Kamis, 29 November 2012

Ia Ibarat Kitab Hayat

Rama mengibaratkan dirinya sebagai kitab hayat (buku kehidupan), jika kita membacanya maka akan menemukan makna dan manfaatnya…
Demikian penuturan Dewi Kanti (43 Tahun), salah seorang puteri dari Pangeran Djatikusuma yang akrab disapa Rama Djati, Tokoh Penghayut Cigugur Kuningan. Namun dari penuturannya, Dewi Kanti menegaskan bahwa ia tidak bermaksud agar Rama Djati menjadi sosok yang dikultuskan, melainkan sebagai motivasi bagi komunitas Paseban untuk banyak belajar dan bertanya.

Sementara Rama Djati sendiri enggan menceritakan perihal peribadinya. Namun banyak pihak yang tak habis-habisnya berkisah tentang sosoknya. Termasuk sejumlah media, entah berkisah tentang sosoknya maupun menggali rasa ingin tahu mereka tentang pandangan Rama Djati tentang kehidupan.

Rama Djati lebih banyak bercerita tentang Seren Taun dan Sunda Wiwitan. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana diskriminasi terhadap penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maupun komunitas adat sampai detik ini masih terus berlangsung.

Sejumlah peraturan yang dikeluarkan secara sistematis oleh pemerintah dan menjadi hukum positif telah mendiskriminasi para penganut aliran kepercayaan dan komunitas adat Indonesia. Jangankan untuk mendapatkan pengakuan atas tradisi adat dan spiritual yang diyakini sebagai agama, untuk mendapatkan dokumen sipil dengan pengakuan terhadap kepercayaan mereka, itu masih dapat dikatakan mustahil.

Dalam konteks negara, bentuk diskriminasi itu bersumber dari sejumlah perundangan dan peraturan yang dinilai sangat merugikan para penganut kepercayaan dan komunitas adat di Indonesia. Karena semua itu, Pangeran Rama Djatikusumah, atau yang akrab disapa Rama Djati, harus mendekam di penjara selama beberapa waktu, begitu pun dampak pada ketiga anaknya. Mereka tidak bisa mendapatkan akte kelahiran, sedangkan puluhan anggota mereka harus berpindah agama dulu untuk bisa mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Sementara itu, para penghayat yang kebetulan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak bisa melangsungkan sumpah jabatan untuk promosi karir kepegawaian maupun mendapatkan fasilitas yang seharusnya mereka dapatkan sebagai PNS, seperti tunjangan keluarga (isteri dan anak) dan lain sebagainya. Proses diskriminasi tidaklah bersifat alamiah. Diskriminasi bukan gempa bumi, tidak pula angin badai yang datang tiba-tiba. Diskriminasi lebih mirip dengan tindakan akibat sikap rasisme yang memandang budaya dan cara hidupnya terunggul, sementara pilihan hidup yang lain sebagai cacat dan rendah. 

Selanjutnya, ia dipertahankan dan berjalin-kelidan dengan kekuasaan. Ia direproduksi dan diproduksi terus menerus untuk mengukuhkan dominasi dan kepentingan. Dan salah satu alat reproduksinya adalah melalui kurikulum dan pendidikan sekolah, sebagaimana dialami sejumlah keluarga para penghayat di Cigugur termasuk anak-anak Rama Djati sendiri.

Karena enggan menceritakan perihal pribadinya, maka di sini lebih banyak mengungkap pemaparannya tentang Seren Taun dan Sunda Wiwitan itu sendiri. Dan tidak heran mengapa Dewi Kanti menyebutnya sebagai “kitab hayat” seperti yang juga diungkapkan Rama Djati sendiri, sosok yang memberi motivasi untuk banyak belajar dan bertanya.

Mengejar Kekayaan Batin, Bukan Materi

Tentang Seren Taun, ia memaparkan bahwa inti dari tujuan diadakannya upacara Seren Taun adalah di samping sebagai bentuk syukur dan permohonan berkah serta limpahan kesejahteraan kepada Tuhan, juga sebagai sarana yang efektif untuk mewarisi tradisi luhur para leluhur yang dimiliki bangsa dan penggalian kearifan local. Budaya local yang dimaksudnya adalah yang bisa menemukan dan menumbuhkan jati diri dan perilaku manusia yang seharusnya. Baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai bangsa.
“Karena dalam upacara ini yang dikejar adalah kekayaan batin bukan perolehan materi yang melimpah,” paparnya.

Bulan Rayagung dipilih sebagai symbol dari perayaan terhadap keagungan Tuhan. Selanjutnya menjelaskan makna dari angka 22 yang diambil karena memiliki makna simbolik tertentu. Angka 22 sendiri adalah terbagi 2 pertama angka 20 memiliki makna sifat wujud makhluk hidup ke-20 sifat itu adalah getih, daging, bulu, kuku, rambut, kulit, urat, polo, bayah/paru, ati, kalilimpa/limpa, mamaras/maras, hamperu/empedu, tulang sumsum, lemak, lambung, usus, ginjal dan jantung. Sementera angka 2 bermakna keseimbangan karena segala sesuatu terdiri dari 2 unsur positif dan negatif, seperti adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan. Angka 22 kemudian digunakan sebagai jumlah berat padi yang akan ditumbuk yang hasilnya diserahkan kepada masyarakat setiap pelaksanaan Seren Taun, padi yang digunakan seberat 22 kwintal, 20 kwintal ditumbuk dan dikembalikan dan 2 kuintal lainnya sebagai bibit yang akan ditanam.

