tag:blogger.com,1999:blog-10789308639858073432024-03-19T05:18:42.889-07:00my simple paragraphswhen the simple things are also the most extraordinary thingsAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.comBlogger30125tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-75133760670023872572013-12-03T23:33:00.004-08:002013-12-03T23:34:59.796-08:00Karena Kami Perempuan <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid2kVjUV8H9Gu_BLaub4AvB2uqd8Bt_LaXF-iR4G52qQr2lfH7E0VaJILKnwJx5-cdqPT9IlgfeKL4kEOvAhoyX10x0_7i7XUuRKE2-MHNSQKEnaSrr4h4OB0lR3vTCkbEaq1vn7dGOK6s/s1600/we're+women.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid2kVjUV8H9Gu_BLaub4AvB2uqd8Bt_LaXF-iR4G52qQr2lfH7E0VaJILKnwJx5-cdqPT9IlgfeKL4kEOvAhoyX10x0_7i7XUuRKE2-MHNSQKEnaSrr4h4OB0lR3vTCkbEaq1vn7dGOK6s/s320/we're+women.jpg" width="227" /></a></span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="background-color: white; color: #333333; line-height: 14px; text-align: left;"><i>Karena
pekerjaan perempuan tak pernah selesai dan dibayar murah atau tak
dibayar atau berulang-ulang dan karena kami lah yang paling pertama
dipecat dan bagaimana penampilan kami lebih penting ketimbang apa yang
kami </i></span><i style="background-color: white; color: #333333; line-height: 14px; text-align: left;">lakukan
dan jika kami diperkosa maka itu adalah salah kami dan jika kami
ditampar maka pasti karena kami memprovokasinya dan jika kami
meninggikan suara kami maka kami adalah sundal yang cerewet dan jika
kami menikmati seks maka kami adalah 'lacur' dan jika kami tidak maka
kami dibilang frigid dan jika kami mencintai sesama perempuan itu karena
kami tidak bisa mendapatkan laki-laki "sejati" dan jika kami terlalu
banyak bertanya pada dokter maka kami dibilang neurotik (menderita
kelainan syaraf) dan/atau agresif, dan jika kami menuntut pelayanan
pemeliharaan anak di masyarakat kami dibilang mementingkan diri sendiri
dan jika kami bangkit berdiri untuk hak-hak kami maka kami dibilang
agresif dan "tidak feminin" dan jika kami tidak maka kami dianggap
perempuan lemah dan jika kami mau menikah kami dibilang menjebak
laki-laki dan jika kami tidak mau menikah kami dibilang tidak normal dan
karena kami belum bisa mendapatkan kontrasepsi aman yang layak tetapi
laki-laki sudah bisa jalan ke bulan dan jika kami tak sanggup dan tak
mau mengandung maka kami dibuat merasa bersalah atas aborsi dan.... ...
... ... ... </i></span></span>
</div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #333333; display: inline; line-height: 14px; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><i>atas banyak sekali alasan-alasan lainnya maka kami adalah bagian dari pergerakan pembebasan perempuan.</i></span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><i><br /></i></span></span>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Ditulis oleh Joyce Stevens untuk Pamflet Pembebasan Perempuan, pada Hari Perempuan Internasional tahun1975. </span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Joyce
Stevens adalah penulis Taking the Revolution Home, Work Among Women in
the Communist Party of Australia 1920 -1945, dan banyak buku lainnya"</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">sumber: <a href="http://www.kamisundal.blogspot.com/2012/10/karena-kami-perempuan.html"><span style="font-size: small;">kami</span>sundal</a> </span></span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-54074325330903708192013-12-03T19:31:00.001-08:002013-12-03T19:39:32.570-08:00"Habis manis sepah dibuang"<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;">Peribahasa
tersebut
seakan mewakili rasa kecewa kelompok yang selama ini dianggap
minoritas, berbeda, terdiskriminasi, dan terpinggirkan. Beberapa pekan
ini, media
komunitas tempat saya bekerja mencoba mengangkat suara-suara komunitas
yang selama ini dinilai terpinggrirkan dan terdiskriminasi. Lalu
terjadilah berbincang-bincang dengan tokoh-tokoh yang digambarkan
demikian. Dari curahan hati mereka, peribaha<span style="font-size: small;">s</span>a “<i>habis manis sepah dibuang</i>” kerap mereka ungkapkan ketika
menggambarkan kekecewaan mereka atas para calon pemimpin. Dalam “Kamus
Peribahasa Indonesia”, sepah sama dengan ampas. Kalau kita makan tebu, setelah
tebu kita kunyah-kunyah untuk mengisap airnya yang manis dan setelah airnya
habis, sepahnya kita buang. Yang kita ambil hanya manisnya saja, sepahnya tidak
kita perlukan lagi, karena itu kita buang. </span>
<br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<br />
<div class="MsoNoSpacingCxSpMiddle">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;">Dalam
konteks ini, peribahasa tersebut mengiaskan seseorang/kelompok yang setelah
dianggap tidak berguna lagi, lalu disia-siakan. Setidaknya demikian salah satu
hal yang dirasakan mereka, korban janji manis para calon pemimpin negeri ini.
Harapan akan perubahan yang lebih baik atas kondisi mereka, seakan hanya
sekadar janji manis demi memperoleh suara lebih banyak. </span></div>
<div class="MsoNoSpacingCxSpMiddle">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNoSpacingCxSpLast">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;">Ya,
di tengah hiruk pikuk Pemilu 2014 mendatang, beragam suara kian menggema. Tak
terkecuali suara-suara yang merasa kecewa dengan Pemilu sebelumnya maupun
pemilihan kepala daerah (Pemilukada) yang sampai saat ini akan dan telah
berlangsung di sejumlah daerah. Menjadi apatis terhadap Pemilu, memilih Golput
(Golongan Putih), serta bersuara lantang menggugat sistem Pemilu, bisa menjadi
puncak rasa kekecewaan mereka atas harapan adanya perubahan yang lebih baik. </span></div>
<div class="MsoNormalCxSpFirst" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;">Mereka adalah kelompok yang disebut
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai kelompok rentan. Karena
dianggap minoritas, mereka rentan terpinggirkan dan terdiskriminasi. Termasuk
suara mereka dalam Pemilu, ada yang enggan menyentuh komunitas mereka karena
khawatir dianggap menjadi bagian dari mereka, atau sebaliknya, memanfaatkan
suara mereka dengan janji-janji manis yang entah terlaksana atau tidak. </span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;">Tapi siapakah mereka sehingga
disebut minoritas? Dari kaca mata sosiologi seperti dipaparkan Anthony Giddens
dalam “<i>Sociolog</i>” (1995, 253-254),
minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga gambaran
berikut: (1) anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari tindakan
diskriminasi orang lain terhadap mereka; (2) anggotanya memiliki solidaritas
kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya
sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; (3) biasanya secara
fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar.</span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpLast" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;">Istilah minoritas di sini mengacu
pada sekelompok orang yang dianggap ‘kecil’ oleh sebuah proses historis,
politis, dan sosiologis, selain juga proses intelektual. Oleh karena itu,
pengertian ‘kecil’ tidak selalu berarti angka atau jumlah, tetapi juga berarti
posisi atau peran. Pada masa Orde Baru, orang Cina atau Tionghoa adalah
kelompok yang paling sering disebut sebagai kaum minoritas karena secara
politik mereka dipinggirkan, meski secara ekonomi mereka sangat dominan.
Memasuki masa reformasi, istilah kaum minoritas mengacu pada kelompok-kelompok
yang lebih luas, tidak hanya orang Cina atau Tionghoa, tetapi juga kaum
perempuan, masyarakat adat, penganut agama non-mayoritas, Ahmadiyah, dan
seterusnya.</span></div>
<div class="MsoNoSpacingCxSpFirst">
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;">Sampai
saat ini, masih banyak partai-partai tertentu, termasuk partai Islam yang tidak
pernah menjadikan isu pembelaan terhadap kaum minoritas sebagai isu utama
politiknya. Bahkan, tidak jarang, partai-partai Islam ikut menyudutkan kelompok
minirotas untuk menarik simpati dari kelompok mayoritas. Nasib kelompok
minoritas kian mengenaskan dan di saat yang sama hukum impoten karena selalu
ada kepentingan-kepentingan politik di baliknya. </span></div>
<div class="MsoNoSpacingCxSpMiddle">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNoSpacingCxSpMiddle">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;">Pemilu
yang harusnya adil dan damai, namun tidak bagi mereka yang sampai saat ini
mendapat perlakuan tidak adil baik oleh Negara maupun masyarakat golongan
tertentu. Jemaat Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, mereka terancam
Golput (Golongan Putih) karena tidak memiliki KTP. </span></div>
<div class="MsoNoSpacingCxSpMiddle">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNoSpacingCxSpMiddle">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;">BAYANGKAN!
Seperti apa wajah demokrasi Indonesia ke depan kalau Golput semakin menjadi
pilihan politik masyarakat? Maka, sangat mungkin kekuatan legitimasi kekuasaan
pun menjadi berkurang. Dengan meningkatnya perlakuan diskriminasi seperti
dirasakan komunitas seperti Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah komunitas adat, sangat
mungkin akan terjadi peningkatan angka Golput. Kenapa semakin banyak orang
memilih Golput? Selain mungkin karena ada kesalahan administrasi, setidaknya
ada tiga penyebab. Pertama, bisa jadi karena mereka kecewa terhadap praktik
demokrasi. Mereka tidak percaya bahwa Pemilu akan mengubah nasibnya menjadi
lebih baik. Kedua, mereka tidak sreg dengan kandidat yang ditawarkan untuk
dipilih. Ketiga, hari pelaksanaan Pemilu yang diliburkan membuat mereka lebih
memilih untuk berlibur ketimbang harus datang ke TPS.</span></div>
<div class="MsoNoSpacingCxSpMiddle">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNoSpacingCxSpMiddle">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif; font-size: small;">Janji-janji
kampanye yang menggiurkan ternyata tidak mampu memikat mereka. Kenapa? Betapa
mereka sudah kenyang dengan janj-janji, yang semuanya dianggap sebagai
kebohongan dan kemunafikan. Bukti tentang itu tersaji secara terbuka
berdasarkan Pemilu-Pemilu sebelumnya. </span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-62195413787709291682013-09-24T01:40:00.002-07:002013-09-24T01:46:38.812-07:00sesuatu itu "menulis"<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">sesuatu itu sungguh mampu melenakanku. jika sudah memulainya maka waktu terasa begitu kejam, karena terpaksa harus kuhentikan. sesuatu itu membuatku selalu ingin melakukannya lagi dan lagi. mengikat pikiranku. memanggil-manggilku untuk segera dikerjakan. berusaha kubunuh di waktu
tertentu tapi hidup lagi di pikiran. terus mengejar-menuntutku untuk
menuntaskannya. sesuatu itu adalah menulis. apapun kalimat di dalamnya, selesai tidak
selesai, di ruang manapun, dinikmati sendiri atau oleh yang lain, sesuatu itu tak pernah mati kendati kubunuh berkali-kali di saat-saat tertentu kuingin membunuhnya.
sesuatu itu adalah menulis.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">kali pertama aku menyapanya, ia begitu ramah. bahkan ketika aku merasa ditinggalkan oleh siapapun, ia begitu hangat merangkulku. ia mengajariku bagaimana menahan sebuah atau beberapa emosi. ia mengajariku kemandirian, dan kekuatan-kekuatan lainnya. banyak istilah yang ingin kuungkap tentangnya. dan sesuatu itu adalah "menulis". terimakasih kepada Sang Maha Pencipta yang menganugerahiku kecintaan tuk menulis. apapun itu.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-57960223984099216742013-09-19T20:49:00.002-07:002013-09-19T20:49:50.757-07:00dunia ruang kepala<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">benar.
setiap perubahan, kerugian, seharusnya tidak membuat kita seperti
seorang 'korban'. orang lain bisa saja mengguncang kita, mengejutkan
kita, bahkan mengecewakan kita. tetapi mereka tidak dapat mencegah kita
dari melakukan sesuatu, mengambil hikmah dari setiap kejadian, lalu
'moving on'. tidak peduli di mana kita berada, tidak peduli bagaimana
situasinya, kita selalu bisa melakukan sesuatu. <span class="text_exposed_show">kita
selalu punya pilihan dan pilihan tersebut bisa menjadi kekuatan. benar
juga, ketika seseorang atau seluruh dunia tidak menerimamu, maka
ciptakanlah duniamu sendiri di hatimu, di dadamu, di ruang kepalamu, di
mana pun dengan caramu sendiri. dan sekecil dan sesimpel apapun itu, jangan lupa, seorang bijak Paulo Coelho menulis "</span></span><span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}"><span class="text_exposed_show">the simple things are also the most extraordinary things, and only the wise can see them".</span></span></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}"><span class="text_exposed_show"><br /> -aku tidak dalam dilema, karena aku yakin sesuatu itu bukan akhir.</span></span></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-73596918810127177942013-07-16T20:10:00.000-07:002013-07-31T22:16:19.173-07:00mengurai kehidupan mulai dari istilah gender <blockquote>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki
mengomentari seorang perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang
selama ini dilakukan oleh lelaki. lalu, tiba-tiba dia berseloroh,
"waaahh...gender banget" atau komentar-komentar lain yang intinya
merujuk pada istilah "gender". bagi saya yang merasa telah membaca,
mencoba memahaminya baik dari pengalaman sehari-hari maupun dari bacaan
tentang apa itu gender, rasanya ingin sekali meralatnya, tapi setiap
orang memang butuh proses tersendiri. karena istilah gender, bisa jadi
tidak hanya butuh dipahami, tapi juga mau diterima atau tidak. artikel
berjudul "<a data-mce-href="http://www.jurnalperempuan.org/blog.html" href="http://www.jurnalperempuan.org/blog.html">mengurai kehidupan mulai dari istilah gender</a>"
yang ditulis oleh Mariana Amirudin ini adalah salah satu dari sekian
banyak artikel yang memaparkan tentang apa itu istilah gender. selamat
membaca kawan...</span></blockquote>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">*****</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Masih banyak masyarakat
yang masih menganggap bahwa istilah gender semata-mata merujuk pada
perempuan. Masih banyak pula yang salah paham atau rancu dalam memahami
istilah gender dan jenis kelamin (seks). Kesalahpahaman tersebut bahkan
masih terjadi pada pihak-pihak yang berurusan dengan program-program
kesetaraan gender di Indonesia. Saya tidak ingin mengatakan bahwa ini
suatu kesalahan, tetapi ini suatu pekerjaan kita semua yang memiliki
keahlian khusus di bidang studi gender (<i>gender expert</i>). Istilah
gender memang perlu dipahami secara tuntas, sebelum kita
menggunakannya, mengucapkannya, dan sebelum kita bekerja untuk hal
tersebut.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Ada banyak pengertian terkait dengan istilah gender.
Gender memang bukan berakar dari bahasa Indonesia, dan gender bukanlah
sekedar satu kata dengan satu pengertian. Gender adalah sebuah konsep
yang menceritakan banyak hal mengenai kehidupan dua jenis kelamin
manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Istilah gender berangkat dari
kesadaran kita bahwa manusia tidaklah satu, manusia bermacam-macam,
dalam hal ini adalah jenis kelaminnya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><img alt="" class="mce-wp-more mceItemNoResize" data-mce-src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" title="Selebihnya..." /></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Gender,
merujuk pada suatu kebudayaan yang memperlakukan -- manusia berjenis
kelamin -- laki-laki dan perempuan secara berbeda, yang padahal dalam
prinsip kemanusiaan, mereka adalah dua jenis manusia yang memiliki
hak-hak kemanusiaan yang setara. Gender merujuk pada suatu pandangan
kebudayaan sosial masyarakat, yang membuat kehidupan perempuan dan
laki-laki dibedakan, membuat pengalaman kehidupan dibedakan. Gender
adalah istilah yang ingin menerangkan bahwa, ada faktor-faktor di luar
eksistensi manusia yang mempengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan.
Gender bukan soal jenis kelamin, sementara jenis kelamin adalah
semata-mata bicara soal biologi. Perempuan punya rahim, payudara, bisa
melahirkan, menyusui, mengandung, sedangkan laki-laki tidak. Laki-laki
memiliki sperma untuk membuahi sel telur, laki-laki punya hormon khas,
yang berbeda dengan hormon perempuan untuk melakukan fungsi biologisnya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Namun fungsi-fungsi biologi laki-laki dan perempuan ini kemudian
dicampur-aduk dalam kehidupan sosial politik mereka. Padahal determinasi
biologi laki-laki dan perempuan ini semata-mata perangkat reproduksi
tubuh mereka, yang terjadi pula pada berbagai macam spesies mahluk
lainnya, yang seharusnya tidak ada intervensi penilaian atau pandangan
sosial apapun diluar fungsinya. Jenis kelamin bukanlah gender, tetapi
eksistensi biologi mahluk manusia.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Gender adalah di luar
faktor-faktor biologi manusia, dan istilah gender sebetulnya ingin
menjelaskan bahwa ada persoalan dalam dua jenis kelamin ini dalam
kehidupan sosial politik mereka. Ada persoalan dalam relasi laki-laki
dan perempuan dalam menghadapi keadaan sosial politik mereka. Persoalan
itu bukan dari diri mereka yang lahir dalam keadaan (berjenis kelamin)
laki-laki atau perempuan, tetapi karena cara pandang sosial politik
masyarakat terhadap mereka. Gender adalah istilah yang dapat kita
umpamakan sebagai kunci yang berhasil membuka kotak misteri kehidupan
manusia, dan ketika kotak misteri itu dibuka, nampak isinya berbagai
macam masalah, yang ternyata masalah itu dapat mengakibatkan seseorang
atas dasar jenis kelaminnya, mengalami diskriminasi atau ketidakadilan
yang mengerikan. Mengurai masalah dari kotak misteri tersebut tidak
mudah, karena kita perlu menyadari terlebih dahulu fakta-fakta bahwa
misalnya seseorang mengalami pelecehan ataupun kekerasan seksual akibat
jenis kelamin mereka. Perempuan, dan anak-anak perempuan adalah jumlah
terbesar yang menjadi korban kekerasan seksual karena kekerasan tersebut
terjadi semata-mata karena mereka perempuan.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kekerasan dalam rumah
tangga, sebagian besar perempuan, semata-mata karena mereka perempuan,
istri, ibu, yang dalam kebudayaan kita terutama dalam perkawinan, adalah
jenis kelamin yang harus tunduk dan patuh pada laki-laki atau suami,
karena hanya jenis kelamin laki-laki yang diakui menguasai rumah tangga.
Karena hubungan kuasa dan yang dikuasai inilah sangat rentan terjadi
kekerasan. Di dalam rumah, suami akan sangat rentan melakukan kekerasan
terhadap istri, sementara dalam kehidupan publik atau di luar rumah,
sang suami di tuntut mencari nafkah, menghidupi seluruh kebutuhan
keluarga secara ekonomi, harta benda, jaminan sosial dan kesehatan, yang
padahal dalam dunia kerja mereka mengalami ketidakadilan yang sama,
saat ada hubungan yang berkuasa dan yang dikuasai. Bagi laki-laki yang
hanya memiliki jabatan rendah, dan ekonomi yang pas-pasan, mereka tidak
menemukan kebahagiaan sekalipun ia memiliki seorang istri yang
mendukungnya secara penuh. Tuntutan sosial politik yang berlebihan pada
laki-laki untuk sukses dan mapan, adalah tuntutan yang membuat mereka
harus istimewa, harus menjadi super. Bagi yang tidak berhasil menjadi
superman, banyak mengalami frustasi, mengalami ketidakpercayaan diri,
rusak mentalnya, dan rumah tangga menjadi sasaran, dan tindakan
kekerasan rentan terjadi pada dirinya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Istilah gender ingin
menjelaskan bahwa persoalan laki-laki dan perempuan berawal dari rumah.
Dari tempat tidur, dapur, dan urusan rumah tangga. Kotak misteri yang
selama berabad-abad tak terjangkau inilah ternyata terletak di dalam
gudang alam bawah sadar rumah tangga sekelompok manusia bernama
keluarga, yang tertutup rapat dan tidak bisa diketahui orang lain
tentang hal-hal yang terjadi di dalamnya. Tanpa disadari persoalan rumah
tangga ternyata terepresentasi dalam persoalan politik ekonomi dan
hukum kita, yang mewakili hampir sepenuhnya kebudayaan kita yang belum
tentu adil terhadap laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak diharapkan
untuk menjadi pintar, bekerja, berkarir dan sukses di bidang-bidang
tertentu, mereka hanya diharapkan mengelola rumah tangga, mengasuh anak.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"> Sementara laki-laki ditempatkan berseberangan dengan perempuan, mereka
harus sukses dalam kerja, harus pintar, harus punya karir yang tinggi,
harus kaya raya. Tidak ada yang lebih tidak berharga dari seorang
laki-laki yang miskin tidak mampu menafkhi keluarganya, daripada
perempuan yang miskin tetapi bisa dinafkahi oleh suaminya. Tidak ada
yang lebih terhina daripada seorang suami dinafkahi oleh istrinya
sehingga ada istilah “numpang di ketiak istri”. Laki-laki akan mengalami
frustasi dan kerendahan diri yang luar biasa. Atau dalam tradisi dan
agama tertentu, seorang istri diperbolehkan dipukul oleh suaminya,
apabila dia tidak ijin keluar rumah. Pemukulan pada istri adalah suatu
tindakan yang dianggap amat sangat wajar dalam hal ini. Bukankah ini
suatu keganjilan ketika kita bicara soal kemanusiaan?</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Istilah
gender ingin menjelaskan bahwa kebudayaan telah membuat hubungan dua
jenis kelamin manusia, laki-laki dan perempuan, mengalami kesenjangan
dengan jurang yang begitu dalam. Mereka “tidak nyambung” dalam
berkomunikasi, mereka terbangun oleh mental dan cara berpikir yang
berseberangan. Mereka berdiri di atas kebudayaan mereka masing-masing.
Budaya perempuan sangat berbeda dengan budaya laki-laki. Nilai-nilai
mereka terpecah menjadi dua. Mereka disebut maskulin dan feminin. Mereka
tidak boleh bertukar peran, yang padahal hakekat manusia begitu
indahnya, sama-sama memiliki pikiran, hati dan jiwa, yang seharusnya
teraktualisasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka dipenjara oleh
peran-peran atas alasan jenis kelamin mereka, dan inilah fungsi dari
konsep gender, dan dalam perkembangannya gender menjadi sebuah studi
yang dapat dipelajari melalui berbagai disiplin ilmu seperti filsafat,
antropologi, sosiologi, politik, hukum, seni dan kebudayaan, juga sains
dan teknologi. Istilah gender adalah sebuah pisau yang membentangkan
kenyataan pahit konstruksi sosial dan budaya yang diyakini dan dipercaya
sebagai kebenaran atau takdir manusia ternyata hanya membuat dua jenis
kelamin manusia ini terus menerus dirundung masalah, tanpa tahu
bagaimana menyelesaikannya. Inilah yang disebut ketidakadilan gender.</span><br />
<table class="mceItemTable"><tbody></tbody></table>
<table class="mceItemTable"><tbody>
<tr><td></td><td></td></tr>
</tbody></table>
<table class="mceItemTable"><tbody></tbody></table>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-28844883888800718852013-01-31T20:36:00.000-08:002013-07-31T22:16:38.066-07:00lagi, perempuan dalam cengkeram kebijakan diskriminatif<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><i>...Proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif,
tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi
kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori
tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu
kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi
sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus
menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan
peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya...</i><i>(Komnas Perempuan, 2012)</i></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Saat
ini perbincangan publik tengah diramaikan dengan pro dan kontra
larangan perempuan yang ngangkang saat di sepeda motor. Pro kontra
tersebut mengemuka setelah Walikota Lhokseumawe, Suaydi Yahya menyatakan
berencana mengeluarkan peraturan larangan tentang perempuan ngangkang
ketika naik sepeda motor. Sontak pernyataan ini menjadi pembicaraan
hangat yang terus bergulir di masyarakat, terutama di social media.
Seperti diketahui umum, sebelumnya Aceh juga memberlakukan larangan
perempuan memakai celana jeans.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Suaydi menilai bahwa, perempuan
duduk ngangkang di atas sepeda motor dinilai tidak sesuai dengan Syariat
Islam dan adat istiadat setempat. Larangan duduk ngangkang tersebut
hanya bagi perempuan. Nantinya, penumpang yang duduk di belakang juga
dilarang memakai jeans karena pakaian seperti ini dinilai tak sesuai
syariat Islam. Dengan dalih tambahan untuk meneruskan budaya dalam
masyarakat yang hampir hilang, Suaydi begitu yakin dan memastikan akan
menetapkan aturan tersebut. Bahkan ia juga akan segera menghimbau
masyarakat di desa-desa. Namun seperti dikutip sejumlah media massa,
kendati dia mengaku belum memastikan bentuk aturan yang akan
diberlakukan tersebut, namun sejumlah pihak telah mengeluarkan
argumentasinya terkait pelarangan yang ditujukan pada perempuan ini.
Yang cukup berbeda, kali ini bukan hanya Komisi Nasional Anti-Kekerasan
Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah aktifis gerakan perempuan yang
tidak sungkan menyatakan keberatan dan larangannya terhadap rencana
pemberlakuan tersebut, namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turut
mengeluarkan argumen yang intinya bias memberatkan rencana pemberlakuan
aturan tersebut.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Buruknya Kualitas Pendidikan</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Komnas
Perempuan menilai larangan perempuan duduk ngangkang di sepeda motor,
adalah peraturan sia-sia. Selain tidak perlu diatur, hal tersebut
dianggap mengada-ada dan bermuatan politis. Ketua Gugus Kerja Perempuan
dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan, Husein Muhammad
seperti dikutip Okezone.com pada Rabu (2/1/2013) , menilai kebijakan
Pemkot Lhokseumawe tersebut menandakan buruknya kualitas pendidikan.
Menurutnya, masih banyak hal yang perlu diperhatikan, namun para
pemegang kebijakan justru lebih mengurusi hal-hal sepele. Seperti
masalah pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, itu yang
menurutnya semestinya menjadi perhatian. Kebijakan juga semestinya
dibuat bukan untuk mengatur individu atau moral personal melainkan
publik secara umum.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kebijakan yang akan segera diberlakukan di
Lhokseumawe itu , dinilainya sebagai peraturan yang pertama kali ada di
dunia. Sebab menurutnya, negara-negara Islam pun tidak memberlakukan
peraturan itu. Tidak ada negara yang memberlakukan aturan seperti di
Aceh, bahkan negara seperti Mesir dan Pakistan juga tidak
memberlakukannya. Komnas Perempuan juga akan melayangkan surat ke
sejumlah instansi terkait mengenai peraturan kontroversial itu.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Syariat Islam Tidak Mengatur Perempuan Ngangkang</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Alasan
tidak sesuai syari’at seperti diungkapkan Suaydi, segera dibahas
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menyikapi Pemerintah Kota
Lhokseumawe, Aceh, yang akan memberlakukan larangan bagi perempuan duduk
terbuka atau ngangkang di atas sepeda motor. Menurut Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan, dalam Syariat Islam tidak ada aturan
yang secara jelas membahas perempuan duduk ngangkang. Hal tersebut lebih
menyangkut etika dan sopan santun, bukan pada hukum Syariat Islam.
Bahkan jika dengan duduk ngangkang, lanjut Amidhan, tidak membahayakan
ketika mengendarai sepeda motor, maka hal tersebut justru dianjurkan.
Untuk kepentingan yang mendesak, maka ngangkang di sepeda motor di-ma’fu
(dimaafkan).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kendati demikian, menurut Amidhan, aturan yang akan
diberlakukan di Lhokseumawe itu karena sebagai daerah otonomi khusus
sehingga dapat membuat aturan tersendiri. Ada tiga hal yang menjadi
landasan diterbitkannya suatu aturan baru yakni, pada aspek budaya,
pendidikan, dan Agama Islam.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Larangan perempuan ngangkang ketika
mengendarai sepeda motor, tambah Amidhan, bisa jadi hanya cocok
diberlakukan di Aceh dan beberapa daerah lain yang memiliki kebiasaan
atau budaya menutup aurat. Seperti Kalimantan Selatan dan Sumatera Barat
yang kental nuansa agamanya, ketika perempuan dibonceng duduknya satu
arah. Itu bukan karena aturan agama, melainkan kebiasaan dan budaya di
sana. Berbeda halnya ketika di kota besar seperti Jakarta, perempuan
yang duduk satu arah ketika dibonceng sepeda motor justru mengancam
keselamatan jiwanya. Sebab kondisi lalu lintas yang padat dan macet,
membuatnya rawan jatuh.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Lagi-lagi Perempuan Menjadi Objek Kebijakan</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sejumlah
pro kontra yang bermula dari rencana pemberlakuan kebijakan Pemerintah
Daerah (Pemda) di Aceh, ini mau tidak mau mengingatkan kita pada
sejumlah kebijakan yang juga tak kalah ramai menuai pro kontra. Mungkin
kita masih ingat membaca berita atau setidaknya mendengar tentang
peristiwa meninggalnya Lilis Lisdawati pada tahun 2008. Ia adalah korban
salah tangkap berlatar belakang Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005 di
Kota Tangerang. Saat itu media setempat cukup ramai memberitakan ini,
salah satunya seperti diberitakan Suara Warga (Edisi 007/011), Lilis
Lisdawati adalah karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan.
Suaminya Kustoyo, adalah guru SD. Tanggal 27 Februari 2006, Lilis
ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di daerah
Tangerang. Ia dituduh telah melanggar Perda No. 8 Tahun 2005 tentang
Pelarangan Pelacuran.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Aturan Perda tersebut memang multitafsir
sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menyebabkan
salah tangkap. Pasal 4 ayat 1 misalnya, menyebutkan bahwa: “Setiap orang
yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu
anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum,
di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah
penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat
tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat
lain di daerah.”</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Petugas lalu bisa menangkap seseorang, terutama
perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah
pelacur (PSK). Meski telah menyampaikan bahwa ia bukan PSK, Lilis tetap
ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8
hari penjara dan denda Rp 300 Ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4
hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda
tersebut.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban
salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan
Lilis semakin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak
permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda tersebut.
Alasannya, Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang
disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk
merehabilitasi nama baik Lilis. Lilis mengalami keguguran pasca
peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar
dari pekerjaan karena tertekan dengan tudingan beristrikan pekerja seks.
Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan
ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup
berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008
dalam kondisi depresi.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tangerang adalah satu dari 38 daerah yang
memiliki perda tentang pelacuran yang mengkriminalisasi perempuan. Tidak
satupun peraturan daerah serupa ini yang dibatalkan. Bahkan, Mahkamah
Agung juga kembali menolak permohonan judicial review untuk Perda serupa
dari Bantul. Kali ini dengan alasan bahwa permohonan diajukan melewati
batas waktu yang diperbolehkan, yaitu 180 hari sejak Perda itu
ditetapkan. Dari depresi Lilis hingga meninggal dunia, setidaknya jelas
bagi kita bahwa ini efek dari penahanan-nya atau efek dari berbagai
masalah (sosial, hukum, ekonomi) yang juga turut di-blow-up media.
Selain Lilis, ada sejumlah korban salah tangkap petugas ketentraman dan
ketertiban (Tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri
sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang juga dicurigai sebagai pelacur.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br />
Selain korban salah tangkap Perda Tangerang, yang juga cukup ramai
diberitakan adalah kasus penggundulan di Aceh oleh polisi Syariah.
Meskipun pada akhirnya Qanun Jinayat yang sudah disahkan Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2009, harus segera dibatalkan
untuk kemudian dilakukan revisi dan dilengkapi sesuai dengan kaidah
hukum Islam kaffah atas desakan Ulama se-Aceh. Menurut mereka, dalam
sejumlah pemberitaan, Qanun tersebut masih mengabaikan hal-hal prinsipil
dalam Hukum Islam. Ulama Aceh juga mengimbau semua pihak baik Gubernur,
politisi, DPRA, Ulama dan komponen masyarakat agar turut berpartisipasi
member masukan kepada ulama. Hal tersebut terkait polemik yang terjadi
terhadap pengesahan Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang disahkan pada
pertengahan September 2009.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Perda Berpotensi Merugikan Perempuan</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Berdasarkan
hasil mini riset penulis dan kawan-kawan (dkk) tentang Qanun Jinayat
pada tahun 2009, tahun 1998 awal mulai terjadi dinamika politik hukum
Indonesia, yang ikut membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum
Islam yang merupakan bagian dari hukum nasional turut mengalami
perubahan, tidak terkecuali sektor hukum pidana (jinayat) yang
sebelumnya penuh dengan ketidakmenentuan. Dinamika hukum, terutama
sekali, ditandai peralihan sistem pemerintahan sentralistik menjadi
sistem otonomi. Sistem ini tertuang di dalam UU No. 32 Tahun 2004.
