Tampilkan postingan dengan label features. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label features. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 November 2012

Ia Ibarat Kitab Hayat

Rama mengibaratkan dirinya sebagai kitab hayat (buku kehidupan), jika kita membacanya maka akan menemukan makna dan manfaatnya…
Demikian penuturan Dewi Kanti (43 Tahun), salah seorang puteri dari Pangeran Djatikusuma yang akrab disapa Rama Djati, Tokoh Penghayut Cigugur Kuningan. Namun dari penuturannya, Dewi Kanti menegaskan bahwa ia tidak bermaksud agar Rama Djati menjadi sosok yang dikultuskan, melainkan sebagai motivasi bagi komunitas Paseban untuk banyak belajar dan bertanya.

Sementara Rama Djati sendiri enggan menceritakan perihal peribadinya. Namun banyak pihak yang tak habis-habisnya berkisah tentang sosoknya. Termasuk sejumlah media, entah berkisah tentang sosoknya maupun menggali rasa ingin tahu mereka tentang pandangan Rama Djati tentang kehidupan.

Rama Djati lebih banyak bercerita tentang Seren Taun dan Sunda Wiwitan. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana diskriminasi terhadap penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maupun komunitas adat sampai detik ini masih terus berlangsung.

Sejumlah peraturan yang dikeluarkan secara sistematis oleh pemerintah dan menjadi hukum positif telah mendiskriminasi para penganut aliran kepercayaan dan komunitas adat Indonesia. Jangankan untuk mendapatkan pengakuan atas tradisi adat dan spiritual yang diyakini sebagai agama, untuk mendapatkan dokumen sipil dengan pengakuan terhadap kepercayaan mereka, itu masih dapat dikatakan mustahil.

Dalam konteks negara, bentuk diskriminasi itu bersumber dari sejumlah perundangan dan peraturan yang dinilai sangat merugikan para penganut kepercayaan dan komunitas adat di Indonesia. Karena semua itu, Pangeran Rama Djatikusumah, atau yang akrab disapa Rama Djati, harus mendekam di penjara selama beberapa waktu, begitu pun dampak pada ketiga anaknya. Mereka tidak bisa mendapatkan akte kelahiran, sedangkan puluhan anggota mereka harus berpindah agama dulu untuk bisa mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Sementara itu, para penghayat yang kebetulan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak bisa melangsungkan sumpah jabatan untuk promosi karir kepegawaian maupun mendapatkan fasilitas yang seharusnya mereka dapatkan sebagai PNS, seperti tunjangan keluarga (isteri dan anak) dan lain sebagainya. Proses diskriminasi tidaklah bersifat alamiah. Diskriminasi bukan gempa bumi, tidak pula angin badai yang datang tiba-tiba. Diskriminasi lebih mirip dengan tindakan akibat sikap rasisme yang memandang budaya dan cara hidupnya terunggul, sementara pilihan hidup yang lain sebagai cacat dan rendah. 

Selanjutnya, ia dipertahankan dan berjalin-kelidan dengan kekuasaan. Ia direproduksi dan diproduksi terus menerus untuk mengukuhkan dominasi dan kepentingan. Dan salah satu alat reproduksinya adalah melalui kurikulum dan pendidikan sekolah, sebagaimana dialami sejumlah keluarga para penghayat di Cigugur termasuk anak-anak Rama Djati sendiri.

Karena enggan menceritakan perihal pribadinya, maka di sini lebih banyak mengungkap pemaparannya tentang Seren Taun dan Sunda Wiwitan itu sendiri. Dan tidak heran mengapa Dewi Kanti menyebutnya sebagai “kitab hayat” seperti yang juga diungkapkan Rama Djati sendiri, sosok yang memberi motivasi untuk banyak belajar dan bertanya.

Mengejar Kekayaan Batin, Bukan Materi

Tentang Seren Taun, ia memaparkan bahwa inti dari tujuan diadakannya upacara Seren Taun adalah di samping sebagai bentuk syukur dan permohonan berkah serta limpahan kesejahteraan kepada Tuhan, juga sebagai sarana yang efektif untuk mewarisi tradisi luhur para leluhur yang dimiliki bangsa dan penggalian kearifan local. Budaya local yang dimaksudnya adalah yang bisa menemukan dan menumbuhkan jati diri dan perilaku manusia yang seharusnya. Baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai bangsa.
“Karena dalam upacara ini yang dikejar adalah kekayaan batin bukan perolehan materi yang melimpah,” paparnya.

Bulan Rayagung dipilih sebagai symbol dari perayaan terhadap keagungan Tuhan. Selanjutnya menjelaskan makna dari angka 22 yang diambil karena memiliki makna simbolik tertentu. Angka 22 sendiri adalah terbagi 2 pertama angka 20 memiliki makna sifat wujud makhluk hidup ke-20 sifat itu adalah getih, daging, bulu, kuku, rambut, kulit, urat, polo, bayah/paru, ati, kalilimpa/limpa, mamaras/maras, hamperu/empedu, tulang sumsum, lemak, lambung, usus, ginjal dan jantung. Sementera angka 2 bermakna keseimbangan karena segala sesuatu terdiri dari 2 unsur positif dan negatif, seperti adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan. Angka 22 kemudian digunakan sebagai jumlah berat padi yang akan ditumbuk yang hasilnya diserahkan kepada masyarakat setiap pelaksanaan Seren Taun, padi yang digunakan seberat 22 kwintal, 20 kwintal ditumbuk dan dikembalikan dan 2 kuintal lainnya sebagai bibit yang akan ditanam.

Upacara ngajayah, pengolahan padi hasil panen masyarakat kemudian ditumbuk bersama-sama yang kemudian berasnya akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Jumlah padi yang ditumbuk 20 kuintal, 2 kuintal yang dijadikan bibit dengan total 22 kuintal. Selama tahapan ini dilaksanakan diiringi dengan mantera-mantera mistis. Upacara ini merupakan upacara simbolik penuh makna. Inti dari upacara ini adalah mempertemukan dan mengawinkan benih jantan dan benih betina dan dari tumbuhan yang diyakini sebagai tahap bertemunya energi hidup dari sang Hyang Asri Pwah Aci. Energy Pwah Aci yang berupa energi kesuburan dan keselamatan turun kebumi dan kemudian meresap ke dalam apa yang dimakan. Pwah Aci merupakan zat Tuhan, sehingga apabila Pwah Aci turun ke bumi dan meresap kedalam bahan makanan maka setidaknya akan ada dua kesadaran yang akan diraih. Yaitu rasa syukur atas nikmat dan berlaku tidak sewenang-wenang terhadap alam karena dalam setiap bagian alam terdapat zat tuhan yang harus dihormati.

Menitik Beratkan Pikiran, Naluri, dan Rasa

Ajaran sunda wiwitan dikenal dengan ajaran Tritangtu. yakni Tritangtu di buana, Tritangtu di naraga, dan Tritangtu di nagara. Ajaran Tritangtu merupakan ajaran yang menitik beratkan makna apa yang ada dalam pikiran, naluri dan rasa. Paseban dipakai sebagai tempat berkumpul dan bersyukur dalam merayakan ketunggalan selaku umat Gusti Hyang Widi Rasa dengan meyakinkan kemanunggalan dalam mengolah kesempurnaan getaran dari 3 unsur yang disebut sir, rasa dan pikir dimana unsur lainnya, panca indera dapat menerima dan merasakan keagungan Gusti.

Begitu pula dalam laku kehidupan benar-benar merupakan ketunggalan selaku manusia dan kemanunggalan antara cipta, rasa, dan karsa diwujudkan dalam tekad, ucap, serta lampah. Menyatakan diri manusia seutuhnya dalam memancarkan pamor kebudayaan bangsa dengan ketentuan hukum kodrati. Intinya Paseban Tri Panca Tunggal merupakan tempat penyatuan pikiran, perkataan dan perbuatan dari pihak manusia tanpa melihat latar belakang agama, suku, etnis, dan ras. Sebagai wujud mensyukuri yang diberikan Sang Pencipta.

“Kita memang tidak sepengakuan tetapi kita sepengertian, menghargai perbedaan yang ada dan tidak menjadi hambatan untuk melakukan hal bersama-sama, ulah mikir naon nu dipikamenang, tapi mikir anu bisa dilakukeun (jangan berpikir apa yang didapat, tapi berpikir apa yang bisa dilakukan).”

Dalam malam satu suro yang bertepatan pada tanggal 14 November 2012 tahun masehi, Rama Djati memberi wejangan kepada masyarakat Sunda wiwitan di ruangan Paseban agar selalu menjaga tatakrama, bersikap dan bertutur kata sopan dan santun kepada  orang lain.

Sesepuh masyarakat adat Karuhun Urang, Rama Djatikusumah mengatakan, berkumpulnya masyarakat adat dari berbagai daerah diharapkan bisa menunjukkan keragaman masyarakat dan budaya di Indonesia.
"Inilah gambaran Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia. Jangan hanya sekedar menjadi slogan. Dengan berkumpul seperti ini, tidak ada lagi orang Sunda, orang Jawa, atau orang Kalimantan. Kita semua disini putra Nusantara, bersatu dan berkata bahwa kita orang Indonesia," tutur pria berusia 76 tahun ini di sela-sela Seren Taun, Sabtu (20/12).