Upacara ngajayah, pengolahan padi hasil panen masyarakat kemudian ditumbuk bersama-sama yang kemudian berasnya akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Jumlah padi yang ditumbuk 20 kuintal, 2 kuintal yang dijadikan bibit dengan total 22 kuintal. Selama tahapan ini dilaksanakan diiringi dengan mantera-mantera mistis. Upacara ini merupakan upacara simbolik penuh makna. Inti dari upacara ini adalah mempertemukan dan mengawinkan benih jantan dan benih betina dan dari tumbuhan yang diyakini sebagai tahap bertemunya energi hidup dari sang Hyang Asri Pwah Aci. Energy Pwah Aci yang berupa energi kesuburan dan keselamatan turun kebumi dan kemudian meresap ke dalam apa yang dimakan. Pwah Aci merupakan zat Tuhan, sehingga apabila Pwah Aci turun ke bumi dan meresap kedalam bahan makanan maka setidaknya akan ada dua kesadaran yang akan diraih. Yaitu rasa syukur atas nikmat dan berlaku tidak sewenang-wenang terhadap alam karena dalam setiap bagian alam terdapat zat tuhan yang harus dihormati.

Menitik Beratkan Pikiran, Naluri, dan Rasa

Ajaran sunda wiwitan dikenal dengan ajaran Tritangtu. yakni Tritangtu di buana, Tritangtu di naraga, dan Tritangtu di nagara. Ajaran Tritangtu merupakan ajaran yang menitik beratkan makna apa yang ada dalam pikiran, naluri dan rasa. Paseban dipakai sebagai tempat berkumpul dan bersyukur dalam merayakan ketunggalan selaku umat Gusti Hyang Widi Rasa dengan meyakinkan kemanunggalan dalam mengolah kesempurnaan getaran dari 3 unsur yang disebut sir, rasa dan pikir dimana unsur lainnya, panca indera dapat menerima dan merasakan keagungan Gusti.

Begitu pula dalam laku kehidupan benar-benar merupakan ketunggalan selaku manusia dan kemanunggalan antara cipta, rasa, dan karsa diwujudkan dalam tekad, ucap, serta lampah. Menyatakan diri manusia seutuhnya dalam memancarkan pamor kebudayaan bangsa dengan ketentuan hukum kodrati. Intinya Paseban Tri Panca Tunggal merupakan tempat penyatuan pikiran, perkataan dan perbuatan dari pihak manusia tanpa melihat latar belakang agama, suku, etnis, dan ras. Sebagai wujud mensyukuri yang diberikan Sang Pencipta.

“Kita memang tidak sepengakuan tetapi kita sepengertian, menghargai perbedaan yang ada dan tidak menjadi hambatan untuk melakukan hal bersama-sama, ulah mikir naon nu dipikamenang, tapi mikir anu bisa dilakukeun (jangan berpikir apa yang didapat, tapi berpikir apa yang bisa dilakukan).”

Dalam malam satu suro yang bertepatan pada tanggal 14 November 2012 tahun masehi, Rama Djati memberi wejangan kepada masyarakat Sunda wiwitan di ruangan Paseban agar selalu menjaga tatakrama, bersikap dan bertutur kata sopan dan santun kepada  orang lain.

Sesepuh masyarakat adat Karuhun Urang, Rama Djatikusumah mengatakan, berkumpulnya masyarakat adat dari berbagai daerah diharapkan bisa menunjukkan keragaman masyarakat dan budaya di Indonesia.
"Inilah gambaran Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia. Jangan hanya sekedar menjadi slogan. Dengan berkumpul seperti ini, tidak ada lagi orang Sunda, orang Jawa, atau orang Kalimantan. Kita semua disini putra Nusantara, bersatu dan berkata bahwa kita orang Indonesia," tutur pria berusia 76 tahun ini di sela-sela Seren Taun, Sabtu (20/12).

Perbedaan, lanjut Rama Djati, bukan berarti setiap kelompok masyarakat adat mengkotak-kotakkan diri. "Dalam perbedaan itu sesungguhnya ada dasar kepercayaan yang sama. Meskipun cara menyebut dan menyembahnya berbeda. Generasi sekarang ini banyak yang sudah lupa cara cirinya sebagai manusia, makhluk Tuhan dan manusia dalam berbangsa," ujarnya.

Keberadaan masyarakat, seharusnya dipandang sebagai modal untuk menguatkan kearifan lokal. Bersatunya beberapa kelompok masyarakat adat di Cigugur, mendapat perhatian luas dari masyarakat sekitar. Dalam Helaran yang digelar siang tadi, 22 delman yang membawa puluhan masyarakat yang mengenakan pakaian adatnya, diarak keliling Kuningan.

Ratusan masyarakat terlihat antusias mengikuti rombongan yang bergerak dari Gedung Paseban-Kota Kuningan-Gedung Paseban. Lagu-lagu yang dilantunkan pun tak melulu lagu daerah, tapi juga didominasi dengan lagu wajib yang menyuarakan semangat persatuan.

"Dari sini (Cigugur), kami berharap ada gema persatuan yang sampai ke seluruh penjuru Tanah Air. Bisa menggetarkan daya rasa dan daya pikir serta menimbulkan kedamaian," ungkap Rama Djati.

