Tampilkan postingan dengan label feeling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label feeling. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 September 2013

sesuatu itu "menulis"

sesuatu itu sungguh mampu melenakanku. jika sudah memulainya maka waktu terasa begitu kejam, karena terpaksa harus kuhentikan. sesuatu itu membuatku selalu ingin melakukannya lagi dan lagi. mengikat pikiranku. memanggil-manggilku untuk segera dikerjakan. berusaha kubunuh di waktu tertentu tapi hidup lagi di pikiran. terus mengejar-menuntutku untuk menuntaskannya. sesuatu itu adalah menulis. apapun kalimat di dalamnya, selesai tidak selesai, di ruang manapun, dinikmati sendiri atau oleh yang lain, sesuatu itu tak pernah mati kendati kubunuh berkali-kali di saat-saat tertentu kuingin membunuhnya. sesuatu itu adalah menulis.

kali pertama aku menyapanya, ia begitu ramah. bahkan ketika aku merasa ditinggalkan oleh siapapun, ia begitu hangat merangkulku. ia mengajariku bagaimana menahan sebuah atau beberapa emosi. ia mengajariku kemandirian, dan kekuatan-kekuatan lainnya. banyak istilah yang ingin kuungkap tentangnya. dan sesuatu itu adalah "menulis". terimakasih kepada Sang Maha Pencipta yang menganugerahiku kecintaan tuk menulis. apapun itu.

Kamis, 19 September 2013

dunia ruang kepala

benar. setiap perubahan, kerugian, seharusnya tidak membuat kita seperti seorang 'korban'. orang lain bisa saja mengguncang kita, mengejutkan kita, bahkan mengecewakan kita. tetapi mereka tidak dapat mencegah kita dari melakukan sesuatu, mengambil hikmah dari setiap kejadian, lalu 'moving on'. tidak peduli di mana kita berada, tidak peduli bagaimana situasinya, kita selalu bisa melakukan sesuatu. kita selalu punya pilihan dan pilihan tersebut bisa menjadi kekuatan. benar juga, ketika seseorang atau seluruh dunia tidak menerimamu, maka ciptakanlah duniamu sendiri di hatimu, di dadamu, di ruang kepalamu, di mana pun dengan caramu sendiri. dan sekecil dan sesimpel apapun itu, jangan lupa, seorang bijak Paulo Coelho menulis "the simple things are also the most extraordinary things, and only the wise can see them".

-aku tidak dalam dilema, karena aku yakin sesuatu itu bukan akhir.

Rabu, 19 Desember 2012

salju dan catatan ke sekian

pagi buta tadi, aku menyadari satu hal. bahwa salju sudah berjatuhan memenuhi ruangan blog-ku. kau yang pernah merasakan nyata bagaimana lembutnya salju dan menyaksikan bahwa mereka memang benar-benar putih, mungkin akan menertawaiku yang menulis ini. tapi ini adalah kali ke sekian, seperti biasa di bulan yang sama, Desember. di bulan itu, tanpa sadar catatanku dipenuhi tema tentang “kelak”. kelak aku akan seperti ini, melangkah seperti ini, mendapatkan ini dan itu dan seterusnya.

tapi setelah pagi buta itu, aku tak langsung mencatatnya di blog ini. aku malah asyik mengikatnya di ruang kepalaku. tak ingin tema “kelak” itu lari dari ruang kepalaku, aku pun terus berkisah tentang “kelak”-ku. orang pertama yang dengan setia mendengarkanku adalah seorang sepupu perempuanku yang mimpinya juga sama besarnya denganku. sementara orang kedua setelah sepupuku adalah kakak perempuan iparku, yang juga memiliki rencana-rencana yang tak terduga.

tiba-tiba, aku merasa lelah dengan pikiranku sendiri. pikiran yang tak habis-habisnya dipenuhi gagasan tentang sesuatu. yang bahkan terkadang memenuhi dan menuntut untuk dituntaskan pada saat yang kurang tepat. beruntung aku menyadarinya. ibuku yang dulu terbiasa melihat pekat di mataku, mungkin tak pernah menyangka aku menyimpan sesuatu yang begitu besar yang kapanpun bisa meledak. tapi tidak, aku menyadarinya, artinya aku faham kapan semua itu akan kuledakkan.