Perbedaan, lanjut Rama Djati, bukan berarti setiap kelompok masyarakat adat mengkotak-kotakkan diri. "Dalam perbedaan itu sesungguhnya ada dasar kepercayaan yang sama. Meskipun cara menyebut dan menyembahnya berbeda. Generasi sekarang ini banyak yang sudah lupa cara cirinya sebagai manusia, makhluk Tuhan dan manusia dalam berbangsa," ujarnya.

Keberadaan masyarakat, seharusnya dipandang sebagai modal untuk menguatkan kearifan lokal. Bersatunya beberapa kelompok masyarakat adat di Cigugur, mendapat perhatian luas dari masyarakat sekitar. Dalam Helaran yang digelar siang tadi, 22 delman yang membawa puluhan masyarakat yang mengenakan pakaian adatnya, diarak keliling Kuningan.

Ratusan masyarakat terlihat antusias mengikuti rombongan yang bergerak dari Gedung Paseban-Kota Kuningan-Gedung Paseban. Lagu-lagu yang dilantunkan pun tak melulu lagu daerah, tapi juga didominasi dengan lagu wajib yang menyuarakan semangat persatuan.

"Dari sini (Cigugur), kami berharap ada gema persatuan yang sampai ke seluruh penjuru Tanah Air. Bisa menggetarkan daya rasa dan daya pikir serta menimbulkan kedamaian," ungkap Rama Djati.

Dari Cigugur, ia berharap kebhinekaan Indonesia bisa semakin menguat dalam ketunggalikaan.

geliat pemuda lintas iman ciptakan budaya damai

“Saya melihat Indonesia hari ini ada di Cirebon”. 


Kalimat tersebut diungkapkan seorang ibu, isteri dari Presiden RI Keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ya, dia adalah Nyai Sinta Nuriyah Wahid. Beberapa waktu lalu ia menggelar acara acara buka dan sahur bareng bersama sejumlah komunitas di wilayah tiga Cirebon termasuk Komunitas Lintas Iman, di Klenteng Talang, Hotel Intan, dan Cigugur Kuningan.

Bahkan pada Rabu (25/7), gema kebahagiaan “shalawat” pun dilantunkan di halaman Kelenteng Talang, Kota Cirebon, Jawa Barat. Ya, acara sahur bersama di Kelenteng Talang itu pun menjadi ajang berkasih-kasihan antarwarga, apa pun suku-bangsa dan agamanya.

Suasana indah dan damai, juga sangat terasa untuk kali ke sekian di Yayasan Fahmina pada satu sore menjelang buka puasa. Bagaimana tidak indah, sejumlah pemuda dan sesepuh mereka dari beragam latar belakang suku budaya dan keyakinan, duduk setara dalam sebuah acara buka puasa bersama. Tidak hanya para pemuda dari beragam keyakinan yang tergabung dalam “Pemuda Lintas Iman (Pelita)”, namun juga para orang tua maupun sesepuh yang tergabung dalam forum keberagaman beragama “Forum Sabtuan”,  pun turut melebur dalam acara tersebut. Rangkaian acara buka bersama ini juga tidak sekadar diisi pentas seni, karena selain itu juga setiap perwakilan dari agama-agama merefleksikan makna puasa bagi diri mereka dan kehidupan umat beragama di Cirebon, di Indonesia dan dunia.

Kegiatan serupa, bukan hanya sekali dua kali digelar komunitas lintas iman di Cirebon seperti Pelita dan forum Sabtuan. Lebih dari itu, Pelita juga menggelar Pasar Murah di Kelurahan Kesunean, atas kerjasama dari Gratia FM dan BEM ISIF Cirebon. Dalam pasar murah tersebut, 1.500 paket sembako dijual dengan harga murah, termasuk di dalamnya berbagai pakaian murah, mainan, dan alat-alat bayi. Menjelang waktu buka puasa, tepatnya tiga hari menjelang hari raya Idhul Fitri 2012, di lampu merah Jalan Pemuda, Pelita juga mengadakan “Posko Mudik Pelita,” dengan membagikan 1.500 kotak nasi kucing kepada para pemudik, atas kerjasama Gereja Bala Keselamatan dan Kodim Kota Cirebon.

Kendati demikian, bukan berarti acara tersebut tidak tanpa kendala, terutama menjelang berlangsungnya acara. Karena ada saja saja kelompok-kelompok yang masih keliru memahami kebersamaan tersebut. Dalam beberapa kali kegiatan misalnya, tak jarang mereka didatangi organisasi massa (Ormas) Islam tertentu, bahkan diminta membubarkan acaranya. Ketika para komunitas pecinta damai tersebut memilih meneruskan kegiatannya, mereka tidak diam, secara terang-terangan merekam acara tersebut. Lalu esoknya, video acara tersebut muncul di media Youtube, dengan judul “Pemurtadan Berkedok Pasar Murah”. Padahal jelas terlihat dalam video tersebut, beragam keyakinan ada di dalamnya, termasuk umat Islam yang jelas terlihat symbol keagamaannya dari para muslimah berjilbab. Tidak hanya itu, melalui medianya, kelompok yang tidak menyukai kegiatan komunitas lintas iman tersebut juga mengabarkan informasi-informasi yang isinya hanya memicu kebencian terhadap sesama.

Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati

Dulu ketika mendengar tentang Cirebon, bukan hanya mendapat gambaran tentang budayanya. Namun juga sudut-sudut di mana terjadinya pertukaran budaya, yang memungkinkan adanya peningkatan ilmu pengetahuan serta akulturasi budaya. Begitu juga dengan tempat-tempat ibadah, seperti gereja dan klenteng. Klenteng Welas Asih yang berusia sekitar 700 tahun ada di sana. Soal spiritualitas, keraton Cirebon adalah cermin Islam yang lembut dan toleran.

Akulturasi budaya juga terlihat di berbagai aspek lain. Lihat bangunan keraton-keratonnya. Ia memiliki unsur India, Jawa, Belanda, Cina, sekaligus Arab. Penggunaan atap yang bertingkat-tingkat adalah pengaruh Hindu, tapi tembok putih, kemudian aula yang diisi kursi-kursi yang berderet dan berhadapan adalah Eropa. Porselen keramik di tembok-tembok adalah pengaruh Cina, namun beragam kaligrafi, juga adanya mesjid di sekitar keraton adalah representasi Islam. Cirebon paham akan sejarah budayanya sendiri. Dan, melalui akulturasi budaya yang terjadi bertahun-tahun, mereka mampu menghayati pluralisme.

Namun beberapa tahun terakhir, ada imej popular baru tentang Cirebon terkait intoleransi beragamanya. Puncaknya pada aksi bom bunuh diri di masjid Polres Kota Cirebon, pada 15 April 2011. Belum lagi aksi penolakan konser Ahmad Dani oleh organisasi massa (Ormas) Islam tertentu, serta aksi kekerasan untuk membubarkan atau mengusir sejumlah kelompok minoritas di Kabupaten Cirebon.

Rangkaian kejadian berbau kekerasan atas nama agama, menjadi kegelisahan tersendiri bagi komunitas lintas iman di Cirebon, terutama para pemudanya. Diawali dari niat baik menciptakan budaya damai di kalangan sejumlah pemuda di Cirebon, sampai akhirnya terbentuklah Pemuda Lintas Iman (Pelita).

“Mencegah lebih baik daripada mengobati,” demikian niat awal Pelita sebelum kelahirannya. Kata “mencegah” yang dimaksud di sini adalah mencegah para pemuda menjadi korban pencarian jadi dirinya sendiri. Karena disadari Pelita, seperti diungkap Devida, Ketua Pelita, pemuda adalah kelompok manusia yang sangat rentan. Maka Pelita ini adalah lternative untuk mencegah para pemuda Cirebon terjerumus ke dalam radikalisme agama.

“Pelita selama ini cukup solid, agenda acaranya jelas dan rutin dalam mengadakan pertemuan dwi mingguan. Pelita bergerak dengan hati, semua pertemuan dwi bulanan sengaja  di-setting dalam bentuk lesehan dan melingkar, supaya lebih saling akrab dan mengenal satu sama lain,” papar Devida.

Tetap Bergerak untuk Indonesia Damai

Memulai sesuatu terkadang memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Termasuk upaya Pelita mengajak pemuda dari berbagai agama, juga bukan hal mudah. Namun Pelita terus mencoba bergerak.
“Apa yang kami lakukan adalah baik, kami yakin itu, karena bergerak dengan hati yang tulus akhirnya mereka yang awalnya enggan datang ke acara Pelita pun melihat niat baik kami. Sebut saja Pemuda Komunitas Hindu di Pure Jati Permana, Perumnas Cirebon, juga Pemuda Ahmadiyah dengan nama “Lajnah Ima Illah”. Lalu Syi’ah, serta pemuda-pemudi gereja yang dulu sangat tertutup sekarang mereka mau berkumpul dan duduk bareng,” ungkap Devida.