Dari Cigugur, ia berharap kebhinekaan Indonesia bisa semakin menguat dalam ketunggalikaan.

hanya karena berbeda, mereka dibungkam, dan dipaksa mengikuti identitas 'resmi'

Karena dinilai 'berbeda' dan tak mampu mengungkapkan identitas agama, etnis, dan bangsanya. Mereka dipaksa mengikuti identitas yang resmi. Perlakuan-perlakuan tidak adil pun tak jarang harus mereka terima...

Selain tentang Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah komunitas lain yang semakin akrab kita ketahui melalui media massa. Tentunya kita juga pernah mengetahui tentang bagaimana seseorang dari sebuah komunitas sulit mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), hanya karena ia bukan termasuk penganut agama resmi seperti diakui Negara. Pengalaman ini sudah biasa dialami oleh komunitas Sunda Wiwitan. Mereka  terbiasa dimainkan aparat birokrasi.

Seperti keterangan yang diungkapkan Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan yang akrab disapa Rama Djati, ini melalui pengalaman pribadinya, keluarganya, serta sejumlah penganut Sunda Wiwitan terutama di Cigugur Kuningan, tak jarang harus berhadapan dengan perlakuan tidak adil para pejabat negara setempat. Khususnya berkaitan soal agama. Para penghayat (sebutan untuk penganut Sunda Wiwitan) ditanya agama mereka masuk agama mana: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha? Jika sudah demikian, maka penghayat Sunda Wiwitan akan menjawab: “agamanya, ya, Sunda Wiwitan”.

Demikianlah, terutama sejak masa Orde Baru (Orba), para penghayat masih juga mengalami diskriminasi. Hak-hak sipil dan politik mereka tidak diperhatikan oleh pemerintah. Alasan yang diberikan oleh pemerintah dan petugas biasanya adalah karena masalah agama. Seperti dalam kasus untuk mendapatkan KTP, birokrasi hanya mengetahui dan mengakui Lima Agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dalam perkembangannya kemudian Khong Hu Cu masuk di dalamnya sehingga menjadi Enam agama resmi yang diakui pemerintah) berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)" (Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama). Dari sini lah kemudian perlakuan-perlakuan tidak adil sering diterima penghayat Sunda Wiwitan.
13540782941796866590
Rama Jatikusuma, salah satu tokoh penghayat di Cigugur Kuningan.

Agama yang diakui oleh pemerintah hanya Lima pada waktu itu (enam saat sekarang) menghambat para pengikut Sunda Wiwitan untuk mendapatkan kartu tanda penduduk, akta lahir, dan surat kependudukan lainnya. Bahkan, anak-anak para pengikut Sunda Wiwitan mengalami kesulitan saat hendak masuk sekolah pemerintah. Oleh karena itu, banyak sekali warga Sunda Wiwitan yang akhirnya memeluk agama Islam maupun Katolik. Meskipun sekarang masyarakat Sunda Wiwitan memeluk agama yang berbeda akan tetapi mereka menjiwai ajaran dan filosofi hidup yang sama yang menjamin kerukunan umat beragama tetap lestari juga menciptakan pluralisme yang berlandaskan pada kultur asli tanpa rekayasa sosial apapun. Prinsip pluralisme yang tertanam jauh di lubuk hati masyarakat Sunda Wiwitan dan selalu didengungkan oleh mereka adalah meskipun tidak sekeyakinan akan tetapi sepengakuan.

Persoalan pembuatan KTP dan administrasi lainnya, hanyalah bagian kecil dari sejumlah masalah ketidakadilan yang harus diterima penganut Sunda Wiwitan. Remeh kelihatannya. Tapi itulah fakta. Penganut Sunda Wiwitan telanjur dicap negara sebagai anonimitas, tak punya status. Di zaman Orde Baru, mereka akan diidentifikasi sebagai subversif. Setiap penduduk harus memiliki identitas yang lengkap. Petugas sensus yang ditunjuk Badan Pusat Statistik tidak diperkenankan mengosongkan kolom agama pada lembar identitas penduduk. Kolom agama harus diisi.

Namun sebenarnya apa dan bagaimana sesungguhnya Sunda Wiwitan ? Dalam laporan kali ini, bersama Rama Djati, penghayat asal Cigugur Kuningan Jawa Barat (Jabar) megulas apa dan bagaimana Sunda Wiwitan. Para penganut Sunda Wiwitan di Cigugur telah akrab dengan perlakuan tidak adil pemerintah. Namun di tengah-tengah pemeberitaan miring tentang kerukunan umat beragama dengan maraknya kekerasan atas nama agama, radikalisme, terorisme, dan lain sebagainya, siapa sangka dari mereka yang selama ini diperlakukan tidak adil, kita mendapatkan pelajaran berharga bagaimana seharusnya berkehidupan di tengah perbedaan agama.

Menengok Kehidupan Sunda Wiwitan di Cigugur

Sebelumnya mungkin tidak pernah terbayang dalam benak kita betapa dalam satu kampung, setiap rumahnya terdapat perbedaan agama, ayah seorang penghayat, tapi anak-anaknya ada yang beragama muslim dan katolik. Tapi hal demikian nyata terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa Cigugur Kabupaten Kuningan. Di desa yang terletak di kaki Gunung Ciremai tersebut, masyarakat hidup rukun walaupun berbeda agama.