Provinsi Aceh yang mayoritas muslim dan memiliki pengalaman di bidang
hukum Islam Qanun dan memberlakukannya di dalam sosio-yuridis
masyarakat. Masa dinamika ini kerap dikenal era reformasi. Bagi Aceh,
era ini menjadi awal penyelesainan konflik selama 30 tahunan secara
beradab, melalui jalur perundang-undangan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Lalu tahun 2000-an
mulai marak kemunculan Perda-perda diskriminatif, bahkan dalam beberapa
tahun terakhir sejumlah hasil penelitian mengungkap Perda-perda
diskriminatif di Indonesia semakin meningkat. Dimulai dari munculnya
sejumlah pemberitaan tentang deretan persoalan dalam menyikapi proses
eksekusi atas seorang terpidana, mulai dari gugatan atas konsistensi
perundang-undangan yang dianggap merendahkan martabat, tidak manusiawi,
tidak efektif dan lan sebagainya. Termasuk awal tahun 2012 ini, Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis data tentang maraknya
berbagai kebijakan diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan
Jender, berupa kebijakan di tingkat nasional maupun kebijakan lokal.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dalam
kajian perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan pronografi, yang justru menghalangi perempuan untuk dapat
menikmati hak asasinya secara utuh khsususnya hak atas kepastian hukum
dan atas kebebasan berekspresi. Komnas Perempuan mencatat hingga bulan
Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan
moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebanyak 78 dari 207
kebijakan tersebut secara khusus menyasar pada perempuan, lewat
pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan
pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Berdasarkan
pemantauan Komnas Perempuan, melihat proses pembentukan suatu kebijakan
yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung
melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif.
Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan
dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok
masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif
yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada
keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Pentingnya Peningkatan Keterwakilan Perempuan</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Di
sisi lain, dalam dunia politik sendiri, perempuan adalah bagian dari
warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi. Termasuk jumlah
perempuan yang duduk di DPR-RI hasil 10 kali Pemilihan Umum yang tidak
pernah mencapai angka kritis 30% adalah buktinya. Padahal, minimnya
keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan secara lagsung
akan menyebabkan suata perempuan menjadi tidak terwakili, sehingga
pengalaman khas dan spesifik yang dialami perempuan tidak terangkat.
Lebih jauh, masih berdasarkan rilis yang pernah dikeluarkan Komnas
Perempuan pada Rabu (8/2/2012), fakta kekerasan terhadap perempuan akan
kehilangan ruang untuk disuarakan dan diangkat sebagai bagian dari
persoalan bangsa yang harus dicegah dan ditangani.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Berdasarkan
penelitian Perserikatan Bangsa-bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh
per seartus) merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya
suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil
dalam lembaga-lembaga publik. Penetapan 30% ditujukan untuk menghindari
dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik
yang merumuskan kebijakan politik. Dengan demikian, diharapkan
peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menjadi salah satu
ruang penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan publik.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sumber
tulisan: okezone.com pada tanggal 2, 3, dan 4 Januari 2013; hasil mini
riset Alimah dkk tentang Qonun Jinayat tahun 2009; salah satu tulisan
penulis (Alimah) di
http://kppri.or.id/index.php/id/artikel/11-perempuan-dalam-cengkeraman-kebijakan-diskriminatif;
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/02/apa-kabar-perda-diskriminatif-474053.html</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-80383911429573523702012-12-19T09:30:00.000-08:002013-09-24T02:38:33.851-07:00salju dan catatan ke sekian <div class="itemhead">
<h3>
</h3>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
pagi buta tadi, aku menyadari satu hal. bahwa salju sudah
berjatuhan memenuhi ruangan blog-ku. kau yang pernah merasakan nyata
bagaimana lembutnya salju dan menyaksikan bahwa mereka memang
benar-benar putih, mungkin akan menertawaiku yang menulis ini. tapi ini
adalah kali ke sekian, seperti biasa di bulan yang sama, Desember. di
bulan itu, tanpa sadar catatanku dipenuhi tema tentang “kelak”. kelak
aku akan seperti ini, melangkah seperti ini, mendapatkan ini dan itu dan
seterusnya.
</span></span></div>
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">tapi setelah pagi buta itu, aku tak langsung mencatatnya di blog ini.
aku malah asyik mengikatnya di ruang kepalaku. tak ingin tema “kelak”
itu lari dari ruang kepalaku, aku pun terus berkisah tentang “kelak”-ku.
orang pertama yang dengan setia mendengarkanku adalah seorang sepupu
perempuanku yang mimpinya juga sama besarnya denganku. sementara orang
kedua setelah sepupuku adalah kakak perempuan iparku, yang juga memiliki
rencana-rencana yang tak terduga.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span></span>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">tiba-tiba, aku merasa lelah dengan pikiranku sendiri. pikiran yang
tak habis-habisnya dipenuhi gagasan tentang sesuatu. yang bahkan
terkadang memenuhi dan menuntut untuk dituntaskan pada saat yang kurang
tepat. beruntung aku menyadarinya. ibuku yang dulu terbiasa melihat
pekat di mataku, mungkin tak pernah menyangka aku menyimpan sesuatu yang
begitu besar yang kapanpun bisa meledak. tapi tidak, aku menyadarinya,
artinya aku faham kapan semua itu akan kuledakkan.</span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span></span>
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">kali ini aku dalam proses menahan. menahan semua itu untuk tidak
berjalan begitu cepat. meski jika kumau, aku bisa mempercepatnya.
tentang bagaimana aku menahan semuanya, hanya aku yang faham. kendati
mereka tak berhenti bertanya dan menuntutku, aku tetap bertahan dengan
‘pertahananku’. lalu aku akan terus berterimakasih pada Tuhan karena
mampu membuatku bertahan dengan pertahananku. sampai tiba saatnya aku
kembali menjalankan satu demi satu rencana-rencana besarku. bagiku,
semua rencana bernilai besar. tapi untuk sejenak, saat ini, biarkan aku
merasakan kenyataan dari mimpiku dahulu. </span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">sebelum kembali pada
kelak-kelak berikutnya. yang berarti aku tidak lagi dengan “dunia
sendiri”, tapi ada si kecil yang menemaniku yang juga akan kudengarkan
mimpi-mimpinya.</span></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-79672945696030276612012-11-29T23:11:00.000-08:002013-09-24T02:41:00.231-07:00Ia Ibarat Kitab Hayat<blockquote>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b><i>Rama mengibaratkan dirinya sebagai kitab hayat (buku kehidupan), jika kita membacanya maka akan menemukan makna dan manfaatnya…</i></b></span></blockquote>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Demikian
penuturan Dewi Kanti (43 Tahun), salah seorang puteri dari Pangeran
Djatikusuma yang akrab disapa Rama Djati, Tokoh Penghayut Cigugur
Kuningan. Namun dari penuturannya, Dewi Kanti menegaskan bahwa ia tidak
bermaksud agar Rama Djati menjadi sosok yang dikultuskan, melainkan
sebagai motivasi bagi komunitas Paseban untuk banyak belajar dan
bertanya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sementara Rama Djati sendiri enggan menceritakan perihal
peribadinya. Namun banyak pihak yang tak habis-habisnya berkisah
tentang sosoknya. Termasuk sejumlah media, entah berkisah tentang
sosoknya maupun menggali rasa ingin tahu mereka tentang pandangan Rama
Djati tentang kehidupan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Rama Djati lebih banyak bercerita tentang
Seren Taun dan Sunda Wiwitan. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana
diskriminasi terhadap penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
maupun komunitas adat sampai detik ini masih terus berlangsung.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sejumlah
peraturan yang dikeluarkan secara sistematis oleh pemerintah dan
menjadi hukum positif telah mendiskriminasi para penganut aliran
kepercayaan dan komunitas adat Indonesia. Jangankan untuk mendapatkan
pengakuan atas tradisi adat dan spiritual yang diyakini sebagai agama,
untuk mendapatkan dokumen sipil dengan pengakuan terhadap kepercayaan
mereka, itu masih dapat dikatakan mustahil.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dalam konteks negara,
bentuk diskriminasi itu bersumber dari sejumlah perundangan dan
peraturan yang dinilai sangat merugikan para penganut kepercayaan dan
komunitas adat di Indonesia. Karena semua itu, Pangeran Rama
Djatikusumah, atau yang akrab disapa Rama Djati, harus mendekam di
penjara selama beberapa waktu, begitu pun dampak pada ketiga anaknya.
Mereka tidak bisa mendapatkan akte kelahiran, sedangkan puluhan anggota
mereka harus berpindah agama dulu untuk bisa mendapatkan Kartu Tanda
Penduduk (KTP).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sementara itu, para penghayat yang kebetulan
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak bisa melangsungkan sumpah
jabatan untuk promosi karir kepegawaian maupun mendapatkan fasilitas
yang seharusnya mereka dapatkan sebagai PNS, seperti tunjangan keluarga
(isteri dan anak) dan lain sebagainya. Proses diskriminasi tidaklah
bersifat alamiah. Diskriminasi bukan gempa bumi, tidak pula angin badai
yang datang tiba-tiba. Diskriminasi lebih mirip dengan tindakan akibat
sikap rasisme yang memandang budaya dan cara hidupnya terunggul,
sementara pilihan hidup yang lain sebagai cacat dan rendah. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selanjutnya,
ia dipertahankan dan berjalin-kelidan dengan kekuasaan. Ia direproduksi
dan diproduksi terus menerus untuk mengukuhkan dominasi dan
kepentingan. Dan salah satu alat reproduksinya adalah melalui kurikulum
dan pendidikan sekolah, sebagaimana dialami sejumlah keluarga para
penghayat di Cigugur termasuk anak-anak Rama Djati sendiri.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Karena
enggan menceritakan perihal pribadinya, maka di sini lebih banyak
mengungkap pemaparannya tentang Seren Taun dan Sunda Wiwitan itu
sendiri. Dan tidak heran mengapa Dewi Kanti menyebutnya sebagai “kitab
hayat” seperti yang juga diungkapkan Rama Djati sendiri, sosok yang
memberi motivasi untuk banyak belajar dan bertanya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Mengejar Kekayaan Batin, Bukan Materi</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tentang
Seren Taun, ia memaparkan bahwa inti dari tujuan diadakannya upacara
Seren Taun adalah di samping sebagai bentuk syukur dan permohonan berkah
serta limpahan kesejahteraan kepada Tuhan, juga sebagai sarana yang
efektif untuk mewarisi tradisi luhur para leluhur yang dimiliki bangsa
dan penggalian kearifan local. Budaya local yang dimaksudnya adalah yang
bisa menemukan dan menumbuhkan jati diri dan perilaku manusia yang
seharusnya. Baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai bangsa.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Karena dalam upacara ini yang dikejar adalah kekayaan batin bukan perolehan materi yang melimpah,” paparnya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bulan
Rayagung dipilih sebagai symbol dari perayaan terhadap keagungan Tuhan.
Selanjutnya menjelaskan makna dari angka 22 yang diambil karena
memiliki makna simbolik tertentu. Angka 22 sendiri adalah terbagi 2
pertama angka 20 memiliki makna sifat wujud makhluk hidup ke-20 sifat
itu adalah getih, daging, bulu, kuku, rambut, kulit, urat, polo,
bayah/paru, ati, kalilimpa/limpa, mamaras/maras, hamperu/empedu, tulang
sumsum, lemak, lambung, usus, ginjal dan jantung. Sementera angka 2
bermakna keseimbangan karena segala sesuatu terdiri dari 2 unsur positif
dan negatif, seperti adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan.
Angka 22 kemudian digunakan sebagai jumlah berat padi yang akan ditumbuk
yang hasilnya diserahkan kepada masyarakat setiap pelaksanaan Seren
Taun, padi yang digunakan seberat 22 kwintal, 20 kwintal ditumbuk dan
dikembalikan dan 2 kuintal lainnya sebagai bibit yang akan ditanam.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Upacara
ngajayah, pengolahan padi hasil panen masyarakat kemudian ditumbuk
bersama-sama yang kemudian berasnya akan dibagikan kepada orang-orang
yang membutuhkan. Jumlah padi yang ditumbuk 20 kuintal, 2 kuintal yang
dijadikan bibit dengan total 22 kuintal. Selama tahapan ini dilaksanakan
diiringi dengan mantera-mantera mistis. Upacara ini merupakan upacara
simbolik penuh makna. Inti dari upacara ini adalah mempertemukan dan
mengawinkan benih jantan dan benih betina dan dari tumbuhan yang
diyakini sebagai tahap bertemunya energi hidup dari sang Hyang Asri Pwah
Aci. Energy Pwah Aci yang berupa energi kesuburan dan keselamatan turun
kebumi dan kemudian meresap ke dalam apa yang dimakan. Pwah Aci
merupakan zat Tuhan, sehingga apabila Pwah Aci turun ke bumi dan meresap
kedalam bahan makanan maka setidaknya akan ada dua kesadaran yang akan
diraih. Yaitu rasa syukur atas nikmat dan berlaku tidak sewenang-wenang
terhadap alam karena dalam setiap bagian alam terdapat zat tuhan yang
harus dihormati.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Menitik Beratkan Pikiran, Naluri, dan Rasa</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Ajaran
sunda wiwitan dikenal dengan ajaran Tritangtu. yakni Tritangtu di
buana, Tritangtu di naraga, dan Tritangtu di nagara. Ajaran Tritangtu
merupakan ajaran yang menitik beratkan makna apa yang ada dalam pikiran,
naluri dan rasa. Paseban dipakai sebagai tempat berkumpul dan bersyukur
dalam merayakan ketunggalan selaku umat Gusti Hyang Widi Rasa dengan
meyakinkan kemanunggalan dalam mengolah kesempurnaan getaran dari 3
unsur yang disebut sir, rasa dan pikir dimana unsur lainnya, panca
indera dapat menerima dan merasakan keagungan Gusti.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Begitu pula
dalam laku kehidupan benar-benar merupakan ketunggalan selaku manusia
dan kemanunggalan antara cipta, rasa, dan karsa diwujudkan dalam tekad,
ucap, serta lampah. Menyatakan diri manusia seutuhnya dalam memancarkan
pamor kebudayaan bangsa dengan ketentuan hukum kodrati. Intinya Paseban
Tri Panca Tunggal merupakan tempat penyatuan pikiran, perkataan dan
perbuatan dari pihak manusia tanpa melihat latar belakang agama, suku,
etnis, dan ras. Sebagai wujud mensyukuri yang diberikan Sang Pencipta.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Kita
memang tidak sepengakuan tetapi kita sepengertian, menghargai perbedaan
yang ada dan tidak menjadi hambatan untuk melakukan hal bersama-sama,
ulah mikir naon nu dipikamenang, tapi mikir anu bisa dilakukeun (jangan
berpikir apa yang didapat, tapi berpikir apa yang bisa dilakukan).”</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dalam
malam satu suro yang bertepatan pada tanggal 14 November 2012 tahun
masehi, Rama Djati memberi wejangan kepada masyarakat Sunda wiwitan di
ruangan Paseban agar selalu menjaga tatakrama, bersikap dan bertutur
kata sopan dan santun kepada orang lain.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sesepuh masyarakat adat
Karuhun Urang, Rama Djatikusumah mengatakan, berkumpulnya masyarakat
adat dari berbagai daerah diharapkan bisa menunjukkan keragaman
masyarakat dan budaya di Indonesia.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Inilah gambaran Bhinneka
Tunggal Ika di Indonesia. Jangan hanya sekedar menjadi slogan. Dengan
berkumpul seperti ini, tidak ada lagi orang Sunda, orang Jawa, atau
orang Kalimantan. Kita semua disini putra Nusantara, bersatu dan berkata
bahwa kita orang Indonesia," tutur pria berusia 76 tahun ini di
sela-sela Seren Taun, Sabtu (20/12).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Perbedaan, lanjut Rama Djati,
bukan berarti setiap kelompok masyarakat adat mengkotak-kotakkan diri.
"Dalam perbedaan itu sesungguhnya ada dasar kepercayaan yang sama.
Meskipun cara menyebut dan menyembahnya berbeda. Generasi sekarang ini
banyak yang sudah lupa cara cirinya sebagai manusia, makhluk Tuhan dan
manusia dalam berbangsa," ujarnya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Keberadaan masyarakat,
seharusnya dipandang sebagai modal untuk menguatkan kearifan lokal.
Bersatunya beberapa kelompok masyarakat adat di Cigugur, mendapat
perhatian luas dari masyarakat sekitar. Dalam Helaran yang digelar siang
tadi, 22 delman yang membawa puluhan masyarakat yang mengenakan pakaian
adatnya, diarak keliling Kuningan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Ratusan masyarakat terlihat
antusias mengikuti rombongan yang bergerak dari Gedung Paseban-Kota
Kuningan-Gedung Paseban. Lagu-lagu yang dilantunkan pun tak melulu lagu
daerah, tapi juga didominasi dengan lagu wajib yang menyuarakan semangat
persatuan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">"Dari sini (Cigugur), kami berharap ada gema persatuan
yang sampai ke seluruh penjuru Tanah Air. Bisa menggetarkan daya rasa
dan daya pikir serta menimbulkan kedamaian," ungkap Rama Djati.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dari Cigugur, ia berharap kebhinekaan Indonesia bisa semakin menguat dalam ketunggalikaan.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-29865767781569863832012-11-29T23:05:00.000-08:002013-09-23T23:04:37.167-07:00hanya karena berbeda, mereka dibungkam, dan dipaksa mengikuti identitas 'resmi'<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><i>Karena dinilai 'berbeda' dan tak mampu mengungkapkan identitas
agama, etnis, dan bangsanya. Mereka dipaksa mengikuti identitas yang
resmi. Perlakuan-perlakuan tidak adil pun tak jarang harus mereka
terima...</i></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selain tentang Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah
komunitas lain yang semakin akrab kita ketahui melalui media massa.
Tentunya kita juga pernah mengetahui tentang bagaimana seseorang dari
sebuah komunitas sulit mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), hanya
karena ia bukan termasuk penganut agama resmi seperti diakui Negara.
Pengalaman ini sudah biasa dialami oleh komunitas Sunda Wiwitan. Mereka
terbiasa dimainkan aparat birokrasi.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Seperti keterangan yang
diungkapkan Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan yang akrab
disapa Rama Djati, ini melalui pengalaman pribadinya, keluarganya, serta
sejumlah penganut Sunda Wiwitan terutama di Cigugur Kuningan, tak
jarang harus berhadapan dengan perlakuan tidak adil para pejabat negara
setempat. Khususnya berkaitan soal agama. Para penghayat (sebutan untuk
penganut Sunda Wiwitan) ditanya agama mereka masuk agama mana: Islam,
Katolik, Protestan, Hindu, Buddha? Jika sudah demikian, maka penghayat
Sunda Wiwitan akan menjawab: “agamanya, ya, Sunda Wiwitan”.<img alt="" class="mce-wp-more mceItemNoResize" data-mce-src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" title="Selebihnya..." /></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Demikianlah,
terutama sejak masa Orde Baru (Orba), para penghayat masih juga
mengalami diskriminasi. Hak-hak sipil dan politik mereka tidak
diperhatikan oleh pemerintah. Alasan yang diberikan oleh pemerintah dan
petugas biasanya adalah karena masalah agama. Seperti dalam kasus untuk
mendapatkan KTP, birokrasi hanya mengetahui dan mengakui Lima Agama
(Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dalam perkembangannya kemudian
Khong Hu Cu masuk di dalamnya sehingga menjadi Enam agama resmi yang
diakui pemerintah) berdasarkan <i>Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama</i>
pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)"
(Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama). Dari sini lah kemudian perlakuan-perlakuan
tidak adil sering diterima penghayat Sunda Wiwitan.</span><br />
<div>
<dl id="attachment_218708">
<dt><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><img alt="13540782941796866590" data-mce-src="http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/11/13540782941796866590_300x225.jpg" src="http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/11/13540782941796866590_300x225.jpg" height="225" title="13540782941796866590" width="300" /></span></dt>
<dd><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Rama Jatikusuma, salah satu tokoh penghayat di Cigugur Kuningan.</span></dd></dl>
</div>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Agama
yang diakui oleh pemerintah hanya Lima pada waktu itu (enam saat
sekarang) menghambat para pengikut Sunda Wiwitan untuk mendapatkan kartu
tanda penduduk, akta lahir, dan surat kependudukan lainnya. Bahkan,
anak-anak para pengikut Sunda Wiwitan mengalami kesulitan saat hendak
masuk sekolah pemerintah. Oleh karena itu, banyak sekali warga Sunda
Wiwitan yang akhirnya memeluk agama Islam maupun Katolik. Meskipun
sekarang masyarakat Sunda Wiwitan memeluk agama yang berbeda akan tetapi
mereka menjiwai ajaran dan filosofi hidup yang sama yang menjamin
kerukunan umat beragama tetap lestari juga menciptakan pluralisme yang
berlandaskan pada kultur asli tanpa rekayasa sosial apapun. Prinsip
pluralisme yang tertanam jauh di lubuk hati masyarakat Sunda Wiwitan dan
selalu didengungkan oleh mereka adalah <i>meskipun tidak sekeyakinan akan tetapi sepengakuan</i>.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Persoalan
pembuatan KTP dan administrasi lainnya, hanyalah bagian kecil dari
sejumlah masalah ketidakadilan yang harus diterima penganut Sunda
Wiwitan. Remeh kelihatannya. Tapi itulah fakta. Penganut Sunda Wiwitan
telanjur dicap negara sebagai anonimitas, tak punya status. Di zaman
Orde Baru, mereka akan diidentifikasi sebagai subversif. Setiap penduduk
harus memiliki identitas yang lengkap. Petugas sensus yang ditunjuk
Badan Pusat Statistik tidak diperkenankan mengosongkan kolom agama pada
lembar identitas penduduk. Kolom agama harus diisi.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Namun
sebenarnya apa dan bagaimana sesungguhnya Sunda Wiwitan ? Dalam laporan
kali ini, bersama Rama Djati, penghayat asal Cigugur Kuningan Jawa Barat
(Jabar) megulas apa dan bagaimana Sunda Wiwitan. Para penganut Sunda
Wiwitan di Cigugur telah akrab dengan perlakuan tidak adil pemerintah.
Namun di tengah-tengah pemeberitaan miring tentang kerukunan umat
beragama dengan maraknya kekerasan atas nama agama, radikalisme,
terorisme, dan lain sebagainya, siapa sangka dari mereka yang selama ini
diperlakukan tidak adil, kita mendapatkan pelajaran berharga bagaimana
seharusnya berkehidupan di tengah perbedaan agama.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Menengok Kehidupan Sunda Wiwitan di Cigugur</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sebelumnya
mungkin tidak pernah terbayang dalam benak kita betapa dalam satu
kampung, setiap rumahnya terdapat perbedaan agama, ayah seorang
penghayat, tapi anak-anaknya ada yang beragama muslim dan katolik. Tapi
hal demikian nyata terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa
Cigugur Kabupaten Kuningan. Di desa yang terletak di kaki Gunung Ciremai
tersebut, masyarakat hidup rukun walaupun berbeda agama.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kerukunan
ini bisa dilihat misalkan jika ada salah satu masyarakat beragama Islam
meninggal dunia, maka tak sungkan orang yang beragama Katolik maupun
Penghayat untuk mengurus acara pengurusan jenazah hingga tahlilan.
Begitu pun jika yang meninggal adalah orang yang beragama kristen, maka
orang dari umat agama lain tak segan untuk terlibat dalam acara
pengurusan jenazah. Selain itu, di Desa Cigugur sendiri terdapat
berbagai macam tempat ibadah dari berbagai agama, dari mulai gereja
hingga masjid.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Awalnya masyarakat Cigugur adalah pemeluk ajaran
adat Sunda Wiwitan yang dikembangkan oleh Ki Madrais. Akan tetapi, oleh
karena ada larangan dan tekanan dari Pemerintah di masa Orde Baru
(Orba), maka pemeluk ajaran ini ada yang berpindah ke agama katolik dan
Islam untuk mendapatkan hak sipil dan politiknya nya sebagai warga
negara yang sah. Sampai saat ini, hak sipol masih menjadi masalah bagi
sebagian warga Cigugur yang masih berpegang teguh menjadi penghayat adat
Sunda Wiwitan.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Lebih Dekat Mengenal Sunda Wiwitan</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dari
arti bahasa, Sunda Wiwitan berarti Sunda Permulaan, akar, pertama.
Makna Sunda Wiwitan sama dengan yang tertulis dalam naskah Carita
Parahiyangan dengan apa yang disebut Jati Sunda. Ajaran sunda wiwitan
sangat berpegang teguh dengan adat budaya sunda, tempat di mana para
pemeluknya hidup. Pangkal ajaran ini sebenarnya adalah mendasari hidup
dengan memaknai kehidupan sehari-hari, dari tanah dan air yang dipijak.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Berdasarkan
penuturan dari Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan, ajaran
Sunda Wiwitan pada dasarnya meyakini bahwa setiap manusia yang
dilahirkan ke dunia tidak merasa mempunyai keinginan untuk menjadi
manusia. Juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi orang Sunda atau pun
orang Jawa. Semuanya itu atas kehendak Maha Pencipta. Dengan kata lain,
menjadi manusia adalah perintah dari Maha Pencipta.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Setiap manusia mempunyai kodratnya sendiri-sendiri menyebutnya dengan <i>Cara-ciri</i>. Karena itu, Sunda Wiwitan sangat memegang teguh <i>Pikukuh</i> <i>T</i><i>ilu</i>,
yakni, pertama, cara-ciri manusia (kodrat manusia) yakni unsur-unsur
dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Dalam konsep Sunda Wiwitan,
ada lima unsur yang termasuk di dalamnya, <i>Welas Asih</i> (cinta kasih), <i>Undak Usuk</i> (tatanan/hierarki dalam kekeluargaan, Tata krama (tatanan perilaku), Budi bahasa dan budaya, <i>Wiwaha Yudha Naradha </i>(sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya). Kalau satu saja <i>Cara-ciri </i>manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kedua, <i>Cara-ciri</i> bangsa (kodrat kebangsaan). Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal <i>Cara-ciri </i>Manusia.
Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan
yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antar
manusia tersebut didasarkan pada <i>Cara-ciri </i>bangsa yang terdiri dari Rupa, Adat, Bahasa, Aksara, Budaya. <i>Pikukuh</i> yang ketiga adalah <i>Madep ka ratu raja</i> (mengabdi kepada yang seharusnya).</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sampai
di sini bisa dilihat kenapa masyarakat adat Sunda Wiwitan sangat
toleran, mereka sangat meyakini bahwa semua manusia itu pada dasarnya
adalah sama dan tak berdaya terhadap kodrat kemanusiaannya. Pada taraf
yang sangat hakiki, manusia itu sama dalam <i>Cara-ciri</i>nya,
terbedakan dari hewan dan tumbuhan serta makhluk hidup lainnya.
Selanjutnya, universalitas kemanusiaan yang melekat pada diri setiap
manusia tersebut menampakan perbedaanya saat manusia harus menempati
ruang dan waktu. Manusia menempati tempat tertentu di waktu tertentu
yang dia juga tidak bisa menentukan sendiri tempat lahir hidup dan
berkembangnya. Dari lingkungan kehidupan yang tidak bisa manusia
negosiasikan. Inilah kemudian manusia mempunyai adat, budaya, bahasa,
rupa, aksara dan mungkin agama yang berbeda-beda.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Ciptakan Kehidupan Damai di Bumi Cigugur</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Toleransi
dan kerukunan yang diresapi oleh masyarakat Sunda Wiwitan adalah
toleransi yang berpegang teguh pada adat budayanya, kesadaran ruang dan
waktu menjadikan mereka kukuh pada adat dan budaya sunda. Kalau mereka
berada di daerah yang bukan sunda mungkin mereka akan berpegang pada
kultur mereka bertempat tinggal tersebut. Inti dan akar toleransi yang
dimiliki mereka bukan pada adat sundanya tapi pada cara berfikir mereka
terhadap kehidupan, budaya dan adat. Jadi, sikap seperti ini sepertinya
bisa juga untuk diadopsi oleh orang di daerah lain (selain sunda) dengan
cara berfikir seperti demikian.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Menurut Rama Djati, seorang yang
mengamalkan Sunda Wiwitan tidak harus beragama tertentu, dia boleh
beragama apa saja tapi dia menghayati benar tempat dan waktu dia hidup.
Rama mencontohkan bagaimana seharusnya orang yang beragama Islam tanpa
harus berbangsa Timur Tengah ataupun beragama Kristen tanpa harus
berbangsa Romawi. Akan tetapi beragama apapun dengan menghayati tempat
dimana dia hidup. Dia juga mencontohkan bagaimana hidup harus mengikuti
zaman (berbeda dengan keyakinan Sunda Wiwitan Kanekes Banten). Artinya
kesadaran akan kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat Sunda Wiwitan
adalah kesadaran kodrat manusia, kemanusiaan yang terbatas ruang dan
juga waktu. Oleh karena itu, masyarakat Sunda Wiwitan tidak anti dan
menutup diri dari teknologi atau apapun yang muncul pada zaman sekarang
yang bersifat positif.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sikap hidup yang demikian menciptakan
kehidupan yang damai di bumi Cigugur. Setiap orang di kampung ini
menghayati kehidupan beragama dengan tidak mengadu kepercayaan, akan
tetapi dengan mengembalikan perbedaan kepada yang sama, yakni sama-sama
percaya kepada Yang Maha Pencipta, Tuhan. Seperti yang diutarakan oleh
warga Sunda Wiwitan setempat Arga dan Sarka sebagaimana saat
berbincang-bincang dengan mereka di tengah-tengah kesibukan mereka
menyiapkan acara Seren Taun. Mereka meyakini bahwa apapun agamanya itu
tidak penting yang penting adalah dia percaya ada Tuhan Maha Pencipta.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Arga
(73), salah seorang Penghayat Sunda Wiwitan, mempunyai anak yang
memeluk Agama Islam dan Kristen, tapi dia tetap mempersilahkan
anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Rama Djati
sendiri membebaskan anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan
keyakinannya. Walaupun dari kecil anak-anaknya dididik dengan ajaran
adat, akan tetapi setelah menginjak dewasa mereka dibebaskan untuk
memeluk agama yang diyakininya. Kecuali untuk anak laki-laki yang paling
tua, dia harus kukuh menjaga dan meneruskan ajaran adat Sunda Wiwitan.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Agama
dilihat oleh mereka hanya sebagai kodrat kebangsaan, kodrat yang
melekat setelah kita memasuki dimensi ruang dan waktu. Hal demikian
tersebut lebih rendah dan bersifat permukaan dan untuk memahaminya lebih
mendalam harus ditarik ke arah kodrat yangn lebih tinggi yakni kodrat
manusia, dimana setiap orang yang dilahirkan sebagai manusia mempunyai
cara-ciri yang sama.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Ajaran Sunda Wiwitan tentang kodrat manusia
dan kodrat kebangsaan yang ditanamkan oleh Ki Madrais meniscayakan bahwa
kehidupan manusia yang benar adalah dengan berpegang teguh hanya pada
kodrat kebangsaan dalam hal sosial dengan tanpa melupakan kodrat manusia
dalam hal spiritual. Kedua kesadaran terhadap kodrat ini saling
berkait, tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain, artinya landasan
spiritual kemanusiaan seperti yang diajarkan oleh Madrais akan paripurna
jika terejawantahkan dalam kehidupan sosial dengan landasan sosial
tentunya. Karena <i>spiritualisme</i> tanpa sosial akan sulit dipahami
oleh orang lain, sebagaimana Rama Djati mencontohkan sosok Syeikh Siti
Jenar sebagai manusia yang mempunyai pemahaman spiritual yang tinggi
akan tetapi tidak menggunakan sifat sosialnya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Ajaran sosial Sunda
Wiwitan berprinsip pada kodrat kebangsaan, artinya dalam kehidupan
sosial manusia tidak lepas dari karakteristik masing-masing daerah. Beda
tempat beda zaman, beda pula karakteristiknya. Setiap karakter muncul
dari dalam hidup keseharian manusia, dari tanah dan air yang dipijaknya,
sehingga setiap manusia mempunyai budaya sebagai usaha mengatasi
kehidupan sehari-harinya, mempunya bahasa sebagai usaha berkomunikasi
satu sama lain/bersosialisasi, dan lain-lain. Madrais meyakini bahwa
setiap bangsa akan berbeda dalam menghayati hidup, sehingga bangsa yang
satu tidak bisa memaksakan nilai, norma, aturan, atau agama kepada
bangsa yang lain. Ajaran Madrais inilah yang kemudian menjadi batu
sandungan dan kerikil tajam bagi usaha pemerintah Belanda untuk
menjajah.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kalau kita Ingat, penjajahan (imperialisme) pada
prinsipnya adalah menguasai kelompok tertentu secara ekonomi politik.