Pelita adalah organisasi kepemudaan yang di dalamnya terdiri dari berbagai agama dan keyakinan. Ide terbentuknya, lanjutnya, bermula dari inisiatif para orang tua dalam forum lintas iman yang bernama “Komunitas Sabtuan” terutama Marzuki Wahid, Ketua Majelis Pengurus Yayasan Fahmina. Hingga terbentuk gagasan bersama membuat wadah di mana para pemuda lintas iman kota Cirebon bisa berkumpul dan berjuang bersama untuk satu Indonesia yang damai dan rukun.

“Para pemuda dan forum sabtuan pada waktu itu berkumpul di Gereja Rahmani dan Gereja Katolik (GK) Pengampon untuk membahas ide ini lebih lanjut dan yang pada akhirnya menelurkan Pelita,” jelasnya.

Hanya Ingin Cirebon Sejalan Bhinneka Tunggal Ika

Sesuai sifat dasar manusia, kehidupan damai menjadi harapan semua umat manusia apapun latar belakang suku, budaya, dan agamanya. Sayangnya, selalu saja ada pihak-pihak yang terus berusaha memicu timbulnya permusuhan. Termasuk di Cirebon, kendati keberagamannya sangat bagus, namun masih ada kerikil penghalang mewujudkan damai.  Seperti diungkap salah satu pemuka agama Budha, Surya Pranata. Sampai saat ini, ia menjadi bagian dari komunitas lintas iman “Forum Sabtuan” Cirebon, yang tak bosan-bosannya memperjuangkan budaya damai. Ia hanya ingin agar kehidupan di Cirebon sejalan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika, berbeda tapi tetap satu.

“Berbeda tapi menghargai perbedaan dan hidup dengan harmonis tanpa melihat agamanya apa. Puasa kemarin, saya ikut menjadi narasumber dalam acara buka bersama di Kampus ISIF. Puasa jangan dimaknai sebagai ritual belaka, tapi puasa harus dimaknai dari prosesnya. Puasa adalah meditasi, pelatihan jiwa, dan menahan segala amarah,” ungkap Surya dengan penuturan khasnya yang pelan dan tenang.

Ia juga mengaku sangat menyambut baik lahirnya Pelita. Menurutnya, hubungan antar agama di Cirebon sudah terjalin bahkan saat tahun 2000 lahir Forum Sabtuan.

“Akan tetapi ada kesadaran dalam benak para anggota Forum Sabtuan bahwa perlu ada regenerasi, makanya lahirlah kemudian Pelita. Saya sangat apresiatif terhadap semangat, komitmen dan pemuda lintas agama dan keyakinan di Cirebon.”

Ruang Segar Membangun Damai

Sementara menurut salah satu Anggota Majelis Pengurus Yayasan Fahmina, Rosidin, Cirebon dengan dinamika sosial dan heterogenitas masyarakatnya, membutuhkan sebuah lembaga atau forum komunikasi antar umat beragama dan antar golongan masyarakat yang akan menginisiasi munculnya ketahanan budaya (cultural resistance) antikonflik. Forum yang  dimunculkan dari budaya setempat sebagai kecerdasan lokal (local genius) diharapkan mampu mengantisipasi berbagai gejala sosial baru yang berpotensi merusak keseimbangan sosial.

“Pelita ini sepertinya memberi ruang yang cukup bagi terjadinya proses dialogis antar kelompok kepentingan, khususnya yang berkaitan dengan isu ras, dan agama. Forum yang berisi para pemuda lintas iman ini memberikan raung segar bagi pemuda-pemuda lintas iman untuk saling belajar dari keyakinan yang berbeda-beda,” papar Rosidin.

Dari berbagai aktifitas Pelita mulai dari roadshow ke tempat-tempat ibadah, diskusi bulanan mengenal lebih dekat teman, sampai pada momen-momen memperingati besar nasional bahkan hari besar keagamaan, menurutnya Pelita seakan menjadi safety falfe atau katup pelepas yang menjadi saluran bagi kelompok antar agama di kalangan pemuda melepaskan uneg-unegnya.  Sehingga, lanjutnya, pada skala tertentu mampu meredakan ketegangan antar golongan yang berkonflik.

“Fungsi strategis adanya forum semacam ini adalah juga untuk menjadi sarana dialogis antar kelompok, terutama dalam rangka mengembangkan suasana toleran dan pemahaman tentang perlunya menghargai keberagaman dalam masyarakat multi-kultur ini,” jelasnya.

Fungsi lain yang tak kalah urgennya, tambahnya lagi, adanya Pelita adalah sebagai lembaga yang secara kultural (dan alamiah) mampu mengembangkan semacam early warning system atau sistem peringatan dini terhadap berbagai konflik yang memiliki potensi mengganggu keseimbangan social, terlebih dapat menghancurkan tatanan sosial melalui aksi-aksi kekerasan. 

diangkat di majalah Blakasuta dan website http://fahmina.or.id

Rabu, 24 Oktober 2012

Memprihatinkan: Dikeluarkan Sekolah Secara Sepihak, Sampai Harus Tes Keperawanan

Sebut saja namanya Indah (18) (bukan nama sebenarnya), menjelang beberapa bulan ujian akhir nasional, ia harus menerima kenyataan dikeluarkan secara sepihak dari sekolahnya. Tepatnya pada Senin, 24 September 2012, ia dikeluarkan dari SMK Hasanudin, Eretan, Indramayu. Ia dikeluarkan secara sepihak karena pada saat ia dikeluarkan, orang tuanya tidak ikut dilibatkan termasuk diinformasikan kasus yang menimpa anaknya, surat hanya ditandatangani oleh Kepala Sekolah. Pada saat para guru dan beberapa teman menuduhnya, dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menerangkan kondisi yang sebenarnya. Ia selalu dilarang bicara oleh gurunya. Sebelum diberikan surat keputusan dikeluarkan dari sekolah tersebut, ia dan teman sekelasnya, Andi (bukan nama sebenarnya) dipukul sebanyak dua kali oleh guru dan salah seorang petugas mushola yang mengaku menyaksikan perilaku mereka di kamar mandi siswa.

Belum usai rasa malu akibat tercemar nama baiknya, Indah juga harus menerima kenyataan dari rasa sakit akibat visum yang dilakukan secara tidak wajar untuk membuktikan bahwa ia masih perawan. Visum dilakukan atas perintah petugas kepolisian resort (Polres) Indramayu saat ia dan keluarganya melaporkan perilaku kekerasan dan tuduhan dari pihak sekolah kepadanya. Demi membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan masih perawan, ia pun menurut saja apa yang diperintahkan oleh pihak kepolisian untuk memeriksa keperawanannya. Sayangnya, akibat visum yang sangat tidak wajar, ia harus menderita sakit di bagian organ vitalnya selama berminggu-minggu bahkan sampai sekarang.
Berniat Membantu Teman 

Kali pertama menemuinya, dia masih bisa bersikap tegar dengan menyunggingkan senyum manisnya, sehingga siapa sangka bahwa sebulan lalu dia baru saja dikeluarkan secara sepihak oleh pihak sekolah. Juga, siapa sangka bahwa selama beberapa minggu ini dia merasakan sakit yang sangat di bagian vaginanya setelah diminta membuktikan keperawanannya dengan visum yang sangat tidak wajar. Ketidakwajaran tersebut juga diungkapkan oleh salah satu bidan di desanya saat ia berobat untuk memeriksakan rasa sakit akibat visum selama berminggu-minggu. Menurut bidan tersebut, tidak seharusnya tes keperawanan dilakukan dengan cara yang sangat tidak wajar seperti yang dialaminya ketika di visum di salah satu rumah sakit di Indramayu.