kali ini aku dalam proses menahan. menahan semua itu untuk tidak berjalan begitu cepat. meski jika kumau, aku bisa mempercepatnya. tentang bagaimana aku menahan semuanya, hanya aku yang faham. kendati mereka tak berhenti bertanya dan menuntutku, aku tetap bertahan dengan ‘pertahananku’. lalu aku akan terus berterimakasih pada Tuhan karena mampu membuatku bertahan dengan pertahananku. sampai tiba saatnya aku kembali menjalankan satu demi satu rencana-rencana besarku. bagiku, semua rencana bernilai besar. tapi untuk sejenak, saat ini, biarkan aku merasakan kenyataan dari mimpiku dahulu. 
sebelum kembali pada kelak-kelak berikutnya. yang berarti aku tidak lagi dengan “dunia sendiri”, tapi ada si kecil yang menemaniku yang juga akan kudengarkan mimpi-mimpinya.

Kamis, 29 November 2012

menimbang sesuatu, lalu loncat

satu waktu aku sering sekali menimbang sesuatu lalu melangkah setelah memutuskan salah satunya. kali ini masih seperti biasa, dengan percaya diri kukatakan bahwa aktivitas menimbang sesuatu bukan hanya aku yang melakukakannya. siapapun yang punya pilihan dan gelisah akan pilihan itu, ia akan menimbangnya, meski tidak selalu berakhir pada memutuskannya.

tapi kali ini aku tidak melangkah, tapi ingin langung meloncat dan menerjang apa yang sudah lama matang di ruang kepala. bertahanku di tengah mereka yang dengan percaya diri akan terus memanfaatkan diamku adalah muaranya. aku sudah meyakinkan diri, bahkan sebelum mereka memanfaatkanku, aku sudah meyakinkan diri bahwa aku berkuasa pada diriku. persoalan bahwa sekarang aku masih bertahan di tengah mereka adalah karena aku merasa kasihan terhadap mereka. dan ingin berbuat baik pada mereka dan melihat perkembangan perubahan mereka ke arah yang lebih baik.

tapi tidak, seperti yang sudah kubilang, apa yang ada di depanku adalah proses. belum akhir. kali ini untuk proses ini sepertinya aku sudah mulai yakin untuk mengakhirinya dan meneruskan proses berikutnya. mungkin terlintas dalam pikiranmu bagaimana aku begitu bodoh untuk tetap bertahan di tengah mereka. tidak, aku tidak bodoh, aku hanya butuh waktu mematangkan kesabaranku. bukan, lebih tepatnya, mematangkan kebijaksanaanku sebagai manusia. dan dengan kebijaksanaanku, aku memutuskan untuk segera meloncat merubah diriku lebih baik lagi, sebelum secara sia-sia berkelanjutan berharap merubah mereka lebih baik lagi.

Kamis, 31 Mei 2012

menikmati proses

Masih di tempat yang sama. Di sebuah ‘panggung”, di mana para lelaki, perempuan, dan semua yang beridentitas maupun tanpa identitas memainkan perannya. Di sudut mana pun, mereka tetap bergerak entah dengan tubuh maupun pikirannya. Begitu pun kali ini, masih sama. Sepertinya akan terus demikian, karena setiap tiba di titik akhir, nyatanya itu bukan titik akhir. Mungkin karena titik-titik itu memiliki semacam pintu untuk keluar masuk. Sehingga terasa sekali hanya melewatinya sejenak. Namun bukan berarti tanpa makna. 

Hari ini aku memainkan peran yang berbeda dari kemarin, bahkan terkadang aku memerankan beberapa peran. Pada mulanya sekadar keinginan, lalu menjelma nyata. Dari nyata itu di dalamnya tumbuh lagi keinginan-keinginan baru. Lalu dari keinginan itu kembali bergerak dengan sendirinya tanpa tanda. Demikian seterusnya. Jika demikian, maka perubahan adalah sebuah keniscayaan. Bahkan dalam bingkai waktu yang teramat sempit pun, bisa saja menemukan diriku dalam sebuah perubahan yang sangat besar. Ketika sama sekali tidak disangka-sangka, kehidupan justru menyodorkan kepada kita tantangan untuk menguji keberanian dan kemauan kita untuk berubah; jika saat seperti itu tiba, tidak ada gunanya berpura-pura sesuatu tidak terjadi, atau mengatakan kita belum siap. Benar sekali yang mengatakan bahwa tantangan itu tidak akan menunggu. Hidup tidak menoleh ke belakang. Selalu ada jeda bagi kita memutuskan, apakah akan menerima takdir kita atau kah tidak.