Sebelum dapat dilaksanakan dengan baik, Imperialisme meniscayakan
terjadinya kolonisasi. Kolonisasi lebih bersifat paradigmatik, artinya
dia mempengaruhi wilayah kesadaran dengan pemaksaan nilai, moral, agama,
aturan, dan semacamnya. Ajaran Madrais dalam hal ini adalah ajaran yang
menggelorakan semangat anti-kolonial dalam arti yang sebenarnya. Oleh
karena itu, wajar jika kemudian Belanda sangat membenci Madrais dan
ajaran yang dibawanya. Hingga untuk mengawasi gerak-gerik Madrais,
Belanda harus mengirimkan mata-mata yang menginap di Cigugur, yang
diingat oleh masyarakat nama mereka adalah Yakob, Steepen, Relles dan
Destra.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Marginalisasi Sunda Wiwitan</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bagi pemerintah
Belanda, Madrais adalah biang kerok yang selalu dicurigai siang dan
malam. Segala cara pun dilakukan oleh pemerintah belanda untuk
menghilangkan pengaruh ajarannya dari masyarakat Cigugur. Pada tahun
1901-1908 Belanda mengasingkan Madrais ke Marauke setelah sebelumnya dia
dituduh melakukan pemerasan dan penipuan kepada masyarakat. Setalah
pulang dari marauke dan kembali ke Cigugur pada tahun 1908, Belanda
melarang para pengikutnya mendatangi Ki Madrais.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tak habis akal,
setelah pesantrennya dilarang oleh belanda, Madrais pun berjuang di
wilayah pertanian, selain menanam padi beliau juga dikenal sebagai orang
yang pertama kali menanam bawang merah di Cigugur. Pada akhirnya,
pengikutnya pun bisa sering bertemu dengan madrais sebelum akhirnya
ketahuan juga dan sempat beberapa kali keluar masuk bui.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Setelah
ditekan selama bertahuan-tahun, Belanda memperbolehkan Madrais
meneruskan ajarannya dengan syarat menyanjung-nyanjung Belanda. Meskipun
pada akhirnya Belanda mengakui ajaran Madrais dalam <i>adapt recht</i>
(hukum adat) akan tetapi hasutan terus dilakukan oleh pihak Belanda
kepada Madrais. Segala cara diusahakan untuk melumpuhkan pengaruh ajaran
<i>anti-kolonial</i> dari Madrais, termasuk saat memplintir salah satu
ajaran pokok madrais. Belanda menghembuskan berita bahwa “madrais
mengajarkan pengikutnya untuk minum air keringatnya sendiri”, dia adalah
tukang sihir dan segala macam (kekeliruan dan stigma ini sempat
dijadikan inspirasi pembuatan film Kafir yang disutradarai oleh Mardali
Syarif dengan pemeran utama Sudjiwo Tejo). Padahal ucapan Madrais yang
sebenarnya adalah “makan minumlah kalian dari keringat sendiri” yang
berarti pengikutnya harus makan dan minum dari hasil kerja kerasnya
sendiri, tidak dengan memeras orang lain ataupun meminta-minta. Inilah
prinsip kehidupan mandiri, berdikari dan anti-kolonial yang diajarkan
Madrais.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">(Tulisan ini disusun berdasarkan pengalaman lembaga kami, <a data-mce-href="http://fahmina.or.id" href="http://fahmina.or.id/">Yayasan Fahmina</a>,
selama beberapa bulan berinteraksi dengan masyarakat di Cigugur,
terutama komunitas Sunda Wiwitan. Sudah banyak sebenarnya yang
menuliskan prihal Sunda Wiwitan serta pendampingan maupun advokasi
masalah yang menimpa mereka. Tulisan ini hanya secuilnya saja untuk
media alternatif lembaga kami, disusun berdasarkan laporan Abdul
Rosyidi, salah satu mahasiswa Institute Studi Islam Fahmina (ISIF)
Crebon,dan sedikit saya edit)</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-13484885059991380512012-11-29T22:32:00.000-08:002013-07-31T22:35:42.745-07:00geliat pemuda lintas iman ciptakan budaya damai<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><i>“Saya melihat Indonesia hari ini ada di Cirebon”. </i></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<br />
<div>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kalimat
tersebut diungkapkan seorang ibu, isteri dari Presiden RI Keempat
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ya, dia adalah Nyai Sinta Nuriyah Wahid.
Beberapa waktu lalu ia menggelar acara acara buka dan sahur bareng
bersama sejumlah komunitas di wilayah tiga Cirebon termasuk Komunitas
Lintas Iman, di Klenteng Talang, Hotel Intan, dan Cigugur Kuningan.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bahkan
pada Rabu (25/7), gema kebahagiaan “shalawat” pun dilantunkan di
halaman Kelenteng Talang, Kota Cirebon, Jawa Barat. Ya, acara sahur
bersama di Kelenteng Talang itu pun menjadi ajang berkasih-kasihan
antarwarga, apa pun suku-bangsa dan agamanya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Suasana indah dan
damai, juga sangat terasa untuk kali ke sekian di Yayasan Fahmina pada
satu sore menjelang buka puasa. Bagaimana tidak indah, sejumlah pemuda
dan sesepuh mereka dari beragam latar belakang suku budaya dan
keyakinan, duduk setara dalam sebuah acara buka puasa bersama. Tidak
hanya para pemuda dari beragam keyakinan yang tergabung dalam “Pemuda
Lintas Iman (Pelita)”, namun juga para orang tua maupun sesepuh yang
tergabung dalam forum keberagaman beragama “Forum Sabtuan”, pun turut
melebur dalam acara tersebut. Rangkaian acara buka bersama ini juga
tidak sekadar diisi pentas seni, karena selain itu juga setiap
perwakilan dari agama-agama merefleksikan makna puasa bagi diri mereka
dan kehidupan umat beragama di Cirebon, di Indonesia dan dunia.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kegiatan
serupa, bukan hanya sekali dua kali digelar komunitas lintas iman di
Cirebon seperti Pelita dan forum Sabtuan. Lebih dari itu, Pelita juga
menggelar Pasar Murah di Kelurahan Kesunean, atas kerjasama dari Gratia
FM dan BEM ISIF Cirebon. Dalam pasar murah tersebut, 1.500 paket sembako
dijual dengan harga murah, termasuk di dalamnya berbagai pakaian murah,
mainan, dan alat-alat bayi. Menjelang waktu buka puasa, tepatnya tiga
hari menjelang hari raya Idhul Fitri 2012, di lampu merah Jalan Pemuda,
Pelita juga mengadakan “Posko Mudik Pelita,” dengan membagikan 1.500
kotak nasi kucing kepada para pemudik, atas kerjasama Gereja Bala
Keselamatan dan Kodim Kota Cirebon.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kendati demikian, bukan
berarti acara tersebut tidak tanpa kendala, terutama menjelang
berlangsungnya acara. Karena ada saja saja kelompok-kelompok yang masih
keliru memahami kebersamaan tersebut. Dalam beberapa kali kegiatan
misalnya, tak jarang mereka didatangi organisasi massa (Ormas) Islam
tertentu, bahkan diminta membubarkan acaranya. Ketika para komunitas
pecinta damai tersebut memilih meneruskan kegiatannya, mereka tidak
diam, secara terang-terangan merekam acara tersebut. Lalu esoknya, video
acara tersebut muncul di media <i>Youtube</i>, dengan judul “Pemurtadan
Berkedok Pasar Murah”. Padahal jelas terlihat dalam video tersebut,
beragam keyakinan ada di dalamnya, termasuk umat Islam yang jelas
terlihat symbol keagamaannya dari para muslimah berjilbab. Tidak hanya
itu, melalui medianya, kelompok yang tidak menyukai kegiatan komunitas
lintas iman tersebut juga mengabarkan informasi-informasi yang isinya
hanya memicu kebencian terhadap sesama.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dulu
ketika mendengar tentang Cirebon, bukan hanya mendapat gambaran tentang
budayanya. Namun juga sudut-sudut di mana terjadinya pertukaran budaya,
yang memungkinkan adanya peningkatan ilmu pengetahuan serta akulturasi
budaya. Begitu juga dengan tempat-tempat ibadah, seperti gereja dan
klenteng. Klenteng Welas Asih yang berusia sekitar 700 tahun ada di
sana. Soal spiritualitas, keraton Cirebon adalah cermin Islam yang
lembut dan toleran.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Akulturasi budaya juga terlihat di berbagai
aspek lain. Lihat bangunan keraton-keratonnya. Ia memiliki unsur India,
Jawa, Belanda, Cina, sekaligus Arab. Penggunaan atap yang
bertingkat-tingkat adalah pengaruh Hindu, tapi tembok putih, kemudian
aula yang diisi kursi-kursi yang berderet dan berhadapan adalah Eropa.
Porselen keramik di tembok-tembok adalah pengaruh Cina, namun beragam
kaligrafi, juga adanya mesjid di sekitar keraton adalah representasi
Islam. Cirebon paham akan sejarah budayanya sendiri. Dan, melalui
akulturasi budaya yang terjadi bertahun-tahun, mereka mampu menghayati
pluralisme.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Namun beberapa tahun terakhir, ada imej popular baru
tentang Cirebon terkait intoleransi beragamanya. Puncaknya pada aksi bom
bunuh diri di masjid Polres Kota Cirebon, pada 15 April 2011. Belum
lagi aksi penolakan konser Ahmad Dani oleh organisasi massa (Ormas)
Islam tertentu, serta aksi kekerasan untuk membubarkan atau mengusir
sejumlah kelompok minoritas di Kabupaten Cirebon.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Rangkaian
kejadian berbau kekerasan atas nama agama, menjadi kegelisahan
tersendiri bagi komunitas lintas iman di Cirebon, terutama para
pemudanya. Diawali dari niat baik menciptakan budaya damai di kalangan
sejumlah pemuda di Cirebon, sampai akhirnya terbentuklah Pemuda Lintas
Iman (Pelita).</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Mencegah lebih baik daripada mengobati,” demikian
niat awal Pelita sebelum kelahirannya. Kata “mencegah” yang dimaksud di
sini adalah mencegah para pemuda menjadi korban pencarian jadi dirinya
sendiri. Karena disadari Pelita, seperti diungkap Devida, Ketua Pelita,
pemuda adalah kelompok manusia yang sangat rentan. Maka Pelita ini
adalah lternative untuk mencegah para pemuda Cirebon terjerumus ke dalam
radikalisme agama.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Pelita selama ini cukup solid, agenda
acaranya jelas dan rutin dalam mengadakan pertemuan dwi mingguan. Pelita
bergerak dengan hati, semua pertemuan dwi bulanan sengaja di-setting
dalam bentuk lesehan dan melingkar, supaya lebih saling akrab dan
mengenal satu sama lain,” papar Devida.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Tetap Bergerak untuk Indonesia Damai</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Memulai
sesuatu terkadang memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Termasuk upaya Pelita mengajak pemuda dari berbagai agama, juga bukan
hal mudah. Namun Pelita terus mencoba bergerak.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Apa yang kami
lakukan adalah baik, kami yakin itu, karena bergerak dengan hati yang
tulus akhirnya mereka yang awalnya enggan datang ke acara Pelita pun
melihat niat baik kami. Sebut saja Pemuda Komunitas Hindu di Pure Jati
Permana, Perumnas Cirebon, juga Pemuda Ahmadiyah dengan nama “Lajnah Ima
Illah”. Lalu Syi’ah, serta pemuda-pemudi gereja yang dulu sangat
tertutup sekarang mereka mau berkumpul dan duduk bareng,” ungkap Devida.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pelita
adalah organisasi kepemudaan yang di dalamnya terdiri dari berbagai
agama dan keyakinan. Ide terbentuknya, lanjutnya, bermula dari inisiatif
para orang tua dalam forum lintas iman yang bernama “Komunitas Sabtuan”
terutama Marzuki Wahid, Ketua Majelis Pengurus Yayasan Fahmina. Hingga
terbentuk gagasan bersama membuat wadah di mana para pemuda lintas iman
kota Cirebon bisa berkumpul dan berjuang bersama untuk satu Indonesia
yang damai dan rukun.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Para pemuda dan forum sabtuan pada waktu
itu berkumpul di Gereja Rahmani dan Gereja Katolik (GK) Pengampon untuk
membahas ide ini lebih lanjut dan yang pada akhirnya menelurkan Pelita,”
jelasnya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Hanya Ingin Cirebon Sejalan Bhinneka Tunggal Ika</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sesuai
sifat dasar manusia, kehidupan damai menjadi harapan semua umat manusia
apapun latar belakang suku, budaya, dan agamanya. Sayangnya, selalu
saja ada pihak-pihak yang terus berusaha memicu timbulnya permusuhan.
Termasuk di Cirebon, kendati keberagamannya sangat bagus, namun masih
ada kerikil penghalang mewujudkan damai. Seperti diungkap salah satu
pemuka agama Budha, Surya Pranata. Sampai saat ini, ia menjadi bagian
dari komunitas lintas iman “Forum Sabtuan” Cirebon, yang tak
bosan-bosannya memperjuangkan budaya damai. Ia hanya ingin agar
kehidupan di Cirebon sejalan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika,
berbeda tapi tetap satu.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Berbeda tapi menghargai perbedaan dan
hidup dengan harmonis tanpa melihat agamanya apa. Puasa kemarin, saya
ikut menjadi narasumber dalam acara buka bersama di Kampus ISIF. Puasa
jangan dimaknai sebagai ritual belaka, tapi puasa harus dimaknai dari
prosesnya. Puasa adalah meditasi, pelatihan jiwa, dan menahan segala
amarah,” ungkap Surya dengan penuturan khasnya yang pelan dan tenang.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Ia
juga mengaku sangat menyambut baik lahirnya Pelita. Menurutnya,
hubungan antar agama di Cirebon sudah terjalin bahkan saat tahun 2000
lahir Forum Sabtuan.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Akan tetapi ada kesadaran dalam benak para
anggota Forum Sabtuan bahwa perlu ada regenerasi, makanya lahirlah
kemudian Pelita. Saya sangat apresiatif terhadap semangat, komitmen dan
pemuda lintas agama dan keyakinan di Cirebon.”</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Ruang Segar Membangun Damai</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sementara
menurut salah satu Anggota Majelis Pengurus Yayasan Fahmina, Rosidin,
Cirebon dengan dinamika sosial dan heterogenitas masyarakatnya,
membutuhkan sebuah lembaga atau forum komunikasi antar umat beragama dan
antar golongan masyarakat yang akan menginisiasi munculnya ketahanan
budaya (<i>cultural resistance</i>) antikonflik. Forum yang dimunculkan dari budaya setempat sebagai kecerdasan lokal (<i>local genius</i>) diharapkan mampu mengantisipasi berbagai gejala sosial baru yang berpotensi merusak keseimbangan sosial.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Pelita
ini sepertinya memberi ruang yang cukup bagi terjadinya proses dialogis
antar kelompok kepentingan, khususnya yang berkaitan dengan isu ras,
dan agama. Forum yang berisi para pemuda lintas iman ini memberikan
raung segar bagi pemuda-pemuda lintas iman untuk saling belajar dari
keyakinan yang berbeda-beda,” papar Rosidin.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dari berbagai aktifitas Pelita mulai dari <i>roadshow</i>
ke tempat-tempat ibadah, diskusi bulanan mengenal lebih dekat teman,
sampai pada momen-momen memperingati besar nasional bahkan hari besar
keagamaan, menurutnya Pelita seakan menjadi <i>safety falfe</i> atau katup pelepas yang menjadi saluran bagi kelompok antar agama di kalangan pemuda melepaskan <i>uneg-uneg</i>nya. Sehingga, lanjutnya, pada skala tertentu mampu meredakan ketegangan antar golongan yang berkonflik.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Fungsi
strategis adanya forum semacam ini adalah juga untuk menjadi sarana
dialogis antar kelompok, terutama dalam rangka mengembangkan suasana
toleran dan pemahaman tentang perlunya menghargai keberagaman dalam
masyarakat multi-kultur ini,” jelasnya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Fungsi lain yang tak kalah
urgennya, tambahnya lagi, adanya Pelita adalah sebagai lembaga yang
secara kultural (dan alamiah) mampu mengembangkan semacam <i>early warning system</i>
atau sistem peringatan dini terhadap berbagai konflik yang memiliki
potensi mengganggu keseimbangan social, terlebih dapat menghancurkan
tatanan sosial melalui aksi-aksi kekerasan. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">diangkat di majalah Blakasuta dan website http://fahmina.or.id </span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-27739886028965865322012-11-29T21:59:00.000-08:002013-07-31T22:00:50.607-07:00menimbang sesuatu, lalu loncat<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">satu waktu aku sering sekali menimbang sesuatu lalu melangkah setelah
memutuskan salah satunya. kali ini masih seperti biasa, dengan percaya
diri kukatakan bahwa aktivitas menimbang sesuatu bukan hanya aku yang
melakukakannya. siapapun yang punya pilihan dan gelisah akan pilihan
itu, ia akan menimbangnya, meski tidak selalu berakhir pada
memutuskannya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">tapi kali ini aku tidak melangkah, tapi ingin langung meloncat dan
menerjang apa yang sudah lama matang di ruang kepala. bertahanku di
tengah mereka yang dengan percaya diri akan terus memanfaatkan diamku
adalah muaranya. aku sudah meyakinkan diri, bahkan sebelum mereka
memanfaatkanku, aku sudah meyakinkan diri bahwa aku berkuasa pada
diriku. persoalan bahwa sekarang aku masih bertahan di tengah mereka
adalah karena aku merasa kasihan terhadap mereka. dan ingin berbuat baik
pada mereka dan melihat perkembangan perubahan mereka ke arah yang
lebih baik.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">tapi tidak, seperti yang sudah kubilang, apa yang ada di depanku
adalah proses. belum akhir. kali ini untuk proses ini sepertinya aku
sudah mulai yakin untuk mengakhirinya dan meneruskan proses berikutnya.
mungkin terlintas dalam pikiranmu bagaimana aku begitu bodoh untuk tetap
bertahan di tengah mereka. tidak, aku tidak bodoh, aku hanya butuh
waktu mematangkan kesabaranku. bukan, lebih tepatnya, mematangkan
kebijaksanaanku sebagai manusia. dan dengan kebijaksanaanku, aku
memutuskan untuk segera meloncat merubah diriku lebih baik lagi, sebelum
secara sia-sia berkelanjutan berharap merubah mereka lebih baik lagi.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-32279817886334001212012-10-24T23:02:00.000-07:002013-09-24T01:00:40.427-07:00Memprihatinkan: Dikeluarkan Sekolah Secara Sepihak, Sampai Harus Tes Keperawanan<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;"><i>Sebut saja namanya Indah (18) (bukan nama sebenarnya), menjelang
beberapa bulan ujian akhir nasional, ia harus menerima kenyataan
dikeluarkan secara sepihak dari sekolahnya. Tepatnya pada Senin, 24
September 2012, ia dikeluarkan dari SMK Hasanudin, Eretan, Indramayu. Ia
dikeluarkan secara sepihak karena pada saat ia dikeluarkan, orang
tuanya tidak ikut dilibatkan termasuk diinformasikan kasus yang menimpa
anaknya, surat hanya ditandatangani oleh Kepala Sekolah. Pada saat para
guru dan beberapa teman menuduhnya, dia sama sekali tidak diberi
kesempatan untuk menerangkan kondisi yang sebenarnya. Ia selalu dilarang
bicara oleh gurunya. Sebelum diberikan surat keputusan dikeluarkan dari
sekolah tersebut, ia dan teman sekelasnya, Andi (bukan nama sebenarnya)
dipukul sebanyak dua kali oleh guru dan salah seorang petugas mushola
yang mengaku menyaksikan perilaku mereka di kamar mandi siswa.</i></span></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Belum usai rasa malu akibat tercemar nama baiknya, Indah juga harus
menerima kenyataan dari rasa sakit akibat visum yang dilakukan secara
tidak wajar untuk membuktikan bahwa ia masih perawan. Visum dilakukan
atas perintah petugas kepolisian resort (Polres) Indramayu saat ia dan
keluarganya melaporkan perilaku kekerasan dan tuduhan dari pihak sekolah
kepadanya. Demi membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan masih perawan,
ia pun menurut saja apa yang diperintahkan oleh pihak kepolisian untuk
memeriksa keperawanannya. Sayangnya, akibat visum yang sangat tidak
wajar, ia harus menderita sakit di bagian organ vitalnya selama
berminggu-minggu bahkan sampai sekarang.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Berniat Membantu Teman</b></span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"></span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"> </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kali pertama menemuinya, dia masih bisa bersikap tegar dengan
menyunggingkan senyum manisnya, sehingga siapa sangka bahwa sebulan lalu
dia baru saja dikeluarkan secara sepihak oleh pihak sekolah. Juga,
siapa sangka bahwa selama beberapa minggu ini dia merasakan sakit yang
sangat di bagian vaginanya setelah diminta membuktikan keperawanannya
dengan visum yang sangat tidak wajar. Ketidakwajaran tersebut juga
diungkapkan oleh salah satu bidan di desanya saat ia berobat untuk
memeriksakan rasa sakit akibat visum selama berminggu-minggu. Menurut
bidan tersebut, tidak seharusnya tes keperawanan dilakukan dengan cara
yang sangat tidak wajar seperti yang dialaminya ketika di visum di salah
satu rumah sakit di Indramayu.</span>
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dituduh melakukan tindak asusila di kamar mandi mushola sekolah serta
tidak mendapatkan kesempatan untuk menjawab tuduhan tersebut,
membuatnya menyepakati tes keperawanan tersebut. Saat itu, bagi Indah,
apapun akan ia lakukan untuk membuktikan bahwa ia masih perawan dan
tidak melakukan tindak asusila yang dituduhkan padanya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selama ini, Indah sendiri dikenal sebagai sosok yang sangat toleran
dan suka membantu teman, hal ini juga yang dilakukannya ketika ada salah
satu teman sekelasnya (laki-laki) mendapatkan sejumlah luka di bagian
tubuhnya. Siang usai solat sunnah Duha, dia pun berniat membantu
temannya tersebut untuk mengobati lukanya dengan meminjam obat luka
seperti Betadin dan kapas di ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS).</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Karena lukanya di bagian dada dan punggung, maka ia pun harus
membantu temannya tersebut di ruang tertutup, yaitu saat itu ia dan
temannya memilih di toilet mushola sekolah. Tanpa diduga, beberapa menit
kemudian datang beberapa orang berteriak dan menuduh mereka tengah
berbuat mesum. Salah seorang yang menuduh mereka di antaranya seorang
petugas mushola yang juga mengaku merekam perilaku mereka. Tanpa
menanyakan terlebih dahulu, Andi (teman Indah) pun ditampar, selain
ditampar petugas mushola, Andi juga ditampar salah satu guru ketika
sudah sampai di ruang guru. Kali ini bukan hanya Andi yang ditampar,
Indah juga ikutan ditampar pipinya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Padahal apa yang mereka tuduhkan itu sama sekali <i>nggak</i> <i>bener</i>,
jelas-jelas saya bawa betadin dan baju saya masih utuh dan rapat. Niat
saya hanya ingin membantu teman yang kesakitan karena luka lebam di
badannya akibat main bola,” paparnya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Tidak Diberi Kesempatan Bicara</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sayangnya, meskipun berkali-kali membuka mulutnya untuk menjawab
tuduhan, namun dia selalu dilarang oleh gurunya yang menurutnya
jelas-jelas tidak faham duduk persoalannya. Karena tidak ada pilihan
lain, maka Indah dan Andi pun bungkam. Sementara semua mata teman-teman
dan guru-guru lain sudah berteriak dan menatapnya marah. Keduanya
benar-benar tidak diberi hak berbicara untuk menjawab tuduhan yang
dilemparkan padanya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Setiap saya ingin bicara untuk menerangkan yang sebenarnya, saya
sama sekali tidak diberi kesempatan oleh guru saya. Padahal semua
tuduhan itu tidak benar. Pak guru selalu bilang “<i>Udah, kamu diem aja</i>!,” jadi saya <i>nggak </i>punya
kesempatan untuk membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar,” terang
Indah yang sesekali matanya mulai berkaca namun masih sempat ditahannya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Dikeluarkan Secara Sepihak</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Di hari yang sama setelah dituduh melakukan perilaku asusila,
keduanya tiba-tiba langsung mendapatkan Surat Keterangan Pindah Sekolah.
Namun menurut Indah, ada yang tidak wajar dari surat tersebut, karena
selain dibuat secara instan, surat tersebut juga hanya ditandatangani
oleh Kepala Sekolah. Hal tersebut juga diungkapkan ibunya Indah yang
mengaku tidak dipanggil oleh pihak sekolah terkait kasus yang menimpa
anaknya. Meskipun ada kolom tanda tangan Orang Tua/Wali, namun kolom
tersebut sengaja dikosongkan.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Padahal seharusnya orang tua saya dipanggil terlebih dahulu agar
mereka mengetahuinya. Namun ini hanya ditandatangani Kepala Sekolah.
Selain itu yang membuat saya aneh, mereka itu seakan sudah menyiapkan
surat pengeluaran saya di hari-hari sebelumnya,” ungkap Indah.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Hal janggal lainnya adalah ketika keluarganya datang ke sekolah untuk
meminta rekaman video perbuatannya, tidak ada satu orang pun yang
mengaku memiliki rekaman video tersebut. Bahkan kepala sekolah pun
sampai bersumpah bahwa ia tidak mendapatkan rekaman video tersebut.
Rekaman video tersebut pernah disebut-sebut seseorang yang katanya
mengaku merekam perilaku mereka di kamar mandi.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Namun anehnya, ketika kami meminta ingin melihat video tersebut,
semua orang mengaku tidak melihat bahkan memilikinya. Jadi tidak jelas
videonya ada atau tidak,” tuturnya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Tes Keperawanan yang Tidak Wajar</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan tidak melakukan tindak
asusila seperti yang dituduhkan sekolahnya, keluarga Indah pun akhirnya
melaporkannya ke pihak kepolisian resort (Polres) Indramayu. Tidak
disangka, dari Kepolisian malah memintanya melakukan visum dan
membuktikan bahwa ia tidak pernah melakukan hubungan seksual dan dia
masih perawan.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Kalau saya, apapun akan saya lakukan untuk membuktikan bahwa saya
tidak bersalah termasuk untuk tes keperawanan. Jadi saya menurut saja
ketika polisi meminta saya untuk visum di rumah sakit,” ungkapnya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Namun, siapa sangka bahwa tes keperawanan yang dibayangkannya bersama
keluarganya sangat berbeda dengan apa yang dialaminya. Oleh dua suster
dan satu dokter, dia menjalani tes keperawanan yang menurutnya cukup
lama, bahkan dia mengaku berteriak dan menangis karena kesakitan. Usai
dilakukan visum, ia tidak bisa mendapatkan langsung hasilnya, ia bahkan
tidak mendapatkan nasihat apapun dari si dokter. Selain itu, hal yang
tidak terduga, rasa sakit usai visum, membuatkan tidak bisa hidup nyaman
selama berminggu-minggu lamanya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Saya trauma baget, karena sampai sekarang juga masih merasa sakit,
lalu ibu mengantar ke Puskesmas dan konsultasi ke bidan. Ternyata, kata
bidan, tes keperawanan seharusnya tidak demikian. Itu tes keperawanan
yang keliru,” paparnya lagi.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sementara menurut orang tua Indah (ibunya), tes keperawanan yang
dialami puterinya ternyata tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya.
“Saya pikir tes keperawanan itu sekarang sudah modern seperti melalui
computer. Tapi <i>kok </i>malah diperiksa sampai ke masuk <i>dalem</i> <i>gitu</i>, sampai anak saya teriak-teriak mengeluh kesakitan dibiarkan saja. Kalau tahu seperti itu, <i>mendingan</i> <i>gak usah</i> divisum,” ungkapnya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Mendapat Teror</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pasca dituduh melakukan perilaku asusila dan dikeluarkan dari
sekolah, bukan hanya nama baiknya dan orang tuanya yang sudah tercemar.
Kini hampir seluruh desa mengetahui kabar yang jelas merupakan aib bagi
keluarganya. Bahkan kini bukan hanya keluarganya yang sering
diperlakukan sejumlah tetangga dengan kata-kata yang tidak mengenakkan,
Indah sendiri sampai sekarang sering mendapatkan telfon dan sms-sms yang
bernada kecaman, caci maki dan ancaman.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Sms-sms tersebut ada yang secara terang-terangan ditulis
pengirimnya, seperti ada sms perwakilan kelas 12A, kelas saya. Karena
tidak tahan, sms-sms itu sudah saya hapus. Ada lagi yang terbaru yang
belum saya hapus, tapi cuma satu sms,” ungkapnya yang kemudian
menunjukkan sms itu kepada kami (Fahmina).</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Masih Menunggu Perkembangan dari Kepolisian</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kini sudah beberapa minggu setelah melaporkan kasusnya ke Polres
Kabupaten Indramayu, Indah dan keluarganya belum mendapatkan informasi
perkembangan kasusnya. Sementara itu Yayasan Fahmina bekerjasama dengan
Women Crisis Center (WCC) Balqis sudah siap melakukan pendampingan kasus
Indah, namun masih menunggu perkembangan kasus yang kini sedang
ditangani kepolisian. Proses pendampingan akan dilakukan setelah
mendapatkan informasi perkembangan kasus Indah yang sudah dilaporkan ke
Polres sebelumnya, serta dilakukan setelah pihak keluarga mengizinkan
proses pendampingan dilakukan oleh LSM.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Tes Keperawanan Tidak Ada Urgensinya</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Wacana untuk melakukan tes keperawanan bagi calon siswa sekolah
menengah atas (SMA) merupakan tindakan yang sangat terbelakang. Bahkan
bisa dibilang barbar. Ini adalah wacana yang sangat lebih dari
terbelakang. Kebijakan yang dikeluarkan dengan logika yang sangat salah.
Tes keperawanan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Pertama, karena hanya perempuan yang memungkinkan terdeteksi perawan
atau tidaknya. Sedangkan laki-laki tidak bisa terdeteksi keperjakaannya.
Kedua, diskriminasi perempuan di bidang pendidikan, jika kemudian
terbukti si perempuan tidak perawan, lalu ditolak dan tidak mendapatkan
akses pendidikan. Padahal pendidikan adalah hak dasar setiap warga
negara yang harus diberikan penyelenggara negara. Diskriminasi di bidang
pendidikan sudah menyalahi Undang-Undang Dasar 1945.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Indramayu adalah salah satu daerah yang Bupatinya memberlakukan
kebijakan tes keperawanan bagi siswi di Indramayu sebagai syarat masuk
sekolah. Tahun 2007, wacana pemberlakua kebijakan oleh Bupati ini pernah
menuai kritik dari banyak pihak. Karena tes keperawanan bagi calon
siswa tidak ada urgensinya. Karena hanya melihat dimensi keperawanan
dari satu perspektif saja. Padahal, keperawanan bukan hanya karena
hubungan seks. Selaput dara perempuan bisa saja robek karena jatuh dari
sepeda. Kebijakan ini sangat mundur dan tidak memiliki perspektif
kemajuan. Seharusnya kita sudah tidak lagi mempersoalkan keperawanan
yang sangat personal. Dalam hal ini, seharusnya, penyelenggara negara
membuat kebijakan yang membuat remaja lebih produktif. Seperti membuat
arena olahraga atau kesenian yang mendorong remaja beraktivitas.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Jika persoalannya adalah menyikapi kenakalan remaja, tes keperawanan
adalah cara yang tidak akan efektif. Pendidikan reproduksi di rumah atau
di sekolah akan lebih efektif untuk mengatasinya. Akan lebih efektif
lagi jika negara menyelenggarakan pendidikan seks untuk remaja seputar
kesehatan reproduksi (Kespro). Remaja menjadi lebih paham perilaku
seperti apa yang bisa menyebabkan kehamilan, serta bisa menghindari
terjadinya kehamilan tidak diinginkan.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tes keperawanan tidak menawarkan solusi apapun, termasuk untuk orang
tua dalam mengawasi perilaku anaknya. Pemahaman mengenai hukuman sosial
atau pengucilan sosial jika remaja hamil juga bisa menambah pemahaman
remaja untuk menjaga perilakunya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">*Tulisan ini berdasarkan hasil wawancara langsung dengan korban dan
orang tua korban di rumahnya pada Rabu (24 Oktober 2012). Tulisan ini
berharap dapat membangun opini publik untuk tidak mendukung kebijakan
sekolah yang tidak adil dalam kebijakanya dan melakukan diskrimansi
gender.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-28981791250508535652012-09-01T22:22:00.000-07:002013-09-24T01:12:04.289-07:00maaf, saya sedang hamil<i><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Maaf pak asap rokoknya, saya sedang hamil.”</span></i><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Akhir-akhir ini, saya seakan harus sering konfirmasi bahwa saya
adalah perempuan yang sedang hamil muda. Entah di angkot, ojek, mini
bus, di kantor, di rumah, di warung makan, dan di beberapa tempat
lainnya. Terutama masalah asap rokok, nyaris di manapun bisa kita temui.
Jangankan bagi perempuan hamil muda yang belum kelihatan jelas menonjol
perut besarnya. Bagi perempuan hamil tua yang sudah menonjol perutnya,
pun terkadang para perokok itu tidak peduli. Entah faktor pengetahuan
atau memang watak/karakter perokok yang begitu egois.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Setelah empat tahun menikah dan kini akan dikaruniai anak, siapa yang
tidak bahagia dan bersyukur karenanya. Sejak saat itu, saya yang biasa
berangkat ke kantor dengan mengendarai motor sendiri, kini mau tidak mau
harus menggunakan angkutan umum. Maka terkadang meskipun terkesan lebay
atau cerewet, saya akan tetap melakukannya demi melindungi janin saya.