Dituduh melakukan tindak asusila di kamar mandi mushola sekolah serta tidak mendapatkan kesempatan untuk menjawab tuduhan tersebut, membuatnya menyepakati tes keperawanan tersebut. Saat itu, bagi Indah, apapun akan ia lakukan untuk membuktikan bahwa ia masih perawan dan tidak melakukan tindak asusila yang dituduhkan padanya.
Selama ini, Indah sendiri dikenal sebagai sosok yang sangat toleran dan suka membantu teman, hal ini juga yang dilakukannya ketika ada salah satu teman sekelasnya (laki-laki) mendapatkan sejumlah luka di bagian tubuhnya. Siang usai solat sunnah Duha, dia pun berniat membantu temannya tersebut untuk mengobati lukanya dengan meminjam obat luka seperti Betadin dan kapas di ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS).
Karena lukanya di bagian dada dan punggung, maka ia pun harus membantu temannya tersebut di ruang tertutup, yaitu saat itu ia dan temannya memilih di toilet mushola sekolah. Tanpa diduga, beberapa menit kemudian datang beberapa orang berteriak dan menuduh mereka tengah berbuat mesum. Salah seorang yang menuduh mereka di antaranya seorang petugas mushola yang juga mengaku merekam perilaku mereka. Tanpa menanyakan terlebih dahulu, Andi (teman Indah) pun ditampar, selain ditampar petugas mushola, Andi juga ditampar salah satu guru ketika sudah sampai di ruang guru. Kali ini bukan hanya Andi yang ditampar, Indah juga ikutan ditampar pipinya.
“Padahal apa yang mereka tuduhkan itu sama sekali nggak bener, jelas-jelas saya bawa betadin dan baju saya masih utuh dan rapat. Niat saya hanya ingin membantu teman yang kesakitan karena luka lebam di badannya akibat main bola,” paparnya.
Tidak Diberi Kesempatan Bicara
Sayangnya, meskipun berkali-kali membuka mulutnya untuk menjawab tuduhan, namun dia selalu dilarang oleh gurunya yang menurutnya jelas-jelas tidak faham duduk persoalannya. Karena tidak ada pilihan lain, maka Indah dan Andi pun bungkam. Sementara semua mata teman-teman dan guru-guru lain sudah berteriak dan menatapnya marah. Keduanya benar-benar tidak diberi hak berbicara untuk menjawab tuduhan yang dilemparkan padanya.
“Setiap saya ingin bicara untuk menerangkan yang sebenarnya, saya sama sekali tidak diberi kesempatan oleh guru saya. Padahal semua tuduhan itu tidak benar. Pak guru selalu bilang “Udah, kamu diem aja!,” jadi saya nggak punya kesempatan untuk membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar,” terang Indah yang sesekali matanya mulai berkaca namun masih sempat ditahannya.
Dikeluarkan Secara Sepihak
Di hari yang sama setelah dituduh melakukan perilaku asusila, keduanya tiba-tiba langsung mendapatkan Surat Keterangan Pindah Sekolah. Namun menurut Indah, ada yang tidak wajar dari surat tersebut, karena selain dibuat secara instan, surat tersebut juga hanya ditandatangani oleh Kepala Sekolah. Hal tersebut juga diungkapkan ibunya Indah yang mengaku tidak dipanggil oleh pihak sekolah terkait kasus yang menimpa anaknya. Meskipun ada kolom tanda tangan Orang Tua/Wali, namun kolom tersebut sengaja dikosongkan.
“Padahal seharusnya orang tua saya dipanggil terlebih dahulu agar mereka mengetahuinya. Namun ini hanya ditandatangani Kepala Sekolah. Selain itu yang membuat saya aneh, mereka itu seakan sudah menyiapkan surat pengeluaran saya di hari-hari sebelumnya,” ungkap Indah.
Hal janggal lainnya adalah ketika keluarganya datang ke sekolah untuk meminta rekaman video perbuatannya, tidak ada satu orang pun yang mengaku memiliki rekaman video tersebut. Bahkan kepala sekolah pun sampai bersumpah bahwa ia tidak mendapatkan rekaman video tersebut. Rekaman video tersebut pernah disebut-sebut seseorang yang katanya mengaku merekam perilaku mereka di kamar mandi.
“Namun anehnya, ketika kami meminta ingin melihat video tersebut, semua orang mengaku tidak melihat bahkan memilikinya. Jadi tidak jelas videonya ada atau tidak,” tuturnya.
Tes Keperawanan yang Tidak Wajar
Untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan tidak melakukan tindak asusila seperti yang dituduhkan sekolahnya, keluarga Indah pun akhirnya melaporkannya ke pihak kepolisian resort (Polres) Indramayu. Tidak disangka, dari Kepolisian malah memintanya melakukan visum dan membuktikan bahwa ia tidak pernah melakukan hubungan seksual dan dia masih perawan.
“Kalau saya, apapun akan saya lakukan untuk membuktikan bahwa saya tidak bersalah termasuk untuk tes keperawanan. Jadi saya menurut saja ketika polisi meminta saya untuk visum di rumah sakit,” ungkapnya.
Namun, siapa sangka bahwa tes keperawanan yang dibayangkannya bersama keluarganya sangat berbeda dengan apa yang dialaminya. Oleh dua suster dan satu dokter, dia menjalani tes keperawanan yang menurutnya cukup lama, bahkan dia mengaku berteriak dan menangis karena kesakitan. Usai dilakukan visum, ia tidak bisa mendapatkan langsung hasilnya, ia bahkan tidak mendapatkan nasihat apapun dari si dokter. Selain itu, hal yang tidak terduga, rasa sakit usai visum, membuatkan tidak bisa hidup nyaman selama berminggu-minggu lamanya.
“Saya trauma baget, karena sampai sekarang juga masih merasa sakit, lalu ibu mengantar ke Puskesmas dan konsultasi ke bidan. Ternyata, kata bidan, tes keperawanan seharusnya tidak demikian. Itu tes keperawanan yang keliru,” paparnya lagi.
Sementara menurut orang tua Indah (ibunya), tes keperawanan yang dialami puterinya ternyata tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. “Saya pikir tes keperawanan itu sekarang sudah modern seperti melalui computer. Tapi kok malah diperiksa sampai ke masuk dalem gitu, sampai anak saya teriak-teriak mengeluh kesakitan dibiarkan saja. Kalau tahu seperti itu, mendingan gak usah divisum,” ungkapnya.
Mendapat Teror
Pasca dituduh melakukan perilaku asusila dan dikeluarkan dari sekolah, bukan hanya nama baiknya dan orang tuanya yang sudah tercemar. Kini hampir seluruh desa mengetahui kabar yang jelas merupakan aib bagi keluarganya. Bahkan kini bukan hanya keluarganya yang sering diperlakukan sejumlah tetangga dengan kata-kata yang tidak mengenakkan, Indah sendiri sampai sekarang sering mendapatkan telfon dan sms-sms yang bernada kecaman, caci maki dan ancaman.
“Sms-sms tersebut ada yang secara terang-terangan ditulis pengirimnya, seperti ada sms perwakilan kelas 12A, kelas saya. Karena tidak tahan, sms-sms itu sudah saya hapus. Ada lagi yang terbaru yang belum saya hapus, tapi cuma satu sms,” ungkapnya yang kemudian menunjukkan sms itu kepada kami (Fahmina).
Masih Menunggu Perkembangan dari Kepolisian
Kini sudah beberapa minggu setelah melaporkan kasusnya ke Polres Kabupaten Indramayu, Indah dan keluarganya belum mendapatkan informasi perkembangan kasusnya. Sementara itu Yayasan Fahmina bekerjasama dengan Women Crisis Center (WCC) Balqis sudah siap melakukan pendampingan kasus Indah, namun masih menunggu perkembangan kasus yang kini sedang ditangani kepolisian. Proses pendampingan akan dilakukan setelah mendapatkan informasi perkembangan kasus Indah yang sudah dilaporkan ke Polres sebelumnya, serta dilakukan setelah pihak keluarga mengizinkan proses pendampingan dilakukan oleh LSM.
Tes Keperawanan Tidak Ada Urgensinya
Wacana untuk melakukan tes keperawanan bagi calon siswa sekolah menengah atas (SMA) merupakan tindakan yang sangat terbelakang. Bahkan bisa dibilang barbar. Ini adalah wacana yang sangat lebih dari terbelakang. Kebijakan yang dikeluarkan dengan logika yang sangat salah. Tes keperawanan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pertama, karena hanya perempuan yang memungkinkan terdeteksi perawan atau tidaknya. Sedangkan laki-laki tidak bisa terdeteksi keperjakaannya. Kedua, diskriminasi perempuan di bidang pendidikan, jika kemudian terbukti si perempuan tidak perawan, lalu ditolak dan tidak mendapatkan akses pendidikan. Padahal pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang harus diberikan penyelenggara negara. Diskriminasi di bidang pendidikan sudah menyalahi Undang-Undang Dasar 1945.
Indramayu adalah salah satu daerah yang Bupatinya memberlakukan kebijakan tes keperawanan bagi siswi di Indramayu sebagai syarat masuk sekolah. Tahun 2007, wacana pemberlakua kebijakan oleh Bupati ini pernah menuai kritik dari banyak pihak. Karena tes keperawanan bagi calon siswa tidak ada urgensinya. Karena hanya melihat dimensi keperawanan dari satu perspektif saja. Padahal, keperawanan bukan hanya karena hubungan seks. Selaput dara perempuan bisa saja robek karena jatuh dari sepeda. Kebijakan ini sangat mundur dan tidak memiliki perspektif kemajuan. Seharusnya kita sudah tidak lagi mempersoalkan keperawanan yang sangat personal. Dalam hal ini, seharusnya, penyelenggara negara membuat kebijakan yang membuat remaja lebih produktif. Seperti membuat arena olahraga atau kesenian yang mendorong remaja beraktivitas.
Jika persoalannya adalah menyikapi kenakalan remaja, tes keperawanan adalah cara yang tidak akan efektif. Pendidikan reproduksi di rumah atau di sekolah akan lebih efektif untuk mengatasinya. Akan lebih efektif lagi jika negara menyelenggarakan pendidikan seks untuk remaja seputar kesehatan reproduksi (Kespro). Remaja menjadi lebih paham perilaku seperti apa yang bisa menyebabkan kehamilan, serta bisa menghindari terjadinya kehamilan tidak diinginkan.
Tes keperawanan tidak menawarkan solusi apapun, termasuk untuk orang tua dalam mengawasi perilaku anaknya. Pemahaman mengenai hukuman sosial atau pengucilan sosial jika remaja hamil juga bisa menambah pemahaman remaja untuk menjaga perilakunya.
*Tulisan ini berdasarkan hasil wawancara langsung dengan korban dan orang tua korban di rumahnya pada Rabu (24 Oktober 2012). Tulisan ini berharap dapat membangun opini publik untuk tidak mendukung kebijakan sekolah yang tidak adil dalam kebijakanya dan melakukan diskrimansi gender.