Kerukunan ini bisa dilihat misalkan jika ada salah satu masyarakat beragama Islam meninggal dunia, maka tak sungkan orang yang beragama Katolik maupun Penghayat untuk mengurus acara pengurusan jenazah hingga tahlilan. Begitu pun jika yang meninggal adalah orang yang beragama kristen, maka orang dari umat agama lain tak segan untuk terlibat dalam acara pengurusan jenazah. Selain itu, di Desa Cigugur sendiri terdapat berbagai macam tempat ibadah dari berbagai agama, dari mulai gereja hingga masjid.

Awalnya masyarakat Cigugur adalah pemeluk ajaran adat Sunda Wiwitan yang dikembangkan oleh Ki Madrais. Akan tetapi, oleh karena ada larangan dan tekanan dari Pemerintah di masa Orde Baru (Orba), maka pemeluk ajaran ini ada yang berpindah ke agama katolik dan Islam untuk mendapatkan hak sipil dan politiknya nya sebagai warga negara yang sah. Sampai saat ini, hak sipol masih menjadi masalah bagi sebagian warga Cigugur yang masih berpegang teguh menjadi penghayat adat Sunda Wiwitan.

Lebih Dekat Mengenal Sunda Wiwitan

Dari arti bahasa, Sunda Wiwitan berarti Sunda Permulaan, akar, pertama. Makna Sunda Wiwitan sama dengan yang tertulis dalam naskah Carita Parahiyangan dengan apa yang disebut Jati Sunda. Ajaran sunda wiwitan sangat berpegang teguh dengan adat budaya sunda, tempat di mana para pemeluknya hidup. Pangkal ajaran ini sebenarnya adalah mendasari hidup dengan memaknai kehidupan sehari-hari, dari tanah dan air yang dipijak.

Berdasarkan penuturan dari Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan, ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya meyakini bahwa setiap manusia yang dilahirkan ke dunia tidak merasa mempunyai keinginan untuk menjadi manusia. Juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi orang Sunda atau pun orang Jawa. Semuanya itu atas kehendak Maha Pencipta. Dengan kata lain, menjadi manusia adalah perintah dari Maha Pencipta.

Setiap manusia mempunyai kodratnya sendiri-sendiri menyebutnya dengan Cara-ciri. Karena itu, Sunda Wiwitan sangat memegang teguh Pikukuh Tilu, yakni, pertama, cara-ciri manusia (kodrat manusia) yakni unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Dalam konsep Sunda Wiwitan, ada lima unsur yang termasuk di dalamnya, Welas Asih (cinta kasih), Undak Usuk (tatanan/hierarki dalam kekeluargaan, Tata krama (tatanan perilaku), Budi bahasa dan budaya, Wiwaha Yudha Naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya). Kalau satu saja Cara-ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.

Kedua, Cara-ciri bangsa (kodrat kebangsaan). Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara-ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada Cara-ciri bangsa yang terdiri dari Rupa, Adat, Bahasa, Aksara, Budaya. Pikukuh yang ketiga adalah Madep ka ratu raja (mengabdi kepada yang seharusnya).

Sampai di sini bisa dilihat kenapa masyarakat adat Sunda Wiwitan sangat toleran, mereka sangat meyakini bahwa semua manusia itu pada dasarnya adalah sama dan tak berdaya terhadap kodrat kemanusiaannya. Pada taraf yang sangat hakiki, manusia itu sama dalam Cara-cirinya, terbedakan dari hewan dan tumbuhan serta makhluk hidup lainnya. Selanjutnya, universalitas kemanusiaan yang melekat pada diri setiap manusia tersebut menampakan perbedaanya saat manusia harus menempati ruang dan waktu. Manusia menempati tempat tertentu di waktu tertentu yang dia juga tidak bisa menentukan sendiri tempat lahir hidup dan berkembangnya. Dari lingkungan kehidupan yang tidak bisa manusia negosiasikan. Inilah kemudian manusia mempunyai adat, budaya, bahasa, rupa, aksara dan mungkin agama yang berbeda-beda.

Ciptakan Kehidupan Damai di Bumi Cigugur

Toleransi dan kerukunan yang diresapi oleh masyarakat Sunda Wiwitan adalah toleransi yang berpegang teguh pada adat budayanya, kesadaran ruang dan waktu menjadikan mereka kukuh pada adat dan budaya sunda. Kalau mereka berada di daerah yang bukan sunda mungkin mereka akan berpegang pada kultur mereka bertempat tinggal tersebut. Inti dan akar toleransi yang dimiliki mereka bukan pada adat sundanya tapi pada cara berfikir mereka terhadap kehidupan, budaya dan adat. Jadi, sikap seperti ini sepertinya bisa juga untuk diadopsi oleh orang di daerah lain (selain sunda) dengan cara berfikir seperti demikian.

Menurut Rama Djati, seorang yang mengamalkan Sunda Wiwitan tidak harus beragama tertentu, dia boleh beragama apa saja tapi dia menghayati benar tempat dan waktu dia hidup. Rama mencontohkan bagaimana seharusnya orang yang beragama Islam tanpa harus berbangsa Timur Tengah ataupun beragama Kristen tanpa harus berbangsa Romawi. Akan tetapi beragama apapun dengan menghayati tempat dimana dia hidup. Dia juga mencontohkan bagaimana hidup harus mengikuti zaman (berbeda dengan keyakinan Sunda Wiwitan Kanekes Banten). Artinya kesadaran akan kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat Sunda Wiwitan adalah kesadaran kodrat manusia, kemanusiaan yang terbatas ruang dan juga waktu. Oleh karena itu, masyarakat  Sunda Wiwitan tidak anti dan menutup diri dari teknologi atau apapun yang muncul pada zaman sekarang yang bersifat positif.