Apalagi banyak ibu hamil, terutama yang masih muda, banyak mengalami
keguguran. Saya bukan seorang dokter kandungan, namun berdasarkan
nasehat dari dokter, artikel yang saya baca, serta masukan-masukan
antara mitos dan fakta dari sejumlah mereka yang berpengalaman, hamil
muda di tiga bulan pertama (trimester pertama) memang sangat rawan.
Apalagi bagi perempuan bekerja, selain kelelahan, stress karena banyak
pikiran juga sering menjadi pemicu keguguran. Tak hanya mereka yang
bekerja, tetanggaku yang masih tergolong ABG (Anak Baru Gede) dan
perempuan rumahan, mengalami keguguran karena terlalu banyak pikiran
akibat ditinggalkan suaminya setelah beberapa bulan menikah dan hamil.<span id="more-3254"></span></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Jadi, menurut salah satu dokter di Puskesmas terdekat desaku, hal
mendasar yang menyebabkan para perempuan hamil muda mengalami keguguran
adalah bukan karena kelelahan dan stress karena banyak pikiran. Namun
karena ketidaktahuan atau ketidakfahaman para ibu hamil dalam melindungi
diri dan janinnya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Pentingnya Informasi Kespro</b></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bagi perempuan yang memiliki akses informasi begitu mudah dan banyak,
tentunya mendapatkan informasi seputar kesehatan reproduksi (Kespro)
sangatlah mudah. Namun, berpendidikan tinggi dan akses informasi mudah,
belum tentu mau membaca informasi terkait Kespro jika kesadaran tentang
pentingnya pemahaman Kespro belum terbangun. Itulah mengapa penting
adanya sosialisasi tentang betapa pentingnya mengenal Kespro kita (baik
perempuan maupun lelaki).</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Apalagi sudah jelas, bahwa mendapatkan informasi merupakan salah satu
dari 12 hak pokok dalam Hak Asasi Manusi (HAM) yang harus diberikan
negara kepada warganya. Artinya ketika kita mendapatkan informasi,
berarti sudah mendapatkan apa yang sudah menjadi hak kita. Dalam hal ini
termasuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi (Kespro).</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selain soal kehamilan, hal-hal kecil dan mendasar lainnya, terkadang
kita tidak benar-benar memahaminya. Dalam kehidupan sehari-hari
contohnya sangat banyak, mulai dari soal keputihan, haid tidak lancar,
hingga soal kamar mandi dan air yang tidak bersih dan berdampak pada
Kespro kita.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Di dalam kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo dalam chapter VII dari <i>plan of action</i>,
Kesproadalah kesehatan reproduksi mencakup fisik, mental dan sosial
serta perolehan hak atas pelayanan kesehatan reproduksi yang aman,
efektif dan terjangkau. “<i>Kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik,
mental, kelaikan sosial yang menyeluruh dalam segala hal yang
berhubungan dengan sistem reproduksi berikut fungsi-fungsi dam
proses-prosesnya. “…hak laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
informasi dan mendapat akses pada perencanaan keluarga yang aman,
efektif, terjangkau, dan layak, atas pilihannya sendiri”.</i><i><br />
</i></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Saya jadi ingin sedikit bergeser dari soal kehamilan ke persoalan Kespro yang lebih umum lagi. Lembaga di tempat saya bekerja, <a href="http://fahmina.or.id/">Fahmina-<i>institute</i> </a>pernah
melakukan penelitian untuk memaksimalkan “Program Penguatan Kesadaran
Kritis Kesehatan Reproduksi (Kespro) Berbasis Islam bagi Kelompok Muda
dan Usia Produktif di Pondok Pesantren Se-Wilayah III Cirebon.” Nah,
salah satu cara menggali informasi dari sahabat-sahabat santri puteri
itu dengan cara melakukan <i>sharing,</i> dalam <i>focused group discussion</i>
(FGD) di 15 Ponpes Wilayah III Cirebon pada tahun 2010. Dari FGD
tersebut, ternyata banyak dari mereka yang memiliki masalah namun
bingung bagaimana mengatasi masalah tersebut. Parahnya, karena
ketidakfahaman mereka, mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka
ungkapkan adalah termasuk masalah Kespro.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Ternyata selama ini beberapa pengetahuan santri tentang kesehatan
reproduksi, salah satunya tidak didasari oleh informasi yang tepat dan
benar. Bahkan ada yang justru menyesatkan dan berbahaya <i>lho</i>!
Terutama bagi kesehatan reproduksinya. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, selama ini pemahaman santri perempuan terhadap kesehatan
reproduksi terbagi dalam tiga sub bahasan, yaitu <i>pertama, </i>pemahaman santri yang beragam dan timpang; <i>kedua</i>, pengetahuan santri didominasi oleh mitos; dan <i>ketiga, </i>Santri berada dalam dualism nilai.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pemahaman santri perempuan terhadap kesehatan reproduksinya secara
umum masih sangat terbatas. Hal ini di antara sebabnya karena tidak
adanya kurikulum khusus kesehatan reproduksi yang diberikan kepada
santri perempuan. Pengetahuan santri diperoleh dari berbagai sumber yang
mayoritas santri sudah tidak lagi ingat sumbernya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Hal ini, terlihat dalam setiap wawancara, santri menyampaikan
pengetahuannya dengan kalimat yang ragu dan tidak yakin. Seperti yang
diungkapkan dengan pernyataan <i>“kayaknya…”,</i> <i>“kalau tidak salah…”, </i>atau diakhiri dengan kalimat pertanyaan <i>“bener nggak bu..?”.</i> Bahkan beberapa santri secara tegas menjawab <i>“tidak tahu” </i>atau <i>“lupa” </i>ketika ditanyakan sumber informasi dari pernyataan yang disampaikan sebelumnya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Beberapa pengetahuan santri tentang kesehatan reproduksi juga tidak
didasari oleh informasi yang tepat dan benar, bahkan ada yang justru
menyesatkan dan berbahaya bagi kesehatan reproduksinya. Salah satu
contohnya adalah keputihan. Hampir semua santri menyatakan mengalami
keputihan sepanjang masa suci (tidak menstruasi) dalam tiap bulan.
Keputihan ini kebanyakan dialami seminggu sebelum haid dan seminggu
setelah haid, sementara masa suci santri kebanyakan berkisar 15-20 hari.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Itu artinya, kemungkinan tidak adanya keputihan hanya sekitar
seminggu di masa suci santri. Ketika mengalami keputihan, respon yang
dilakukan santri berbeda-beda. Ada yang menggunakan produk pembersih
vagina seperti Resik V dan betadine cair yang dicampur air hangat, ada
juga yang meramu sendiri dengan air rebusan daun sirih dan ramuan dari
buah delima, ada juga yang mengganti celana dua kali sehari. Pada
sebagian kasus, kondisi keputihan santri ada yang sampai berwarna hijau,
berbau dan gatal. Pada kasus keputihan berbau dan gatal, kebanyakan
santri tidak melakukan intervensi apa-apa karena dianggap sesuatu yang
sudah biasa dan tidak perlu dikhawatirkan, sebagaimana seorang santri
menjawab, <i>“…biasa aja, gak terlalu apa namanya ya…, gak terlalu penting.”</i></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bahkan ada kisah satu santri yang mencoba melakukan tindakan karena
tidak tahan menahan rasa gatal, dengan mengoleskan minyak kayu putih
pada kemaluannya. Tindakan ini menjadikannya merasa kepanasan pada area
kemaluannya, namun dia mengakui rasa gatalnya berkurang. Apabila
dikategorisasikan, pemahaman dan pengetahuan santri dapat dibagi dalam
tiga kelompok, yaitu kelompok yang cukup paham beberapa isu tertentu,
kelompok yang mengetahui beberapa hal tentang kesehatan reproduksi, dan
kelompok yang hampir tidak tahu tentang kesehatan reproduksi perempuan
kecuali pengalaman yang dirasakan saja.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">*tentang persoalan Kespro yang dialami santriwati di Pondok
Pesantren, masih ada lagi beberapa faktor penyebab selain karena
kekurangan informasi yang benar tentang Kespro. Namun saya singkatkan
sampai di sini saja. Terimakasih sudah membaca.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-27200928238559430582012-08-14T23:59:00.000-07:002013-09-24T00:00:00.767-07:00Konflik Etnis Rohingya Berusaha Dimanipulasi ke Konflik Agama<i><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Siapa yang tidak turut prihatin melihat kesadisan atau kekejaman
seseorang atau kelompok terhadap kelompok lainnya. Apalagi jelas
terlihat bagaimana tubuh manusia seperti tak berharga, bahkan meskipun
diperlihatkan melalui sebuah gambar. Saya salah satunya yang pernah
tidak berpikir panjang tentang gambar-gambar tersebut. Ketika ada gambar
yang memperlihatkan kekejaman suatu kaum, dengan penuh empati, saya
turut menyebarkannya. Apalagi saat itu gambar-gambar tersebut juga saya
dapat dari orang-orang yang begitu banyak turut men-share di timeline
-nya.</span></i><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Namun beruntungnya banyak kawan-kawan yang segera memberitahukan
kebenaran gambar tersebut, serta konteks bagaimana gambar tersebut
diambil sampai akhirnya dimanfaatkan atau dimanipulasi golongan tertentu
untuk menyudutkan golongan lainnya. Yang sekarang masih hangat
dibicarakan terutama terkait konflik etnis Rohingnya. Baru saja saya
membaca sharing tentang fakta gambar-gambar tersebut dari milis
“pluralisme-indonesia” yang saya ikuti.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Apakah di antara kita juga pernah merasa, terutama sejak mulai
maraknya media memberitakan konflik etnis Rohingnya, terutama beberapa
bulan terakhir ini?</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Berita-berita yang disebar menimbulkan prasangka yang mengintimidasi
kalangan Buddhis. Konfliknya sendiri berawal dari 3 orang pria etnis
Rohingya yang di Myanmar merupakan suku pendatang dari Bangladesh,
memperkosa seorang gadis Myanmar suku Rakkhine yang beragama Buddha.
Kemarahan warga suku Rakkhine memicu terjadinya bentrokan antara kedua
etnis. Berita-berita di dunia maya dimanipulasi, bahkan unjuk rasa di
Indonesia sendiri menggunakan gambar-gambar yang dimanipulasi sehingga
berakibat terjadinya intimidasi terhadap kalangan Buddhis di beberapa
daerah.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Berikut adalah pelurusan gambar-gambar yang digunakan oleh beberapa
kalangan untuk memecah belah kerukunan ber-bangsa dan ber-agama.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Berikut adalah gambar-gambar yang dimanipulasi:</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><img alt="https://fbcdn-photos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-snc6/165886_3568842147951_1810485170_n.jpg" height="460" src="https://fbcdn-photos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-snc6/165886_3568842147951_1810485170_n.jpg" width="529" /></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pelurusan gambar dengan bukti-buktinya:</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Gambar 1): ditulis bahwa mayat-mayat tersebut adalah Muslim Rohingya
yang dibantai Biksu Buddha. Faktanya adalah umat Buddha (warga Tibet)
tengah mengevakuasi korban gempa besar di Kyigudo provensi Yulshul,
Tibet pada 14 April 2010. Bukti-buktinya bisa dilihat dalam video,
gambar, dan keterangan lengkapnya dalam link <a href="http://http//www.tibetancommunity.be/news/chinaquake.html">Tibet Community.</a></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Gambar 2): ditulis bahwa ada pembunuhan masal terhadap Muslim
Rohingya oleh Biksu Buddha. Lebih dari 1000 terbunuh. Faktanya adalah
foto tersebut bukan mayat, melainkan foto para demonstran Muslim yang
ditangkap dan sedang disuruh tiarap oleh tentara Thailand ketika terjadi
kerusuhan Pattani di negara Thailand pada Oktober 2004. Uraian tentang
peristiwa ini juga bisa dilihat dalam pemberitaan <a href="http://http//www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/thailand/1475199/80-Thai-Muslims-suffocate-after-arrest-at-protest.html"><em>Telegraph</em></a>.<span id="more-3251"></span></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selain gambar-gambar terkait konflik etnis Rohingnya, saya yakin di
antara kita masih sering mendapat informasi-informasi keliru bahkan
dalam bentuk gambar sekalipun. Hampir di setiap konflik, selalu saja ada
pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan ini, entah karena ada kepentingan
tertentu atau memang karena ketidakfahamannya dan malas mencari
kebenarannya. Namun siapapun kita, sebagai orang yang menginginkan
negara Aman & Damai, hendaknya mulai selektif dan tidak mudah
terpancing dengan gambar-gambar yang belum jelas kebenarannya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Mungkin di antara kita banyak yang sudah memahami dan tidak mudah
terpancing untuk berprasangka pada golongan tertentu hanya dengan
melihat sebuah gambar, namun sharing ini meski singkat, semoga bisa
semakin membuka mata kita tentang kebenaran di balik sebuah gambar.
Selanjutnya silahkan jika ada yang ingin sharing lebih banyak lagi.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-68370993480776289362012-07-26T00:15:00.000-07:002013-09-24T00:17:16.387-07:00"obrog-obrog", tradisi membangunkan sahur<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bulan puasa tahun ini adalah bulan puasa di mana aku bisa menikmati
suasana puasa seperti dulu ketika masa kanak-kanak. Menjelang buka puasa
akan diramaikan dengan "obrog-obrog" seperti biasa. Paginya,
"obrog-obrog" juga akan membangunkan sahurku. Kenapa aku mengatakan ini,
karena selama hampir lima tahun lebih, bulan puasa pertamaku selalu ada
di luar daerah kelahiranku. Dan yang tidak pernah kutemukan di daerah
sekitar Jawa Barat tersebut adalah tradisi "obrog-obrog" salah satunya
seperti yang kutemukan di Cirebon. Hari ini saja, sudah ada sekitar tiga
grup "obrog-obrog" yang lewat di depan rumahku. Sore hari menjelang
buka puasa, para grup "obrog-obrog" tersebut juga kembali menghibur
warga di desa. Biasanya, saat menjelang puasa, grup bisa lebih banyak
dan lebih meriah dari pada menjelang sahur.</span><br />
<br />
<div>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><a data-mce-href="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/07/obrog1.png" data-mce-style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;" href="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/07/obrog1.png" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img alt="" border="0" data-mce-src="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/07/obrog1.png?w=288" src="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/07/obrog1.png?w=288" height="171" width="200" /></a></span></div>
<div data-mce-style="text-align: left;" style="text-align: left;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Saat
itulah aku baru sadar bahwa "obrog-obrog" belum tentu ada di semua
daerah, apalagi di perkotaan. Ternyata, menurut sejumlah artikel yang
saya baca, "obrog-obrog" ini juga merupakan bagian dari tradisi di
Kabupaten Cirebon. Seperti keterangan dari artikel <a data-mce-href="http://pantura9.blogspot.com/2011/08/tradisi-obrog-obrog-di-bulan-ramadhan.html" href="http://pantura9.blogspot.com/2011/08/tradisi-obrog-obrog-di-bulan-ramadhan.html">wong dewek</a> "obrog-obrog" memang merupakan tradisi khas di Kabupaten Cirebon.</span></div>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Lazimnya
pada bulan Ramadhan, orang membangunkan sahur dengan cara berteriak
atau memukul beduk keliling kampung. Tapi berbeda dengan wilayah pantai
utara, Indramayu, Cirebon & Brebes. Di daerah pantura ini bukan saja
terkena dengan beragam kekayaan laut yang melimpah, tetapi juga beragam
tradisi unik ada di sana. Di sana, menjelang sahur akan ramai dengan
suara nyanyian yang diiringi musik oleh suatu rombongan yang
berkeliling. Bulan Ramadhan kota Indramayu dan Cirebon semarak dengan
hingar-bingar musik dari kesenian obrog. Warga di daerah pantai utara
(pantura) ini “dibangunkan” dari tidurnya untuk melaksanakan sahur
dengan bunyi musik yang khas.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Fenomena obrog, sebagai sebuah seni
tradisi sangat menarik untuk ditelisik, khususnya pada perubahan media
(alat musik), bentuk, dan pergeseran fungsinya. Apa itu obrog? Nama
obrog berasal dari bunyi alat musik yang sering dipakai, semacam
kendang. Tidak diketahui dengan pasti kapan kesenian ini tercipta. Obrog
merupakan kesenian yang banyak ditemui selama bulan Ramadhan. Selama
sebulan penuh, rombongan musik obrog berkeliling dari desa ke desa guna
membangunkan warga untuk segera begegas makan sahur. Mereka menyusuri
desa-desa dengan memainkan alat-alat musik dan bernyanyi pagi-pagi buta.
Biasanya beraksi mulai pukul 2 atau 3 dini hari.<img alt="" class="mce-wp-more mceItemNoResize" data-mce-src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" title="Selebihnya..." /></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Alat-alat
musik yang dimainkan oleh rombongan obrog, dahulu berupa alat-alat
musik tradisional. Sekarang rombongan obrog bermain dengan menggunakan
alat musik modern. Mulai dari gitar elektrik, bass, organ, tamborin,
dilengkapi dengan sound system yang didorong di atas roda. Ada juga
rombongan obrog yang menyediakan panggung mini yang didorong di atas
roda. Para biduannya juga banyak yang membawakan lagu-lagu dangdut
kontemporer. Mirip sebuah grup organ tunggal. Pada tahun 1985-an, obrog
banyak dimainkan oleh grup dangdut kelas pinggiran dengan perangkat
musik yang lengkap.</span><br />
<div data-mce-style="text-align: left;" style="text-align: left;">
</div>
<div data-mce-style="text-align: left;" style="text-align: left;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Teknologi
karaoke yang marak pada 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog.
Beberapa tahun belakangan obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal.
Pada saat bulan puasa tiba, grup obrog menjamur di sekitar wilayah
pantura. Satu grup obrog biasanya masih terikat hubungan kerabat. Dahulu
para pelakunya melulu kaum laki-laki. Ini disebabkan karena kaum
perempuan dianggap tabu untuk keluar malam oleh masyarakat. Namun
sekarang rombongan obrog banyak menyertakan perempuan di dalamnya,
terutama yang bertindak sebagai seorang biduan.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: left;" style="text-align: left;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: left;" style="text-align: left;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Dinamika "Obrog-Obrog"</b></span></div>
<div data-mce-style="font-family: inherit; text-align: left;" style="text-align: left;">
</div>
<div data-mce-style="font-family: inherit; text-align: left;" style="text-align: left;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sebagai
tradisi khas bulan Ramadhan, makna kesenian obrog di Cirebon dan
Indramayu telah bergeser. Ini adalah salah satu ciri kesenian daerah
pantai utara yang dihidupi oleh pendukungnya, yaitu rakyat kebanyakan.
Obrog adalah tradisi warga Indramayu dan Cirebon membangunkan orang
untuk sahur. Inti dari kesenian ini adalah membuat bebunyian keras pada
dini hari sambil berjalan berkeliling permukiman. Uniknya, saat Lebaran
masyarakat akan memberi uang, beras, atau makanan sebagai tanda terima
kasih telah dibangunkan sahur selama bulan puasa.</span></div>
<div data-mce-style="font-family: inherit; text-align: left;" style="text-align: left;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span></div>
<div data-mce-style="font-family: inherit; text-align: left;" style="text-align: left;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Menurut
Rektor Universitas Wiralodra Ir Tohidin MP, selain fungsi religius,
obrog juga menjadi media komunikasi sosial masyarakat. Di sini, kita
melihat hubungan timbal balik antara pemberi dan penerima manfaat.
Pengamat kebudayaan Indramayu, Supali Kasim, mengatakan, ada beberapa
tradisi membangunkan warga untuk sahur di pantai utara (pantura).
Misalnya, kempling, yakni membangunkan warga secara berkeliling
menggunakan gamelan lengkap. Karena tidak praktis, budaya ini kalah
populer dengan obrog yang alat musiknya bisa dijinjing dengan mudah.</span></div>
<div data-mce-style="text-align: left;" style="text-align: left;">
<br /></div>
<div data-mce-style="text-align: left;" style="text-align: left;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kata
"obrog" berasal dari bebunyian yang dihasilkan alat musik semacam
kendang. Sebagai tradisi masyarakat, sulit ditelusuri kapan tradisi ini
berawal. Kesenian ini berkembang ketika masyarakat wilayah pantura sadar
bahwa kesenian merupakan hiburan massa.</span></div>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span class="Apple-style-span" data-mce-style="font-family: inherit;"><br /> </span></span><br />
<div class="separator" data-mce-style="clear: both; text-align: center;" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><a data-mce-href="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/07/obrog.jpg" data-mce-style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;" href="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/07/obrog.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" border="0" data-mce-src="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/07/obrog.jpg?w=300" src="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/07/obrog.jpg?w=300" height="148" width="200" /></a></span></div>
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Menghibur Mereka yang Berpuasa, tapi Tidak Berpuasa</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Saat
ini yang lazim disebut obrog adalah permainan organ tunggal dengan
biduan wanita menyanyikan lagu-lagu dangdut populer. Namun, hal itu
berbeda dengan obrog pada masa lalu. Karena merupakan kesenian rakyat,
obrog tidak sakral dan bisa berubah sesuai dengan pergeseran selera
masyarakat. Menurut Supali, obrog mengalami perubahan dari waktu ke
waktu tergantung tren yang sedang berlaku pada masa itu. Obrog zaman
dahulu hanya menggunakan alat musik tradisional. Pelakunya hanya
laki-laki karena perempuan dianggap tidak pantas keluar malam. Berbeda
dengan sekaranng, perempuan seakan wajib ada sebagai penyanyi, sedangkan
para lelaki memainkan musik. Hal ini berlaku tidak hanya pada saat
membangunkan sahur, tetapi juga pada sore hari saat menjelang buka
puasa.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pada tahun 1985-an, obrog banyak dimainkan oleh grup
dangdut kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap. Teknologi
karaoke yang marak pada 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog.
Beberapa tahun belakangan obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal.
Selain pergeseran bentuk, Supali melihat pergeseran orientasi. Dahulu,
bermain obrog kental dengan tujuan religius. Atau, kalaupun tidak,
bermain obrog didorong unsur kesenangan termain musik.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bahkan,
banyak grup organ tunggal sudah memulai permainannya pukul 22.00. Tentu
saja masih terlalu dini untuk membangunkan orang sahur. Sebab itu, ada
pihak yang sebenarnya kurang setuju dengan bentuk obrog yang sekarang.
Meski demikian, sejauh ini obrog organ tunggal tetap populer. Pihak yang
kurang berkenan juga tidak pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya
dengan aksi anarkis.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sekarang, tradisi obrog tak bisa lepas dari
tujuan ekonomi untuk memperoleh pendapatan. Ini nyata terlihat dari
adanya saweran dan pembayaran uang untuk permintaan lagu. Saya pribadi
dalam beberapa tahun terakhir, merasakan bagaimana perubahan tradisi ini
merupakan sebuah ironi di bulan Ramadhan. Karena tujuan ekonomi untuk
memperoleh pendapatan tersebut, malah mendorong para 'artis'
"obrog-obrog" tersebut menghalalkan segala cara.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Di antara mereka tidak jarang tanpa malu-malu membatalkan puasanya dengan meminum air pada saat <i>ngobrog</i>.
Selain itu, persaingan ketat antara grup "obrog-obrog" satu desa dengan
desa yang lain terkadang membuat mereka saling menghasut dan
menjatuhkan. Hal lain yang menurut saya sangat tidak pantas adalah
ketika meminta uang di tiap-tiap rumah, mereka memanfaatkan anak kecil
yang terkadang ikut-ikutan tidak puasa. Selebihnya, kemunculan grup
"obrog-obrog" yang semakin banyak, membuat warga harus mengeluarkan uang
lebih banyak ketika mereka datang untuk meminta-minta uang dari rumah
ke rumah.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-87738791024173024762012-07-05T00:26:00.000-07:002013-09-24T00:53:46.985-07:00perceraian meningkat, jangan salahkan UUPKDRT<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kemarin saya baru membaca berita bahwa agka perceraian di kabupaten Cirebon semakin tinggi. Saya membacanya dari media online <a data-mce-href="http://www.cirebon.suarajabar.com/cirebon-raya/cirebon/287-perceraian-di-kabupaten-cirebon-tinggi" href="http://www.cirebon.suarajabar.com/cirebon-raya/cirebon/287-perceraian-di-kabupaten-cirebon-tinggi">suarajabar</a>. Hanya
saja, ada yang membuat saya tidak nyaman ketika membacanya, yaitu
kalimat “angka perceraian di kabupaten Cirebon diprediksi akan naik
seratus persen”. Dalam benak saya, kok seenaknya memprediksi perceraian
seperti memprediksi penjualan. Tapi saya akui informasi ini penting,
setelah teridentifikasi penyebabnya, tentunya ada gambaran bagaimana
agar segera dicarikan solusinya. Jika bukan dari pemerintah, setidaknya
individu yang membacanya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Data tersebut berasal dari Pengadilan
Agama Sumber kelas 1, yang mencatat sebanyak 6156 kasus perceraian yang
diterima selama setahun. kasus itu terdiri dari kasus cerai gugat, cerai
talak, izin poligami, dan isbat nikah. Penyebab dari kasus perceraian
tersebut ada beberapa faktor. di antaranya karena krisis akhlak, cemburu
dan piligami tidak sehat, itu yang termasuk dalam penyebab perceraian
dari faktor moral. Sedangkan dari faktor lainnya adalah karena
meninggalkan kewajiban yang indikatornya karena kawin paksa, ekonomi dan
tidak ada tanggung jawab. Dari penyebab perceraian karena poligami
tidak sehat terdaapat 15 kasus, krisis akhlak 33 dan karena cemburu
sebanyak 72 kasus. Adapun karena faktor ekonomi menjadi dominan dengan
jumlah 1563 kasus dan tidak bertanggung jawab sebanyak 1351.<img alt="" class="mce-wp-more mceItemNoResize" data-mce-src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" title="Selebihnya..." /></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Saat
saya memberi komentar bahwa jika memungkinkan bisa diliput bagaimana
nasib perempuanya, seorang komentator lainnya (sepertinya reporternya)
mengatakan bahwa perempuan yang lebih banyak menceraikan. Dia juga
mengatakan bahwa menurut pihak pengadilan agama, itu disebabkan faktor
HAM dan UU PKDRT. Lalu dia bertanya balik kepada saya, apakah ini faktor
negatif atau positif? lalu saya menjawab, untuk menjawabnya bukan soal
melamparkan atau menunjuk penyebab persoalan tersebut apakah karena
faktor HAM atau lainnya, ini kasuistik.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Perempuan Semakin Memahami Haknya</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pada
tahun 2009, Komnas Perempuan mendata adanya kekerasan terhadap
perempuan yaitu mencapai 143.586 kasus atau naik 263% dari jumlah
kekerasan terhadap perempuan tahun lalu sebanyak 54.425 kasus.
Peningkatan kesadaran korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya
menjadi sebuah catatan penting. Diperkirakan kenaikan tingkat kesadaran
korban melaporkan kasusnya dikarenakan mereka sudah mulai memahami
hak-haknya, terutama hak atas keadilan. Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang telah disosialisasikan
secara massif juga dinilai menjadi faktor pendukung terbangunnya
pemahaman masyarakat atas hak-hak perempuan untuk memperoleh keadilan
dari tindak kekerasan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Publik lebih peka terhadap kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan dan bisa menerima (tidak ragu lagi) ketika
ada perempuan mengadukan tentang kekerasan yang dialaminya. Lahirnya UU
PKDRT yang merupakan salah satu manifestasi perlindungan hukum yang
tegas oleh negara terhadap korban kekerasan. Tujuan UU PKDRT adalah
untuk melindungi korban kekerasan khususnya perempuan ternyata dianggap
oleh sebagian pihak memberikan peluang besar bagi terjadinya perceraian.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Angka
pelaporan kekerasan terhadap perempuan hanya merupakan puncak gunung
es, masih banyak korban yang diam atau menutup mulut karena penanganan
korban, baik dari aspek hukum, sosial maupun kebijakan institusi
belumlah terbangun dengan baik, jauhnya penyelesaian kasus dari
keadilan. Lebih spesifik lagi adalah data perkara KDRT yang pernah masuk
di Pengadilan Agama di Kabupaten Cirebon.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Hal ini menunjukkan
bahwa korban yang melaporkan/berani melaporkan perkara ke pihak berwajib
adalah mereka yang mengalami kekerasan dalam kurun waktu cukup lama.
Hampir tidak ditemukan, istri yang melapor karena baru sekali mengalami
perlakuan kekerasan.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bahkan berdasarkan pengalaman di lembaga saya, <a data-mce-href="http://fahmina.or.id/" href="http://fahmina.or.id/">fahmina-institute</a>,
ketika mendampingi perempuan korban KDRT yang meminta cerai dari
suaminya, terpidana kasus KDRT cenderung mengungkapkan penyesalan
mendalam dan menyatakan keinginan mempertahankan rumah tangganya. Namun,
korban KDRT menolak karena sudah tidak dapat lagi menahan penderitaan
psikis dan fisik yang dialaminya. Jadi, tidak cukup alasan fakta yang
mengungkapkan perceraian ditempuh karena perasaan dendam akibat
dilaporkan oleh pasangannya. Dengan demikian, tidak bisa mengatakan
bahwa munculnya UU PKDRT sebagai penyebab perceraian. Perceraian
bukanlah akibat dari adanya UU PKDRT namun, salah satunya karena
kekerasan itu sendiri.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-89288182888031599392012-07-04T00:28:00.000-07:002013-09-24T00:44:30.512-07:00buktikan, siapa lebih peduli perempuan!<blockquote>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Marzuki Ali bilang : menteri Pemberdayaan perempuan
lebih baik dijabat lelaki karena lelaki lebih peduli pada perempuan.
Ooooo kalau begitu semua jabatan harus diberikan kepada perempuan. Soal
peduli ayo tanding sama kami!!! lu nyuci kolor aja kagak becus, pake
bilang siapa lebih peduli , ngaca luh!!!!”</span></blockquote>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Judul
artikel saya kali ini terinspirasi oleh lontaran salah satu aktifis
perempuan, Lies Marcoes Natsir. Saya juga secara langsung meminta izin
beliau untuk mengutipnya di artikel ini. Paragraf pertama tulisan ini
merupakan lontaran asli dari status facebooknya kemarin malam. Merasa
menjadi bagian dari perjuangan perempuan, tentu saja saya turut kecewa
dengan pernyataan Marzuki Alie dan memahami mengapa seorang mba Lies
sampai melontarkan kalimat seperti itu pada status facebooknya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Hampir
semua dari kita tentu faham bagaimana Marzuki Alie sering melontarkan
pernyataan-pernyataan yang kurang bijak, bahkan sejumlah pakar
komunikasi politik menilainya terlalu polos dan tidak cerdas untuk
ukuran Ketua DPR RI. Kali ini, dia lagi-lagi harus berhadapan dengan
publik karena melontarkan pernyataan kontroversial.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pernyataannya
lagi-lagi kurang bijak. Seperti pernyataannya tentang Menteri
Pemberdayaan Perempuan, salah satunya dikutip <a data-mce-href="http://nasional.kompas.com/read/2012/07/02/1218018/Marzuki.Usulkan.Menteri.Pemberdayaan.Perempuan.Diisi.Laki-Laki" href="http://nasional.kompas.com/read/2012/07/02/1218018/Marzuki.Usulkan.Menteri.Pemberdayaan.Perempuan.Diisi.Laki-Laki">Kompas.com</a> pada
Senin (2/7/2012). Marzuki Alie mengusulkan agar Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak diisi oleh laki-laki. Usulan itu
disampaikan Marzuki dalam seminar “Peran Anggota Parlemen Laki-Laki
dalam Pencapaian Kesetaraan Gender” di Gedung Kompleks Parlemen Senayan,
Jakarta.<img alt="" class="mce-wp-more mceItemNoResize" data-mce-src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" title="Selebihnya..." /></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tentu
saja, di tengah upaya memperjuangkan kuota 30% perempuan, pernyataan
Marzuki Alie sangat kurang bijak dan terkesan pragmatis. Belum lagi
persoalan maraknya peraturan daerah (Perda) yang cenderung
mendiskriminasikan perempuan, serta Rancangan Undang-Undang (RUU)
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang terus mendapat resistensi dari
kelompok-kelompok tertentu, persoalan keterwakilan perempuan di
parlemen, dan sejumlah persoalan perempuan lainnya. Bayangkan jika
keterwakilan perempuan yang ada kemudian diganti oleh laki-laki,
keterlibatan perempuan di dunia politik yang memang masih minim, bisa
jadi semakin minim.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Lalu membaca status mba Lies, demikian saya
menyapanya, perasaan saya merasa terwakili dengan apa yang ditulisnya
melalui akun facebooknya. Mba Lies, ia adalah salah seorang penggerak
feminisme Islam pertama di Indonesia. Pada tahun 1992, mba Lies
melakukan workshop pertama tentang Islam dan gender di Indonesia dan
mbak Lies kini menjadi salah satu trainer di Indonesia yang menguasai
metode pendidikan orang dewasa berperspektif gender. Ia pernah bergabung
dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di
Jakarta untuk mengembangkan program penguatan hak reproduksi perempuan
dan program <em>Fiqh an-Nisa’</em> sebagai cikal bakal pengembangan isu
gender dan Islam di Indonesia. Mbak Lies juga aktif menulis didasarkan
pada penelitiannya. Pada tahun 1999-2000, mbak Lies mendapatkan MA dalam
bidang antropologi kesehatan dari University of Amsterdam. Hasil
penelitiannya telah dipublikasikan, baik dalam jurnal nasional maupun
internasional. Selain itu, mba Lies juga masih menjadi Dewan Kebijakan
LSM Fahmina-Institute. Ah, tidak ada habisnya jika harus menyebutkan
bagaimana bukti-bukti perjuanagnnya untuk perempuan Indonesia.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sementara
Marzuki Alie, sebagai public figure dan wakil rakyat, seharusnya
bersikap bijak, bukan justru menimbulkan kehebohan. Namun sejak menjabat
sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dia terlalu sering mengeluarkan
pendapat atau tanggapan yang tak jarang mengundang sebagian orang
terheran-heran, bahkan dibuat jengah. Termasuk pernyataan Marzuki
tentang kasus yang mrenimpa tenaga kerja wanita di luar negeri, dia tak
berpihak malah berkomentar sinis, “PRT TKW itu membuat citra buruk.