Senin, 02 Juli 2012

maraknya Perda diskriminatif

Beberapa hari lalu saya berdiskusi dengan salah satu dosen saya di Paramadina Graduate School (PGS) Jakarta. Awalnya kami hanya mengobrol tentang pemberitaan media yang bervisi misi Islam namun isinya hanya memicu sikap intoleransi di negeri ini. Sampai pada pembicaraan tentang pengalamannya meneliti sejumlah peraturan daerah (Perda) Syari’ah diskriminatif terhadap golongan tertentu, terutama pada perempuan. Salah satu kalimatnya yang saya ingat adalah, Perda-Perda itu sebagian besar kopi paste terhadap Perda dari satu daerah untuk daerah lainnya. Bahkan bisa dikatakan sekadar proyek, dan lucunya mereka yang membuat Perda tersebut sadar bahwa Perda itu tidak akan terimplementasikan. Ini sungguh ironi di tengah rakyat Indonesia yang masih jauh dari sejahtera, di mana dana-dana proyek itu terbuang percuma untuk kepentingan sekelompok orang. Lalu obrolan kami pun melebar pada Raperda itu. Beberapa bulan lalu saya juga sempat berbagi informasi tentang ini diwebsite kppri tentang ini.

Mungkin kita masih ingat membaca berita atau setidaknya mendengar tentang peristiwa meninggalnya Lilis Lisdawati pada tahun 2008. Ia adalah korban salah tangkap berlatar belakang Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005 di Kota Tangerang. Saat itu media setempat cukup ramai memberitakan ini, salah satunya seperti diberitakan Suara Warga (Edisi 007/011), Lilis Lisdawati adalah karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan. Suaminya Kustoyo, adalah guru SD. Tanggal 27 Februari 2006, Lilis ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di daerah Tangerang. Ia dituduh telah melanggar Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Aturan Perda tersebut memang multitafsir sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menyebabkan salah tangkap. Pasal 4 ayat 1 misalnya, menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah.”

Petugas lalu bisa menangkap seseorang, terutama perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah pelacur (PSK). Meski telah menyampaikan bahwa ia bukan PSK, Lilis tetap ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8 hari penjara dan denda Rp 300 Ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4 hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda tersebut.

Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan Lilis semakin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda tersebut. Alasannya, Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk merehabilitasi nama baik Lilis. Lilis mengalami keguguran pasca peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar dari pekerjaan karena tertekan dengan tudingan beristrikan pekerja seks. Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008 dalam kondisi depresi.

Tangerang adalah satu dari 38 daerah yang memiliki perda tentang pelacuran yang mengkriminalisasi perempuan. Tidak satupun peraturan daerah serupa ini yang dibatalkan. Bahkan, Mahkamah Agung juga kembali menolak permohonan judicial review untuk Perda serupa dari Bantul. Kali ini dengan alasan bahwa permohonan diajukan melewati batas waktu yang diperbolehkan, yaitu 180 hari sejak Perda itu ditetapkan. Dari depresi Lilis hingga meninggal dunia, setidaknya jelas bagi kita bahwa ini efek dari penahanan-nya atau efek dari berbagai masalah (sosial, hukum, ekonomi) yang juga turut di-blow-up media. Selain Lilis, ada sejumlah korban salah tangkap petugas ketentraman dan ketertiban (Tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang juga dicurigai sebagai pelacur.

Selain korban salah tangkap Perda Tangerang, yang juga cukup ramai diberitakan adalah kasus penggundulan di Aceh oleh polisi Syariah. Meskipun pada akhirnya Qanun Jinayat yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2009, harus segera dibatalkan untuk kemudian dilakukan revisi dan dilengkapi sesuai dengan kaidah hukum Islam kaffah atas desakan Ulama se-Aceh. Menurut mereka, dalam sejumlah pemberitaan, Qanun tersebut masih mengabaikan hal-hal prinsipil dalam Hukum Islam. Ulama Aceh juga mengimbau semua pihak baik Gubernur, politisi, DPRA, Ulama dan komponen masyarakat agar turut berpartisipasi member masukan kepada ulama. Hal tersebut terkait polemik yang terjadi terhadap pengesahan Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang disahkan pada pertengahan September 2009.

Berpotensi Merugikan Perempuan

Tahun 1998 awal mulai terjadi dinamika politik hukum Indonesia, yang ikut membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum Islam yang merupakan bagian dari hukum nasional turut mengalami perubahan, tidak terkecuali sektor hukum pidana (jinayat) yang sebelumnya penuh dengan ketidakmenentuan. Dinamika hukum, terutama sekali, ditandai peralihan sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem otonomi. Sistem ini tertuang di dalam UU No. 32 Tahun 2004. Provinsi Aceh yang mayoritas muslim dan memiliki pengalaman di bidang hukum Islam Qanun dan memberlakukannya di dalam sosio-yuridis masyarakat. Masa dinamika ini kerap dikenal era reformasi. Bagi Aceh, era ini menjadi awal penyelesainan konflik selama 30 tahunan secara beradab, melalui jalur perundang-undangan.

Lalu tahun 2000-an mulai marak kemunculan Perda-perda diskriminatif, bahkan dalam beberapa tahun terakhir sejumlah hasil penelitian mengungkap Perda-perda diskriminatif di Indonesia semakin meningkat. Dimulai dari munculnya sejumlah pemberitaan tentang deretan persoalan dalam menyikapi proses eksekusi atas seorang terpidana, mulai dari gugatan atas konsistensi perundang-undangan yang dianggap merendahkan martabat, tidak manusiawi, tidak efektif dan lan sebagainya. Termasuk awal tahun 2012 ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis data tentang maraknya berbagai kebijakan diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan Jender, berupa kebijakan di tingkat nasional maupun kebijakan lokal.

Dalam kajian perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pronografi, yang justru menghalangi perempuan untuk dapat menikmati hak asasinya secara utuh khsususnya hak atas kepastian hukum dan atas kebebasan berekspresi. Komnas Perempuan mencatat hingga bulan Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebanyak 78 dari 207 kebijakan tersebut secara khusus menyasar pada perempuan, lewat pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan.

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, melihat proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya.

Pentingnya Peningkatan Keterwakilan Perempuan

Di sisi lain, dalam dunia politik sendiri, perempuan adalah bagian dari warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi. Termasuk jumlah perempuan yang duduk di DPR-RI hasil 10 kali Pemilihan Umum yang tidak pernah mencapai angka kritis 30% adalah buktinya. Padahal, minimnya keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan secara lagsung akan menyebabkan suata perempuan menjadi tidak terwakili, sehingga pengalaman khas dan spesifik yang dialami perempuan tidak terangkat. Lebih jauh, masih berdasarkan rilis Komnas Perempuan pada Rabu (8/2/2012), fakta kekerasan terhadap perempuan akan kehilangan ruang untuk disuarakan dan diangkat sebagai bagian dari persoalan bangsa yang harus dicegah dan ditangani.

Berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh per seartus) merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Penetapan 30% ditujukan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan politik. Dengan demikian, diharapkan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menjadi salah satu ruang penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan publik.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI), Ir. Hj. Andi Timo Pangerang. Menurutnya, maraknya kebijakan diskriminatif terutama di daerah-daerah tidak terlepas dari persoalan keterwakilan perempuan.
“Munculnya sebuah Perda tidak terlepas dari kondisi sosial-budaya dan politik di daerah tersebut, sementara perwakilan perempuan di daerah sendiri sangat minim, semakin di daerah, perwakilan perempuan semakin minim, terutama di Kabupaten. Di provinsi juga hanya sekitar 15% sampai 16 %, apalagi di Kabupaten makin rendah lagi, sehinga berdampak pada suara perempuan dan pada akhirnya suara perempuan sebagai minoritas dan proses pengesahan Perda-perda lebih didominasi suara laki-laki. Jadi walaubagaimana pun, kualitas dan kuantitas perwakilan perempuan di parlemen sama-sama pentingnya,” ungkap perempuan yang akrab disapa Bu Andi ini.


Bu Andi juga menambahkan, sampai saat ini KPP-RI terus bekerjasama dengan sejumlah pihak yang peduli terhadap persoalan perempuan, seperti Komnas Perempuan serta jaringan KPP-RI di kabupaten. Karena menghapus kekerasan terhadap perempuan melalui upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam lembaga perwakilan hendaknya dibaca sebagai upaya bersama untuk mengevaluasi segala hal yang mendiskriminasi perempuan, mulai dari multi-burden (beban berganda), stereotyping (pelabelan negatif), hingga budaya yang cenderung menghalangi atau bahkan membatasi perempuan untuk beraktivitas di ruang publik dan politik seperti larangan perempuan menjadi pemimpin dan larangan perempuan keluar malam.

Selain itu pemunculan pendapat tertentu yang mencoba menegasikan kepemimpinan perempuan, perlu direspon melalui pengungkapan kekayaan penafsiran yang mencoba melihat kembali relasi perempuan dan laki-laki dalam konteks setara dan ramah pada kemanusiaan. Seperti larangan terhadap perempuan beraktivitas di malam hari dengan alasan untuk menghindarkan perempuan dari tindak kejahatan seharusnya direvisi oleh pemerintah daerah setempat, melalui penyediaan tenaga keamanan yang berpatroli dan berjaga pada malam hari agar perempuan tetap mendapatkan jaminan atas hak keamanan selama beraktivitas.

