Selasa, 03 Desember 2013

"Habis manis sepah dibuang"

Peribahasa tersebut seakan mewakili rasa kecewa kelompok yang selama ini dianggap minoritas, berbeda, terdiskriminasi, dan terpinggirkan. Beberapa pekan ini, media komunitas tempat saya bekerja mencoba mengangkat suara-suara komunitas yang selama ini dinilai terpinggrirkan dan terdiskriminasi. Lalu terjadilah berbincang-bincang dengan tokoh-tokoh yang digambarkan demikian. Dari curahan hati mereka, peribahasa “habis manis sepah dibuang” kerap mereka ungkapkan ketika menggambarkan kekecewaan mereka atas para calon pemimpin. Dalam “Kamus Peribahasa Indonesia”, sepah sama dengan ampas. Kalau kita makan tebu, setelah tebu kita kunyah-kunyah untuk mengisap airnya yang manis dan setelah airnya habis, sepahnya kita buang. Yang kita ambil hanya manisnya saja, sepahnya tidak kita perlukan lagi, karena itu kita buang.


Dalam konteks ini, peribahasa tersebut mengiaskan seseorang/kelompok yang setelah dianggap tidak berguna lagi, lalu disia-siakan. Setidaknya demikian salah satu hal yang dirasakan mereka, korban janji manis para calon pemimpin negeri ini. Harapan akan perubahan yang lebih baik atas kondisi mereka, seakan hanya sekadar janji manis demi memperoleh suara lebih banyak.

Ya, di tengah hiruk pikuk Pemilu 2014 mendatang, beragam suara kian menggema. Tak terkecuali suara-suara yang merasa kecewa dengan Pemilu sebelumnya maupun pemilihan kepala daerah (Pemilukada) yang sampai saat ini akan dan telah berlangsung di sejumlah daerah. Menjadi apatis terhadap Pemilu, memilih Golput (Golongan Putih), serta bersuara lantang menggugat sistem Pemilu, bisa menjadi puncak rasa kekecewaan mereka atas harapan adanya perubahan yang lebih baik.

Mereka adalah kelompok yang disebut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai kelompok rentan. Karena dianggap minoritas, mereka rentan terpinggirkan dan terdiskriminasi. Termasuk suara mereka dalam Pemilu, ada yang enggan menyentuh komunitas mereka karena khawatir dianggap menjadi bagian dari mereka, atau sebaliknya, memanfaatkan suara mereka dengan janji-janji manis yang entah terlaksana atau tidak.

Tapi siapakah mereka sehingga disebut minoritas? Dari kaca mata sosiologi seperti dipaparkan Anthony Giddens dalam “Sociolog” (1995, 253-254), minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga gambaran berikut: (1) anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka; (2) anggotanya memiliki solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; (3) biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar.

Istilah minoritas di sini mengacu pada sekelompok orang yang dianggap ‘kecil’ oleh sebuah proses historis, politis, dan sosiologis, selain juga proses intelektual. Oleh karena itu, pengertian ‘kecil’ tidak selalu berarti angka atau jumlah, tetapi juga berarti posisi atau peran. Pada masa Orde Baru, orang Cina atau Tionghoa adalah kelompok yang paling sering disebut sebagai kaum minoritas karena secara politik mereka dipinggirkan, meski secara ekonomi mereka sangat dominan. Memasuki masa reformasi, istilah kaum minoritas mengacu pada kelompok-kelompok yang lebih luas, tidak hanya orang Cina atau Tionghoa, tetapi juga kaum perempuan, masyarakat adat, penganut agama non-mayoritas, Ahmadiyah, dan seterusnya.

Sampai saat ini, masih banyak partai-partai tertentu, termasuk partai Islam yang tidak pernah menjadikan isu pembelaan terhadap kaum minoritas sebagai isu utama politiknya. Bahkan, tidak jarang, partai-partai Islam ikut menyudutkan kelompok minirotas untuk menarik simpati dari kelompok mayoritas. Nasib kelompok minoritas kian mengenaskan dan di saat yang sama hukum impoten karena selalu ada kepentingan-kepentingan politik di baliknya.

Pemilu yang harusnya adil dan damai, namun tidak bagi mereka yang sampai saat ini mendapat perlakuan tidak adil baik oleh Negara maupun masyarakat golongan tertentu. Jemaat Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, mereka terancam Golput (Golongan Putih) karena tidak memiliki KTP.  

BAYANGKAN! Seperti apa wajah demokrasi Indonesia ke depan kalau Golput semakin menjadi pilihan politik masyarakat? Maka, sangat mungkin kekuatan legitimasi kekuasaan pun menjadi berkurang. Dengan meningkatnya perlakuan diskriminasi seperti dirasakan komunitas seperti Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah komunitas adat, sangat mungkin akan terjadi peningkatan angka Golput. Kenapa semakin banyak orang memilih Golput? Selain mungkin karena ada kesalahan administrasi, setidaknya ada tiga penyebab. Pertama, bisa jadi karena mereka kecewa terhadap praktik demokrasi. Mereka tidak percaya bahwa Pemilu akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Kedua, mereka tidak sreg dengan kandidat yang ditawarkan untuk dipilih. Ketiga, hari pelaksanaan Pemilu yang diliburkan membuat mereka lebih memilih untuk berlibur ketimbang harus datang ke TPS.

Janji-janji kampanye yang menggiurkan ternyata tidak mampu memikat mereka. Kenapa? Betapa mereka sudah kenyang dengan janj-janji, yang semuanya dianggap sebagai kebohongan dan kemunafikan. Bukti tentang itu tersaji secara terbuka berdasarkan Pemilu-Pemilu sebelumnya.

0 komentar:

Posting Komentar

terimakasih sudah membaca, mari kita berbagi pengalaman hidup :)