Bahkan mungkin ketika mereka miris tak percaya, aku masih terpacu menikmati kebebasanku. Bahkan mungkin menemukan surga di saat mengira diriku dalam neraka. Benar, hanya aku yang tepat menjawab pertanyaanku sendiri mengenai hakikatku. Bahkan tentang kebutuhan-kebutuhan yang kuciptakan sendiri dan mendesak untuk dipenuhi. Selalu ada jawaban mengapa harus membendungnya sementara waktu dan beralih apa yang ada dan nyata-nyata butuh untuk dijawab. Juga tentang makna yang mereka lemparkan tentang bahagia, sukses, dan segala jenis kepuasan lainnya, nyatanya hanya aku sendiri yang bisa menjawab makna kebahagiaan bagi diriku sendiri. Meski mungkin hanya duduk, lalu memasuki dunia lain yang diciptakan jiwa lain melalui huruf-huruf, bahkan yang sepele ini bisa bermakna indah dan membahagiakan. Sambil kubisikan pada semesta, saat ini aku hanya ingin begini saja. Ya, sebelum di detik berikutnya aku kembali bergerak memainkan prosesku sendiri dan menikmatinya seperti biasa.

Selasa, 17 Januari 2012

perempuan di kereta

suatu hari seorang perempuan menghubungiku dan merencanakan sebuah pertemuan antara ia dan suaminya. suaranya di siang menyengat itu membuatku berhenti dan berpikir sejenak. apa yang sudah terjadi pada perempuan itu dan suaminya. meski penasaran, sayangnya aku tak mendapat kesempatan bertanya lebih banyak lagi. ia menutup pembicaraannya, lalu sms berisi waktu pertemuan kami. sayangnya lagi, pikiranku saat itu dipenuhi dengan paper-paper tugas kuliah yang tak kunjung terselesaikan. maka meminta maaf tak bisa bertemu secepatnya adalah satu-satunya alasan yang bisa kuberikan. setelah itu panggilan-panggilan dan pesannya tak sesering sebelum aku beberapa kali menolak pertemuan yang kami rencanakan. tiba-tiba dalam kondisi seperti ini, aku dipaksa untuk tak peduli. aku menjelma sosok yang egois dan tak mau berbagi. tapi saat ini aku tak bisa berbuat lebih. kondisiku memaksaku untuk fokus pada satu hal. semoga rumah tangganya baik-baik saja, hanya itu yang bisa kulakukan. 

perempuan itu adalah seorang perempuan paruh baya yang memilih duduk di sampingku, ketika pertemuan pertama kami. saat itu aku tak banyak berpikir kenapa. bagiku itu sesuatu yang wajar, duduk di kereta sendirian dan akan segera datang penumpang lain entah laki-laki perempuan. aku hanya orang pertama yang kebetulan lebih awal mendapatkan tempat dudukku. “ini bukan nomorku,” ujarnya tiba-tiba. “tapi aku memilih duduk dengan sesama perempuan, nomor dudukku di sebelah sana,” lanjutnya sambil menunjuk tempat duduk yang sudah terisi laki-laki. “aku tak terbiasa duduk bersama lelaki yang bukan muhrimku,” ujarnya lagi. “oh, silahkan bu,” jawabku singkat sembari menyunggingkan senyum yang biasa saja. 