Sebaiknya tidak kita kirim karena memalukan.”</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pernyataannya ini
sontak mendapat kecaman Indonesian Migrant Workers Union (IMWU- Serikat
TKI Pekerja Rumah Tangga di Hong Kong). Ketua IMWU, Sringatin menilai
pernyataan Marzuki itu menunjukkan tingkat pengetahuan dan etika dari
seorang Ketua DPR. “Penyataan yang ‘asal jeplak’ ini telah menyakiti
perasaan enam juta lebih buruh migran Indonesia di berbagai negeri
penempatan dan anggota keluarganya, secara khusus 147 ribu BMI di Hong
Kong yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga asing,” demikian
Sringatin seperti dikutip <a data-mce-href="http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d69c0bf37f69/pernyataan-marzuki-alie-soal-tkw-dikecam" href="http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d69c0bf37f69/pernyataan-marzuki-alie-soal-tkw-dikecam">hukumonline</a>, Sabtu (26/2).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Memang benar, penilaian Marzuki Alie, justru bukan mencerminkan rendahnya <em>skill </em>para
PRT asal Indonesia, melainkan cerminan dari bobroknya sistem penempatan
buruh migran Indonesia (BMI). UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN) disebut
hanya produk hukum yang berorientasi pada “jualan manusia”.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sebelumnya,
seperti diberitakan media, Marzuki Alie juga mengeluarkan pernyataan
pribadi meminta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menghentikan
pengiriman tenaga kerja wanita pekerja rumah tangga ke negara lain. Dia
berpendapat, TKW PRT ini mencoreng citra Indonesia di luar
negeri. Pendapat dia itu dilontarkan setelah bertemu Presiden Suriah
beberapa waktu lalu. Salah satu yang dibicarakan adalah perilaku dan
kinerja TKW PRT yang dianggap tak profesional. Misalnya tak bisa
membedakan cairan setrika dan menggoda anak majikan. Akhirnya Marzuki
mewajarkan ketika sang majikan marah dan menempelkan setrika di tubuh
PRT.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Atau memang benar dia terlalu polos, tidak faham sejarah
bagaimana Negara Indonesia yang meratifikasi Konvensi PBB tentang
Hak-Hak Politik Perempuan pada masa pemerintahan mantan Presiden
Soeharto di tahun 1968. CEDAW diratifikasi pada tahun 1984. Pemerintah
Habibie kemudian meratifikasi Protokol Opsi yang merupakan bagian dari
Konvensi Perempuan. Lalu belakangan kita kembali diramaikan dengan
perdebatan isu peningkatan jumlah perempuan di panggung politik, seperti
tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut terjadi tepatnya setelah
pemerintah Indonesia mengambil beberapa langkah yang ditujukan untuk
menyempurnakan kebijakan terkait persoalan jender. Salah satu yang utama
adalah masalah gender mainstreaming, yang merupakan sebuah strategi
penting yang termuat dalam Platform Aksi Beijing (Bejing Platform for
Action). Keppres Nomor 9/2000 berisi arahan kepada semua sektor
pemerintahan Indonesia untuk menerapkan konsep <em>gender</em> <em>mainstreaming</em> ini.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tahun
berlanjut, perdebatan tentang representasi dan partisipasi politik
perempuan semakin meningkat dan mendominasi agenda politik, berkat
gigihnya organsisasi-organisasi dan para aktivis masyarakat madani yang
vokal menyuarakan isu ini. Salah satu isu terpentingnya adalah penerapan
kuota 30 persen bagi perempuan dalam proses pemilu. Perdebatan yang
terus berlanjut dan terkadang menimbulkan kontroversi seputar<em>gender</em> dan
demokrasi itu diakibatkan oleh tiga faktor dari masa lalu Indonesia.
Faktor pertama adalah kenyataan historis dan berkelanjutan tentang
rendahnya representasi perempuan Indonesia di semua tingkat pengambilan
keputusan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Apalagi berkaca dari hasil pemilu tahun 1999, 2004 dan
2009, untuk mencapai angka kritis 30% keterwakilan perempuan sebagaimana
diamanatkan Undang-undang, ternyata dalam tataran implikasinya masih
sangat sulit diwujudkan. Pengalaman empirik menunjukkan bahwa perjuangan
menuju ke arah itu memerlukan energi luar biasa, berupa pengawalan dan
dukungan tak kenal lelah dari banyak pihak. Khususnya, gerakan perempuan
serta berbagai aliansi dan koalisi masyarakat sipil perlu secara
bersama-sama mengupayakan penguatan jaminan keterwakilan perempuan dalam
UU Pemilihan Umum (Pemilu).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sayangnya sampai saat ini yang
terjadi, jumlah kandidat ideal keterwakilan perempuan Indonesia dalam
lembaga perwakilan tidak mencapai rasio yang sama dengan jumlah penduduk
berjenis kelamin perempuan. Hal ini didasari pemikiran bahwa peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang mampu melindungi perempuan, tidak
dapat dilepaskan dari kehadiran atau representasi yang mampu melindungi
perempuan dalam lembaga penentu dan pengambil kebijakan, baik di pusat
maupun daerah. Seperti keterangan Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan dalam rilisnya, terkait keterwakilan perempuan dalam
Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pada Rabu (8/2). Ternyata bahwa
keterwakilan perempuan di parlemen hanya 18% saja, atau 203 dari 560
orang anggota DPR, sementara berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 yang
dilakukan oleh Biro Pusat Statistik, jumlah perempuan Indonesia adalah
sebesar 118.010.413 jiwa atau sekitar 49% dari total jumlah penduduk.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kebijakan
afirmatif untuk perempuan merupakan sebuah interaksi atas perlunya
partisipasi politik yang luas dari seluruh kelompok masyarakat dalam
pengambilan keputusan politik dengan institusi politik formal, yang juga
berproses secara internal pasca otoritas yang panjang. Maka dari itu,
kebijakan afirmatif perempuan dalam politik haruslah dilihat sebagai
wilayah “proses bersama”. Proses tersebut penting baik bagi perempuan
sebagai warga negara, gerakan/organisasi perempuan sebagai motor
penggerak kemajuan perempuan, partai politik sebagai institusi rekrutmen
dan seleksi penyelenggara Negara, maupun bagi rakyat sebagai pemangku
kepentingan utama dari berbagai proses politik beserta.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">:::</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">saya
batasi sampai di sini, meskipun tak akan pernah puas dan butuh lebih
banyak dan lebih sering lagi mengingatkan mereka yang lupa atau memang
tidak memahami.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-1317004472829286002012-07-02T00:52:00.000-07:002013-09-24T00:53:28.149-07:00maraknya Perda diskriminatif<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Beberapa hari lalu saya berdiskusi dengan salah satu dosen saya di
Paramadina Graduate School (PGS) Jakarta. Awalnya kami hanya mengobrol
tentang pemberitaan media yang bervisi misi Islam namun isinya hanya
memicu sikap intoleransi di negeri ini. Sampai pada pembicaraan tentang
pengalamannya meneliti sejumlah peraturan daerah (Perda) Syari’ah
diskriminatif terhadap golongan tertentu, terutama pada perempuan. Salah
satu kalimatnya yang saya ingat adalah, Perda-Perda itu sebagian besar
kopi paste terhadap Perda dari satu daerah untuk daerah lainnya. Bahkan
bisa dikatakan sekadar proyek, dan lucunya mereka yang membuat Perda
tersebut sadar bahwa Perda itu tidak akan terimplementasikan. Ini
sungguh ironi di tengah rakyat Indonesia yang masih jauh dari sejahtera,
di mana dana-dana proyek itu terbuang percuma untuk kepentingan
sekelompok orang. Lalu obrolan kami pun melebar pada Raperda itu.
Beberapa bulan lalu saya juga sempat berbagi informasi tentang ini di<a data-mce-href="http://kppri.or.id/index.php/id/artikel/11-perempuan-dalam-cengkeraman-kebijakan-diskriminatif" href="http://kppri.or.id/index.php/id/artikel/11-perempuan-dalam-cengkeraman-kebijakan-diskriminatif">website kppri</a> tentang ini.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Mungkin
kita masih ingat membaca berita atau setidaknya mendengar tentang
peristiwa meninggalnya Lilis Lisdawati pada tahun 2008. Ia adalah korban
salah tangkap berlatar belakang Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005 di
Kota Tangerang. Saat itu media setempat cukup ramai memberitakan ini,
salah satunya seperti diberitakan Suara Warga (Edisi 007/011), Lilis
Lisdawati adalah karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan.
Suaminya Kustoyo, adalah guru SD. Tanggal 27 Februari 2006, Lilis
ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di daerah
Tangerang. Ia dituduh telah melanggar Perda No. 8 Tahun 2005 tentang
Pelarangan Pelacuran.<img alt="" class="mce-wp-more mceItemNoResize" data-mce-src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" title="Selebihnya..." /></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Aturan
Perda tersebut memang multitafsir sehingga menyebabkan ketidakpastian
hukum dan berpotensi menyebabkan salah tangkap. Pasal 4 ayat 1 misalnya,
menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya
mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka
pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di
rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan,
warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di
sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di
daerah.”</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Petugas lalu bisa menangkap seseorang, terutama
perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah
pelacur (PSK). Meski telah menyampaikan bahwa ia bukan PSK, Lilis tetap
ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8
hari penjara dan denda Rp 300 Ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4
hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda
tersebut.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban
salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan
Lilis semakin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak
permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda tersebut.
Alasannya, Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang
disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk
merehabilitasi nama baik Lilis. Lilis mengalami keguguran pasca
peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar
dari pekerjaan karena tertekan dengan tudingan beristrikan pekerja seks.
Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan
ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup
berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008
dalam kondisi depresi.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tangerang adalah satu dari 38 daerah yang
memiliki perda tentang pelacuran yang mengkriminalisasi perempuan. Tidak
satupun peraturan daerah serupa ini yang dibatalkan. Bahkan, Mahkamah
Agung juga kembali menolak permohonan judicial review untuk Perda serupa
dari Bantul. Kali ini dengan alasan bahwa permohonan diajukan melewati
batas waktu yang diperbolehkan, yaitu 180 hari sejak Perda itu
ditetapkan. Dari depresi Lilis hingga meninggal dunia, setidaknya jelas
bagi kita bahwa ini efek dari penahanan-nya atau efek dari berbagai
masalah (sosial, hukum, ekonomi) yang juga turut di-blow-up media.
Selain Lilis, ada sejumlah korban salah tangkap petugas ketentraman dan
ketertiban (Tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri
sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang juga dicurigai sebagai pelacur.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selain
korban salah tangkap Perda Tangerang, yang juga cukup ramai diberitakan
adalah kasus penggundulan di Aceh oleh polisi Syariah. Meskipun pada
akhirnya Qanun Jinayat yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA) pada tahun 2009, harus segera dibatalkan untuk kemudian dilakukan
revisi dan dilengkapi sesuai dengan kaidah hukum Islam kaffah atas
desakan Ulama se-Aceh. Menurut mereka, dalam sejumlah pemberitaan, Qanun
tersebut masih mengabaikan hal-hal prinsipil dalam Hukum Islam. Ulama
Aceh juga mengimbau semua pihak baik Gubernur, politisi, DPRA, Ulama dan
komponen masyarakat agar turut berpartisipasi member masukan kepada
ulama. Hal tersebut terkait polemik yang terjadi terhadap pengesahan
Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang disahkan pada pertengahan September
2009.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Berpotensi Merugikan Perempuan</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tahun
1998 awal mulai terjadi dinamika politik hukum Indonesia, yang ikut
membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum Islam yang merupakan
bagian dari hukum nasional turut mengalami perubahan, tidak terkecuali
sektor hukum pidana (jinayat) yang sebelumnya penuh dengan
ketidakmenentuan. Dinamika hukum, terutama sekali, ditandai peralihan
sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem otonomi. Sistem ini
tertuang di dalam UU No. 32 Tahun 2004. Provinsi Aceh yang mayoritas
muslim dan memiliki pengalaman di bidang hukum Islam Qanun dan
memberlakukannya di dalam sosio-yuridis masyarakat. Masa dinamika ini
kerap dikenal era reformasi. Bagi Aceh, era ini menjadi awal
penyelesainan konflik selama 30 tahunan secara beradab, melalui jalur
perundang-undangan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Lalu tahun 2000-an mulai marak kemunculan
Perda-perda diskriminatif, bahkan dalam beberapa tahun terakhir sejumlah
hasil penelitian mengungkap Perda-perda diskriminatif di Indonesia
semakin meningkat. Dimulai dari munculnya sejumlah pemberitaan tentang
deretan persoalan dalam menyikapi proses eksekusi atas seorang
terpidana, mulai dari gugatan atas konsistensi perundang-undangan yang
dianggap merendahkan martabat, tidak manusiawi, tidak efektif dan lan
sebagainya. Termasuk awal tahun 2012 ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan merilis data tentang maraknya berbagai kebijakan
diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan Jender, berupa kebijakan
di tingkat nasional maupun kebijakan lokal.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dalam kajian
perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan pronografi, yang justru menghalangi perempuan untuk dapat
menikmati hak asasinya secara utuh khsususnya hak atas kepastian hukum
dan atas kebebasan berekspresi. Komnas Perempuan mencatat hingga bulan
Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan
moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebanyak 78 dari 207
kebijakan tersebut secara khusus menyasar pada perempuan, lewat
pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan
pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Berdasarkan
pemantauan Komnas Perempuan, melihat proses pembentukan suatu kebijakan
yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung
melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif.
Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan
dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok
masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif
yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada
keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Pentingnya Peningkatan Keterwakilan Perempuan</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Di
sisi lain, dalam dunia politik sendiri, perempuan adalah bagian dari
warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi. Termasuk jumlah
perempuan yang duduk di DPR-RI hasil 10 kali Pemilihan Umum yang tidak
pernah mencapai angka kritis 30% adalah buktinya. Padahal, minimnya
keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan secara lagsung
akan menyebabkan suata perempuan menjadi tidak terwakili, sehingga
pengalaman khas dan spesifik yang dialami perempuan tidak terangkat.
Lebih jauh, masih berdasarkan rilis Komnas Perempuan pada Rabu
(8/2/2012), fakta kekerasan terhadap perempuan akan kehilangan ruang
untuk disuarakan dan diangkat sebagai bagian dari persoalan bangsa yang
harus dicegah dan ditangani.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Berdasarkan penelitian Perserikatan
Bangsa-bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh per seartus) merupakan
suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan
membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam
lembaga-lembaga publik. Penetapan 30% ditujukan untuk menghindari
dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik
yang merumuskan kebijakan politik. Dengan demikian, diharapkan
peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menjadi salah satu
ruang penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan publik.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Hal
senada juga diungkapkan Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik
Indonesia (KPP-RI), Ir. Hj. Andi Timo Pangerang. Menurutnya, maraknya
kebijakan diskriminatif terutama di daerah-daerah tidak terlepas dari
persoalan keterwakilan perempuan.<br /> “Munculnya sebuah Perda tidak
terlepas dari kondisi sosial-budaya dan politik di daerah tersebut,
sementara perwakilan perempuan di daerah sendiri sangat minim, semakin
di daerah, perwakilan perempuan semakin minim, terutama di Kabupaten. Di
provinsi juga hanya sekitar 15% sampai 16 %, apalagi di Kabupaten makin
rendah lagi, sehinga berdampak pada suara perempuan dan pada akhirnya
suara perempuan sebagai minoritas dan proses pengesahan Perda-perda
lebih didominasi suara laki-laki. Jadi walaubagaimana pun, kualitas dan
kuantitas perwakilan perempuan di parlemen sama-sama pentingnya,” ungkap
perempuan yang akrab disapa Bu Andi ini.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bu Andi juga
menambahkan, sampai saat ini KPP-RI terus bekerjasama dengan sejumlah
pihak yang peduli terhadap persoalan perempuan, seperti Komnas Perempuan
serta jaringan KPP-RI di kabupaten. Karena menghapus kekerasan terhadap
perempuan melalui upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam lembaga
perwakilan hendaknya dibaca sebagai upaya bersama untuk mengevaluasi
segala hal yang mendiskriminasi perempuan, mulai dari multi-burden
(beban berganda), stereotyping (pelabelan negatif), hingga budaya yang
cenderung menghalangi atau bahkan membatasi perempuan untuk beraktivitas
di ruang publik dan politik seperti larangan perempuan menjadi pemimpin
dan larangan perempuan keluar malam.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selain itu pemunculan
pendapat tertentu yang mencoba menegasikan kepemimpinan perempuan, perlu
direspon melalui pengungkapan kekayaan penafsiran yang mencoba melihat
kembali relasi perempuan dan laki-laki dalam konteks setara dan ramah
pada kemanusiaan. Seperti larangan terhadap perempuan beraktivitas di
malam hari dengan alasan untuk menghindarkan perempuan dari tindak
kejahatan seharusnya direvisi oleh pemerintah daerah setempat, melalui
penyediaan tenaga keamanan yang berpatroli dan berjaga pada malam hari
agar perempuan tetap mendapatkan jaminan atas hak keamanan selama
beraktivitas.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-58853173144912897252012-06-30T00:57:00.000-07:002013-09-24T01:00:58.728-07:00drama korea, sinetron & kepemilikan media<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Mungkin kita masih ingat tentang bagaimana gencarnya pemerintah
Indonesia mempromosikan Pulau Komodo sebagai salah satu dari Tujuh
Keajaiban Dunia Baru atau New7Wonders. Terlepas dari sejumlah pro kontra
dan konflik di dalamnya, walau bagaimana pun kemudian pada tanggal 11
November 2011 Pulau Komodo berhasil masuk dalam urutan ketujuh
New7Wonders. Selain Pulau Komodo, yang kemudian menarik bagi saya adalah
Jeju Island (Pulau Jeju) di Korea Selatan yang juga masuk salah satu
Tujuh Keajaiban Dunia Baru.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Ketika berbulan-bulan kita tengah
gencar-gencarnya promosi vote Komodo, pemerintah Korea Selatan (Korsel)
tidak hanya memanfaatkan promosi melalui iklan-iklan di televisi dan
sejumlah media lainnya, namun juga memanfaatkan drama Korea-nya. Yang
masih saya ingat sekali adalah salah satu drama Korea berjudul “Lie to
Me”. Meskipun drama diputar di televisi Korea, namun para pecinta drama
Korea seperti saya misalnya, bisa download via youtube secara gratis
tiap episodenya, selain youtube juga banyak sekali situs-situs di mana
kita bisa update drama terbaru Korea yang sekarang tengah tayang di
televisi Korea. “Lie To Me” sebenarnya sebuah tontonan dengan konflik
yang sangat biasa menjadi menarik untuk disaksikan.<img alt="" class="mce-wp-more mceItemNoResize" data-mce-src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" src="http://mylastparagraph.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif" title="Selebihnya..." /></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Didukung
kemampuan akting pemeran utamanya yang diceritakan sebagai pegawai
negeri di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Korea. Meskipun jelas ini
hanya sebuah komedi romantis, namun hal menarik lainnya, di serial ini
juga mengangkat keindahan pulau Jeju sebagai salah satu tempat
pariwisata di Korea. Serial tersebut sepertinya dibuat khusus
mempromosikan pulau Jeju yang kini menjadi salah satu Tujuh Keajaiban
Baru Dunia. Bahkan banyak sekali adegan-adegan seperti dalam kisah nyata
di mana pemeran utama mempromosikan pulau Jeju dengan mempresentasikan
dan mengantarkan para pejabat dan turis-turis local maupun internasional
keliling pulau Jeju dan menikmati pemadangan menarik, mulai dari
hotel-hotel mewah dan unik yang ada di sekitarnya hingga puncak
tertinggi di Korea Selatan, dan pantai-pantai indahnya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Budaya
Korea, utamanya yang disosialisasikan melalui industri hiburannya, telah
menarik minat masyarakat dunia. “Lie to Mie” hanyalah satu dari sekian
banyaknya drama Korea yang menurut saya cukup berkualitas. Jika
dibandingkan dengan sinetron Indonesia, siapapun penikmat drama Korea
pasti akan sama seperti saya betapa sinetron Indonesia masih sangat jauh
dari berkualitas. Korea memiliki kelebihan dan keunikan yang sulit bisa
ditemukan di sinetron Indonesia. Mulai dari setting ceritanya, acting
pemainnya, kostumnya, hingga jumlah episodenya yang tidak begitu pajang
seperti sinetron Indonesia. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Nilai yang juga tidak pernah ketinggalan
dari drama-drama Korea adalah nilai edukasi (pendidikan), seperti pada
penghormatan dan pelestarian budaya leluhur. Bagaimana menghormati orang
tua atau yang lebih tua, menjaga dan melestarikan makanan tradisional
seperti sup Kimchi atau kue beras untuk perayaan tertentu. Tidak heran
kemudian budaya Korea melanda dunia khususnya Indonesia, atau yang
popular disebut Korean Wave (gelombang Korea). Seolah tak ada pilihan,
penetrasi dasyat berbagai produk budaya Korea itu mulai dari film, lagu,
fashion, style, hingga gaya hidup, harus ditelan mentah.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Secara
jujur kita harus mengakui bahwa gelombang budaya Korea ini memang sangat
luar biasa dahsyat. Dunia mengakuinya. Narasi sukses penetrasi budaya
ini, tentu berimbas positif bagi citra Korea. Kesuksesan mengekspor
budaya ini, pasti tidak lahir secara tiba-tiba. Korea berhasil
menciptakan gelombang budaya ini berkat kebijakan budaya yang sepenuhnya
mendukung industri kreatif negara. Industri film misalnya, dikelola dan
dibuat untuk memperkenalkan budaya Korea ke dunia luar. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pajak rendah
untuk film lokal diberlakukan, bahkan diberikan bantuan dana khusus
untuk produksi film yang mengusung budaya Korea. Bahkan menurut Kepala
Pendidikan Indonesian and Korean Cultural Studies (IKCS), Chang Ik Hwan
yang dilansir Republika Online (27/12), mulai 20 tahun silam Pemerintah
Korea memberikan beasiswa besar-besaran kepada artis dan seniman untuk
belajar di Eropa dan Amerika. Kemudian artis-artis dipoles sedemikian
rupa sampai benar-benar menjadi artis ‘’jadi’’ untuk kemudian
diluncurkan. Kini, Korea memetik hasil dari keseriusan mereka menggarap
industri kreatifnya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sementara dunia hiburan kita, termasuk
program televisi kita masih jauh dari berkualitas. Belum lagi sejumlah
pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang penyiaran. Tidak heran
kemudian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sering mengeluarkan surat
peringatan pada sejumlah proram televise termasuk sinetron Belum lama
ini, seperti tahun 2009, KPI pernah menetapkan ada enam sinetron
bermasalah yang ditayangkan pada Januari 2009. Enam sinetron itu
melanggar Undang-Undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 tentang Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, begitu pun yang terjadi
saat ini, pelanggaran-pelanggaran terus dilakukan sejumlah program di
televisi. Selain sinetron sejumlah program talkshow, infotaimen, maupun
reality show seperti di transtv misalnya yang juga tidak luput dari
surat peringatan dari KPI baik programnya maupun actor dan aktrisnya. Di
sisi lain, dunia pertelevisian Indonesia sendiri sampai saat ini masih
belum beranjak dari sejumlah persoalan di bidang penyiaran terutama
kebijakan-kebjikannya, seperti yang masih hangat terkait kepemilikan
media (media ownership) yang kini telah dikuasai oleh segelintir orang
(pengusaha) yang secara tidak langsung akan berdampak pada isi media.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Padahal
sampai hari ini, kita masih masih prihatin terhadap berbagai tayangan
televisi kita. Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2002, dalam menjalankan fungsinya KPI
mempunyai wewenang, menetapkan standar program siaran, menyusun
peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran, serta mengawasi
pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar
program siaran. Pun, masih saja ada tayangan "bermasalah" yang lolos
dari monitoring KPI.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selain masih kerepotan dengan isi (content)
media dari sejumlah program televisi, dunia pertelevisian juga masih
harus berhadapan dengan isu kepemilikan media (media ownership) yang
secara tidak langsung akan berdampak pada kebijakan isi media.
Sementara, selama ini tidak ada tafsir tunggal atas penerapan kedua
pasal 18 (1) dan pasal 34 (4) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran.
Kondisi ini menyebabkan dunia penyiaran Indonesia bergeser dari semangat
awalnya untuk menerapkan keberagaman kepemilikan (diversity of
ownerships) dan keberagaman isi siaran (diversity of contents). Kemudian
pasal 18 (1) UU Penyiaran menyatakan kepemilikian dan penguasaan
Lembaga Peyiaran Swasta oleh satu wilayah siaran atau di beberapa
wilayah siaran adalah dibatasi. Sedangkan Pasal 34 ayat (4) dan
penjelasannya, menegaskan bahwa izin Penyelenggaraan dan Penyiaran
dilarang dipindahtangankan dengan cara dijual, dialihkan kepada badan
hukum lain atau perseorangan lain di tingkat manapun.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tulisan ini
bermaksud membahas mengenai kedua Undang-Undang penyiaran tersebut
terkait isu kepemilikan media (media ownership) serta dampak terhadap
kepemilikan media terhadap kebijakan isi (contents) media.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Media Dikuasai Segelintir Orang</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dalam
pendekatan ekonomi politik, kepemilikan media (media ownership)
mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media dan
efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat. Menurut Anthonny Giddens,
sebagaimana dikutip Werner A. Meier, para pemilik media merupakan pihak
yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam demokrasi. Golding dan
Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol
media sebagai sebuah hubungan tidak langsung. Bahkan pemilik media,
menurut Meier, dapat memainkan peranan yang signifikan dalam melakukan
legitimasi terhadap ketidaksetaraan pendapatan (wealth), kekuasaan
(power) dan privilege.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Hal mendasar yang harus dipahami dari
struktur media adalah pertanyaan mengenai kepemilikan dan bagaimana
kekuasaan dari pemilik digunakan. Pendapat yang mengatakan bahwa
pemiliklah yang akhirnya menentukan sifat dari media tidak hanya teori
Marxist, namun sebenarnya aksiom pemikiran yang sama juga disimpulkan
dalam Altschull (1984): “Isi dari media selalu merefleksikan kepentingan
dari orang-orang yang membiayai media”. Tidak heran, ada beberapa
bentuk yang berbeda dari kepemilikan media yang berbeda, dan bagaimana
kekuasaan dari pemilik digunakan dengan cara yang berbeda pula.”</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Termasuk
di dalam pernyataan Altshull, bahwa tidak hanya kepemilikan yang
diperhitungkan, ada pertanyaan yang lebih meluas mengenai siapa yang
sebenarnya membeli produk dari media. Walaupun ada media yang pemiliknya
membayar secara personal untuk memperoleh hak istimewa dalam
mempengaruhi isi, kebanyakan media hanya menginginkan untung dan
kebanyakan media dibiayai dari sumber yang berbeda. Di sini termasuk
jangkauan dari private investor (di antara perusahaan media mereka),
advertisers, consumers, publik yang beraneka macam, para pembeli
subsidi, dan pemerintah.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kebanyakan dari media mengacu kepada satu
dari tiga kategori dari kepemilikan; perusahaan komersial, badan usaha
publik non-profit, dan public sector. Walaupun begitu, setiap kategori
dari ketiganya adalah bagian yang penting. Untuk kepemilikan media ini
akan menjadi sangat relevan apakah perusahaan tersebut “public” atau
“private”, rangkaian media yang luas atau konglomerat, atau kecil yang
berdiri sendiri. Inilah yang juga menjadi masalah tidaknya, perusahaan
media dimiliki oleh media tycoon atau mogul, yang dilambangkan sebagai
seseorang yang ingin menggunakan kepentingan pribadi dalam kebijakan
editorial (Turnstall dan Palmer,1991). Badan usaha non-profit dapat
dipercaya netral, dibentuk untuk melindungi kebebasan dalam beroperasi
atau badan-badan usaha dengan dengan budaya yang spesial atau untuk
kepentingan sosial semacam partai-partai politik, masjid, dan lainnya.
Kepemilikan publik juga datang dengan bentuk yang beraneka ragam,
menjangkau secara langsung administrasi untuk memperluas dan membuat
beraneka ragam konstruksi untuk memaksimalkan kebebasan pengambilan
keputusan mengenai isi.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sejak abad ke 20, kepentingan kapital
telah menentukan arah tumbuhnya media, bahkan besar-kuatnya media.
Pemilik media adalah para “businessman”; mereka merupakan pemilik modal
yang mendirikan atau turut mendirikan usaha media dan berupaya untuk
mencari keuntungan ekonomi melalui usahanya itu. Struktur organisasi
media menjadi terkait dengan sistem ekonomi kapitalis yang membawa
tujuan bisnis kompetitif dari pemilik industri media. Setiap media
menghitung laba yang dikeluarkan dari tiap kerja pemberitaannya. Maka,
item-item pemberitaan pun diseleksi dengan menggunakan asumsi riset
pasar. Kerja pemberitaan bukan lagi dihitung hanya berdasar ongkos
operasional liputan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dalam menjalankan usahanya, media atau
pemilik media bersinggungan dengan kekuasaan. Para pemilik media kerap
ditemukan sebagai elite-elite bisnis industri yang berhubungan erat
dengan para elite pemegang kekuasaan. Bisnis mereka kerap terkait dengan
kebijakan elite kekuasaan. Hal itu mengakibatkan “politik dagang” para
pemilik media dituding ikut melestarikan status quo kekuasaan para tokoh
politik yang menjadi rekanan mereka. Inilah pentingnya mengapa isu
kepemilikan media menjadi isu yang cukup mengkhawatirkan, karena jika
memang demikian, maka kekuasaan pemilik media, meski secara etik
dibatasi dan secara normatif disangkal, bukan saja memberi pengaruh pada
konten media, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat
selaku audience. Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi; muatannya
kerap memperhitungkan aspek pasar dan politik. Produk pemberitaan
menjadi margin komoditas laba ekonomi sekaligus margin kepentingan
politik. Hal itu, pada banyak kasus, telah mereduksi kemandirian
institusi media. Akibatnya, terjadi kasus-kasus dimana liputan media
harus berhadapan dengan kepentingan politik dan bisnis. Tema-tema
liputan disesuaikan dengan orientasi tersebut.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dampak lainnya
ialah perubahan arah pemberitaan. Area pemberitaan “hard journalism”
berubah jadi “soft journalism”. Kisah-kisah soft news dan human interest
menjadi buruan wartawan. Liputan politik, seperti korupsi dan
manipulasi serta nepotisme, menjadi fleksibel dan adaptabel.
Berita-berita tersebut tidak segera atau bahkan terkadang tidak dapat
disiarkan. Tapi, kerap dihambat, difilter, diatur, atau dikontrol.