Senin, 16 Januari 2012

mengenal kyai feminis Indonesia

mungkin masih ingat tentang paragraf-paragraf yang disusunnya sehingga berhasil membuatku ‘menangis’ pada benar, aku menangis. aku juga pernah berbagi tentang salah satu pemikirannya dalam berdialoglah. mengenal sosoknya dalam keseharian dan menjadi bagian dari salah satu perjuangannya, membuatku selalu ingin menulis tentangnya. keinginan yang begitu besar dan bahkan ingin mencatat detail dan banyak tentangnya. tapi di luar sana juga sudah banyak yang menuliskan tentang sosoknya. dia adalah Husein Muhammad. salah satu penulis di kompasiana, Much. Aly Taufiq, menuliskan sosoknya dengan judul Satu-satunya Kyai Feminis Indonesia, yang kemudian juga diangkat dalam website lembaga Fahmina-institute, LSM tempatku bekerja. 

 

aku pikir menarik bagaimana membaca pikiran orang lain tentang Kyai kelahiran cirebon 9 Mei 1953 ini. karena selama ini aku sering setengah-setengah berbagi informasi tentangnya, semoga apa yang ditulis Much. Aly Taufiq dan sedikit aku paparkan dengan gaya berceritaku di blog ini, semoga bisa menambah informasi kita tentang sosok yang merasa dirinya muda di masa tuanya, dan merasa tua di masa mudanya. aku dan sejumlah orang yang mungkin merasa akrab dengan sosoknya, biasa menyapanya buya Husein. ia kerap menjadi narasumber dalam berbagai pertemuan yang mendialogkan isu keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan Perempuan. bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. misalnya, sebagai pembicara dalam konferensi internasional bertema “Trends in Family Law Reforms in Muslim Countries” di Kuala Lumpur, Malaysia. sebelumnya, dia diundang ke Dhaka, Banglades, dalam konferensi internasional pula. ia juga pernah mengisi mata kuliah yang diampu oleh Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, padahal saat itu Nasr Hamid tidak berhalangan. Nasr Hamid hanya ingin melihat pengasuh pesantren Dar al Tauhid Cirebon itu memberi pencerahan kepada mahasiswanya.

fatwanya tentang imam perempuan

sekali lagi, Much. Aly Taufik menyebutnya sebagai satu-satunya Kyai feminis Indonesia yang tak pernah merasa lelah membela perempuan. ia berjuang mendongkrak kemapanan pemahaman relasi gender yang telah mapan. pandangannya banyak berbeda dengan pandangan keagamaan arus utama, terutama ketika membahas fikih mengenai perempuan. salah satu fatwanya yang berbeda adalah, ia membolehkan perempuan sebagai Imam Salat yang makmumnya laki-laki. Menurutnya, Imam Salat hendaknya yang pandai membaca Al-qur’an, ahli fiqih, dan yang pandai di antara kamu. al-qur’an tidak pernah menyebutkan soal laki-laki dan perempuan, justru yang ditekankan sebagai Imam salat adalah kemampuan individu, bukan jenis kelamin.

satu-satunya hadis yang melarang perempuan sebagai imam adalah “Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam Salat bagi laki-laki,”. dalam riset Husein Muhammad, hadits itu bertumpu pada periwayat bernama Muhammad bin Abdullah al-Adawi. Sosok ini banyak menuai kritik. Imam Bukhari menyebutnya “munkar”. Abu Hatim menyebutnya “syaikh majhul”. Daruquthni menilai hadisnya “matruk”. Ibnu Hibban menyebut hadisnya “tidak boleh dijadikan dasar hukum”.

menurut buya Husein, ada hadis sahih yang memperbolehkan perempuan menjadi Imam atas laki-laki, Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh Ummu Waraqah mengimami Salat penghuni rumahnya. hadits itu dipersepsi luas para periwayatnya dipercaya kredibel. dalam hadits Abu Daud, Imbuh Husein Mhammad, ada penjelasan tambahan: pembaca azannya seorang pria. Ummu Waraqah juga dijelaskan memiliki budak pria. di rumahnya pun ada kakek-kakek. isi hadits itu, menurut Husein, sejalan dengan prinsip Islam yang memberi kesetaraan laki-laki dan perempuan. dari sini Husein Muhammad menyimpulkan, tidak ada nash agama yang melarang perempuan jadi imam.

sejak dahulu, tutur Husein, sudah ada ulama sekaliber Mujtahid Mutlak yang memperbolehkan Imam perempuan. di antaranya, seorang ahli fiqih Abu Tsaur, Al-Muzani (wafat 878 M) dan Ibnu Jarir al-Thabari (wafat 923 M). namun, pendapat mereka kurang dikenal hingga saat ini.

mengapa arus utama ahli fikih melarang? Husein menyimpulkan, karena kondisi masyarakat Arab pada saat itu sangat dominan dengan laki-laki, selain itu perempuan di depan atau di tengah laki-laki, seperti diungkap banyak buku fikih, bisa menggoda pikiran laki-laki. tapi, bagi Husein, itu cara pandang yang bias laki-laki.

menuliskan pemikirannya

Husein Muhammad adalah satu-satunya Kyai yang concern meneliti Gender. Ia begitu erat dengan khasanah kitab-kitab klasik. maklum, masa mudanya ia habiskan untuk mendalami kitab kuning. sejak kecil, ia sudah hidup di lingkungan pesantren. sembari bersekolah, ia belajar ilmu agama dari orang tua sendiri.

namun, ia tidak puas hanya belajar di pesantren orangtuanya sendiri. “Belajar ke yang pintar, beguru ke yang pandai”, pepatah itulah yang menyulutkan semangat Husein untuk merantau ke kediri, menimba Ilmu agama di pesantren Lirboyo, Tahun 1969 sampai 1973.
pada tahun 1973, ia melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Ilmu Al-qur’an (PTIQ) Jakarta. di sini, ia mendapatkan ilmu-ilmu baru, tentang organisasi, menulis karya ilmiyah, hingga demonstrasi. pada 1976, ia tercatat sebagai pendiri dan pemimpin redaksi buletin PTIQ, “Fajrul Islam”. meskipun buletin itu masih menggunakan mesin ketik dan tulisan tangan, namun tidak mengurangi semangatnya berkarya.

tahun 1980 ia merasa lega, sebab telah berhasil menjadi sarjana jebolan PTIQ. namun, ayah dari lima anak ini belum merasa puas. “Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi”, pekerjaan yang dilakukan dengan tanggung-tanggung tidak akan mencapai hasil yang baik. karena tidak mau setengah-setengah, ia pergi ke Mesir. menyeberang pulau ia jalani, berkelana ke negara lainpun ia sanggupi.

namun, setelah sampai di Universitas Al-Azhar Mesir, Husein Muhammad dikecewakan dengan Kurikulum yang banyak pengulangan dan menggunakan sistem hafalan. ia merasa apa yang diajarkan di sana kurang menantang. semua sudah dipelajarinya di pesantren. akhirnya ia mengurungkan niat untuk melanjutkan studinya. selama tiga tahun di Mesir, ia habiskan waktunya di perpustakaan dan mengisi diskusi di Kaum Muda Nahdlatul Ulama (KMNU) cabang Mesir.

akhirnya pada tahun 1983, Ia pulang ke Indonesia tanpa gelar dari Universitas al-Azhar. namun membawa segudang ilmu yang akan digunakan berjuang membela kaum yang didiskriminasikan, yaitu perempuan.

sebagai bentuk pembelaan terhadap perempuan, pada bulan November 2000, ia mendirikan Fahmina Institute. Lalu pada tangga 3 Juli 2000, bersama Sinta Nuriyah A. Wahid, Mansour Fakih, dan Mohamad Sobari, ia mendirikan Pesantren Pemberdayaan Kaum Perempuan ‘Puan Amal Hayati’. Pada tahun 2000 juga, ia mendirikan RAHIMA Institute, dan pada tahun yang sama pula, ia mendirikan Forum Lintas Iman, tiga tahun kemudian, ia tercatat sebagai Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on population and Development. lalu pada tahun 2005, ia bergabung sebagai pengurus The Wahid Institute Jakarta. Selain itu ia juga tercatat sebagai angota National Board of International Center for Islam and Pluralisme (ICIP).