kami adalah penumpang yang sama-sama tidak mendapat tiket eksekutif karena telah habis. di gerbong Bisnis kereta Cirebon Ekspres (Cireks) tujuan Cirebon-Jakarta. aku pikir tak apa meski tak senyaman eksekutif. tapi melihat penampilan perempuan itu di tengah gerbong Bisnis, rasanya sedikit janggal. penampilannya yang begitu berkilau lengkap dengan aksesoris dan tas-tas jinjing yang juga bukan tas perjalanan biasa. tak perlu lama menebak dan menanti jawabannya, aku sudah faham, ia juga kemungkinan tak mendapat tiket di gerbong yang nyaman itu. dan benar juga, seperti mampu membaca pikiranku, tiba-tiba ia menjelaskan bahwa ia juga tidak mendapat tiket eksekutif karena sudah habis. saat itu kami memang melakukan perjalanan di hari Minggu sore. ah, tapi seharusnya tak seramai itu. tapi bisa juga terjadi. 
 
sesaat kami duduk dalam diam. dan suasana hening, diam dan tak peduli satu sama lain adalah hal yang biasa terjadi dalam kereta, bus, angkot, pesawat, dan perjalanan lainnya. lalu perempuan dengan pernak-pernik di kerudungnya itu membuka pembicaraan. “saya tak terbiasa naik kereta bisnis, apalagi harus satu bangku dengan laki-laki,” tukasnya membuka pembicaraan. aku masih membacanya, sepertinya perempuan di sampingku akan bercerita lebih banyak lagi. itu petanda perjalananku sekitar tiga jam akan diisi sebagai pendengar yang setia. benar saja, ceritanya terus mengalir. tentang suaminya yang begitu keras bagai batu, demikian dia mengistilahkan sikap dan karakter suaminya. bahkan sampai ia pensiun dan anak-anaknya telah berumah tangga. suaminya sulit merubah sikapnya.
kepadaku, perempuan yang baru dikenalnya di kereta, perempuan itu terus bercerita dan sangat terbuka tentang rumah tangganya. dan kesimpulan dari semua yang dialaminya adalah ia harus terus bersabar. seperti perempuan lainnya, ia ingin suaminya mampu memahaminya dan sesekali mengalah. tapi sikap keras kepala suaminya membuatnya takut setengah mati. bahkan di dunia ini, yang paling ditakutinya adalah suaminya. dia takut dicerai, karena anak-anaknya telah dewasa. suaminya adalah pekerja keras yang sukses, namun kini telah pensiun. meski demikian, sikapnya tak selayaknya orang tua. sama-sama tak memiliki banyak waktu untuknya. sikapnya tak ubahnya pria muda yang tak pernah absen berkumpul dengan tema-temannya di kafe-kafe dan club-club malam. 


seperti perempuan lainnya, perempuan itu hanya ingin agar suaminya normal seperti suami teman-teman pengajiannya. “apalagi sudah tua,” ujarnya. “setidaknya memikirkan akhirat,” tuturnya lagi. tanpa kuminta dan bertanya, dia bercerita begitu detail dengan rumah tangganya. sementara aku masih memilih menjadi pendengar setia. hingga tiba-tiba dia mulai bertanya siapa aku dan ada kepentingan apa ke Jakarta. usai kuceritakan, dia terkejut. “bagaimana bisa perempuan menikah tak berkumpul dengan suami? ah, itu namanya bukan rumahtangga. rumahtangga adalah suami isteri harus ada di rumah bersama-sama,” ungkapnya. 

aku tak sampai berpikir, ada perempuan yang begitu terkejut mendengar pengalamanku yang sering berjauhan dengan suami. tapi aku memahaminya. karena pengalamannya berbeda dengan pengalamanku. “apakah ini pengaruh emansipasi Kartini itu? tapi saya sangat tidak sepakat, sungguh keluarga yang akan dikorbankan. bagaimana kamu bisa menjalankan ini?,” tanyanya bertubi. lalu kami pun melanjutkan obrolan kami. ia membagi pengalamannya, dan aku membagi pengalamannya. termasuk pengalamanku bertemu dengan perempuan-perempuan lain yang juga mengalami persoalan serupa dialaminya. aku tak bisa mengatakan bahwa aku begitu banyak memberi masukan dan saran kepadanya. namun dia mengaku pikirannya terbuka, meski lagi-lagi pada akhirnya ia tetap merasa berat menerima kenyataan ada perempuan sepertiku. namun ia menerima dan antusias bertanya lebih jauh ketika kami membahas tentang strategi komunikasi yang tepat dan baik dengan pasangan kita masing-masing. 

sungguh tak bisa bercerita lebih lagi tentang perempuan ini, namun bertemu dan mendengarkan perempuan yang lain menjadi satu pengalaman yang sangat berharga. bagaimana kita belajar mendengarkan, bertanya, dan saling berbagi pengalaman. sepanjang perjalanan ketika dia mendapat panggilan dari suaminya via mobile, dia melanjutkan dan mempertajam ceritanya, hingga akhirnya kami berpisah setelah saling bertanya nama dan nomor Hp. semoga rumahtangganya semakin baik. 