Sikap hidup yang demikian menciptakan kehidupan yang damai di bumi Cigugur. Setiap orang di kampung ini menghayati kehidupan beragama dengan tidak mengadu kepercayaan, akan tetapi dengan mengembalikan perbedaan kepada yang sama, yakni sama-sama percaya kepada Yang Maha Pencipta, Tuhan. Seperti yang diutarakan oleh warga Sunda Wiwitan setempat Arga dan Sarka sebagaimana saat berbincang-bincang dengan mereka di tengah-tengah kesibukan mereka menyiapkan acara Seren Taun. Mereka meyakini bahwa apapun agamanya itu tidak penting yang penting adalah dia percaya ada Tuhan Maha Pencipta.

Arga (73), salah seorang Penghayat Sunda Wiwitan, mempunyai anak yang memeluk Agama Islam dan Kristen, tapi dia tetap mempersilahkan anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Rama Djati sendiri membebaskan anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Walaupun dari kecil anak-anaknya dididik dengan ajaran adat, akan tetapi setelah menginjak dewasa mereka dibebaskan untuk memeluk agama yang diyakininya. Kecuali untuk anak laki-laki yang paling tua, dia harus kukuh menjaga dan meneruskan ajaran adat Sunda Wiwitan.

Agama dilihat oleh mereka hanya sebagai kodrat kebangsaan, kodrat yang melekat setelah kita memasuki dimensi ruang dan waktu. Hal demikian tersebut lebih rendah dan bersifat permukaan dan untuk memahaminya lebih mendalam harus ditarik ke arah kodrat yangn lebih tinggi yakni kodrat manusia, dimana setiap orang yang dilahirkan sebagai manusia mempunyai cara-ciri yang sama.

Ajaran Sunda Wiwitan tentang kodrat manusia dan kodrat kebangsaan yang ditanamkan oleh Ki Madrais meniscayakan bahwa kehidupan manusia yang benar adalah dengan berpegang teguh hanya pada kodrat kebangsaan dalam hal sosial dengan tanpa melupakan kodrat manusia dalam hal spiritual. Kedua kesadaran terhadap kodrat ini saling berkait, tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain, artinya landasan spiritual kemanusiaan seperti yang diajarkan oleh Madrais akan paripurna jika terejawantahkan dalam kehidupan sosial dengan landasan sosial tentunya. Karena spiritualisme tanpa sosial akan sulit dipahami oleh orang lain, sebagaimana Rama Djati mencontohkan sosok Syeikh Siti Jenar  sebagai manusia yang mempunyai pemahaman spiritual yang tinggi akan tetapi tidak menggunakan sifat sosialnya.

Ajaran sosial Sunda Wiwitan berprinsip pada kodrat kebangsaan, artinya dalam kehidupan sosial manusia tidak lepas dari karakteristik masing-masing daerah. Beda tempat beda zaman, beda pula karakteristiknya. Setiap karakter muncul dari dalam hidup keseharian manusia, dari tanah dan air yang dipijaknya, sehingga setiap manusia mempunyai budaya sebagai usaha mengatasi kehidupan sehari-harinya, mempunya bahasa sebagai usaha berkomunikasi satu sama lain/bersosialisasi, dan lain-lain. Madrais meyakini bahwa setiap bangsa akan berbeda dalam menghayati hidup, sehingga bangsa yang satu tidak bisa memaksakan nilai, norma, aturan, atau agama kepada bangsa yang lain. Ajaran Madrais inilah yang kemudian menjadi batu sandungan dan kerikil tajam bagi usaha pemerintah Belanda untuk menjajah.

Kalau kita Ingat, penjajahan (imperialisme) pada prinsipnya adalah menguasai kelompok tertentu secara ekonomi politik. Sebelum dapat dilaksanakan dengan baik, Imperialisme meniscayakan terjadinya kolonisasi. Kolonisasi lebih bersifat paradigmatik, artinya dia mempengaruhi wilayah kesadaran dengan pemaksaan nilai, moral, agama, aturan, dan semacamnya. Ajaran Madrais dalam hal ini adalah ajaran yang menggelorakan semangat anti-kolonial dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, wajar jika kemudian Belanda sangat membenci Madrais dan ajaran yang dibawanya. Hingga untuk mengawasi gerak-gerik Madrais, Belanda harus mengirimkan mata-mata yang menginap di Cigugur, yang diingat oleh masyarakat nama mereka adalah Yakob, Steepen, Relles dan Destra.

Marginalisasi Sunda Wiwitan

Bagi pemerintah Belanda, Madrais adalah biang kerok yang selalu dicurigai siang dan malam. Segala cara pun dilakukan oleh pemerintah belanda untuk menghilangkan pengaruh ajarannya dari masyarakat Cigugur. Pada tahun 1901-1908 Belanda mengasingkan Madrais ke Marauke setelah sebelumnya dia dituduh melakukan pemerasan dan penipuan kepada masyarakat. Setalah pulang dari marauke dan kembali ke Cigugur pada tahun 1908, Belanda melarang para pengikutnya mendatangi Ki Madrais.

Tak habis akal, setelah pesantrennya dilarang oleh belanda, Madrais pun berjuang di wilayah pertanian, selain menanam padi beliau juga dikenal sebagai orang yang pertama kali menanam bawang merah di Cigugur. Pada akhirnya, pengikutnya pun bisa sering bertemu dengan madrais sebelum akhirnya ketahuan juga dan sempat beberapa kali keluar masuk bui.

