Rabu, 04 Juli 2012

buktikan, siapa lebih peduli perempuan!

“Marzuki Ali bilang : menteri Pemberdayaan perempuan lebih baik dijabat lelaki karena lelaki lebih peduli pada perempuan. Ooooo kalau begitu semua jabatan harus diberikan kepada perempuan. Soal peduli ayo tanding sama kami!!! lu nyuci kolor aja kagak becus, pake bilang siapa lebih peduli , ngaca luh!!!!”
Judul artikel saya kali ini terinspirasi oleh lontaran salah satu aktifis perempuan, Lies Marcoes Natsir. Saya juga secara langsung meminta izin beliau untuk mengutipnya di artikel ini. Paragraf pertama tulisan ini merupakan lontaran asli dari status facebooknya kemarin malam. Merasa menjadi bagian dari perjuangan perempuan, tentu saja saya turut kecewa dengan pernyataan Marzuki Alie dan memahami mengapa seorang mba Lies sampai melontarkan kalimat seperti itu pada status facebooknya.

Hampir semua dari kita tentu faham bagaimana Marzuki Alie sering melontarkan pernyataan-pernyataan yang kurang bijak, bahkan sejumlah pakar komunikasi politik menilainya terlalu polos dan tidak cerdas untuk ukuran Ketua DPR RI. Kali ini, dia lagi-lagi harus berhadapan dengan publik karena melontarkan pernyataan kontroversial.

Pernyataannya lagi-lagi kurang bijak. Seperti pernyataannya tentang Menteri Pemberdayaan Perempuan, salah satunya dikutip Kompas.com pada Senin (2/7/2012). Marzuki Alie mengusulkan agar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diisi oleh laki-laki. Usulan itu disampaikan Marzuki dalam seminar “Peran Anggota Parlemen Laki-Laki dalam Pencapaian Kesetaraan Gender” di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Tentu saja, di tengah upaya memperjuangkan kuota 30% perempuan, pernyataan Marzuki Alie sangat kurang bijak dan terkesan pragmatis. Belum lagi persoalan maraknya peraturan daerah (Perda) yang cenderung mendiskriminasikan perempuan, serta Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang terus mendapat resistensi dari kelompok-kelompok tertentu, persoalan keterwakilan perempuan di parlemen, dan sejumlah persoalan perempuan lainnya. Bayangkan jika keterwakilan perempuan yang ada kemudian diganti oleh laki-laki, keterlibatan perempuan di dunia politik yang memang masih minim, bisa jadi semakin minim.

Lalu membaca status mba Lies, demikian saya menyapanya, perasaan saya merasa terwakili dengan apa yang ditulisnya melalui akun facebooknya. Mba Lies, ia adalah salah seorang penggerak feminisme Islam pertama di Indonesia.  Pada tahun 1992, mba Lies melakukan workshop pertama tentang Islam dan gender di Indonesia dan mbak Lies kini menjadi salah satu trainer di Indonesia yang menguasai metode pendidikan orang dewasa berperspektif gender. Ia pernah bergabung dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Jakarta untuk mengembangkan program penguatan hak reproduksi perempuan dan program Fiqh an-Nisa’ sebagai cikal bakal pengembangan isu gender dan Islam di Indonesia. Mbak Lies juga aktif menulis didasarkan pada penelitiannya. Pada tahun 1999-2000, mbak Lies mendapatkan MA dalam bidang antropologi kesehatan dari University of Amsterdam. Hasil penelitiannya telah dipublikasikan, baik dalam jurnal nasional maupun internasional. Selain itu, mba Lies juga masih menjadi Dewan Kebijakan LSM Fahmina-Institute. Ah, tidak ada habisnya jika harus menyebutkan bagaimana bukti-bukti perjuanagnnya untuk perempuan Indonesia.

Sementara Marzuki Alie, sebagai public figure dan wakil rakyat, seharusnya bersikap bijak, bukan justru menimbulkan kehebohan. Namun sejak menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dia terlalu sering mengeluarkan pendapat atau tanggapan yang tak jarang mengundang sebagian orang terheran-heran, bahkan dibuat jengah. Termasuk pernyataan Marzuki tentang kasus yang mrenimpa tenaga kerja wanita di luar negeri, dia tak berpihak malah berkomentar sinis, “PRT TKW itu membuat citra buruk. Sebaiknya tidak kita kirim karena memalukan.”

Pernyataannya ini sontak mendapat kecaman Indonesian Migrant Workers Union (IMWU- Serikat TKI Pekerja Rumah Tangga di Hong Kong). Ketua IMWU, Sringatin menilai pernyataan Marzuki itu menunjukkan tingkat pengetahuan dan etika dari seorang Ketua DPR. “Penyataan yang ‘asal jeplak’ ini telah menyakiti perasaan enam juta lebih buruh migran Indonesia di berbagai negeri penempatan dan anggota keluarganya, secara khusus 147 ribu BMI di Hong Kong yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga asing,” demikian Sringatin seperti dikutip hukumonline, Sabtu (26/2).