Selasa, 28 Juni 2011

lelah sebenarnya

siang tadi. panas menyengat. kedua pundakku penuh beban. ruang kepalaku hampir meledak meski setengah mati kutahan. kedua kakiku, memang diam. tapi tulang-tulangnya tak henti-hentinya mengeluh. aku mendengarkan semuanya. semua keluhan nyaris membuncah. aku lelah. tapi aku tak ingin mengeluh atau disebut mengeluh. lalu aku diam. keringat tak hentinya mengucur. tapi aku diam. cukup berhenti dan menelan air putih di botol bening. lalu meneruskan perjalanan. aku tak ingin paragraf ini membuatku tertuduh sebagai "tukang keluh". aku hanya lelah. laiknya deja vu. entah berapa kali aku dalam kondisi lelah seperti ini. lelah yang sebenarnya.

tapi kakiku masih di atas bumi. dan masih bersedia menahan berat badanku. ada satu waktu aku merindukan lelah ini. tapi juga ada satu waktu terlintas sesal. sesal yang sama sekali tak berguna. aku benci mengeluh. apalagi mendengar mulut-mulut yang tak hentinya mengeluh. agar aku tak mendengar mulutku mengeluh, maka aku butuh huruf-huruf ini, lalu bergegas memberi mereka nyawa. tapi di satu tempat aku mendengar keluhan. aku benci. tapi aku harus mendengarnya, sambil kembali mengingatkan diri bahwa setiap kepala memiliki sudut pandang berbeda. tapi aku tetap benci aku yang mengeluh.

Senin, 30 Mei 2011

a more diverse inspiration

they asked me, "where're you now?". then I answered, "now I'm still in one place." then, one by one they told me about several different places they had ever attended. again, they told about places in the Netherlands and other places in Europe, in Australia, America, and a number of places in the Middle East. but I did not ask back about how many words and paragraphs that they wrote? how many worlds they have created in their head space. I was still struggling with my little worlds with little words. I haven't yet created the real world. even gave imagination has never finished in my head space. I'm still struggling with my little worlds.

then I imagine myself who have never visited such places they've told. but a moment later I woke up. I found myself in my world that is so small but feels so vast and complicated. suddenly I was sorry to imagine myself in places that are visited. I'm sorry because I'm not able to prepare 'the tangled threads' that exists in my world is small but spacious.

then I go back to enjoy my world filled with millions of words just to describe the complexity of my world. I was in the midst of the figures who have long been waiting for, only to reconstitute of the complexes to make it better. then enjoying my world with my little mission make it better. until I don't want anything other than create a better world with my words. I even forget my dream to go to places where they had attended.

but I imagine, if I get a chance go to those places, maybe I'll create other worlds in my head. because I'm sure a different place to inspire more varied about their world, women world, the figures and other places that never tired inspiring me.

Keren Ann, one of my inspiration singer, probably true. this is why I always wonder. I'm a pond full of regrets. I always try to not remember rather than forget. this is why I always whisper. when vagabonds are passing by. I tend to keep myself away from their goodbyes. tide will rise and fall along the bay, and I'm not going anywhere. people come and go and walk away, but I'm not going anywhere.

this is why I always whisper. I'm a river with a spell. I like to hear but not to listen, I like to say but not to tell. this is why I always wonder. there's nothing new under the sun. I won't go anywhere so give my love to everyone.

then I really hope to describe the new places are full of inspiration, just by my words. then I will create my world and their world better.

