingdon menerjemahkan konsep-konsep pokok Machiavelli dalam bahasa studi kebijakan umum dan ilmu politik empiris, perhatian utamanya sendiri sejak masa mahasiswa. dalam pemikiran Kingdon ini, menurut Bill kita diajak membayangkan proses pembuatan kebijakan umum yang terdiri atas tiga aliran penemuan masalah, penciptaan usul-usul kebijakan, dan kejadian-kejadian politik. tiga aliran itu dipertemukan oleh wiraswastawan kebijakan yang peka terhadap terbuka dan tertutupnya jendela keputusan.

menurut Bill, alangkah baiknya kalau buku Kingdon diterjemahkan dalam bahasa Indonesia 
dan dipakai ilmuwan politik Indonesia untuk memperbaiki pengertian kita semua tentang hal-hal yang menghambat peningkatan mutu demokrasi. tokoh terakhir yang dikutip Bill adalah Richard Samuels, pakar Jepang di Massachusetts Institute of Technology, menawarkan kerangka baru yang berbobot sambil menelusuri proses modernisasi abad ke-19 dan ke-20 di Jepang dan Italia. tiga unsur utamanya: alat-alat mobilisasi yang diberi label membeli, menggertak, dan mengilhami; peran warisan dalam proses pengambilan keputusan; serta pelonggaran kendala yang konon dilakukan semua pemimpin yang berhasil mengubah sejarah. selaku negara-negara terlambat dalam proses modernisasi, boleh jadi Jepang dan Italia bermanfaat sebagai model buat Indonesia. akhirulkata, begitu tutur Bill dalam kemampuan bahasanya yang terbilang sempurna, kita diingatkan Dahl bahwa penambahan dan pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi bermutu merupakan masalah tersendiri. baik di Indonesia maupun di Amerika, jurang pemisah tetap menganga antara yang mampu dan yang kurang mampu berpolitik. penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah ini, atas nama pendekatan kemampuan, sedang dilakukan oleh sejumlah kecil ekonom dan filsuf dibimbing Amartya Sen dan Martha Nussbaum. namun, kegiatan intelektual saja tak cukup. selain itu, pemerataan sejati memerlukan tindakan politik yang dilakukan oleh orang-orang yang mengidamkan demokrasi yang bermutu.

Kamis, 12 Januari 2012

yang tak sempat di 2011

setahun lalu, di bulan yang sama, aku di antara mimpi-mimpi baru yang tercapai. mimpi di tahun 2011. memulai dan memahami ritme hidup baru. mencoba terus berdebat dengan diri sendiri. tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan. juga apa yang harus diwujudkan dalam proses mewujudkan sesuatu yang lain hingga tuntas. begitu banyak rencana kususun di tengah satu mimpi yang tengah kuwujudkan. namun, tiba-tiba aku memilih berhenti dan menyelesaikan apa yang seharusnya kuselesaikan. lalu ruang kepalaku hanya berpusat pada satu dunia. ya, dunia akademisi dan bekerja jika kusempat.

bersama sosok-sosok luar biasa

aku berada di tengah sosok-sosok yang luar biasa. para dosen dan sahabat yang juga luar biasa. aku belajar banyak hal dari mereka. aku pikir inilah yang kubutuhkan untuk ruang kepalaku. memahami sesuatu pengetahuan, juga fenomena, lalu belajar menganalisanya. antara sesuatu yang baru dan lama. antara sesuatu yang kukenal dan tak kukenal. tentang teori-teori, realitas, wacana, politik, komunikasi, dominasi, hegemoni, propaganda, dan masih begitu banyak lagi hal-hal juga istilah-istilah lama namun baru begitu serius kufahami.
dari mereka, aku begitu banyak mendapatkan sesuatu. satu hal selain fokus dan bekerjakeras memahami sesuatu, membaca dengan sebenar-benarnya membaca adalah salah satu aktifitasku. bagaimana tidak, lewat membacalah aku bisa memahami apa yang mereka pahami.

tak ada yang begitu berat dari semua itu, selain bahwa aku ingin benar-benar memahaminya secara lebih. juga mengingat aku yang tak begitu akrab dan memahami isu-isu politik secara benar. bersama mereka; Alina, Mungky, mbak Runi, juga bang Oslan dan chief Tri. mereka adalah para profesional yang masih begitu antusias untuk terus belajar. karena tak mampu berbagi banyak hal, hanya bisa memperlihatkan gambar-gambar berikut:
suasana dan usai kuliah di kampus Paramadina Graduate Schools (PGS) Jakarta
bersama beberapa sahabat di political communication dan corporate communication.

begitu berat bagiku membagi pikiran hingga membiarkan ruangan ini kosong di tahun 2011. bahkan berucap "Selamat Tahun Baru 2011" pun berat bagiku. karena mengucapkannya di ruangan ini, bagiku tak sekadar berucap, harus ada paragraf lain yang perlu menemaninya. dan aku belum sempat. maka ucapanku pun di waktu yang tak wajar. "Selamat Tahun Baru 2012". harapanku, siapapun kita yang memiliki ruang maya seperti ini, semoga sempat memenuhinya dengan paragraf-paragraf yang tak sekadar paragraf. dan buatku pribadi, semoga di pertengahan tahun ini thesisku selesai dengan baik dan tepat waktu.