Kepemilikan media itu bersifat kapitalistik. Analisis kepemilikan media
yang bersifat kapitalistik akan dapat dijumpai jika berada pada satu
negara yang menganut sistem demokrasi, dimana campur tangan pemerintah
sangat sedikit dalam mengatur media dan pasar memegang kendali dalam
semangat kapitalisme.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Para peneliti, baik liberal maupun Marxis,
sama-sama sepakat bahwa analisis kepemilikan media berhubungan erat pada
kapitalisme. Kepemilikan media juga menjadi sebuah term yang selalu
dihubungkan dengan konglomerasi dan monopoli media. Untuk melihat lebih
dekat bentuk kepemilikan media, ini menyarankan untuk membedakan media
menjadi media komunitas, media publik dan media privat. Media komunitas
-misalnya televisi lokal, blog, electronic magazine atau newsletter-
merupakan media yang diorganisir secara non-profit dan berbasiskan pada
kelompok kepentingan tertentu yang spesifik (seperti kelompok perempuan,
kelompok etnik, kelompok pelajar, dan lain-lain). Media komunitas
mencoba untuk mengakomodir dan menarik audience secara terbatas dan
dalam ruang atau tempat yang juga terbatas, seperti di kampus-kampus
atau di kota tertentu. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Operasionalisasi media dihidupi oleh sejumlah
kecil iklan dan sponsorship sehingga media komunitas cenderung
independen dari berbagai kepentingan. Kepemlikan media komunitas berada
di tangan “komunitas” bukan di tangan pemilik modal tertentu atau di
tangan satu-dua orang elit pemilik.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Teori liberal berasumsi bahwa
kepemilikan media secara efektif harus terpisah dari kontrol dan
editorial decisions. Keputusan yang lebih besar mengenai sumber daya,
strategi bisnis, dan kepentingan dapat diambil oleh pemilik atau para
pemegang faham, sedangkan editor dan pengambil keputusan yang lain
dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan yang profesional mengenai isi
media berdasarkan keahlian mereka. Dalam beberapa situasi dan di
beberapa negara ada lembaga penengah yang sudah ditetapkan (semacam UU
editorial) yang dibuat untuk menjaga integritas dari kebijakan editorial
dan kebebasan jurnalis. Sebaliknya, professionalism, kode etik, public
reputation (sejak media selalu dalam pengawasan publik), dan common
sense mengharuskan untuk memperhatikan permasalahan yang tampak dan
tidak pantas untuk dipegaruhi oleh pemilik.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Eksistensi dari check
and balance tidak dapat, walaupun begitu, mengaburkan beberapa fakta
kehidupan operasi media. Salah satunya adalah fakta bahwa, media
komersial, harus menghasilkan keuntungan untuk tetap dapat bertahan
hidup, dan hal ini sering melibatkan pengambilan keputusan yang langsung
mempengaruhi isi (seperti menghemat biaya, penggantian staf, selidiki
atau tidak, dan operasi gabungan). Pada dasarnya pemilik media tidak
akan jauh dari pemikiran ekonomi yang berimbang. Ini juga merupakan
fakta bahwa kebanyakan private media memiliki kepentingan pribadi yang
tetap dalam sistem kapitalis dan cenderung memberikan dukungan yang
nyata kepada partai politik defenders-conservative. Misalnya, besar
sekali dukungan koran-koran di Amerika yang memuat berita calon presiden
dari partai Republik selama bertahun-tahun (Gaziano 1989), dan fenomena
yang serupa juga terjadi di beberapa negara di Eropa, mungkin merupakan
akibat dari perubahan dan kebijakan alami yang mungkin tidak sama.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Banyak
cara nyata yang sedikit banyak sama dalam kecenderungan yang berlaku,
tidak lain adalah tekanan dari para pengiklan. Media yang dimiliki oleh
publik (public sector) berpikiran netral dan seimbang terhadap tekanan
semacam ini. Teori Kebijakan Liberal Konvesional menyatakan bahwa cara
terbaik atau satu-satunya jalan keluar dari permasalahan semacam ini
adalah terletak pada keberagaman dari kepemilikan pribadi. Situasi ideal
bila salah satu perusahaan baik kecil atau menengah berkompetisi dengan
yang lain untuk menarik perhatian publik dengan menawarkan secara luas
ide-ide, informasi dan berbagai tipe budaya. Kekuatan yang dimiliki oleh
para pemilik media tidak seburuk kelihatan namun dapat menjadi buruk
bila konsentrasi dan penggunaannya secara selektif untuk membatasi atau
mencegah akses. Posisi ini cenderung merendahkan tekanan fundamental di
antara ukuran kriteria pasar, keuntungan, dan kriteria kualitas dan
pengaruh. Mereka tidak akan mudah untuk saling dipertemukan. Perhatian
utama dari isi terpusat pada debat teoritikal.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Konteks Indonesia</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Media
privat merupakan media yang dikelola oleh satu atau segelintir orang
tertentu yang biasanya merupakan pemilik modal. Tujuan media ini sangat
jelas, yakni mencari profit dalam bentuk keuntungan ekonomi. Karena itu
operasionalisasi media privat sangat bergantung pada iklan, sponsorship
dan berbagai aktivitas komersial lain. Dengan kata lain, media privat
inilah yang sering disebut sebagai “media konglomerat” yang dikelola
secara kapitalistik.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dalam konteks Indonesia, terutama sejak era
reformasi bergulir, media privat tumbuh dengan sangat cepat dan subur.
Berbeda dengan era Orde Baru ketika di mana media masih sangat dikontrol
oleh pemerintah baik dari produksi maupun distribusi media. Kepemilikan
media dengan model media privat atau dengan kata lain media dimiliki
oleh satu atau segelintir orang pemilik modal menumbuhkan ekses kepada
konglomerasi dan monopoli media. Di Indonesia beberapa contoh
konglomerasi dan monopoli tersebut dapat dilihat pada kepemilikan Jawa
Post Grup, MNC Grup, Media Grup, Bakri Grup, Trans Media Grup, Gramedia
Grup dan Femina Grup. Masing-masing memiliki lebih dari satu media dan
bentuknya sangat beragam, misalnya Media Grup memiliki jaringan televisi
(Metro TV) sekaligus koran (Media Indonesia); Jawa Post Grup memiliki
koran, tabloid dan majalah.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pada dasarnya masalah kepemilikan
media dengan menggunakan model media privat sudah mendapat batasan dari
pemerintah melalui regulasi yang mengaturnya, yakni melalui
Undang-Undang Penyiaran. Dalam Undang-Undang Penyiaran misalnya
dikatakan bahwa kepemilikan media harus berjaringan atau bisa
menggunakan sistem kepemilikan silang (cross ownership). UU Penyiaran
Pasal 16 ayat 2 mengatakan; “Kepemilikan silang antara lembaga penyiaran
swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio, dan lembaga
penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi; antara
lembaga penyiaran swasta dengan perusahaan media cetak; dan antara
lembaga penyiaran swasta dengan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran
lainnya; baik langsung maupun tidak langsung, dilarang.”</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Namun UU
yang mengatur cross ownership ini ditentang bahkan mendapat penolakan
keras dari pemilik media dan praktisi. Mereka bergabung dalam berbagai
organisasi, di antaranya Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia (ATVSI),
Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), serta
Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI). Dasar dari penolakan
terhadap larangan cross ownership ini dilakukan atas nama kebebasan
pers, revolusi teknologi informasi dan wacana demokrasi yang sedang
dibangun Indonesia. Untuk komunikasi massa, permasalahan utama adalah
selalu berkaitan dengan keputusan akhir untuk mempublikasikan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sampai
saat ini yang terjadi dalam prakteknya, satu orang atau satu badan
hukum boleh memiliki berapapun lembaga penyiaran swasta di satu atau
beberapa wilayah siaran. Seperti MNC Group (sebelumnya disebut TPI) dan
GlobalTV, selain jejaring stasiun televise likal. Demikian juga
VisiMedia Group yang menguasai dua frekuensi lewat TVOne dan ANTV. Juga
TransCorp yang punya Trans7 (sebelumnya TV7) dan Transtv. Pendeknya,
telah terjadi pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran yang luar biasa,
baik vertical maupun horizontal. Ini tentu bertentangan dengan semangat
demokratisasi penyiaran dan bertentangan dengan bunyi pasal 18 (1) UU
Penyiaran 2002.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selain itu seakan sudah lazim terjadi sekarang
ini, merger atau akuisisi lembaga penyiaran swasta yang diikuti dengan
pengambilalihan frekuensi siaran. Padahal, UU Penyiaran sudah jelas
menegaskan bahwa bahwa frekuensi adalah sumber daya alam milik negara
yang mengusai negara dan seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk
kepentingan masyarakat. Yang terjadi saat ini, berdasarkan sejumlah
pemberitaan, para pemiliki stasiun televise berkilah bahwa merger
terjadi di tingkat perusahaan induk (holding companies), sehingga sama
sekali tidak terjadi perpindahan kepemilikan frekuensi.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Padahal,
semua ini jelas tanpa frekuensi penyiaran yang dikuasainya, lembaga
penyiaran swasta nyaris tidak mempunyai nilai apapun. Karena itu, amat
sangat tidak masuk akal, jika pemilik SCTV bersedia mengakuisisi
Indosiar semata-mata karna programnya. Jelas ada motif penguasaan
frekuensi dari strategi eskpansi para pemiliki stasiun televise ini.
Sementara pihak pemerintah dan DPR masih berkilah bahwa sudah ada PP
Nomor 50 Tahun 2005 yang mengatur soal kepemilikan lembaga penyiaran
lebih dari satu, sebagai penafsiran atas pasal 18 dan pasal 34 UU
Penyiaran. Sehingga DPR sendiri menurut sejumlah media, memandang bahwa
dalam pasal tersebut tidak memerlukan tafsir pertama dan kedua. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Padahal
yang menjadi masalah justru menegasikan ketentuan UU Penyiaran.
Pemerintah bersikeras itulah tafsir yang benar atau UU itu, meski jelas
bertolak belakang dengan ketentuan di atasnya. Dalam situasi
ketidakpastian hukum macam ini, banyak sekali pihak yang mencoba mengail
keuntungan dari suasana status quo yang transisional ini. Di mana
kepemilikan saham media bisa tersebar di sejumlah tangan pemodal yang
sangat mungkin memiliki bisnis inti di wilayah lain. Para pemilik media
ini lazim mendirikan, membeli atau menanam saham di perusahaan media
semata-mata atas alasan keuntungan finansial.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dalam konteks ini,
secara tidak langsung akan berpengaruh pada keberagaman dan kualitas isi
media. Inilah pentingnya mengapa isu kepemilikan media menjadi isu yang
cukup mengkhawatirkan, karena jika memang demikian, maka kekuasaan
pemilik media, meski secara etik dibatasi dan secara normatif disangkal,
bukan saja memberi pengaruh pada konten media, namun juga memberikan
implikasi logis kepada masyarakat selaku audience. Pemberitaan media
menjadi tidak bebas lagi; muatannya kerap memperhitungkan aspek pasar
dan politik. Produk pemberitaan menjadi margin komoditas laba ekonomi
sekaligus margin kepentingan politik. Hal itu, pada banyak kasus, telah
mereduksi kemandirian institusi media. Akibatnya, terjadi kasus-kasus
dimana liputan media harus berhadapan dengan kepentingan politik dan
bisnis. Tema-tema liputan disesuaikan dengan orientasi tersebut.
Sehingga sangat bisa dipahami bahwa segenap gagasan tentang media
sebagai ’agen pencerahan’ tidak pernah dipertimbangkan secara serius.
Sebagaimana digambarkan Herman tentang sistem pertelevisian di AS: ’’Tak
ada ruang bagi para manajer yang memiliki tanggungjawab sosial dalam
sebuah sistem yang matang, dan di AS seluruh jaringan televisi secara
faktual kini dikuasai oleh para pemilik perusahaan yang sepenuhnya
digerakkan oleh pasar’’ (1993, hal. 181).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dengan segenap
karakteristik itu, pilihan untuk mengembangkan swastanisasi dan
liberalisasi pertelevisian di sebuah negara akan memiliki implikasi
serius. Sebagaimana dikatakan Golding dan Murdock (1974, hal. 228),
dalam sebuah sistem komersial, segenap proses pengumpulan dan pemrosesan
informasi yang dijalani akan memproduksi sebuah artifak budaya yang
melegitimasi konsensus kelas dominan. Stasiun televisi komersial tidak
apat diharapkan bersikap kritis terhadap kebijakan yang mendorong laju
ekspansi perusahaan-perusahaan transnasional, misalnya, bukan karena
tidak ada jurnalis profesional dengan gagasan-gagasan tercerahkan yang
bekerja di divisi pemberitaan stasiun tersebut, atau bahkan karena
divisi pemberitaan ditekan oleh para pemasang iklan, tapi bisa juga
karena alasan yang lebih mendasar: secara kolektif, terinternalisasi
gagasan di antara para pengelola dan pekerja media bahwa bersikap kritis
terhadap kecenderungan-kecenderungan utama dalam sistem kapitalistik
adalah sesuatu yang bertentangan dengan kodrat media komersial itu
sendiri. Peningkatan kompetisi akan mempersulit laju pengembalian modal,
yang dengan sendirinya akan mendorong perusahaan media untuk
memfokuskan perhatian mereka pada upaya memperbanyak penonton yang pada
gilirannya akan meningkatkan jumlah iklan. Dalam kondisi ini, berbagai
pertimbangan tentang potensi positif media untuk mendidik dan
mencerahkan masyarakat akan terpinggirkan. Manajemen yang gagal
merespons peluang pasar dan berada di bawah tekanan pemilik dan mungkin
pula ditendang keluar oleh proses internal.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Belum lagi
pertimbangan tingginya rating (minat masyarakat untuk menonton) pada
segmentasi tertentu, televisi rela menghilangkan dua fungsi yang lain
sebagai informatif dan edukatif. Indonesia, terutama dengan dikuasainya
industry televise oleh segelintir orang menyebabkan sulit terwujudnya
fungsi pelayanan informasi yang sehat, salah satunya seperti yang
tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu
Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of
Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). Pelayanan informasi yang
sehat berdasarkan Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah
tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis
program maupun isi program, yang salah satunya disebabkan
ketidakberagaman pemilik media. Yang juga akan berbeda dengan Diversity
of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) adalah jaminan bahwa
kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan
dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Karena prinsip
Diversity of Ownership juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara
pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sumber:</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Ade
Armando, 2011. Televisi Jakarta diatas Indonesia, kisah Kegagalan
Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia. Yogyakarta : Bentang.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sandi
Suwardi Hasan, 2011. Pengantar Cultural Studies, Sejarah, Pendekatan
Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut. Yoyakarta :
Ar-Ruzz Media.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kompas.com</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-89681728726196412342012-06-11T01:05:00.000-07:002013-09-24T01:06:37.585-07:00bukan "robohnya surau kami"<i><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">“Robohnya gereja kami...” ini bukan judul sebuah novel maupun film.
Namun pertama kali membacanya memang mengingatkan saya pada sebuah judul
kumpulan cerpen sosio-religi karya A.A. Navis berjudul “Robohnya Surau
Kami” yang diterbitkan tahun 1956. Cerpen ini menceritakan dialog Tuhan
dengan Haji Saleh, seorang warga Negara Indonesia yang selama hidupnya
hanya beribadah dan beribadah. Namun ini adalah status facebook seorang
kawan. Tentu saja langsung mengingatkan saya pada salah satu karya
monumental dalam dunia sastra Indonesia tersebut. Ia adalah individu
yang juga menjadi bagian dari komunitasnya.</span></i><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sepertihalnya ia, pada
situasi dan kondisi yang kurang lebih sama, bisa jadi saya juga
mengungkapkan hal yang sama tentang apa yang terjadi pada kehidupan dan
komunitas di mana saya berada. Termasuk ketika kita mendengar dan
menyaksikan sejumlah aksi kekerasan, terutama yang dilatarbelakangi
perbedaan agama maupun keyakinan, seakan tidak pernah selesai terutama
dalam kurun sepuluh tahun terakhir pasca tumbangnya rezim Orde Baru
(Orba). Sejumlah aksi kekerasan secara tidak langsung mempertegas,
meskipun kebebasan telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan
masyarakat sehari-hari, namun tidak demikian halnya dengan kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Karena pada saat yang sama, beberapa kelompok
‘bebas’ melakukan intimidasi, teror, dan penyerangan terhadap orang
lain yang dianggap berbeda. Seperti praktik diskriminasi dan kekerasan
yang menimpa sejumlah komunitas di Indonesia seperti komunitas gereja,
Ahmadiyah, Syi’ah dan sejumlah komunitas lainnya. </span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tindak
kekerasan dan intolerasi terus meningkat setiap tahunnya. Jika malas
membuktikannya berdasarkan sejumlah riset meningkatnya intoleransi di
negeri ini, saya pikir bagi kita yang peka sudah cukup untuk
membuktikanya melalui pemberitaan di media massa. Dalam kasus-kasus
penyerangan seperti terhadap Ahmadiyah dan sejumlah gereja, aparat
pemerintah dalam hal ini kepolisian dan militer telah bertindak abai dan
membiarkan meski mengetahui adanya potensi ancaman dan penindasan yang
akan terjadi . Terlalu seringnya menyaksikan peristiwa kekerasan dan
bagaimana pemerintah kita menyikapi hal ini, tentunya kita juga telah
faham bahwa Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan
jaminan hak-hak dasar sebagai bagian dari pelaksanaan konstitusi negara.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Indonesia
merupakan negara yang majemuk baik dari segi budaya, bahasa, agama
maupun sistem sosialnya. Kemajemukan dapat menjadi sumber kekayaan dan
pengikat bangsa, namun juga dapat menjadi sumber konflik, jika
penyelenggara negara tidak mampu mengelolanya. Bangsa Indonesia telah
memilih Pancasila sebagai ideologi negara dan menjadikan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai puncak nilai dan tujuan akhir
negara. Ahmadiyah misalnya, mengalami tindakan kekerasan terbanyak pada
era reformasi. Pelarangan Ahmadiyah menjadi issue yang digunakan dalam
proses pemiihan umum. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pelanggaran hak atas kebebasan
beragama/berkeyakinan telah mengakibatkan pelanggaran hak-hak dasar
lainnya baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan
budayanya baik sebagai individu, maupun kelompok. Hal ini disebabkan
pemerintah sebagai pemangku kewajiban, tidak mengacu kepada konstitusi
yang telah disepakati, melainkan menggunakan nalar agama dalam
kebijakan-kebijakan publik. Kondisi ini memberikan sinyal yang
mengkhawatirkan bahwa empat pilar kebangsaan tidak dijadikan dasar dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga dapat
dipastikan akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan ‘mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Untuk mengatasinya,
seluruh elemen harus kembali menjadikan empat pilar kebangsaan sebagai
dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan
mendorong proses demokratisasi ke arah kedewasaan untuk hidup
berdampingan</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Hak Individu (dari Hobbes dan Locke)</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dalam
judul kecil ini, saya ingin mengawalinya dengan berdiskusi tentang
konsep individu dalam tatanan politik dari konsep kedua tokoh ini,
keduanya berangkat dari sebuah konsep yang sama. Yakni sebuah konsep
yang dinamakan konsep negara alamiah atau yang lebih dikenal dengan
konsep “State of Nature”. Dalam diskusi-diskusi politik, apa yang saya
diskusikan ini sangat sering dikutip. Namun saya benar-benar ingin
mendiskusikan ini dengan bahasa saya sendiri, semoga mudah difahami.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Hobbes
(1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam "State of Nature" individu itu
pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia
ingin hidup damai. Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat
baru—suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian
demi melindungi hak-haknya dari individu lain di mana perjanjian ini
memerlukan pihak ketiga (penguasa).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sedangkan John Locke (1632 –
1704) berpendapat bahwa individu pada “State of Nature” adalah baik,
namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka
khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka
membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah
namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli
kucing dalam karung’. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah
penguasa/pihak ketiga (Negara), di mana Hobbes berpendapat akan timbul
Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bertolak
dari ke semua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan
pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. Inti dari terbentuknya
Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing
individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu ke depannya tergantung
pemimpin negara. Sementara Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan
dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas—hanya
sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi
konflik.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Lalu bagaimana asumsi Hobbes dan Locke tentang tatanan politik dan individu?</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Hobbes</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Hobbes
seringkali dianggap orang yang berjasa memperkenalkan teori kontrak
sosialnya yang kemudian diikuti oleh dua penerusnya, Locke, dan Rosseau.
Walau pun di antara ketiganya ada juga perbedaan-perbedaan yang cukup
tajam. Berdasarkan pemikiran Hobbes dalam “The State of Nature and the
Basis of Obligation,” Hobbes memulai pendapatnya dengan memandang secara
negatif terhadap manusia. Hobbes berpendapat bahwa individu-individu
itu bersifat egois dan saling mencurigai satu sama lain. Karena
kebutuhan-kebutuhan mereka harus dipenuhi dalam wilayah dan dari
persediaan alamiah yang sama.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Mereka berada dalam situasi
persaingan. Individu satu merupakan pesaing bagi individu lainnya, dan
karena itu harus dimusuhi. Akhirnya, terpaksa masing-masing mengambil
tindakan untuk saling melindungi. Dari pandangan inilah kemudian muncul
catchword dari Hobbes yang sangat terkenal, yakni homo homini lupus
(manusia adalah serigala bagi manusia lain) dan bellum omnium contra
omnes (perang semua lawan semua).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Keadaan inilah yang akhirnya
memaksa individu-individu itu untuk mengambil tindakan bersama. Mereka
mengadakan perjanjian di antara mereka sendiri dan saling memberi janji
untuk mendirikan satu lembaga dengan wewenang mutlak untuk menata mereka
melalui undang-undang dan untuk memaksa semua agar taat terhadap
undang-undang itu. Mereka menyerahkan semua hak alamiahnya kepada
lembaga itu, kecuali tentu hak untuk melindungi diri. Hal ini disebabkan
hak itulah yang mendasarkan kerelaan mereka untuk tunduk terhadap
lembaga itu. Dari perjanjian bersama ini lahirlah negara.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Perjanjian
itu tidak diadakan antara individu-individu dengan negara (karena pada
waktu mereka mengadakan perjanjian, negara belum ada), tapi antara
individu-individu saja. Isi perjanjian itu adalah untuk manciptakan
negara. Jadi, negara bukanlah patner dalam perjanjian itu, tetapi hasil
buahnya. Hobbes menarik kesimpulan bahwa negara—karena tidak ikut
mengadakan perjanjian itu—tidak terikat olehnya dan tidak dapat juga
melanggarnya. Artinya, dalam perjanjian itu individu-individu
menyerahkan semua hak mereka kepada negara, tetapi negara tidak
mempunyai kewajiban apa-apa terhadap mereka. Begitu mereka selesai
menciptakan negara, negara akan berdiri tegak dengan segala hak, tetapi
tanpa kewajiban apa pun.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Negara yang telah terbentuk itu memiliki
hak menentukan nilai-nilai moralitas. Negara menentukan baik dan
buruknya suatu norma atau sistem nilai. Negara berhak memutuskan sistem
perkara yang dipersengketakan. Dalam hal ini negara merupakan hakim
tertinggi. Apa yang dianggap nilai-nilai kebenaran haruslah haruslah
sesuai dengan apa yang ditentukan negara. Hak atas pemilikan kekayaan
dapat di sita negara kapan pun bila negara menghendakinya. Kedekatan
pada negara akan berarti kemudahan memperoleh akses atas kekayaan.
Pengangkatan jabatan-jabatan strategis, baik dalam birokrasi sipil atau
militer sepernuhnya hak prerogative penguasa negara.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Negara juga
lembaga politik yang hanya mengenal hak, tapi minus kewajiban. Penguasa
diberi hak untuk melakukan apa saja demi kebaikan negara. Dengan
alat-alat kekerasan yang dilembagakan, negara berhak memaksa warganya
untuk patuh kepada aturan-aturan yang ditetapkannya. Bila menentang,
negara dapat menjatuhkan hukuman kepadanya. Penggunaan koersi dan
penggunaan ancaman kekerasan dibenarkan dalam menegakkan hukum.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Negara
versi Hobbes memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaannya tidak boleh
terbelah. Kekuasaan terbelah akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang
sipil atau perang agama dalam negara. Dengan logika yang sama, Hobbes
juga tidak setuju dengan demokrasi atau sejenis dewan rakyat. Sebab,
negara demokrasi menuntut adanya pluralism politik, termasuk dalam arti
adanya berbagai pusat-pusat kekuasaan. Kekuasaan negara menjadi tidak
solid dan padu. Adanya banyak pusat-pusat kekuasaan dalam negara inilah
yang dikhawatirkan Hobbes menjadi cikal bakal terjadinya konflik
kekuasaan. Sehingga menurutnya, Monarkhi absolute dengan hanya memiliki
seorang penguasa akan bisa tetap konsisten dengan kebijakan-kebijakan
yang ditetapkannya. Sedangkan bila negara dikuasai oleh sebuah dewan
besar kemungkinan kebijakan negara akan mudah berubah.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Locke</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Jika
Hobbes berpandangan bahwa negara itu harus diatur oleh seorang penguasa
yang kuat dan diperbolehkan menggunakan segala cara untuk menuju
kehidupan masyarakat yang lebih baik, sebab menilai bahwa manusia pada
dasarnya adalah jahat dan tidak baik, maka perlu ada yang mengaturnya
dengan cara yang ”keras” pula. Namun Locke yang hidup setelah masa itu
berpandangan lain, dia berusaha membawa masyarakat dan negara kepada
pemikiran yang lebih baik dengan meninggalkan kesewenang-wewnangan dan
cara pemerintahan yang absolut (seperti abad kegelapan). Dia menilai
bahwa asal manusia (State of Nature) dan kehidupan itu adalah baik dan
tidak seperti yang dikatakan oleh Hobbes.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sebelum Locke menulis
Two Treatises of Government kehidupan politik Inggris dan Perancis Abad
XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam konteks
sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan jawaban
terhadap kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan
perang-perang agama yang terjadi pada saat itu. Locke adalah penentang
gigih monarki absolut di negaranya, karena bertentangan dengan prinsip
civil society yang diyakininya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tentang kekuasaan, Locke menilai
penguasa bukan berasal dari Tuhan atau diwariskan turun-temurun,
melainkan kekuasaan merupakan produk perjanjian sosial antara warga
negara dengan penguasa negara sebab manusia dilahirkan dengan kesamaan
derajat. Pada kesimpulannya Locke menganggap bahwa kekuasaan absolut
adalah antitesis dari kebebasan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Seperti pemikir sebelumnya
termasuk Hobbes, Locke pun membahas eksistensi negara dengan mendasari
pada keadaan alamiah manusia (state of nature). Banyak ilmuan lain saat
ini juga membandingkan Locke dengan Hobbes sebagai sebuah hubungan yang
anti-tesis, sebab konsep negara yang dikemukakan oleh Locke sangat
berbeda dengan Leviathannya Hobbes. Menurut Ahmad Suhelmi (2001), asal
muasal pemerintahan adalah suatu keadaan alamiah. Keadaan alamiah
menurut Locke merujuk pada keadaan di mana manusia hidup dalam
kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tidak ada rasa
takut dan penuh kesetaraan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Locke berpendapat bahwa kebebasan
individu hanya dapat dijamin dengan suatu pemerintahan yang memiliki
kewenangan yang terbatas. Sebelum terbentuknya masyarakat dan
pemerintah, secara alamiah manusia berada dalam keadaan yang bebas sama
sekali dan berkedudukan sama (perfectly free and equals). Karena bebas
dan berkedudukan sama, tiada orang yang bermaksud merugikan kehidupan,
kebebasan, dan harta milik orang lain. Manusia bersifat rasional karena
dialah satu-satunya makhluk yang memiliki akal budi. Locke percaya akal
akan selalu membuat manusia berperilaku rasioanal dan tidak merugikan
manusia lain. Ini karena akal budi tidak lain adalah hukum alam yang
dikatakan Locke memiliki sifat-sifat ketuhanan atau Locke menyebut akal
sebagai “suara tuhan” (reason is the voice of god).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Tidak boleh
sesorang atau individu tertentu lebih tinggi dari pada individu yang
lain atau dikenal dengan keadaan sub-ordinasi, kecuali keadaan tersebut
bagi seorang penguasa dan pemimpin. Artinya tidak dimaknai bahwa keadaan
masyarakat itu memungkinkan dan membolehkan manusia untuk berbuat
sekehendak hatinya. Nilai-nilai moral yang diajarkan di antaranya bahwa
manusia sebagai individu tidak boleh saling membalas yang menghancurkan
dirinya dan orang lain, sebab keadaan alami memiliki sebuah hukum alam
untuk mengaturnya. Hukum alam menurut Locke bersifat normatif. Hukum ini
menyuruh orang bagaimana seharusnya ia bersikap, bukan bagaimana
sebenarnya ia bersikap. Sikap yang dikemukakan oleh Locke inilah yang
kemudian membuat ia lebih dikenal sebagai Bapak Hak Asasi Manusia (HAM)
dunia.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dalam bukunya “Etika Politik”, Franz Magnis Suseno
mengatakan bahwa Locke dikenal sebagai pelopor HAM, sebab menurutnya hak
untuk hidup adalah sesuatu yang terpenting, dan manusia penting pula
mempertahankan hidupnya. Dari hak untuk hidup inilah kemudian ia
mengembangakan hak atas milik. Dengan demikian, pada dasarnya manusia
sudah mengenal hubungan-hubungan sosial, maka mungkin sekali untuk
menghindari perpecahan dan hal-hal yang memicu peperangan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Pemikiran
Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai
belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan
berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat
kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar
ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari
pertanggungjawaban dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung
jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang
pemerintahan pada “delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh
mereka yang diperintah.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sebagaimana disebut di atas, menurut
Locke, negara didirikan juga untuk melindungi hak milik pribadi. Negara
didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol
pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap
menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak
milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik
tetapi juga kehidupan dan kebebasan. Locke menyebut hak-hak ini dengan
istilah hak-hak yang tidak asing dan negara justru didirikan justru
untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dari penjelasan di atas,
Locke tampak sekali telah melakukan desakralisasi terhadap kekuasaan
politik. Ia menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat sekuler.
Artinya, kekuasaan bersifat duniawi dan sama sekali tidak berkaitan
dengan transendensi ketuhanan atau gereja. Selanjutnya Locke menegaskan
bahwa bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu kekuasaan politik adalah
untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan
sipil itu, cara apa pun boleh dilakukan oleh negara. Negara
diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan
tujuan lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan bersama. Hobbes dan
Locke, keduanya membatasi kekuasaan negara walaupun pembatasan Hobbes
tidak efektif. Sebaliknya, Locke mengembangkan konstitusi negara untuk
menjamin kekuasaan negara tidak melampaui batas yang wajar.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Konsekuensi Pemikiran Hobbes dan Locke terhadap Isu Toleransi dan Pluralism</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Konsekuensi
pemikiran Hobbes dan Locke tentang individu berpengaruh pada bagaimana
mereka memandang isu toleransi dan pluralism. Berdasarkan penjabaran di
atas, asumsi Hobbes dan Locke tentang manusia sangat berbeda. Perbedaan
pandangan tersebut juga mempengaruhi cara pandang mereka tentang
toleransi agama dan isu pluralism.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Locke misalnya, karena
berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah pada dasarnya rasional dan
baik, maka ada universal values. Manusia pada dasarnya baik, ketika
manusia tidak toleran, itu karena manusia belum tercerahkan saja.
Manusia di mana-mana di dunia ini pada dasarnya baik. Sehingga ketika di
dunia ini terjadi intoleransi dan lain sebagainya, hal tersebut
disebabkan karena mereka belum tercerahkan (enlightenment).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sehingga
kembali lagi pada based assumption keduanya tentang manusia. Seperti
Locke, pada dasarnya manusia adalah baik, ada universal value
(nilai-nilai universal) yang kita bisa secara serempak kita percaya dan
kita sepakati, karena kita pada dasarnya manusia itu baik dan rasional
seperti perdamaian (peace) dan keadilan (justice). Jadi peace dan
justice misalnya sangat kontekstual. Peace dan justice di suatu tempat
atau negara berbeda, seperti di Israel dan Palestina. Meskipun sama-sama
peace dan justice (dua ‘universal values’), namun dalam kondisi dan
konteks yang berbeda akan menimbulkan konflik, satu dan yang lain tidak
bisa dipertukarkan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selain itu juga pemaknaan manusia universal
(universal human) sendiri tidak ada, hanya ada di angan-angan kaum
liberal saja. Seperti Hobbes (proto liberal) yang mengasumsikan tidak
adanya universal human. Yang ada adalah kehidupan bersama walaupun
berbeda atau beragam budaya, suku, maupun agama. Sehingga menurut
Hobbesian, local identity tidak bertentangan dengan national identity.
Dalam konteks Indonesia, menurut Malik Gismar, Indonesia bukanlah nation
state, Indonesia sangat beragam maka harus dikelola dengan baik.
Sehingga pancasila seharusnya tidak hanya mudah disebutkan, tetapi juga
harus dipraktikkan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Apa yang diasumsikan Hobbes tentang universal
human tersebut adalah apa yang tidak ditoleransi oleh Locke. Kebebasan
menurut Locke adalah nilai berharga, sehingga menurut pemikiran ini
eksistensi kehidupan manusia akan lenyap seiring lenyapnya kebabasan
dari diri manusia. Salah satu bentuk kebebasan yang harus dihargai
menurut Locke adalah kebabasan menganut agama dan keyakinan dalam civil
society. Dalam konteks inilah terletak relevansi pembahasan gagasan
toleransi agama dalam pemikiran Locke.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Gagasan Locke mengenai
toleransi agama sejalan dengan pandangannya tentang perjanjian
masyarakat dan wewenang kekuasaan negara. Yaitu, bahwa negara tidak
memiliki hak mencampuri persoalan keyakinan individual atau kehidupan
beragama seseorang. Agama merupakan keyakinan subjektif individu dan
hanya individu bersangkutan yang berhak mendefinisikan benar tidaknya
keyakinan yang dianutnya. Masalah agama menurut Locke adalah masalah
keyakinan pribadi yang tidak ada otoritas mana pun berhak menggugat
kebenarannya. Campur tangan negara terhadap persoalan keberagaman
individu bertentangan dengan hak-hak manusia yang paling dasar dan
melanggar asas kebebasan berkeyakinan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><b>Lalu, haruskah
pemerintah memiliki seluruh kekuasaan sebagaimana dipersaratkan oleh
Hobbes dalam rangka menjamin keamanan? Dapatkah keamanan (security)
dipastikan/dijamin dengan cara lain?</b></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Dalam kondisi
tertentu, kekuasaan seperti yang dipersyaratkan Hobbes sangat penting.