Sabtu, 19 September 2009

Rendezvous

aku harus menemuimu. dan kau harus menemuiku. kali ini pertemuan kita harus berhasil. kau sudah terlalu lama mengulur waktu. begitu pun aku yang dengan sangat sengaja dan jelas-jelas mengulur waktu pertemuan kita. jangan berfikir aku akan menangis di pundakmu. bukankah aku tak pernah melakukannya. ya, aku memang pernah mengatakannya melalui pesan singkatku. tapi sebenarnya tidak. kau tau? ketika aku mengulur waktu dengan sengaja, ketika itu pula aku tak ingin bergantung padamu. seperti aku yang sebelumnya.

saat-saat mengulur waktu adalah saat di mana ruang kepalaku kosong tanpa sesuatu tentangmu. ini kejujuran. kau pun mungkin merasakan hal yang sama sepertiku saat mengulur waktu. bukan berarti aku memaksakan diri mengosongkan pikiranku tentangmu. tidak. aku tidak terbiasa memaksakan diri akan sesuatu. segalanya terjadi begitu saja. dan seperti yang kupikirkan. kau pun ternyata mengalami hal serupa. lalu aku berfikir, kenapa bisa begini? ada masa aku terlalu ingin menemuimu atau sekadar mendengar bisikanmu di telingaku. tapi ada saatnya juga aku sama sekali melupakan hal-hal tentangmu.

tapi kali ini aku harus menemuimu, sepertihalnya kau yang juga harus menemuiku. lalu kau akan mengajakku pada dunia di luar duniaku. begitupun aku yang terkadang memaksamu memasuki duniaku. tapi itu dulu. sekarang dunia kita sama. biasanya, ketika aku terlalu lama mengulur waktu, aku akan bertanya “apakah kau muak padaku?”. apakah ada warna yang berbeda di rupaku? apakah kau melihatnya? ketika kau menjawab kau melihatnya, maka aku akan tertawa. karena aku tau kau salah. tak ada yang berubah dariku. aku tetap kosong. tak ada warna apapun di sana. aku sendiri tidak memahami kenapa aku tetap kosong. mungkin aku harus mulai mengisinya dengan sesuatu. termasuk menghabiskannya dengan berdebat bahwa aku harus mengambil resiko, bekerja keras demi sebuah keajaiban yang kuciptakan sendiri. aku hanya butuh memahami keajaiban hidup sepenuhnya, jika kumengizinkan hal-hal yang tak terduga terjadi.

seperti kenapa aku harus mencari alasan secara terus menerus kenapa aku tak bahagia. padahal jelas, Tuhan memberiku matahari, juga satu saat di mana kita mampu mengubah segala sesuatu yang membuat kita tidak bahagia. tak seharusnya aku berpura-pura tak mengalaminya, menganggap saat itu tidak ada, bahwa hari ini sama dengan hari kemarin dan tidak akan berbeda dengan hari esok. aku seharusnya sungguh-sungguh memperhatikan kehidupanku, dan berharap akan menemukan saat magis itu. yang bisa saja muncul ketika kita melakukan sesuatu yang remeh seperti diumpamakan Paulo Coelho, dengan menyiapkan anak kunci pintu muka ke lubangnya; saat itu juga bisa bersembunyi dalam keheningan sesudah makan siang, atau dalam seribu satu hal yang bagi kita tampak sama saja.

kali ini aku masih menunggumu untuk menemuimu. sepertinya aku selalu yakin aku akan menemuimu di satu saat dan tempat. seperti biasa, kita akan memulainya dengan kata yang tak pernah kuungkap seperti yang sudah kurangkai sebelumnya. tapi lagi-lagi aku gagal mengungkapkannya. apakah kau juga demikian? tidak, aku harus berhenti menebak-nebak. tapi kita memang lucu. tidak, yang lucu adalah aku. kau tidak. meskipun mereka sering terpingkal dengan selorohmu. tapi bagiku kau tak lucu. tepatnya, tak ada yang lucu di sana. ya, tepatnya di bola matamu. tapi aku tak ingin berlama menatapnya. karena aku akan sakit setelahnya. aku seperti merasakan takut berlebih. takut tak bisa menemuimu lagi. takut tak bisa lagi mengulur waktu hanya untuk menemuimu. takut tak lagi merasakan debar seperti ketika kau mengajakku menemuimu.