Setelah ditekan selama bertahuan-tahun, Belanda memperbolehkan Madrais meneruskan ajarannya dengan syarat menyanjung-nyanjung Belanda. Meskipun pada akhirnya Belanda mengakui ajaran Madrais dalam adapt recht (hukum adat) akan tetapi hasutan terus dilakukan oleh pihak Belanda kepada Madrais. Segala cara diusahakan untuk melumpuhkan pengaruh ajaran anti-kolonial dari Madrais, termasuk saat memplintir salah satu ajaran pokok madrais. Belanda menghembuskan berita bahwa “madrais mengajarkan pengikutnya untuk minum air keringatnya sendiri”, dia adalah tukang sihir dan segala macam (kekeliruan dan stigma ini sempat dijadikan inspirasi pembuatan film Kafir yang disutradarai oleh Mardali Syarif dengan pemeran utama Sudjiwo Tejo). Padahal ucapan Madrais yang sebenarnya adalah “makan minumlah kalian dari keringat sendiri” yang berarti pengikutnya harus makan dan minum dari hasil kerja kerasnya sendiri, tidak dengan memeras orang lain ataupun meminta-minta. Inilah prinsip kehidupan mandiri, berdikari dan anti-kolonial yang diajarkan Madrais.

(Tulisan ini disusun berdasarkan pengalaman lembaga kami, Yayasan Fahmina, selama beberapa bulan berinteraksi dengan masyarakat di Cigugur, terutama komunitas Sunda Wiwitan. Sudah banyak sebenarnya yang menuliskan prihal Sunda Wiwitan serta pendampingan maupun advokasi masalah yang menimpa mereka. Tulisan ini hanya secuilnya saja untuk media alternatif lembaga kami, disusun berdasarkan laporan Abdul Rosyidi, salah satu mahasiswa Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Crebon,dan sedikit saya edit)

geliat pemuda lintas iman ciptakan budaya damai

“Saya melihat Indonesia hari ini ada di Cirebon”. 


Kalimat tersebut diungkapkan seorang ibu, isteri dari Presiden RI Keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ya, dia adalah Nyai Sinta Nuriyah Wahid. Beberapa waktu lalu ia menggelar acara acara buka dan sahur bareng bersama sejumlah komunitas di wilayah tiga Cirebon termasuk Komunitas Lintas Iman, di Klenteng Talang, Hotel Intan, dan Cigugur Kuningan.

Bahkan pada Rabu (25/7), gema kebahagiaan “shalawat” pun dilantunkan di halaman Kelenteng Talang, Kota Cirebon, Jawa Barat. Ya, acara sahur bersama di Kelenteng Talang itu pun menjadi ajang berkasih-kasihan antarwarga, apa pun suku-bangsa dan agamanya.

Suasana indah dan damai, juga sangat terasa untuk kali ke sekian di Yayasan Fahmina pada satu sore menjelang buka puasa. Bagaimana tidak indah, sejumlah pemuda dan sesepuh mereka dari beragam latar belakang suku budaya dan keyakinan, duduk setara dalam sebuah acara buka puasa bersama. Tidak hanya para pemuda dari beragam keyakinan yang tergabung dalam “Pemuda Lintas Iman (Pelita)”, namun juga para orang tua maupun sesepuh yang tergabung dalam forum keberagaman beragama “Forum Sabtuan”,  pun turut melebur dalam acara tersebut. Rangkaian acara buka bersama ini juga tidak sekadar diisi pentas seni, karena selain itu juga setiap perwakilan dari agama-agama merefleksikan makna puasa bagi diri mereka dan kehidupan umat beragama di Cirebon, di Indonesia dan dunia.

Kegiatan serupa, bukan hanya sekali dua kali digelar komunitas lintas iman di Cirebon seperti Pelita dan forum Sabtuan. Lebih dari itu, Pelita juga menggelar Pasar Murah di Kelurahan Kesunean, atas kerjasama dari Gratia FM dan BEM ISIF Cirebon. Dalam pasar murah tersebut, 1.500 paket sembako dijual dengan harga murah, termasuk di dalamnya berbagai pakaian murah, mainan, dan alat-alat bayi. Menjelang waktu buka puasa, tepatnya tiga hari menjelang hari raya Idhul Fitri 2012, di lampu merah Jalan Pemuda, Pelita juga mengadakan “Posko Mudik Pelita,” dengan membagikan 1.500 kotak nasi kucing kepada para pemudik, atas kerjasama Gereja Bala Keselamatan dan Kodim Kota Cirebon.

Kendati demikian, bukan berarti acara tersebut tidak tanpa kendala, terutama menjelang berlangsungnya acara. Karena ada saja saja kelompok-kelompok yang masih keliru memahami kebersamaan tersebut. Dalam beberapa kali kegiatan misalnya, tak jarang mereka didatangi organisasi massa (Ormas) Islam tertentu, bahkan diminta membubarkan acaranya. Ketika para komunitas pecinta damai tersebut memilih meneruskan kegiatannya, mereka tidak diam, secara terang-terangan merekam acara tersebut. Lalu esoknya, video acara tersebut muncul di media Youtube, dengan judul “Pemurtadan Berkedok Pasar Murah”. Padahal jelas terlihat dalam video tersebut, beragam keyakinan ada di dalamnya, termasuk umat Islam yang jelas terlihat symbol keagamaannya dari para muslimah berjilbab. Tidak hanya itu, melalui medianya, kelompok yang tidak menyukai kegiatan komunitas lintas iman tersebut juga mengabarkan informasi-informasi yang isinya hanya memicu kebencian terhadap sesama.

Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati

Dulu ketika mendengar tentang Cirebon, bukan hanya mendapat gambaran tentang budayanya. Namun juga sudut-sudut di mana terjadinya pertukaran budaya, yang memungkinkan adanya peningkatan ilmu pengetahuan serta akulturasi budaya. Begitu juga dengan tempat-tempat ibadah, seperti gereja dan klenteng. Klenteng Welas Asih yang berusia sekitar 700 tahun ada di sana. Soal spiritualitas, keraton Cirebon adalah cermin Islam yang lembut dan toleran.

Akulturasi budaya juga terlihat di berbagai aspek lain. Lihat bangunan keraton-keratonnya. Ia memiliki unsur India, Jawa, Belanda, Cina, sekaligus Arab. Penggunaan atap yang bertingkat-tingkat adalah pengaruh Hindu, tapi tembok putih, kemudian aula yang diisi kursi-kursi yang berderet dan berhadapan adalah Eropa. Porselen keramik di tembok-tembok adalah pengaruh Cina, namun beragam kaligrafi, juga adanya mesjid di sekitar keraton adalah representasi Islam. Cirebon paham akan sejarah budayanya sendiri. Dan, melalui akulturasi budaya yang terjadi bertahun-tahun, mereka mampu menghayati pluralisme.

Namun beberapa tahun terakhir, ada imej popular baru tentang Cirebon terkait intoleransi beragamanya. Puncaknya pada aksi bom bunuh diri di masjid Polres Kota Cirebon, pada 15 April 2011. Belum lagi aksi penolakan konser Ahmad Dani oleh organisasi massa (Ormas) Islam tertentu, serta aksi kekerasan untuk membubarkan atau mengusir sejumlah kelompok minoritas di Kabupaten Cirebon.

Rangkaian kejadian berbau kekerasan atas nama agama, menjadi kegelisahan tersendiri bagi komunitas lintas iman di Cirebon, terutama para pemudanya. Diawali dari niat baik menciptakan budaya damai di kalangan sejumlah pemuda di Cirebon, sampai akhirnya terbentuklah Pemuda Lintas Iman (Pelita).

“Mencegah lebih baik daripada mengobati,” demikian niat awal Pelita sebelum kelahirannya. Kata “mencegah” yang dimaksud di sini adalah mencegah para pemuda menjadi korban pencarian jadi dirinya sendiri. Karena disadari Pelita, seperti diungkap Devida, Ketua Pelita, pemuda adalah kelompok manusia yang sangat rentan. Maka Pelita ini adalah lternative untuk mencegah para pemuda Cirebon terjerumus ke dalam radikalisme agama.

“Pelita selama ini cukup solid, agenda acaranya jelas dan rutin dalam mengadakan pertemuan dwi mingguan. Pelita bergerak dengan hati, semua pertemuan dwi bulanan sengaja  di-setting dalam bentuk lesehan dan melingkar, supaya lebih saling akrab dan mengenal satu sama lain,” papar Devida.

Tetap Bergerak untuk Indonesia Damai

Memulai sesuatu terkadang memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Termasuk upaya Pelita mengajak pemuda dari berbagai agama, juga bukan hal mudah. Namun Pelita terus mencoba bergerak.
“Apa yang kami lakukan adalah baik, kami yakin itu, karena bergerak dengan hati yang tulus akhirnya mereka yang awalnya enggan datang ke acara Pelita pun melihat niat baik kami. Sebut saja Pemuda Komunitas Hindu di Pure Jati Permana, Perumnas Cirebon, juga Pemuda Ahmadiyah dengan nama “Lajnah Ima Illah”. Lalu Syi’ah, serta pemuda-pemudi gereja yang dulu sangat tertutup sekarang mereka mau berkumpul dan duduk bareng,” ungkap Devida.

Pelita adalah organisasi kepemudaan yang di dalamnya terdiri dari berbagai agama dan keyakinan. Ide terbentuknya, lanjutnya, bermula dari inisiatif para orang tua dalam forum lintas iman yang bernama “Komunitas Sabtuan” terutama Marzuki Wahid, Ketua Majelis Pengurus Yayasan Fahmina. Hingga terbentuk gagasan bersama membuat wadah di mana para pemuda lintas iman kota Cirebon bisa berkumpul dan berjuang bersama untuk satu Indonesia yang damai dan rukun.

“Para pemuda dan forum sabtuan pada waktu itu berkumpul di Gereja Rahmani dan Gereja Katolik (GK) Pengampon untuk membahas ide ini lebih lanjut dan yang pada akhirnya menelurkan Pelita,” jelasnya.

Hanya Ingin Cirebon Sejalan Bhinneka Tunggal Ika

Sesuai sifat dasar manusia, kehidupan damai menjadi harapan semua umat manusia apapun latar belakang suku, budaya, dan agamanya. Sayangnya, selalu saja ada pihak-pihak yang terus berusaha memicu timbulnya permusuhan. Termasuk di Cirebon, kendati keberagamannya sangat bagus, namun masih ada kerikil penghalang mewujudkan damai.  Seperti diungkap salah satu pemuka agama Budha, Surya Pranata. Sampai saat ini, ia menjadi bagian dari komunitas lintas iman “Forum Sabtuan” Cirebon, yang tak bosan-bosannya memperjuangkan budaya damai. Ia hanya ingin agar kehidupan di Cirebon sejalan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika, berbeda tapi tetap satu.