Memang benar, penilaian Marzuki Alie, justru bukan mencerminkan rendahnya skill para PRT asal Indonesia, melainkan cerminan dari bobroknya sistem penempatan buruh migran Indonesia (BMI). UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN) disebut hanya produk hukum yang berorientasi pada “jualan manusia”.

Sebelumnya, seperti diberitakan media, Marzuki Alie juga mengeluarkan pernyataan pribadi meminta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menghentikan pengiriman tenaga kerja wanita pekerja rumah tangga ke negara lain. Dia berpendapat, TKW PRT ini mencoreng citra Indonesia di luar negeri. Pendapat dia itu dilontarkan setelah bertemu Presiden Suriah beberapa waktu lalu. Salah satu yang dibicarakan adalah perilaku dan kinerja TKW PRT yang dianggap tak profesional. Misalnya tak bisa membedakan cairan setrika dan menggoda anak majikan. Akhirnya Marzuki mewajarkan ketika sang majikan marah dan menempelkan setrika di tubuh PRT.

Atau memang benar dia terlalu polos, tidak faham sejarah bagaimana Negara Indonesia yang meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik Perempuan pada masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto di tahun 1968. CEDAW diratifikasi pada tahun 1984. Pemerintah Habibie kemudian meratifikasi Protokol Opsi yang merupakan bagian dari Konvensi Perempuan. Lalu belakangan kita kembali diramaikan dengan perdebatan isu peningkatan jumlah perempuan di panggung politik, seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut terjadi tepatnya setelah pemerintah Indonesia mengambil beberapa langkah yang ditujukan untuk menyempurnakan kebijakan terkait persoalan jender. Salah satu yang utama adalah masalah gender mainstreaming, yang merupakan sebuah strategi penting yang termuat dalam Platform Aksi Beijing (Bejing Platform for Action). Keppres Nomor 9/2000 berisi arahan kepada semua sektor pemerintahan Indonesia untuk menerapkan konsep gender mainstreaming ini.

Tahun berlanjut, perdebatan tentang representasi dan partisipasi politik perempuan semakin meningkat dan mendominasi agenda politik, berkat gigihnya organsisasi-organisasi dan para aktivis masyarakat madani yang vokal menyuarakan isu ini. Salah satu isu terpentingnya adalah penerapan kuota 30 persen bagi perempuan dalam proses pemilu. Perdebatan yang terus berlanjut dan terkadang menimbulkan kontroversi seputargender dan demokrasi itu diakibatkan oleh tiga faktor dari masa lalu Indonesia. Faktor pertama adalah kenyataan historis dan berkelanjutan tentang rendahnya representasi perempuan Indonesia di semua tingkat pengambilan keputusan.

Apalagi berkaca dari hasil pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009, untuk mencapai angka kritis 30% keterwakilan perempuan sebagaimana diamanatkan Undang-undang, ternyata dalam tataran implikasinya masih sangat sulit diwujudkan. Pengalaman empirik menunjukkan bahwa perjuangan menuju ke arah itu memerlukan energi luar biasa, berupa pengawalan dan dukungan tak kenal lelah dari banyak pihak. Khususnya, gerakan perempuan serta berbagai aliansi dan koalisi masyarakat sipil perlu secara bersama-sama mengupayakan penguatan jaminan keterwakilan perempuan dalam UU Pemilihan Umum (Pemilu).

Sayangnya sampai saat ini yang terjadi, jumlah kandidat ideal keterwakilan perempuan Indonesia dalam lembaga perwakilan tidak mencapai rasio yang sama dengan jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan. Hal ini didasari pemikiran bahwa peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mampu melindungi perempuan, tidak dapat dilepaskan dari kehadiran atau representasi yang mampu melindungi perempuan dalam lembaga penentu dan pengambil kebijakan, baik di pusat maupun daerah. Seperti keterangan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dalam rilisnya, terkait keterwakilan perempuan dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pada Rabu (8/2). Ternyata bahwa keterwakilan perempuan di parlemen hanya 18% saja, atau 203 dari 560 orang anggota DPR, sementara berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik, jumlah perempuan Indonesia adalah sebesar 118.010.413 jiwa atau sekitar 49% dari total jumlah penduduk.

Kebijakan afirmatif untuk perempuan merupakan sebuah interaksi atas perlunya partisipasi politik yang luas dari seluruh kelompok masyarakat dalam pengambilan keputusan politik dengan institusi politik formal, yang juga berproses secara internal pasca otoritas yang panjang. Maka dari itu, kebijakan afirmatif perempuan dalam politik haruslah dilihat sebagai wilayah “proses bersama”. Proses tersebut penting baik bagi perempuan sebagai warga negara, gerakan/organisasi perempuan sebagai motor penggerak kemajuan perempuan, partai politik sebagai institusi rekrutmen dan seleksi penyelenggara Negara, maupun bagi rakyat sebagai pemangku kepentingan utama dari berbagai proses politik beserta.

:::
saya batasi sampai di sini, meskipun tak akan pernah puas dan butuh lebih banyak dan lebih sering lagi mengingatkan mereka yang lupa atau memang tidak memahami.

0 komentar:

Posting Komentar

terimakasih sudah membaca, mari kita berbagi pengalaman hidup :)