 

saat ini, selain sibuk sebagai Komisioner pada Komnas Perempuan dan konsultan Yayasan Balqis untuk hak-hak perempuan, kesehariannya ia jalani dengan menulis berbagai buku dan artikle. bukunya yang sudah terbit adalah Fiqh Perempuan, Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender (Lkis, Yogyakarta, 2001), Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiyai Pesantren (LkiS, Yogyakarta, 2005), Spiritualitas Kemanusiaan, Perspektif Islam Pesantren, (LKiS Yogyakarta ,2005). Ijtiihad Kyai Husein ; upaya membangun keadilan (2011), Mengaji Pluralisme maha guru pencerahan (sedang tahap akhir).

sedangkan buku yang ia tulis bersama-sama adalah Dawrah Fiqh Perempuan, Modul Kursus Islam dan Gender, (Fahmina Institute, Cirebon, 2006), Fiqh Anti Trafiking, Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, (Fahmina Institute, Cirebon, 2009), Fiqh Hiv Dan Aids, Pedulikah Kita, (PKBI-Jakarta), Kembang Setaman Perkawinan, (Kompas, Jakarta). selain buku di atas, artikel Husein muhammad juga tersebar di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Ia juga seringkali diminta memberi komentar dan pengantar berbagai buku.

tak seorang pun meragukan kegigihan perjuangannya dalam membela hak perempuan. bahkan, Ia tidak segan mengkritik buku ataupun kitab yang dinilai mendiskriminasikankan perempuan. Bersama Forum Kajian Kitab Kuning, selama tiga tahun ia mendikusikan isi dan meneliti kembali kualitas hadis yang terdapat dalam kitab Uqud al Lujain fi Huquq al Zaujain. walhasil, ia menemukan 33 % hadis Maudhu’, 22 % hadis Dhoif, sisanya ada yang Hasan dan Sahih, namun dari sisi matan masih diperdebatkan. penelitian itu terbit dengan judul Ta’liq wa Takhrij Syarh Uqud al Lujain (LkiS, Yogyakarta, Tahun 2001)
lengkaplah sudah. K.H. Husein Muhammad mampu membuktikan kepada publik, bahwa ia menjadi tokoh lantaran Keihlasan dan konsistensinya dalam memilih jalan hidup. ia terus membela perempuan dan tidak pernah beralih ke dunia lain yang mungkin lebih banyak memberikan materi.

apa yang dimiliki Husein Muhammad semua mendukung citranya bergelut di dunia Gender. belum nampak sosok yang lain seperti Husein Muhammad yang peduli dengan Gender. kalaupun ada, mungkin hanya sosok semangatnya saja yang menonjol, tetapi belum tentu dedikasinya. Kalau Husein Muhammad, semua yang ada pada dirinya memang betul-betul medukung untuk membela perempuan.

sehingga tidak heran jika Moch. Nur Ichwan mensejajarkan Husein Muhammad dengan feminis internasional seperti Qasim Amin, Tahir Haddad di Tunisia, Asghar Ali Angineer di India, dan Nasr Hamid Abu Zayd di Mesir. Tak usah heran pula jika Ulil Abshar Abdalla menjulukinya dengan “Pemulung kebenaran terpinggirkan”.

meskipun pujian dan cacian mendera, Kyai Husein tetap membela perempuan. Kemanapun pergi, ia tetap sebagai Kyai dan sarjana jebolan PTIQ yang kaya dengan prinsip tawadhu’ serta berakhlak mulia.

Husein menuturkan, bahwa PTIQ telah memberi pengaruh besar pada dirinya. PTIQ ikut terlibat pada proses pencarian karakternya, hingga menjadi seperti saat ini. “Terima kasih PTIQ” imbuhnya. Namun, Husein menyayangkan, PTIQ saat ini belum menghasilkan intelektual yang berkualitas. banyak sekali alumni yang menjadi politisi, Imam masjid, hakim MTQ, pengasuh pesantren, birokrat dan akademisi, namun sedikit yang menjadi intelektual produktif.

jika diibaratkan PTIQ sedang membangun sebuah tembok, maka sudah ada “batu bata” politisi, “batu bata” Imam masjid, hakim MTQ, pengasuh pesantren, birokrat dan akademisi, namun “batu bata” intelektual belum ada, sehingga tembok itu masih berlubang. Itu adalah tugas alumni mendatang, untuk mengisi lubang “batu bata” intelektual yang masih kosong.

tulisan ini adalah bagian dari buku “PTIQ dan Para Tokohnya”
Sumber: http://sejarah.kompasiana.com
Sumber: http://fahmina.or.id/

Jumat, 31 Juli 2009

di balik kesederhanaan Jo


 

tentunya sahabat blogger pernah akrab dengan nama “Jo”, karena aku pernah sekali memposting kisahku bersama Jo dalam “strawberry juice dari Jo…” dan about the bucket and the searchlight, kali ini aku juga ingin berbagi tentang Jo yang kini telah kembali ke tanah airnya. aku menulisnya dalam majalah “Blakasuta” milik lembaga kami, Fahmina-Institute.

Kesan pertama melihat penampilannya, mungkin banyak orang yang terkecoh dalam menilai sosoknya. Karena siapa sangka, dibalik kesederhananaan dan pembawaannya yang terlihat santai, dia memiliki beragam pengalaman yang jarang dimiliki perempuan sebayanya. Menyelami kisah hidupnya, kami (kru Blakasuta) seakan dibawa pada perjalanan tak berujung. “Tangguh”. Kata itupun, seakan masih kurang untuk membahasakan pengalaman hidup perempuan kelahiran Kota Brisbane Australia ini. 

Tapi memang benar adanya. Perjalanan hidup yang dipilihnya, menghantarkannya menjadi sosok yang kian matang dan tangguh. Bukan perempuan biasa itu adalah Joanne Elizabeth McMillan, seorang translator dan editor di Fahmina-Institutte. Jo, demikian sapaan akrabnya, telah bergabung di Fahmina-Institute sejak Oktober 2007 dalam rangka program Australian Volunteers International (AVI). Dia juga pernah mendapat gelar Honours dari University of New England, Australia, dalam bidang Kajian Indonesia.
 
Kini, dia sedang mengikuti kursus Masters of Applied Anthropology and Participatory Development, di Australian National University (ANU) Canberra. Selain sebagai penerjemah, dia juga menjadi konsultan untuk website dan terlibat dalam meningkatkan kapasitas memperluas jaringan, mempromosikan gagasan-gagasan kelembagaan ke dunia internasional, serta mengajar Bahasa Inggris secara informal di Fahmina-Institute.

 

Jo adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adiknya bernama David McMillan (27) dan Allison McMillan (23). Putri dari Simon McMillan dan Jane McMillan ini, asli keturunan Skotlandia. Hal itu dapat diketahui dari “Mc” atau McMillan, yang merupakan nama Skotlandia. Joanne, diambil dari nama yang disukai orang tuanya. Elizabeth, diambil dari nama bibinya (adik dari ibunya). Sedangkan McMillan, diambil dari nama keluarga bapaknya. Seperti orang Kristen Australia lainnya, nama seorang anak selalu mengikuti nama keluarga bapak.
 

Jo lahir di Kota Brisbane pada tahun 1979. Memasuki usianya yang kelima, dia pindah ke sebuah kota kecil laiknya sebuah desa dengan 20.000 penduduk. Kota kecil itu bernama Amidale. Di kota inilah, dia mulai mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD) atau Primary School, tepatnya di Armidale City Public School. Lain halnya di Indonesia, di Australia tidak ada sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Alhasil, Jo hanya mengenal Primary School (SD) dan High School (SMP+SMA).

Setelah lulus SD, dia mendapat beasiswa untuk High School swasta Kristen. Namanya Presbyterian Ladies College (PLC). Di Australia, sekolah swasta dianggap lebih bagus dari sekolah publik atau negeri. Sehingga orang tuanya bangga sekali ketika dia mendapatkan beasiswa tersebut. “Namun selama dua tahun di PLC, saya merasa tidak cocok dengan budaya di sekolah yang terlalu konservatif, disiplinnya keterlaluan, terlalu ketat, bahkan pandangannya terhadap banyak hal terlalu elitis. Akhirnya saya pindah ke sekolah publik,” tutur Jo.
Nama sekolah publik itu adalah Duval High School (DHS). Di Armidale, DHS dikenal sebagai high school yang menghasilkan siswa yang kreatif. Di DHS, Jo merasa lebih betah. Dia pun mengambil banyak mata kuliah yang menarik. Termasuk mata kuliah favoritnya, yaitu Drama dan Sastra Inggris. Di DHS, Jo lulus tahun 1997 sebagai “Dux” atau siswa yang nilainya paling tinggi.
 
Menjadi PRT, Buruh Tani, Staf Administrasi, hingga Aktifis Sosial
 
Biasanya setelah lulus sekolah, orang Australia langsung melanjutkan pendidikannya di sebuah universitas atau mencari pekerjaan. Tetapi Jo lebih memilih untuk pergi ke luar negeri. “Saya sudah sempat menyimpan uang dari pekerjaanku sebagai pelayan restoran Thailand. Saya juga beruntung mendapatkan warisan dari nenekku, tidak banyak sekali tetapi cukup untuk membeli tiket pesawat,” papar Jo yang mengaku keluar Australia sejak berumur 18 tahun.
 
Ya, tahun 1998, Jo pergi ke United Stated of America (USA). Di sana, dia tinggal dengan bibinya yang sudah lama menetap di Amerika. Dari rumah bibinya, Jo mulai menjelajah USA dan Kanada dengan menaiki bus Greyhound. Terkadang, dia menginap di rumah kenalan tetapi untuk sebagian besar dia tidur di sebuah hotel atau asrama untuk wistawan yang tidak berduit.
 
“Saat itu saya hanya sendirian, tetapi sempat bertemu dengan banyak orang, tidak hanya dari USA tetapi dari seluruh dunia. Dari pengalaman itu saya belajar hidup mandiri,” ujar Jo. Awalnya, dia juga mengaku kangen pada keluarga, merasa kesepian, dan takut karena tidak ada teman. “Karena sebelum berangkat dari Australia, mencuci baju dan mengurus uang sendiri, pun saya masih tidak bisa. Namun lama-lama saya merasa nyaman dan malah bangga kalau saya hanya tergantung pada diri sendiri, tidak tergantung pada orang lain.”
 