“Berbeda tapi menghargai perbedaan dan hidup dengan harmonis tanpa melihat agamanya apa. Puasa kemarin, saya ikut menjadi narasumber dalam acara buka bersama di Kampus ISIF. Puasa jangan dimaknai sebagai ritual belaka, tapi puasa harus dimaknai dari prosesnya. Puasa adalah meditasi, pelatihan jiwa, dan menahan segala amarah,” ungkap Surya dengan penuturan khasnya yang pelan dan tenang.

Ia juga mengaku sangat menyambut baik lahirnya Pelita. Menurutnya, hubungan antar agama di Cirebon sudah terjalin bahkan saat tahun 2000 lahir Forum Sabtuan.

“Akan tetapi ada kesadaran dalam benak para anggota Forum Sabtuan bahwa perlu ada regenerasi, makanya lahirlah kemudian Pelita. Saya sangat apresiatif terhadap semangat, komitmen dan pemuda lintas agama dan keyakinan di Cirebon.”

Ruang Segar Membangun Damai

Sementara menurut salah satu Anggota Majelis Pengurus Yayasan Fahmina, Rosidin, Cirebon dengan dinamika sosial dan heterogenitas masyarakatnya, membutuhkan sebuah lembaga atau forum komunikasi antar umat beragama dan antar golongan masyarakat yang akan menginisiasi munculnya ketahanan budaya (cultural resistance) antikonflik. Forum yang  dimunculkan dari budaya setempat sebagai kecerdasan lokal (local genius) diharapkan mampu mengantisipasi berbagai gejala sosial baru yang berpotensi merusak keseimbangan sosial.

“Pelita ini sepertinya memberi ruang yang cukup bagi terjadinya proses dialogis antar kelompok kepentingan, khususnya yang berkaitan dengan isu ras, dan agama. Forum yang berisi para pemuda lintas iman ini memberikan raung segar bagi pemuda-pemuda lintas iman untuk saling belajar dari keyakinan yang berbeda-beda,” papar Rosidin.

Dari berbagai aktifitas Pelita mulai dari roadshow ke tempat-tempat ibadah, diskusi bulanan mengenal lebih dekat teman, sampai pada momen-momen memperingati besar nasional bahkan hari besar keagamaan, menurutnya Pelita seakan menjadi safety falfe atau katup pelepas yang menjadi saluran bagi kelompok antar agama di kalangan pemuda melepaskan uneg-unegnya.  Sehingga, lanjutnya, pada skala tertentu mampu meredakan ketegangan antar golongan yang berkonflik.

“Fungsi strategis adanya forum semacam ini adalah juga untuk menjadi sarana dialogis antar kelompok, terutama dalam rangka mengembangkan suasana toleran dan pemahaman tentang perlunya menghargai keberagaman dalam masyarakat multi-kultur ini,” jelasnya.

Fungsi lain yang tak kalah urgennya, tambahnya lagi, adanya Pelita adalah sebagai lembaga yang secara kultural (dan alamiah) mampu mengembangkan semacam early warning system atau sistem peringatan dini terhadap berbagai konflik yang memiliki potensi mengganggu keseimbangan social, terlebih dapat menghancurkan tatanan sosial melalui aksi-aksi kekerasan. 

diangkat di majalah Blakasuta dan website http://fahmina.or.id

menimbang sesuatu, lalu loncat

satu waktu aku sering sekali menimbang sesuatu lalu melangkah setelah memutuskan salah satunya. kali ini masih seperti biasa, dengan percaya diri kukatakan bahwa aktivitas menimbang sesuatu bukan hanya aku yang melakukakannya. siapapun yang punya pilihan dan gelisah akan pilihan itu, ia akan menimbangnya, meski tidak selalu berakhir pada memutuskannya.

tapi kali ini aku tidak melangkah, tapi ingin langung meloncat dan menerjang apa yang sudah lama matang di ruang kepala. bertahanku di tengah mereka yang dengan percaya diri akan terus memanfaatkan diamku adalah muaranya. aku sudah meyakinkan diri, bahkan sebelum mereka memanfaatkanku, aku sudah meyakinkan diri bahwa aku berkuasa pada diriku. persoalan bahwa sekarang aku masih bertahan di tengah mereka adalah karena aku merasa kasihan terhadap mereka. dan ingin berbuat baik pada mereka dan melihat perkembangan perubahan mereka ke arah yang lebih baik.

tapi tidak, seperti yang sudah kubilang, apa yang ada di depanku adalah proses. belum akhir. kali ini untuk proses ini sepertinya aku sudah mulai yakin untuk mengakhirinya dan meneruskan proses berikutnya. mungkin terlintas dalam pikiranmu bagaimana aku begitu bodoh untuk tetap bertahan di tengah mereka. tidak, aku tidak bodoh, aku hanya butuh waktu mematangkan kesabaranku. bukan, lebih tepatnya, mematangkan kebijaksanaanku sebagai manusia. dan dengan kebijaksanaanku, aku memutuskan untuk segera meloncat merubah diriku lebih baik lagi, sebelum secara sia-sia berkelanjutan berharap merubah mereka lebih baik lagi.