ME

aku yang begini


pada mulanya, setiap nama kosong tak bermakna. sampai langit membisik pada awan “tolong hujankan air mata sukacitamu di karbala”, hingga dipahami Adam menyayangi Hawa tak semata di surga. pada mulanya engkau tiada, di ruang tunggu atau beranda. sampai seseorang menyapamu dengan segenap harap. sementara di luar, lelah menunggu bisik langit. untuknya, airmata apa yang hendak kuteteskan di taman ini. eden, 15-01-09 (darimu, guruku)
di satu sudut dan waktu, aku datang, lalu duduk, memilih berbaur dengan diriku. apa yang ada di luar sana tak mampu membuatku menoleh. juga kegagalanku memerankan jiwa lain di luar jiwaku. di keramaian, riuh rendah, gegap gempita, perayaan kebanggan, dan segala yang memukau, tak mampu kunikmati. jika sudah begitu, aku memilih tak terlihat oleh apapun dan siapapun. di satu sudut dan waktu, aku lebih memilih berbaur dengan diri. menjadikan diri tak seperti yang lain, saat itulah aku merasakan betapa “magis”-nya menjadi diri sendiri. tak ada beban di sana.

juga tentang tegarku yang melebihi tegarmu, tak perlu meneriakkannya seperti yang kau teriakkan padaku. suram kisahku lebih suram dari kisahmu, tapi tak butuh simpatimu seperti kau yang berharap butuh simpatiku. begitu pun terjalnya jalanku, tak perlu kupamerkan seperti terjalnya jalanmu. cukup aku yang mengetahui segalanya tentangku. kau tak perlu mengetahuinya, sepertiku yang juga tak ingin menunjukkannya padamu. jangan khawatir, aku juga tidak akan menertawakan keluguanmu memamerkan siapa dirimu. karena hidupku bukan untuk menertawakan keluguan seseorang.

bahkan untuk menyadari betapa aku telah berjalan begitu jauh, tepat setelah ibuku mengajariku bagaimana menjadi sendiri dan ditinggalkan. bagaimana menikmati diri di tengah kerumitan, kebekuan, arogansi, kebuntuan, riak dan terjal, jebakan tanpa ampun, api yang siap membakar kapanpun, keterbatasan, juga bagaimana menikmati diri di tengah segala hal yang tak pernah terpikirkan dan diinginkan, dan segala yang tertangkap mata, terasa, dan terpikirkan.

sejak kecil, secara tidak langsung ibuku begitu intens dan sabar mengajariku. mulanya aku diajari bagaimana menjadi sendiri. sendiri ditinggalkan olehnya. sendiri mencari jalan keluar dari masalah-masalahku. sendiri menguatkan diri. dan kau tak perlu tanya kenapa aku ditinggalkan sendiri olehnya. karena ada sesuatu yang lebih baik tidak terungkap. jadi biarkanlah segalanya tersimpan dalam imaji, lalu esok aku akan melangkahkan kakiku tanpa beban. dia, ibuku, lagi-lagi benar. bahkan sampai sekarang pun aku tetap sendiri mengendalikan segalanya. selain warisan dari ibuku tentang pelajaran menjadi sendiri, pengalaman juga tak henti mengajarkanku akan rasa menjadi sendiri. dan aku tetap menikmati langkah kakiku. dunia tanpa pundak siapapun. membiarkannya kusut. lalu menatanya lagi. dengan caraku sendiri. 

apa kau berfikir sama seperti yang difikirkan Zedka (teman Veronica, dalam Veronica Memutuskan Mati, Paulo Coelho). setiap orang yang di dunianya sendiri, termasuk gila? Skizofren? Psikopat? Atau bahkan maniak? Atau apa? Ada Einstein yang mengatakan bahwa tidak ada waktu dan ruang. yang ada hanya kombinasi keduanya. atau Columbus yang bersikukuh bahwa di sisi lain dunia terdapat benua, bukan jurang. atau Edmun Hillary, yang yakin manusia bisa sampai ke puncak Everest. atau The Beatles, yang menciptakan jenis musik yang sama sekali lain dan berpakaian seperti manusia dari masa yang berbeda. orang-orang seperti itu masih ada ribuan lagi. semua hidup dalam dunia mereka sendiri.