Setelah tiga bulan di USA (Irlandia), Jo pergi ke Irlandia. Di sana, dia bekerja sebagai pembantu dan buruh kebun di sebuah pertanian milik teman bibinya. “Teman bibiku itu bisa disebut “priayi” Irlandia. Rumahnya besar sekali dengan lebih dari 100 kamar, dibangun 
pada abad ke-18. Di depan rumah tersebut ada danau pribadi dan ada juga peninggalan dari abad ke-14, yaitu sebuah “castle” yang sudah setengah roboh.”
 
Sesudah tiga bulan bulan di USA, Jo bertemu dengan beberapa teman sekolah yang kebetulan sedang bekerja di Inggris (negara tetangga dari Irlandia) dan jalan-jalan di negara Italia selama dua minggu. Setelah itu, dia ditinggalkan temannya yang harus balik lagi ke Inggris. Lagi-lagi dia pun berjalan-jalan sendiri di beberapa negara termasuk Slovenia, Mesir dan Israel. Dari beberapa negara tersebut, saya pergi ke Inggris (di sela ke luar negeri) untuk mencari pekerjaan.
 
“Di Inggris, awalnya saya hanya bekerja sebagai pelayan bar, tetapi karena gajinya kecil sekali, saya mencari pekerjaan sebagai sekretaris atau staf administrasi. Karena gaji di Inggris agak tinggi, dan karena saya rajin menyimpan uang, maka sekitar tiga bulanan sekali saya pergi luar negeri untuk mengunjungi negara-negara lain,” ujarnya.
 
Pada tahun 1999, Jo kembali mengunjungi beberapa negara seperti di Afrika timur dan selatan. Dia juga sempat mengunjungi negara Turki, Philippines, Thailand, Mesir (lagi) dan Jurdania. Pada tahun 2000, visanya di Inggris habis, sehingga dia berangkat ke USA lagi dan meneruskan perjalanannya ke beberapa negara di Amerika Selatan termasuk Peru dan Bolivia. Di sana, dia bekerja di Honduras sebagai guide menyelam scuba (menyelam dengan bantuan oksigen).
 
“Dari pengalamanku di Amerika selatan, saya dapat dua hobi baru. Yaitu belajar bahasa dan mendaki gunung. Sesudah itu, pada tahun 2001 saya pulang ke Australia dan mulai kuliah S1-ku di University of Sydney. Saya mengambil beberapa mata kuliah termasuk matematika, sastra Inggris, bahasa Spanyol dan bahasa Arab,” ungkap Jo yang juga sempat bekerja di beberapa tempat, termasuk di bandara sebagai information officer dan di customer service di sebuah telkom kecil.
 
Menjadi Aktifis Sosial Kemanusiaan
 
Pada tahun 2002, Jo diajak dua teman dekatnya yang kebetulan sedang kuliah dan bekerja di Indonesia. Pada Agustus 2002, Jo pun mulai mengunjungi Indonesia untuk pertama kalinya. Mulai dari Jakarta ke Bogor, Bandung, Garut, Pangandaran, Yogyakarta, Gunung Bromo, Bali dan Lombok, termasuk naik Gunung Rinjani.
 

“Saya terkesan sekali dengan Indonesia dan langsung merasa betah di sini. Karena kedua temanku itu sudah lancar ngomong bahasa Indonesia. Saya juga sempat belajar bahasa Indonesia dan sesudah tiga bulan di Indonesia sudah bisa berkomunikasi dengan orang pakai bahasa Indonesia,” terangnya lancar dalam bahasa Indonesia.

 

Setelah pulang ke Australia, Jo sadar tidak bisa melanjutkan kursus bahasa Arab dan Spanyol karena kursus tersebut dicancel (dibatalkan). Tetapi ada kursus bahasa Indonesia, sehingga dia mulai mengikuti kelas bahasa Indonesia. Selama kuliah S1, dia bekerja di beberapa tempat termasuk di universitas sebagai web consultant, administrator dan sebagai guru bahasa Inggris untuk beberapa orang asing (termasuk orang Indonesia) yang kuliah atau bekerja di Australia.
 
“Saya juga sempat bekerja di Bali sebagai koordinator peluncuran buku di Festival Penulis dan Pembaca Internasional Ubud pada tahun 2006. Selain itu skripsi S1 saya tentang tulisan hasil karya Oka Rusmini, salah satu penulis di Bali. Nah, setelah lulus S1 pada tahun 2007, saya baru mendapatkan pekerjaan di Fahmina-Institute.”
 
Sebelum bekerja di Fahmina, Jo pernah bergabung dengan beberapa lembaga sosial. Seperti di USA, dia menjadi sukarelawan di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM). LSM tersebut melakukan pendampingan terhadap perempuan muda (remaja) yang hamil di luar nikah. Perempuan muda itu biasanya hamil karena diperkosa atau dipaksa melakukan hubungan seksual oleh pacarnya, yang kemudian meninggalkannya ketika mengetahui dia hamil. Selain itu, juga membantu perempuan muda untuk melanjutkan sekolahnya, serta mengajarkan ketrampilan (skill) yang dibutuhkan untuk membesarkan anaknya dengan baik.
Di Selandia Baru (New Zealand), Jo juga mengikuti program yang menyediakan guru bahasa Inggris untuk pengungsi-pengungsi dari seluruh dunia yang terpaksa melarikan diri dari negaranya sendiri. Dia mengajar bahasa Inggris untuk seorang perempuan Iran– seorang Kurdi, namanya Hurmat.
 
“Hurmat berumur sekitar 30-an tetapi sudah terlihat lebih tua karena perjalanan hidupnnya susah. Dia lahir di Iran, tetapi pada umur 12 tahun, dia terpaksa mengungsi ke Iraq. Selama 20 tahun, dia tinggal di sebuah “refugee camp” di Iraq. Dia menikah di situ dan memiliki 4 anak (3 laki-laki dan 1 perempuan). Anak terakhirnya, yang perempuan, punya penyakit serius, hydrocephalus,” papar Jo.
 
Mungkin karena itu, lanjut Jo, Hurmat dan keluarganya diberi visa untuk New Zealand di mana anaknya bisa dirawat di rumah sakit yang bagus. “Karena tentu saja di refugee camp, fasilitas kesehatan sangat minim. Hurmat sendiri sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Dia juga buta huruf total dalam bahasanya sendiri, karena tidak pernah sekolah. Tetapi dia semangat sekali belajar membaca bahasa Inggris,” tukasnya.
 
Melihat Langsung Persoalan Perempuan
 
Di Australia, Jo mengaku terbiasa membaca dan belajar tentang isu-isu perempuan. Tetapi di Indonesia dia melihat secara langsung masalah real yang dihadapi perempuan miskin yang hidup di budaya “patriarkhis” di negara berkembang. Di Fahmina, dia merasa baru memulai memahami betul tentang isu-isu seputar perempuan. Seperti persoalan tenaga kerja wanita (TKW). Menurutnya, TKW sering menjadi korban karena banyak faktor.
 
Jo memaparkan, persoalan yang menimpa perempuan tersebut tidak terlepas dari faktor pendidikan yang rendah, karena negara juga belum mampu memastikan semua orang yang akan memperoleh pendidikan. Belum lagi kesempatan untuk mendapat pekerjaan yang bagus, namun terbatas karena kondisi ekonomi negara atau daerah. Faktor lain, para perempuan itu juga tidak berani untuk menuntut haknya. Sementara budaya yang ada, juga menganggap perempuan layak mengorbankan diri untuk kepentingan keluarga. Sementara itu, pemerintah dan aparat hukum di Indonesia belum mampu melindungi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri.
 
“Ketika pertama kali melihat iklan untuk posisi translator dan editor di Fahmina, saya sangat senang karena posisi tersebut seakan didesain khusus untuk saya. Saya juga sangat menikmati bekerja di Fahmina, di sini banyak teman untuk berdiskusi. Pekerjaan di sini juga menarik dan sangat berarti,” ungkap Jo.
 

Hal itu diakui Jo karena pengalaman kerja dan pendidikan sebelum datang di Fahmina, terkesan tidak teratur. Maksudnya, ketika orang mengambil kursus, contohnya ekonomi dan mata kuliah mereka terkait ekonomi semua, atau hukum, atau sastra atau pendidikan dan lainnya. Tetapi dia tidak mengikuti kursus yang jelas saat S1-nya. Dia belajar bahasa Arab, bahasa Indonesia, sejarah Islam, Peace Studies, Development di Asia Tenggara, kajian wanita, dan sastra Indonesia. Pekerjaannya juga beramacam-macam. Dia tidak pernah membayangkan bahwa ada pekerjaan di dunia ini yang menurutnya cocok dengan pengalamannya. Yaitu di Fahmina.
 
“Saya betah di Indonesia tetapi untuk menetap, saya belum bisa karena masih ada keluarga di Australia. Tetapi mudah-mudahan saya masih bisa sering kembali ke Indonesia,” ungkap Jo yang kini telah kembali ke tanah airnya, Australia.

all pictures are taken from Joanne’s facebook album