Dalam konteks Indonesia misalnya dalam situasi di mana sejumlah golongan
terus berkonflik, serta aksi kekerasan terjadi secara terus menerus
dalam beragam bentuk, maka negara harus memonopoli kekerasan. Karena
dengan memonopoli kekerasan, menurut Hobbes ini akan menjadi syarat
pertama agar negara aman. Di mana negara harus memonopoli penggunaan
kekuasaan dan ancaman, seperti terjadinya premanisme dan sejumlah aksi
kekerasan yang dipimpin oleh kelompok tertentu karena persoalan beda
keyakinan dan lain sebagainya. Karena ketika aksi kekerasan apapun
bentuknya masih terjadi di mana-maa, maka berarti bahwa kekuasaan tidak
dimonopoli negara.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selain itu, tentunya jika warga menyerahkan
haknya dan negara memonopoli kekerasan, maka negara harus memberi
jaminan. Dan ini yang menjadi kekhawatiran dari penerapan konsep
kekuasan Hobbes, dikhawatirkan negara tidak memberikan jaminan. Setelah
Leviathan menerima dan individu menyerahkan haknya untuk mempertahankan
negara, apa obligasi negara, melalui hukum yang dibangun dan sebagainya,
negara harus menjamin interaksi sosial itu terjadi, economic affair,
negara punya obligasi dan jaminan-jaminan lainnya, bukan sekadar
menangkap hak, tetapi juga penyerahan hak itu harus disertai dengan
jaminan hak.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Hal-hal yang dikhawatirkan atau penyimpangan dari
kekuasaan yang dikonsepkan Hobbes adalah seperti yang terjadi dalam
konteks Indonesia pada rezim Suharto, di mana obligasi negara banyak
tidak dipenuhi. Sedangkan dalam konsep Hobbes, menuntut obligasi besar
oleh negara. Sehingga dalam hal ini, tentunya Leviathan dan the
ruler-nya tidak bisa terpisah. Antara konsep Leviathan itu dan the
ruler-nya itu satu, berarti kalau ada penguasa tidak memahami bahwa
Leviathan sebagai penjaga keamanan, maka si penguasanya tidak masuk
dalam kategori si peguasa ini, tapi justru dia terintegrasikan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Selain
itu, konsep Leviathan juga memiliki kekuatan memaksa. Apakah yang
memaksa itu presiden atau kah gabungan Presiden dan DPR. Maka gabungan
negara bukan secara keseluruhan oleh Presiden tapi juga ada di dalamnya
DPR, Jaksa Agung, dan sejumlah state apparatus (dalam konsep Montequi)
untuk menertibkan negara. Kemudian Civil society, dalam konteks jamannya
Thomas Hobbes berada di bawah gereja, yang waktu itu justeru gereja dan
negara bukan seseuatu yang terpisah. Jaman itu civil society bagian
dari negara, lewat gereja. Leviathan, tidak termasuk dengan gereja. Maka
diisyaratkan saja, orangnya harus Leviathan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Kekhawatiran dari
konsep kekuasaan Hobbes juga jika menyerahkan total ke negara, maka
dikhawatirkan akan menimbulkan kepemimpinan dictator, contohnya semua
keputusan ada di negara, seharusnya kekuasaan itu diserahkan ke rakyat
melalui perwakilannya di DPR, maka wajar kalau DPR seharusnya meminta
hak interpelasi kenapa pemerintah menurunkan TNI hanya untuk menghalau
massa demo rencana kenaikan BBM. Hal ini karena rakyat tidak diberi
kesempatan. Kasus BBM, dikhawatirkan seperti itu jika semuaya diserahkan
kepada negara. Dikhawatirkan memberangus hak-hak warga sipil. Meskipun
awalnya mau melindungi sipil, namun kecenderungannya malah mengekang
hak-haknya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Karena kekhawatiran kemungkinan munculnya negara
totaliter, maka cara lain adalah dengan adanya pembatasan kekuasaan
negara. Seperti menurut Locke, kekuasaan negara harus dibatasi dengan
cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga.
Hal ini menurut Locke dilakukan dengan memisahkan politik ke dalam tiga
bentuk: kekuasaan eksekutif (excecutive power), kekuasaan legislative
(legislative power) dan kekuasaan federasi (federative power). Kekuasaan
eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang sedangkan
kekuasaan legislative merupakan lembaga perumus undang-undang dan
peraturan-peraturan hukum fundamental negara lainnya. Menurut Locke
kekuasaan legislative adalah manifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat
pada negara. Kekuasaan ini dijalankan oleh parlemen yang merupakan
pengejawantahan atau bentuk representasi semua kelas sosial masyarakat
baik kaum bangsawan, orang-orang kaya maupun representasi semua kelas
sosial itu, yaitu House of Commons dan House of Lord. Kekuatan suara di
parlemen itu menurut Locke ditentukan oleh prinsip mayoritas.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sehingga
dalam konteks menjamin keamanan, cara lainnya adalah dengan penegakan
hukum yang seadil-adilnya. Kalau memang terbukti melakukan tindak
kriminal, maka harus dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Jadi cara lainnya adalah penegakan hukum, di mana hukum berupa
undang-undang dan sejumlah kebijakan lainnya, berdasarkan inisiasi dari
kekuatan suara di parlemen itu menurut Locke ditentukan oleh prinsip
mayoritas. Tetapi kelemahannya dalam praktiknya adalah suara minoritas
dalam kasus tertentu seringkali terabaikan. Contohnya seperti maraknya
peraturan daerah (Perda) yang diskriminatif gender, meskipun disahkan
berdasarkan kesepakatan suara di parlemen, namun suara parlemen itu
sendiri tidak seimbang antara suara laki-laki parlemen dan perempuan di
parlemen. Pada umumnya suara laki-laki lebih mendominasi, apalagi
laki-laki di parlemen sendiri tidak memiliki perspektif gender. Sehingga
dengan mudah mengesahkan Perda yang diskriminatif gender yang akan
berdampak pada misalnya pengekangan terhadap perempuan, fitnah terhadap
perempuan, serta aksi masa dalam kondisi tertentu karena pengaruh
penerapan Perda yang tidak sensitive gender.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-57463015280392529392012-05-31T22:15:00.000-07:002013-07-31T22:15:40.442-07:00menikmati proses<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Masih di tempat yang sama. Di sebuah ‘panggung”, di mana para lelaki,
perempuan, dan semua yang beridentitas maupun tanpa identitas memainkan
perannya. Di sudut mana pun, mereka tetap bergerak entah dengan tubuh
maupun pikirannya. Begitu pun kali ini, masih sama. Sepertinya akan
terus demikian, karena setiap tiba di titik akhir, nyatanya itu bukan
titik akhir. Mungkin karena titik-titik itu memiliki semacam pintu untuk
keluar masuk. Sehingga terasa sekali hanya melewatinya sejenak. Namun
bukan berarti tanpa makna.</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"></span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"> </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Hari ini aku memainkan peran yang berbeda dari kemarin, bahkan
terkadang aku memerankan beberapa peran. Pada mulanya sekadar keinginan,
lalu menjelma nyata. Dari nyata itu di dalamnya tumbuh lagi
keinginan-keinginan baru. Lalu dari keinginan itu kembali bergerak
dengan sendirinya tanpa tanda. Demikian seterusnya. Jika demikian, maka
perubahan adalah sebuah keniscayaan. Bahkan dalam bingkai waktu yang
teramat sempit pun, bisa saja menemukan diriku dalam sebuah perubahan
yang sangat besar. Ketika sama sekali tidak disangka-sangka, kehidupan
justru menyodorkan kepada kita tantangan untuk menguji keberanian dan
kemauan kita untuk berubah; jika saat seperti itu tiba, tidak ada
gunanya berpura-pura sesuatu tidak terjadi, atau mengatakan kita belum
siap. Benar sekali yang mengatakan bahwa tantangan itu tidak akan
menunggu. Hidup tidak menoleh ke belakang. Selalu ada jeda bagi kita
memutuskan, apakah akan menerima takdir kita atau kah tidak. <span id="more-2912"></span></span>
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Bahkan mungkin ketika mereka miris tak percaya, aku masih terpacu
menikmati kebebasanku. Bahkan mungkin menemukan surga di saat mengira
diriku dalam neraka. Benar, hanya aku yang tepat menjawab pertanyaanku
sendiri mengenai hakikatku. Bahkan tentang kebutuhan-kebutuhan yang
kuciptakan sendiri dan mendesak untuk dipenuhi. Selalu ada jawaban
mengapa harus membendungnya sementara waktu dan beralih apa yang ada dan
nyata-nyata butuh untuk dijawab. Juga tentang makna yang mereka
lemparkan tentang bahagia, sukses, dan segala jenis kepuasan lainnya,
nyatanya hanya aku sendiri yang bisa menjawab makna kebahagiaan bagi
diriku sendiri. Meski mungkin hanya duduk, lalu memasuki dunia lain yang
diciptakan jiwa lain melalui huruf-huruf, bahkan yang sepele ini bisa
bermakna indah dan membahagiakan. Sambil kubisikan pada semesta, saat
ini aku hanya ingin begini saja. Ya, sebelum di detik berikutnya aku
kembali bergerak memainkan prosesku sendiri dan menikmatinya seperti
biasa.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br /></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-75801737350101269082012-01-19T00:19:00.000-08:002013-07-31T20:06:22.482-07:00sedikit mengenal perempuan Lombok <span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">bagiku sepertinya sulit mencari istilah yang tepat untuk judul di atas. bagaimana agar tetap berbagi cerita yang tak sekadar berbagi. tapi bersama-sama membangun sudut pandang yang tetap memihak perempuan. maka tanpa berpikir agar bombastis dan memang tidak ada kepentingan agar bombastis, maka secara sederhana kuberi judul yang sangat biasa. selain itu, tulisan ini juga tidak untuk mewakili bagaimana gambaran perempuan Lombok seluruhnya, ini hanya sedikit yang baru kuketahui dari perempuan Lombok. ini juga tentang perempuan Lombok juga label-label yang dilemparkan pada mereka. yang jujur, aku masih tidak sepakat dengan itu dan mencari istilah yang tepat untuk menggantikannya. pertemuan pertamaku dengan mereka, perempuan Lombok, sangat singkat. tepatnya awal Oktober 2-5 Oktober 2011 lalu. itu pun hanya demi kepentingan salah satu workshop. namun sebelumnya aku telah mendengar cerita salah seorang kawan aseli Lombok dan juga salah satu peneliti budaya Lombok. selebihnya hanya membaca dari media. dan awal Oktober itu adalah pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di Lombok dan menatap secara langsung perempuan-perempuan Lombok.</span></span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span style="font-size: small;">sampai pada awal Januari lalu menemukan sebuah artikel tentang Lombok Pulau Janda yang diangkat di website Radio Nederland Wereldomroep Indonesia (NWI). pemilihan judul artikel yang cukup singkat itu membuatku risih, meskipun ampuh untuk menarik pembaca dan menggelitik pemerintah agar lebih memperhatikan nasib mereka. menulis apapun, akan memiliki kesan tersendiri pada pembacanya. maka menulis sesuatu juga harus ada perspektif tersendiri. bagiku pribadi, menulis tentang perempuan maka wajib menggunakan perspektif gender, artinya tulisan tersebut memiliki keberpihakan terhadap perempuannya. keberpihakan ini yang kemudian berpengaruh pada pemilihan judul dan kata-katanya. memang di sini kita harus berhati-hati, tidak semata bombastis. karena apa yang akan kita tulis berdampak pada sudut pandang dan imajinasi yang dibangun pembaca terhadap objek penulisan.<br /><br /><br />tentang label “janda”<br /><br /><br />sebelum berlanjut pada artikel (NWI), mari sejenak berbagi kembali pada label “janda”. janda adalah sebuah predikat bagi seorang perempuan (isteri) yang tak lagi bersuami, baik ditinggal cerai atau ditinggal mati. secara sosial predikat janda cerai kerap menimbulkan ‘hambatan psikologis’ dalam berinteraksi. bisa jadi hambatan ini muncul lantaran cerai berkonotasi dengan ‘huru-hara’. konotasi ini semakin menghujam karena tak menjelaskan siapa yang membuat ulah dan akhirnya siapa yang bersalah. masalah ini hanya konsumsi ruang privat bukan publik. namun, tak urung menjadi pembicaraan publik. lain lagi dengan isteri yang ditinggal mati sang suami. predikat ini dianggap masih mengundang rasa simpatik. kendati demikian, tetap tak mampu mengubah omongan miring yang membuat hati miris.<br /><br /><br />tapi mengapa masyarakat tidak merasa perlu terjun dalam ‘kesibukan’ saat melihat fenomena para duda? padahal realita keduanya sama. sama-sama ditinggalkan cerai atau ditinggal mati pasangannya. realitasnya, janda lebih ‘survive’ menghadapi kehidupan selanjutnya dibanding duda, meski harus berperan ganda sebagai ibu dan ayah. status janda akhirnya menjadi “sesuatu yang berbeda”. ‘perbedaan’ itu memang telah lama dicitrakan oleh masyarakat sekaligus ‘disetujui’ pula oleh masyarakat pada umumnya. meski semestinya, sebagai fenomena kemanusiaan, status janda tidak harus disikapi dengan berlebihan.<br /><br />janda. sebuah label yang membuat banyak perempuan takut menyandang predikat itu. tak sedikit yang menganggap perempuan berstatus janda, terutama karena cerai, bukan sebagai ‘warga’ masyarakat biasa. seakan ada catatan merah. ada lingkaran penanda.<br /><br /><br />‘gelar’ baru pulau Lombok<br /><br /><br />di ruang kepala kita, selain Lombok dikenal sebagai pulau seribu masjid, bayangan lainnya adalah keindahan alamnya, juga pantainya yang indah. namun selain itu, Lombok juga dikenal dengan jumlah penduduk perempuannya yang lebih banyak dari kaum lelakinya. mereka yang pernah ke Lombok, setidaknya akan berkisah bahwa selama di Lombok mereka lebih banyak bertemu dengan perempuan. termasuk pengalamanku ketika pertama kali menginjak Lombok dan mencicipi Bandara barunya. di depan Bandara dipenuhi warga sekitar yang juga tengah asyik menikmati Bandara baru mereka. sebagaian besar mereka adalah perempuan dan anaknya. selain itu, mereka menjadi pedagang di pasar tradisional, pelayan di hotel atau bahkan perempuan yang gigih menawarkan cindera mata khas Lombok di tempat-tempat wisata. senyum di bibir kering mereka tetap tulus, meski di tengah terik dan juga keringnya Lombok sekitar Bandara. sepertinya mereka baik-baik saja, tidak ada yang faham bahwa sebelum mereka berangkat bekerja untuk menjajakan barang dan jasa mereka, paginya mereka mendapat kekerasan dari suami -suami mereka baik dalam bentuk fisik maupun batin. setidaknya demikian penggambaran mereka yang pernah menyaksikan secara langsung kehidupan perempuan Lombok.<br /><br /><br />kekerasan terhadap perempuan di pulau nan indah ini sepertinya sudah menjadi mainstream yang berlaku luas pada masyarakat Lombok pada umumnya. bahkan fenomena kawin cerai menjadi hal yang biasa dan seakan tidak ada masalah dan sangat biasa. termasuk cerita Fadlurrahman, Administrative Reform Team @Center for Good Governance Jogja. dia memiliki catatan tersendiri tentang ini, setidaknya, paparnya, ia menjadi saksi bagaimana pola ini membentuk circle yang melekat erat dalam budaya masayarakat Lombok pada umumnya.<br /><br /><br />sementara dalam artikel NWI tersebut, Pulau Lombok, NTB, mendapat gelar baru karena kerap disebut sebagai pulau dengan ribuan janda. meski lagi-lagi aku tidak sepakat dengan gelar tersebut, karena akan berdampak pada bagaimana perempuan Lombok dilihat dan diperlakukan dunia. bahkan meskipun pemerintah telah mencoba menghapus gelar tersebut, akan sulit hilang di kepala kita karena telah melekat kuat. perempuan yang ditinggalkan suaminya itu, pada umumnya masih berusia belia, belasan tahun. para suami dengan mudahnya menceraikan isteri, dan perempuan-perempuan muda itu tak berdaya. lalu salah satu reporter KBR68H Rony Rahmatha menemui para perempuan yang disebut “janda muda” tersebut di sejumlah daerah di Lombok Barat. sang reporter pun mulai me-list penyebab mereka menjadi janda. mulai dari tidak disetujui orang tua (Ortu) sampai pada bahwa semua itu merupakan sebuah pembenaran.<br /><br />perempuan-perempuan perkasa Lombok (2) dari DetikFoto<br /><br /><br />tidak disetujui Ortu. di sini reporter mewawancarai salah satu perempuan Lombok berusia mendekati dua puluh tahun dan telah menjadi janda. namanya Fatmini, di usianya yang tergolong muda tersebut, ia sudah harus sibuk dengan keseharian membesarkan anaknya yang berusia satu tahun. menurut si reporter, seharusnya ia tak perlu terlalu sibuk kalau masih ada suaminya. meski saya menangkapnya bukan berarti perempuan tidak perlu terlalu sibuk, tapi perempuan muda itu kini memiliki beban ganda. sebelum Fathimi menikan dengan suaminya, ia telah melalui masa pacaran yang dijalani selama dua tahun. pernikahan yang tak disetujui orang tua. pernikahan berakhir setelah suaminya menjadi TKI di Malaysia. tragisnya, perceraian hanya dilakukan melalui telpon genggam. kini Fatmini menyandarkan hidupnya bersama orang tua di Hambalan, Lombok Barat. ia malu menjadi beban ibunya dan bertekad mencari pekerjaan. “mau kita cari kerja, tapi bayi ini kan masih kecil. nggak ada yang jagain juga. malu juga kita, apalagi ibu kita sudah tua, bapak aku udah meninggal juga."<br /><br /><br />selain tidak disetujui Ortu, juga korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sayangnya reporter ragu untuk menulisnya sebagai korban KDRT, ia lebih memilih menuliskannya sebagai “korban kekerasan menikah”. reporter bercerita tentang Kaswati, usianya lebih belia dibanding Fathimi, umurnya baru 15 tahun saat itu, baru tamat SMP. warga Hambalan, Lombok Barat ini menjadi korban KDRT. suaminya sering memukuli Kasmawati pada saat sedang mabuk minuman keras. dan berakhri cerai. perceraian itu tidak melalui pengadilan karena sebelumnya ia menikah tanpa surat akte nikah. “waktu itu belum banyak yang buat semacam akte nikah. perceraian nggak melalui pengadilan agama, tapi kan kalau di penduduk sini kalau lakinya sudah bilang cerai, kita cerai. misalnya dia sudah menjatuhkan talak satu kan kita cerai. secara sah secara agama.<br /><br /><br />kemudian ada juga istilah “Janda Malaysia”. berbeda dengan Fatmini dan Kasmawati, dua dari ribuan perempuan Lombok yang menikah di usia muda dan menjadi janda, juga di usia muda. namun ternyata pada umumnya perceraian terjadi setelah suami menjadi TKI di luar negeri, seperti di Malaysia. akhirnya para perempuan muda itu sering dijuluki Jamal alias Janda Malaysia. sungguh miris bukan? selain itu mereka juga tidak mudah mendapatkan data akurat dari pengadilan agama terkait perceraian. baik itu di ibukota provinsi, Mataram, maupun di kabupaten lainnya di Lombok. sebabnya, banyak pernikahan di Lombok tidak didaftarkan ke pengadilan agama setempat.<br /><br /><br />sang reporter juga mewawancarai Ketua Dewan Pengawas Perempuan dari Solidaritas Perempuan Mataram, Yuni Riawati. menurutnya, perceraian hanya dilakukan melalui proses ritual agama yang mereka yakini dan dianggap sah. “faktanya di Lombok ini, kawin cerai itu banyak sekali. Kemudian menjadi beban saat terjadi cerai itu adalah ibu. bapak itu, tidak mengurus, karena dia bisa kawin ke sana ke mari dan beban anak adalah ibunya. kenapa hal itu terjadi, karena administrasi pernikahan tidak terurus. akte nikah mereka tidak ada, apalagi akte cerai.”<br /><br /><br />Yuni Riawati melanjutkan, akibat tak ada administrasi pernikahan, anak dan ibu menjadi korban kesemena-menaan kaum lelaki. menurutnya banyak sekali pelanggaran hak, terutama hak anak. “kalau perceraian, anak masih memperoleh nafkah dari bapaknya. karena tidak ada putus hubungan dengan bapak, itu nggak ada seperti itu. apalagi pelanggaran pada hak istri. Sebenarnya selama istri belum nikah, bisa mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. itu nggak ada. karena dari proses menikahnyapun mereka tidak ada itu. ini juga menjadi pelanggengan kekerasan terhadap perempuan.”<br /><br />tradisi kawin lari di Lombok<br /><br /><br />Aturan adat<br /><br /><br />sementara itu masyarakat adat Pulau Lombok memiliki aturan adat dalam perhelatan pernikahan. aturan adat atau awiq-awiq mengajarkan tata krama pernikahan atau dalam bahasa Suku Sasak disebut Merariq. dalam pelaksanaan merariq atau pernikahan, diharuskan seorang calon pengantin pria membawa lari calon mempelai perempuan secara rahasia. Budayawan Nusa Tenggara Barat Jalaluddin Arzaki: “Diambil secara rahasia itu dilakukan, pertama, untuk menunjukkan orang tuanya memberikan kesempatan demokratis kepada anaknya memilih calon pasangannya. nggak boleh orang tua yang menentukan. jadi unsur demokrasinya ada di situ. kedua, orang tua itu ingin menunjukkan secara adil kepada calon suami atau pacar-pacar lainnya yang mau sama anaknya. kalau ada satu atau tiga orang yang mau, maka kalau satu saja kelihatan terang-terangan dikasih, maka yang lain akan iri. demi keadilan dan bukti kalau ini pilihan anaknya, maka dia diambil secara rahasia itu.”<br /><br /><br />Pemuka adat<br /><br /><br />setelah proses melarikan calon mempelai perempuan, barulah kedua belah pihak keluarga akan bertemu untuk mencari kesepakatan pernikahan adat. Pertemuan akan dijembatani oleh pemuka adat dari wilayah mempelai masing-masing. namun saat ini telah terjadi pergeseran pemahaman adat itu. istilah melarikan calon mempelai perempuan dalam aturan merariq disamakan dengan menculik. bahkan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Lombok Barat Raden Rais mengatakan, bukan hanya pemahaman yang bergeser, aturan merariq juga sudah dilanggar. “Anak muda sekarang, banyak yang dipelesetkan, ketemu di sekolah, kawin, lari. Ketemu di pasar, bawa lari, dengan alasan merariq secara adat Sasak. padahal itu sudah diatur di dalam awiq-awiq itu, itu sudah melanggar.”<br /><br />di saat Lombok terancam krisis air, perempuan-perempuan mereka tak berhenti bergerak<br /><br /><br />Pembenaran<br /><br /><br />seorang pelopor kesetaran gender di Nusa Tenggara Barat, Hasanain Juani mengatakan, pilihan bercerai seakan menjadi budaya pembenaran di Pulau Lombok. hal ini dipicu oleh faktor ekonomi, rendahnya pendidikan dan pemahaman yang kurang akan arti dan tujuan pernikahan. Adat merariq tidak sampai mengatur hal ini. “tidak ada dalam tradisi kita ini mempersiapkan secara khusus pra nikah, itu yang tidak ada. untung saja dalam sekolah agama itu ada pelajaran figih nikah. tapi kan tidak semua mereka dapat mempelajari figih nikah ini. sehingga persiapan mereka untuk menjadi perempuan yang baik, ibu yang siap itu memang lemah.”<br /><br /><br />Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Lombok Barat Raden Rais mengatakan, pemuka adat Sasak tengah memikirkan mencari solusi untuk meluruskan kembali tata krama adat Sasak, termasuk merariq. “Banyak sekali penyimpangan di ranah hukum adatnya, sehingga kami berfikir bagaimana caranya agar adat istiadat, pakem yang ada di fair di nambalat itu dihidupkan kembali sesuai dengan khitahnya. Kalau yang dulu di pakem adat suku Sasak yang khusus di fair nambalat tata cara merariq atau kawin itu adalah, pertama harus cukup umur dan harus diketahui identitas keturunannya laki dan perempuan sama kedua keluarga. Itu yang tergeser sehingga kami membangun lembaga itu.” Fair nambalat yang dimaksud Raden Rais adalah lembaga adat di tingkat kecamatan. Lembaga inilah yang akan memberikan pemahaman kembali kepada masyarakat tentang tata cara adat yang sudah mulai menyimpang.<br /><br /><br />*terlepas dari segala label yang dilemparkan pada perempuan-perempuan Lombok dan lainnya, bagiku mereka tetap perempuan-perempuan tangguh yang tak hanya hidup demi kehidupannya, tapi juga demi kehidupan yang lain.<br /><br /><br />Alimah, 19 Januari 2012</span></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-90734442909629958712012-01-17T01:43:00.000-08:002013-09-25T01:44:53.037-07:00perempuan di kereta<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">suatu hari seorang perempuan menghubungiku dan merencanakan sebuah
pertemuan antara ia dan suaminya. suaranya di siang menyengat itu
membuatku berhenti dan berpikir sejenak. apa yang sudah terjadi pada
perempuan itu dan suaminya. meski penasaran, sayangnya aku tak mendapat
kesempatan bertanya lebih banyak lagi. ia menutup pembicaraannya, lalu
sms berisi waktu pertemuan kami. sayangnya lagi, pikiranku saat itu
dipenuhi dengan paper-paper tugas kuliah yang tak kunjung terselesaikan.
maka meminta maaf tak bisa bertemu secepatnya adalah satu-satunya
alasan yang bisa kuberikan. setelah itu panggilan-panggilan dan pesannya
tak sesering sebelum aku beberapa kali menolak pertemuan yang kami
rencanakan. tiba-tiba dalam kondisi seperti ini, aku dipaksa untuk tak
peduli. aku menjelma sosok yang egois dan tak mau berbagi. tapi saat ini
aku tak bisa berbuat lebih. kondisiku memaksaku untuk fokus pada satu
hal. semoga rumah tangganya baik-baik saja, hanya itu yang bisa
kulakukan. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">perempuan itu adalah seorang perempuan paruh baya yang memilih duduk
di sampingku, ketika pertemuan pertama kami. saat itu aku tak banyak
berpikir kenapa. bagiku itu sesuatu yang wajar, duduk di kereta
sendirian dan akan segera datang penumpang lain entah laki-laki
perempuan. aku hanya orang pertama yang kebetulan lebih awal mendapatkan
tempat dudukku. “ini bukan nomorku,” ujarnya tiba-tiba. “tapi aku
memilih duduk dengan sesama perempuan, nomor dudukku di sebelah sana,”
lanjutnya sambil menunjuk tempat duduk yang sudah terisi laki-laki. “aku
tak terbiasa duduk bersama lelaki yang bukan muhrimku,” ujarnya lagi.
“oh, silahkan bu,” jawabku singkat sembari menyunggingkan senyum yang
biasa saja. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"></span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">kami adalah penumpang yang sama-sama tidak mendapat tiket eksekutif
karena telah habis. di gerbong Bisnis kereta Cirebon Ekspres (Cireks)
tujuan Cirebon-Jakarta. aku pikir tak apa meski tak senyaman eksekutif.
tapi melihat penampilan perempuan itu di tengah gerbong Bisnis, rasanya
sedikit janggal. penampilannya yang begitu berkilau lengkap dengan
aksesoris dan tas-tas jinjing yang juga bukan tas perjalanan biasa. tak
perlu lama menebak dan menanti jawabannya, aku sudah faham, ia juga
kemungkinan tak mendapat tiket di gerbong yang nyaman itu. dan benar
juga, seperti mampu membaca pikiranku, tiba-tiba ia menjelaskan bahwa ia
juga tidak mendapat tiket eksekutif karena sudah habis. saat itu kami
memang melakukan perjalanan di hari Minggu sore. ah, tapi seharusnya tak
seramai itu. tapi bisa juga terjadi. </span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"> </span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">sesaat kami duduk dalam diam. dan suasana hening, diam dan tak peduli
satu sama lain adalah hal yang biasa terjadi dalam kereta, bus, angkot,
pesawat, dan perjalanan lainnya. lalu perempuan dengan pernak-pernik di
kerudungnya itu membuka pembicaraan. “saya tak terbiasa naik kereta
bisnis, apalagi harus satu bangku dengan laki-laki,” tukasnya membuka
pembicaraan. aku masih membacanya, sepertinya perempuan di sampingku
akan bercerita lebih banyak lagi. itu petanda perjalananku sekitar tiga
jam akan diisi sebagai pendengar yang setia. benar saja, ceritanya terus
mengalir. tentang suaminya yang begitu keras bagai batu, demikian dia
mengistilahkan sikap dan karakter suaminya. bahkan sampai ia pensiun dan
anak-anaknya telah berumah tangga. suaminya sulit merubah sikapnya.</span>
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><br />
kepadaku, perempuan yang baru dikenalnya di kereta, perempuan itu terus
bercerita dan sangat terbuka tentang rumah tangganya. dan kesimpulan
dari semua yang dialaminya adalah ia harus terus bersabar. seperti
perempuan lainnya, ia ingin suaminya mampu memahaminya dan sesekali
mengalah. tapi sikap keras kepala suaminya membuatnya takut setengah
mati. bahkan di dunia ini, yang paling ditakutinya adalah suaminya. dia
takut dicerai, karena anak-anaknya telah dewasa. suaminya adalah pekerja
keras yang sukses, namun kini telah pensiun. meski demikian, sikapnya
tak selayaknya orang tua. sama-sama tak memiliki banyak waktu untuknya.
sikapnya tak ubahnya pria muda yang tak pernah absen berkumpul dengan
tema-temannya di kafe-kafe dan club-club malam. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">seperti perempuan lainnya, perempuan itu hanya ingin agar suaminya
normal seperti suami teman-teman pengajiannya. “apalagi sudah tua,”
ujarnya. “setidaknya memikirkan akhirat,” tuturnya lagi. tanpa kuminta
dan bertanya, dia bercerita begitu detail dengan rumah tangganya.
sementara aku masih memilih menjadi pendengar setia. hingga tiba-tiba
dia mulai bertanya siapa aku dan ada kepentingan apa ke Jakarta. usai
kuceritakan, dia terkejut. “bagaimana bisa perempuan menikah tak
berkumpul dengan suami? ah, itu namanya bukan rumahtangga. rumahtangga
adalah suami isteri harus ada di rumah bersama-sama,” ungkapnya. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">aku tak sampai berpikir, ada perempuan yang begitu terkejut mendengar
pengalamanku yang sering berjauhan dengan suami. tapi aku memahaminya.
karena pengalamannya berbeda dengan pengalamanku. “apakah ini pengaruh
emansipasi Kartini itu? tapi saya sangat tidak sepakat, sungguh keluarga
yang akan dikorbankan. bagaimana kamu bisa menjalankan ini?,” tanyanya
bertubi. lalu kami pun melanjutkan obrolan kami. ia membagi
pengalamannya, dan aku membagi pengalamannya. termasuk pengalamanku
bertemu dengan perempuan-perempuan lain yang juga mengalami persoalan
serupa dialaminya. aku tak bisa mengatakan bahwa aku begitu banyak
memberi masukan dan saran kepadanya. namun dia mengaku pikirannya
terbuka, meski lagi-lagi pada akhirnya ia tetap merasa berat menerima
kenyataan ada perempuan sepertiku. namun ia menerima dan antusias
bertanya lebih jauh ketika kami membahas tentang strategi komunikasi
yang tepat dan baik dengan pasangan kita masing-masing. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">sungguh tak bisa bercerita lebih lagi tentang perempuan ini, namun
bertemu dan mendengarkan perempuan yang lain menjadi satu pengalaman
yang sangat berharga. bagaimana kita belajar mendengarkan, bertanya, dan
saling berbagi pengalaman. sepanjang perjalanan ketika dia mendapat
panggilan dari suaminya via mobile, dia melanjutkan dan mempertajam
ceritanya, hingga akhirnya kami berpisah setelah saling bertanya nama
dan nomor Hp. semoga rumahtangganya semakin baik. </span><br />
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-26084019357869978402012-01-16T02:07:00.000-08:002013-09-25T02:08:57.273-07:00mengenal kyai feminis Indonesia<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">mungkin masih ingat tentang paragraf-paragraf yang disusunnya sehingga berhasil membuatku ‘menangis’ pada <a href="http://mylastparagraph.wordpress.com/2010/02/11/benar-aku-menangis/">benar, aku menangis</a>. aku juga pernah berbagi tentang salah satu pemikirannya dalam <a href="http://mylastparagraph.wordpress.com/2011/07/14/berdialoglah/">berdialoglah</a>.
mengenal sosoknya dalam keseharian dan menjadi bagian dari salah satu
perjuangannya, membuatku selalu ingin menulis tentangnya. keinginan yang
begitu besar dan bahkan ingin mencatat detail dan banyak tentangnya.
tapi di luar sana juga sudah banyak yang menuliskan tentang sosoknya.
dia adalah Husein Muhammad. salah satu penulis di kompasiana, Much. Aly
Taufiq, menuliskan sosoknya dengan judul <a href="http://fahmina.or.id/artikel-a-berita/artikel/968-husein-muhammad-satu-satunya-kyai-feminis-indonesia.html">Satu-satunya Kyai Feminis Indonesia</a>, yang kemudian juga diangkat dalam website lembaga Fahmina-institute, LSM tempatku bekerja. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><a href="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/01/kh-husein-muhammad.jpg"><img alt="" class="alignleft size-medium wp-image-2792" height="300" src="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/01/kh-husein-muhammad.jpg?w=225&h=300" title="kh-husein-muhammad" width="225" /></a> </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">aku
pikir menarik bagaimana membaca pikiran orang lain tentang Kyai
kelahiran cirebon 9 Mei 1953 ini. karena selama ini aku sering
setengah-setengah berbagi informasi tentangnya, semoga apa yang ditulis
Much. Aly Taufiq dan sedikit aku paparkan dengan gaya berceritaku di
blog ini, semoga bisa menambah informasi kita tentang sosok yang merasa
dirinya muda di masa tuanya, dan merasa tua di masa mudanya. aku dan
sejumlah orang yang mungkin merasa akrab dengan sosoknya, biasa
menyapanya buya Husein. ia kerap menjadi narasumber dalam berbagai
pertemuan yang mendialogkan isu keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan
Perempuan. bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
misalnya, sebagai pembicara dalam konferensi internasional bertema
“Trends in Family Law Reforms in Muslim Countries” di Kuala Lumpur,
Malaysia. sebelumnya, dia diundang ke Dhaka, Banglades, dalam konferensi
internasional pula. ia juga pernah mengisi mata kuliah yang diampu oleh
Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, padahal saat itu Nasr Hamid tidak
berhalangan. Nasr Hamid hanya ingin melihat pengasuh pesantren Dar al
Tauhid Cirebon itu memberi pencerahan kepada mahasiswanya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><strong>fatwanya tentang imam perempuan</strong></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">sekali lagi, Much. Aly Taufik menyebutnya sebagai satu-satunya Kyai
feminis Indonesia yang tak pernah merasa lelah membela perempuan. ia
berjuang mendongkrak kemapanan pemahaman relasi gender yang telah mapan.
pandangannya banyak berbeda dengan pandangan keagamaan arus utama,
terutama ketika membahas fikih mengenai perempuan. salah satu fatwanya
yang berbeda adalah, ia membolehkan perempuan sebagai Imam Salat yang
makmumnya laki-laki. Menurutnya, Imam Salat hendaknya yang pandai
membaca Al-qur’an, ahli fiqih, dan yang pandai di antara kamu. al-qur’an
tidak pernah menyebutkan soal laki-laki dan perempuan, justru yang
ditekankan sebagai Imam salat adalah kemampuan individu, bukan jenis
kelamin.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">satu-satunya hadis yang melarang perempuan sebagai imam adalah
“Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam Salat bagi laki-laki,”.
dalam riset Husein Muhammad, hadits itu bertumpu pada periwayat bernama
Muhammad bin Abdullah al-Adawi. Sosok ini banyak menuai kritik. Imam
Bukhari menyebutnya “munkar”. Abu Hatim menyebutnya “syaikh majhul”.
Daruquthni menilai hadisnya “matruk”. Ibnu Hibban menyebut hadisnya
“tidak boleh dijadikan dasar hukum”.<span id="more-2791"></span></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">menurut buya Husein, ada hadis sahih yang memperbolehkan perempuan
menjadi Imam atas laki-laki, Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh Ummu
Waraqah mengimami Salat penghuni rumahnya. hadits itu dipersepsi luas
para periwayatnya dipercaya kredibel. dalam hadits Abu Daud, Imbuh
Husein Mhammad, ada penjelasan tambahan: pembaca azannya seorang pria.
Ummu Waraqah juga dijelaskan memiliki budak pria. di rumahnya pun ada
kakek-kakek.</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"></span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"> isi hadits itu, menurut Husein, sejalan dengan prinsip Islam yang
memberi kesetaraan laki-laki dan perempuan. dari sini Husein Muhammad
menyimpulkan, tidak ada nash agama yang melarang perempuan jadi imam.</span>
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">sejak dahulu, tutur Husein, sudah ada ulama sekaliber Mujtahid Mutlak
yang memperbolehkan Imam perempuan. di antaranya, seorang ahli fiqih
Abu Tsaur, Al-Muzani (wafat 878 M) dan Ibnu Jarir al-Thabari (wafat 923
M). namun, pendapat mereka kurang dikenal hingga saat ini.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">mengapa arus utama ahli fikih melarang? Husein menyimpulkan, karena
kondisi masyarakat Arab pada saat itu sangat dominan dengan laki-laki,
selain itu perempuan di depan atau di tengah laki-laki, seperti diungkap
banyak buku fikih, bisa menggoda pikiran laki-laki. tapi, bagi Husein,
itu cara pandang yang bias laki-laki.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><strong>menuliskan pemikirannya</strong></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Husein Muhammad adalah satu-satunya Kyai yang concern meneliti
Gender. Ia begitu erat dengan khasanah kitab-kitab klasik. maklum, masa
mudanya ia habiskan untuk mendalami kitab kuning. sejak kecil, ia sudah
hidup di lingkungan pesantren. sembari bersekolah, ia belajar ilmu agama
dari orang tua sendiri.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">namun, ia tidak puas hanya belajar di pesantren orangtuanya sendiri.
“Belajar ke yang pintar, beguru ke yang pandai”, pepatah itulah yang
menyulutkan semangat Husein untuk merantau ke kediri, menimba Ilmu agama
di pesantren Lirboyo, Tahun 1969 sampai 1973.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">pada tahun 1973, ia melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Ilmu
Al-qur’an (PTIQ) Jakarta. di sini, ia mendapatkan ilmu-ilmu baru,
tentang organisasi, menulis karya ilmiyah, hingga demonstrasi. pada
1976, ia tercatat sebagai pendiri dan pemimpin redaksi buletin PTIQ,
“Fajrul Islam”. meskipun buletin itu masih menggunakan mesin ketik dan
tulisan tangan, namun tidak mengurangi semangatnya berkarya.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">tahun 1980 ia merasa lega, sebab telah berhasil menjadi sarjana
jebolan PTIQ. namun, ayah dari lima anak ini belum merasa puas. “Berguru
kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi”, pekerjaan yang dilakukan
dengan tanggung-tanggung tidak akan mencapai hasil yang baik. karena
tidak mau setengah-setengah, ia pergi ke Mesir. menyeberang pulau ia
jalani, berkelana ke negara lainpun ia sanggupi.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">namun, setelah sampai di Universitas Al-Azhar Mesir, Husein Muhammad
dikecewakan dengan Kurikulum yang banyak pengulangan dan menggunakan
sistem hafalan. ia merasa apa yang diajarkan di sana kurang menantang.
semua sudah dipelajarinya di pesantren. akhirnya ia mengurungkan niat
untuk melanjutkan studinya. selama tiga tahun di Mesir, ia habiskan
waktunya di perpustakaan dan mengisi diskusi di Kaum Muda Nahdlatul
Ulama (KMNU) cabang Mesir.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">akhirnya pada tahun 1983, Ia pulang ke Indonesia tanpa gelar dari
Universitas al-Azhar. namun membawa segudang ilmu yang akan digunakan
berjuang membela kaum yang didiskriminasikan, yaitu perempuan.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">sebagai bentuk pembelaan terhadap perempuan, pada bulan November
2000, ia mendirikan Fahmina Institute. Lalu pada tangga 3 Juli 2000,
bersama Sinta Nuriyah A. Wahid, Mansour Fakih, dan Mohamad Sobari, ia
mendirikan Pesantren Pemberdayaan Kaum Perempuan ‘Puan Amal Hayati’.
Pada tahun 2000 juga, ia mendirikan RAHIMA Institute, dan pada tahun
yang sama pula, ia mendirikan Forum Lintas Iman, tiga tahun kemudian, ia
tercatat sebagai Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on
population and Development. lalu pada tahun 2005, ia bergabung sebagai
pengurus The Wahid Institute Jakarta. Selain itu ia juga tercatat
sebagai angota National Board of International Center for Islam and
Pluralisme (ICIP).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><a href="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/01/mengaji-pluralisme.jpg"><img alt="" class="alignleft size-full wp-image-2793" src="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/01/mengaji-pluralisme.jpg?w=500" title="MENGAJI-PLURALISME" /></a> </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">saat
ini, selain sibuk sebagai Komisioner pada Komnas Perempuan dan
konsultan Yayasan Balqis untuk hak-hak perempuan, kesehariannya ia
jalani dengan menulis berbagai buku dan artikle. bukunya yang sudah
terbit adalah Fiqh Perempuan, Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan
Gender (Lkis, Yogyakarta, 2001), Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan
Kiyai Pesantren (LkiS, Yogyakarta, 2005), Spiritualitas Kemanusiaan,
Perspektif Islam Pesantren, (LKiS Yogyakarta ,2005). Ijtiihad Kyai
Husein ; upaya membangun keadilan (2011), Mengaji Pluralisme maha guru
pencerahan (sedang tahap akhir).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">sedangkan buku yang ia tulis bersama-sama adalah Dawrah Fiqh
Perempuan, Modul Kursus Islam dan Gender, (Fahmina Institute, Cirebon,
2006), Fiqh Anti Trafiking, Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan
Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, (Fahmina Institute,
Cirebon, 2009), Fiqh Hiv Dan Aids, Pedulikah Kita, (PKBI-Jakarta),
Kembang Setaman Perkawinan, (Kompas, Jakarta). selain buku di atas,
artikel Husein muhammad juga tersebar di berbagai media, baik lokal
maupun nasional. Ia juga seringkali diminta memberi komentar dan
pengantar berbagai buku.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">tak seorang pun meragukan kegigihan perjuangannya dalam membela hak
perempuan. bahkan, Ia tidak segan mengkritik buku ataupun kitab yang
dinilai mendiskriminasikankan perempuan. Bersama Forum Kajian Kitab Kuning,
selama tiga tahun ia mendikusikan isi dan meneliti kembali kualitas
hadis yang terdapat dalam kitab Uqud al Lujain fi Huquq al Zaujain.
walhasil, ia menemukan 33 % hadis Maudhu’, 22 % hadis Dhoif, sisanya ada
yang Hasan dan Sahih, namun dari sisi matan masih diperdebatkan.
penelitian itu terbit dengan judul Ta’liq wa Takhrij Syarh Uqud al
Lujain (LkiS, Yogyakarta, Tahun 2001)</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">lengkaplah sudah. K.H. Husein Muhammad mampu membuktikan kepada
publik, bahwa ia menjadi tokoh lantaran Keihlasan dan konsistensinya
dalam memilih jalan hidup. ia terus membela perempuan dan tidak pernah
beralih ke dunia lain yang mungkin lebih banyak memberikan materi.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">apa yang dimiliki Husein Muhammad semua mendukung citranya bergelut
di dunia Gender. belum nampak sosok yang lain seperti Husein Muhammad
yang peduli dengan Gender. kalaupun ada, mungkin hanya sosok semangatnya
saja yang menonjol, tetapi belum tentu dedikasinya. Kalau Husein
Muhammad, semua yang ada pada dirinya memang betul-betul medukung untuk
membela perempuan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">sehingga tidak heran jika Moch. Nur Ichwan mensejajarkan Husein
Muhammad dengan feminis internasional seperti Qasim Amin, Tahir Haddad
di Tunisia, Asghar Ali Angineer di India, dan Nasr Hamid Abu Zayd di
Mesir. Tak usah heran pula jika Ulil Abshar Abdalla menjulukinya dengan
“Pemulung kebenaran terpinggirkan”.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">meskipun pujian dan cacian mendera, Kyai Husein tetap membela
perempuan. Kemanapun pergi, ia tetap sebagai Kyai dan sarjana jebolan
PTIQ yang kaya dengan prinsip tawadhu’ serta berakhlak mulia.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Husein menuturkan, bahwa PTIQ telah memberi pengaruh besar pada
dirinya. PTIQ ikut terlibat pada proses pencarian karakternya, hingga
menjadi seperti saat ini. “Terima kasih PTIQ” imbuhnya. Namun, Husein
menyayangkan, PTIQ saat ini belum menghasilkan intelektual yang
berkualitas. banyak sekali alumni yang menjadi politisi, Imam masjid,
hakim MTQ, pengasuh pesantren, birokrat dan akademisi, namun sedikit
yang menjadi intelektual produktif.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">jika diibaratkan PTIQ sedang membangun sebuah tembok, maka sudah ada
“batu bata” politisi, “batu bata” Imam masjid, hakim MTQ, pengasuh
pesantren, birokrat dan akademisi, namun “batu bata” intelektual belum
ada, sehingga tembok itu masih berlubang. Itu adalah tugas alumni
mendatang, untuk mengisi lubang “batu bata” intelektual yang masih
kosong.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">tulisan ini adalah bagian dari buku “PTIQ dan Para Tokohnya”</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Sumber: <a href="http://sejarah.kompasiana.com/" rel="nofollow">http://sejarah.kompasiana.com</a><br />
Sumber: <a href="http://fahmina.or.id/" rel="nofollow">http://fahmina.or.id/</a></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1078930863985807343.post-68313158886820280802012-01-16T01:52:00.000-08:002013-09-25T01:57:30.481-07:00pemimpin transforming<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">jika aku bertanya, apa yang muncul di kepalamu tentang kesan pemimpin
negeri kita sekarang? atau silahkan jika ingin menambahkan daftar nama
pemimpin-pemimpin sebelumnya. jika bisa kutebak, pasti di antara kita
memiliki kesan yang sama. tentang sosok pemimpin yang kurang tegas,
penakut, bimbang, lebay, atau ganteng mungkin, yang terakhir itu
relatif, tapi bukan itu yang aku maksud. atau mungkin ada yang berpikir
dia telah melakukan perubahan yang signifikan atau bagaimana, silahkan
ungkapkan. tapi di ruangan ini aku akan lebih banyak berbagi bahwa kita
tidak membutuhkan pemimpin yang kurang tegas dan lain sebagainya. tapi
tentang pemimpin yang transforming, bukan transaksional. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">suatu waktu secara berulang-ulang, aku dan sejumlah teman
membincangkan sejumlah isu di negeri ini. aku pikir dengan era
mediatisasi dengan mudahnya bersosial media, tidak hanya aku, hampir
setiap orang melakukan hal yang sama. berdiskusi dan berbagi. ketika kau
tak mampu mendiskusikannya di ruang nyata yang sudah terlalu padat dan
tidak terlalu praktis, maka ruang maya adalah alternatif yang tepat.
facebook, twitter, blog, atau media apapun yang mampu kau jangkau.
termasuk akhir tahun 2011 dan awal tahun 2012, dinding facebook-ku dan
sejumlah dinding facebook teman masih terus dipenuhi dengan perbincangan
tentang sejumlah persoalan sensitif negeri ini. dan aku pikir ini sudah
semacam tugas utama kita sebagai warga negara di negara yang tengah
merangkak pada sistem demokrasi yang bermutu.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">perbincangan kami biasanya berujung pada, “lalu bagaimana, apa yang
harus dilakukan?”. kami perlahan berpikir tentang solusi, berpikir
tentang tindakan apa yang bisa dilakukan. bagiku, yang juga menjadi
pikiran sejumlah orang, negeri ini butuh pemimpin-pemimpin yang berani
melakukan perubahan. okay, itu sudah pasti, setiap rakyat membutuhkan
sosok pemimpin yang demikian. namun apa dan bagaimana sosok pemimpin
ini, mari kita diskusikan di ruangan ini. </span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><strong>pemimpin yang mengubah</strong></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">aku mungkin tergolong telat dalam memahami ini, tapi mari kita saling
berbagi tentang teori Kepemimpinan, salah satu teori yang menekankan
suatu perubahan dan yang paling komprehensif berkaitan dengan
kepemimpinan adalah teori kepemimpinan transformasional dan
transaksional (Bass, 1990). gagasan awal mengenai gaya kepemimpinan
transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James MacFregor
Gurns yang menerapkannya dalam konteks politik. gagasan ini selanjutnya
disempurnakan serta diperkenalkan ke dalam konteks organisasional oleh
Bernard Bass (Berry dan Houston, 1993). Burns (1997) mengemukakan bahwa
gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional dapat dipilah
secara tegas dan keduanya merupakan gaya kepemimpinan yang saling
bertentangan. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><span id="more-2797"></span></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><div class="wp-caption alignleft" id="attachment_2804" style="width: 311px;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><a href="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/01/liddle_pic1.jpg"><img alt="" class="size-full wp-image-2804" src="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/01/liddle_pic1.jpg?w=500" title="liddle_pic1" /></a></span><div class="wp-caption-text">
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Prof. R. William Liddle</span></div>
</div>
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">menyebut
nama Burns, aku jadi ingin mengaitkannya dengan R.William Liddle atau
biasa disapa Bill, guru besar Emeritus, Departemen Ilmu Politik, Ohio
State University Amerika baru-baru ini dalam orasi ilmiahnya yang
berjudul “Marx atau Machiavelli” dalam Nurcholis Madjid Memorial Lecture
V, pada Kamis (08 Desember 2011). Bill juga yang mengenalkanku bahwa
kita membutuhkan pemimpin transforming dari pada transaksional. jika
ingin sempurna, sebenarnya begitu banyak teori tentang kepemimpinan
transforming dan transaksional. seperti dalam pidatonya Bill.
</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">mengungkapkan tentang tantangan terbesar terhadap demokrasi bermutu
pada masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya politik yang
tidak merata. setidaknya kalau demokrasi dimaknai sebagai kesetaraan
politik antara semua warganegara, definisi Robert Dahl, salah satu
pencipta tersohor teori demokrasi abad ke-20. sayangnya, menurut Bill,
cita-cita itu sulit diwujudkan di ekonomi-ekonomi kapitalis pasar, baik
yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang seperti
Indonesia. masalahnya: secara ironis, kapitalisme pasar sekaligus
merupakan dasar ekonomi mutlak buat negara demokratis modern sambil
menggerogoti terus dasar politik negara tersebut.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan
pada pertengahan abad ke-19 oleh teoretisi sosial Karl Marx yang
mengutamakan perbenturan kelas selaku kekuatan dinamis dalam sejarah.
namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21 tidak banyak membantu kita
memahami apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi. di
Indonesia Bill memberi contoh tulisan-tulisan Richard Robison dan Vedi
Hadiz. selain yakin berlebihan terhadap peran perbenturan kelas, mereka
menyepelekan mandirinya lembaga-lembaga demokrasi yang dijuluki
demokrasi borjuis, demokrasi yang hanya melayani kepentingan kelas
kapitalis.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><a href="http://www.google.co.id/imgres?q=Machiavelli+il+Principe&hl=id&sa=X&biw=1024&bih=466&tbm=isch&tbnid=Ck8Nwuigan6EUM:&imgrefurl=http://newhistorian.wordpress.com/2008/01/04/machiavelli/&docid=X-64g9nd7J3TLM&imgurl=http://newhistorian.files.wordpress.com/2008/01/the-prince.jpg&w=331&h=475&ei=O-gTT77SKYGyrAfVy9XiAQ&zoom=1&iact=hc&vpx=581&vpy=33&dur=1703&hovh=269&hovw=187&tx=97&ty=163&sig=110030137009394630243&page=1&tbnh=126&tbnw=87&start=0&ndsp=18&ved=1t:429,r:14,s:0"><img alt="" class="alignleft size-full wp-image-2800" src="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/01/the-prince.jpg?w=500" title="the-prince" /></a> </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">Niccolo
Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke-16, menurutnya lebih tepat
selaku pemandu global abad ke-21 ketimbang Marx. pendekatan Machiavelli
terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki,
menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik. ia menawarkan
kerangka berharga, terdiri atas konsep-konsep <a href="http://mylastparagraph.wordpress.com/2012/01/12/virtu-dan-fortuna/">virtu dan fortuna</a>,
yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan teori tindakan baru pada zaman
kita. virtu, ketrampilan, berarti luas semua sumber daya yang berguna
bagi aktor politik untuk mencapai tujuannya. kita juga diingatkan
Machiavelli bahwa ada tensi, mungkin tak terhindarkan sepanjang masa,
antara moralitas pribadi dan moralitas politik. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">teori tindakan Machiavelli diterapkan secara persuasif oleh sejumlah ilmuwan politik di Amerika pada paruh kedua abad ke-20 dan dasawarsa
pertama abad ke-21. Richard Neustadt mengamati dari dekat tiga presiden
Amerika: Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower. Bagi
Neustadt, sumber daya politik terpenting seorang presiden yang mau
berprestasi adalah the power to persuade, kekuatan untuk meyakinkan
orang lain tentang kebijakan-kebijakannya. Neustadt menawarkan lima
ukuran keberhasilan presidensial: keterlibatan pribadi sepenuh hati;
pernyataan posisi yang tidak samar-samar; pesan yang disiarkan
seluas-luasnya; persiapan pelaksanaan yang matang; serta pengakuan
keabsahan presiden oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat atau
berkepentingan. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><a href="http://www.tobiascenter.iu.edu/TobiasLecture2009.html"><img alt="" class="alignleft size-full wp-image-2799" src="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/01/jamesmacgregorburns.jpg?w=500" title="JamesMacGregorBurns" /></a> </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">James
MacGregor Burns, intelektual dan aktivis kiri ternama, menulis tatkala
Amerika sedang bergejolak akibat protes gerakan hak sipil minoritas
Amerika-Afrika dan perlawanan luas terhadap perang Amerika di Vietnam.
Dalam bukunya yang terbaik, Leadership, ia menciptakan konsep-konsep
followership, kepengikutan, dan transforming leadership, kepemimpinan
yang mengubah masyarakat secara mendasar. perubahan yang mendasar
bergantung pada pengejaran moralitas tinggi antara pemimpin dan pengikut
secara intensif, bersama dan terus menerus. Burns bersitegas bahwa
kepemimpinan tak terpisahkan dari moralitas, lalu memuji Mao Zedong
selaku transforming leader. buku James MacGregor Burns yang paling
berpengaruh, Leadership, diterbitkan hampir dua dasawarsa setelah buku
Neustadt. zaman sudah berubah drastis, khususnya di Amerika, tempat
semakin banyak warganegara dimobilisasi untuk melawan berbagai kemapanan
yang memalukan. perjuangan minoritas Amerika-Afrika untuk hak sepadan
dengan kaum putih sudah banyak berhasil, tetapi tokoh kharismatisnya,
Martin Luther King, telah tewas terbunuh di Memphis, Tennessee. pada
waktu yang sama protes dan oposisi jutaan orang dipicu perang Amerika
yang kebablasan di Vietnam. Presiden Lyndon Johnson mengaku gagal
memimpin bangsa. dalam pemilihan presiden berikut, dia digantikan oleh
Richard Nixon, yang kemudian merasa terpaksa menerima penyatuan kembali
negara Vietnam di bawah kepemimpinan komunis.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;"><a href="http://www.scottlondon.com/reviews/burns.html"><img alt="" class="alignleft size-full wp-image-2798" src="http://mylastparagraph.files.wordpress.com/2012/01/burns.jpg?w=500" title="burns" /></a> </span><br />
<br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">leadership
merupakan respon Burns terhadap perubahan dan tuntutan itu. Pandangan
hidupnya lebih kiri dari Neustadt, walaupun dalam konstelasi partisan
Amerika mereka berdua berada di lingkungan Partai Demokrat. Artinya,
mereka menerima prinsip positif peran negara, berbeda dengan Partai
Republik yang menjunjung prinsip peran pasar di atas negara. namun,
Burns lebih menekankan keharusan konflik sebagai pendorong perubahan
sosial. lagi pula, pendekatannya lebih psikologis dan moralis ketimbang
ilmu politik empiris murni. Burns memperkenalkan dua unsur baru: konsep
followership, kepengikutan, selaku saudara kembar Siam tak terpisahkan
dari konsep leadership, kepemimpinan; serta pemisahan kepemimpinan dalam
dua tipe baru, transactional (bertransaksi atau bertukaran) dan
transforming (mengubah bentuk). kepemimpinan transactional yang lebih
umum dijelaskan sebagai tertukarnya sumber daya politik dalam bentuk
barang dan jasa, termasuk suara dalam pemilu, antara pemimpin dan
pengikut. dua belah pihak memperoleh sesuatu yang berharga dan
masyarakat juga diuntungkan. Namun, tidak ada tujuan lebih tinggi yang
mengikatkan pemimpin dan pengikut dalam suatu pengejaran tujuan luhur
bersama-sama dan terus menerus. </span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">tipe kepemimpinan tinggi itu disebut transforming. ilustrasinya
diambil dari berbagai negara, termasuk Amerika, Inggris Raya, Perancis,
Rusia, dan Tiongkok. sumbangan Burns kepada pengembangan teori tindakan
cukup berkesan dan menjanjikan. konsep followership yang dipelajari
selaku interaksi timbal-balik dengan kepemimpinan bisa membantu kita
untuk mengerti pasang-surut gerakan-gerakan sosial yang sering punya
dampak politik. di Amerika, Martin Luther King berhasil menjembatani
desakan keras orang Amerika-Afrika untuk memperoleh hak-hak
konstitusional mereka dengan resistensi orang putih yang juga cukup
keras. kuncinya: strategi kepemimpinan King yang mementingkan ahimsa,
perjuangan tanpa kekerasan, dari bawah serta tuntutannya kepada
pemerintah agar cita-cita Pernyataan Kemerdekaan Amerika terkabul bagi
semua warganegara. di Indonesia, konsep followership Burns bisa dipakai
untuk menelusuri segala macam gerakan, dari zaman Pergerakan sampai
zaman kita, tempat banyak kelompok sosial berjuang untuk mencapai
tujuannya. satu contoh: kemampuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk
survive, sintas, dan bertumbuh pada zaman Orde Baru bisa dipelajari
sebagai kasus leadership dan followership berbarengan dan saling
mengisi. kasus kasus Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) juga menarik dipelajari dalam kerangka ini. </span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">distingsi antara kepemimpinan transactional dan transforming kini
populer sekali di Amerika sebagai alat jurnalis dan sejarawan mengukur
keberhasilan presiden-presiden kami. hal itu wajar saja. banyak yang
dituntut dari presiden-presiden AS dan kita memerlukan konsep analitis
yang tepat untuk mengukur jenis dan tingkat prestasi mereka. salah satu
presiden favorit saya, Bill Clinton, pernah mengeluh bahwa dia mustahil
dianggap transforming leader di mata sejarawan, sebab pada masa
kekuasaannya tak ada tantangan besar! Clinton memang perlu dilihat
selaku transactional leader, namun sumbangan positifnya cukup baik di
dalam maupun di luar negeri. jumlah presiden di Indonesia sudah cukup
banyak untuk dibandingkan tingkat prestasi mereka. sekilas saja, menurut
pendapat Bill, Sukarno adalah presiden transforming sampai tahun 1949,
tetapi setelah itu beliau sama sekali gagal baik sebagai transforming
maupun transactional leader. Soeharto berhasil mentransformasikan
ekonomi Indonesia, tetapi ongkos represifnya tinggi. menurut ukuran
Burns, Soeharto bukan seorang pemimpin sejati. di bawah kepemimpinan B.
J. Habibie, politik Indonesia tertransformasi dari kediktatoran ke
demokrasi, tetapi perilaku Habibie sendiri lebih bersifat transactional
ketimbang transforming. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan
Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden transactional. sumbangan
mereka, seperti Bill Clinton, perlu diukur dalam kerangka itu.</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">setiap kali membaca kembali buku Burns, sambil kagum saya teringat
pada dua keberatan saya terhadap pendekatannya. pertama, kompas moralnya
keliru. seperti banyak intelektual kiri pada zamannya, Burns terlalu
bersedia memaafkan perilaku kejam atas nama higher purpose yang
dikejarnya. satu contoh: pada pertengahan tahun 1970-an, riwayat Mao
Zedong selaku pembunuh massal, mungkin yang terbesar pada abad ke-20,
sudah banyak terungkap. namun, Burns masih mencap Mao pemimpin
transforming yang berhasil “meningkatkan kesadaran dan
mentransformasikan nilai-nilai pada skala yang sangat besar,
memobilisasikan harapan-harapan tinggi rakyat Tionghoa.” tentu bukan
hanya pengamat kiri yang melihat zamannya sendiri dengan sebelah mata.
Bill juga mengaku belum pernah menulis secara berimbang tentang
kepemimpinan Soeharto yang boleh jadi bertanggungjawab sekaligus atas
pembantaian massal 1965-1966 dan pembangunan ekonomi yang terjadi
setelah itu. kedua, dan lebih pokok, Burns menuntut terlalu banyak waktu
dan tenaga baik jasmani maupun rohani dari kita sebagai warganegara
biasa negara-negara besar dan modern. menurutnya, anjurannya lekas
sekali melelahkan! Pendekatan Burns mirip teori-teori normatif demokrasi
partisipatoris (participatory democracy), tempat anggota masyarakat
diajak berpartisipasi langsung dalam keputusan publik, dan deliberative
democracy, tempat anggota masyarakat diajak bermusyawarah sampai mufakat
tercapai. </span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">ide-ide seperti itu mungkin bisa dipraktikkan di polis, negara-kota
Yunani kuno, atau di tingkat desa/kelurahan di Indonesia masa kini.
namun, di mana-mana kesediaan manusia untuk melibatkan diri, langsung,
dan sepenuh hati dalam kegiatan politik bersifat sangat terbatas. pendek
kata, sebuah teori normatif atau moral yang mengharuskan partisipasi
tinggi dan terus-menerus mustahil terwujud dalam dunia nyata. kemudian
salah satu ilmuwan yang diakui Bill sebagai ilmuan favoritnya, selaku
penerus tradisi pemikiran Machiavelli adalah John Kingdon, profesor ilmu
politik kawakan di Universitas Michigan. Kingdon menerjemahkan
konsep-konsep pokok Machiavelli dalam bahasa studi kebijakan umum dan
ilmu politik empiris, perhatian utamanya sendiri sejak masa mahasiswa.
dalam pemikiran Kingdon ini, menurut Bill kita diajak membayangkan
proses pembuatan kebijakan umum yang terdiri atas tiga aliran penemuan
masalah, penciptaan usul-usul kebijakan, dan kejadian-kejadian politik.
tiga aliran itu dipertemukan oleh wiraswastawan kebijakan yang peka
terhadap terbuka dan tertutupnya jendela keputusan. </span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">
</span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">menurut Bill, alangkah baiknya kalau buku Kingdon diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia </span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS",sans-serif;">dan dipakai ilmuwan politik Indonesia untuk
memperbaiki pengertian kita semua tentang hal-hal yang menghambat
peningkatan mutu demokrasi. tokoh terakhir yang dikutip Bill adalah
Richard Samuels, pakar Jepang di Massachusetts Institute of Technology,
menawarkan kerangka baru yang berbobot sambil menelusuri proses
modernisasi abad ke-19 dan ke-20 di Jepang dan Italia. tiga unsur
utamanya: alat-alat mobilisasi yang diberi label membeli, menggertak,
dan mengilhami; peran warisan dalam proses pengambilan keputusan; serta
pelonggaran kendala yang konon dilakukan semua pemimpin yang berhasil
mengubah sejarah. selaku negara-negara terlambat dalam proses
modernisasi, boleh jadi Jepang dan Italia bermanfaat sebagai model buat
Indonesia. akhirulkata, begitu tutur Bill dalam kemampuan bahasanya yang
terbilang sempurna, kita diingatkan Dahl bahwa penambahan dan
pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi bermutu
merupakan masalah tersendiri. baik di Indonesia maupun di Amerika,
jurang pemisah tetap menganga antara yang mampu dan yang kurang mampu
berpolitik. penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah ini, atas
nama pendekatan kemampuan, sedang dilakukan oleh sejumlah kecil ekonom
dan filsuf dibimbing Amartya Sen dan Martha Nussbaum. namun, kegiatan
intelektual saja tak cukup. selain itu, pemerataan sejati memerlukan
tindakan politik yang dilakukan oleh orang-orang yang mengidamkan
demokrasi yang bermutu. </span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17060905268829488808noreply@blogger.com0