skip to main |
skip to sidebar
tentunya sahabat blogger pernah akrab dengan nama “Jo”, karena aku pernah sekali memposting kisahku bersama Jo dalam “strawberry juice dari Jo…” dan about the bucket and the searchlight,
kali ini aku juga ingin berbagi tentang Jo yang kini telah kembali ke
tanah airnya. aku menulisnya dalam majalah “Blakasuta” milik lembaga
kami, Fahmina-Institute.
Kesan pertama melihat penampilannya, mungkin banyak orang yang
terkecoh dalam menilai sosoknya. Karena siapa sangka, dibalik
kesederhananaan dan pembawaannya yang terlihat santai, dia memiliki
beragam pengalaman yang jarang dimiliki perempuan sebayanya. Menyelami
kisah hidupnya, kami (kru Blakasuta) seakan dibawa pada perjalanan tak
berujung. “Tangguh”. Kata itupun, seakan masih kurang untuk membahasakan
pengalaman hidup perempuan kelahiran Kota Brisbane Australia ini.
Tapi memang benar adanya. Perjalanan hidup yang dipilihnya,
menghantarkannya menjadi sosok yang kian matang dan tangguh. Bukan
perempuan biasa itu adalah Joanne Elizabeth McMillan, seorang translator
dan editor di Fahmina-Institutte. Jo, demikian sapaan akrabnya, telah
bergabung di Fahmina-Institute sejak Oktober 2007 dalam rangka program
Australian Volunteers International (AVI). Dia juga pernah mendapat
gelar Honours dari University of New England, Australia, dalam bidang
Kajian Indonesia.
Kini, dia sedang mengikuti kursus Masters of Applied Anthropology and
Participatory Development, di Australian National University (ANU)
Canberra. Selain sebagai penerjemah, dia juga menjadi konsultan untuk
website dan terlibat dalam meningkatkan kapasitas memperluas jaringan,
mempromosikan gagasan-gagasan kelembagaan ke dunia internasional, serta
mengajar Bahasa Inggris secara informal di Fahmina-Institute.
Jo
adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adiknya bernama David
McMillan (27) dan Allison McMillan (23). Putri dari Simon McMillan dan
Jane McMillan ini, asli keturunan Skotlandia. Hal itu dapat diketahui
dari “Mc” atau McMillan, yang merupakan nama Skotlandia. Joanne, diambil
dari nama yang disukai orang tuanya. Elizabeth, diambil dari nama
bibinya (adik dari ibunya). Sedangkan McMillan, diambil dari nama
keluarga bapaknya. Seperti orang Kristen Australia lainnya, nama seorang
anak selalu mengikuti nama keluarga bapak.
Jo lahir di Kota Brisbane pada tahun 1979. Memasuki usianya yang kelima, dia pindah ke sebuah kota kecil laiknya
sebuah desa dengan 20.000 penduduk. Kota kecil itu bernama Amidale. Di
kota inilah, dia mulai mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD) atau
Primary School, tepatnya di Armidale City Public School. Lain halnya di
Indonesia, di Australia tidak ada sekolah menengah pertama (SMP) dan
sekolah menengah atas (SMA). Alhasil, Jo hanya mengenal Primary School
(SD) dan High School (SMP+SMA).
Setelah lulus SD, dia mendapat beasiswa untuk High School swasta
Kristen. Namanya Presbyterian Ladies College (PLC). Di Australia,
sekolah swasta dianggap lebih bagus dari sekolah publik atau negeri.
Sehingga orang tuanya bangga sekali ketika dia mendapatkan beasiswa
tersebut. “Namun selama dua tahun di PLC, saya merasa tidak cocok dengan
budaya di sekolah yang terlalu konservatif, disiplinnya keterlaluan,
terlalu ketat, bahkan pandangannya terhadap banyak hal terlalu elitis.
Akhirnya saya pindah ke sekolah publik,” tutur Jo.
Nama sekolah publik itu adalah Duval High School (DHS). Di Armidale,
DHS dikenal sebagai high school yang menghasilkan siswa yang kreatif. Di
DHS, Jo merasa lebih betah. Dia pun mengambil banyak mata kuliah yang
menarik. Termasuk mata kuliah favoritnya, yaitu Drama dan Sastra
Inggris. Di DHS, Jo lulus tahun 1997 sebagai “Dux” atau siswa yang
nilainya paling tinggi.
Menjadi PRT, Buruh Tani, Staf Administrasi, hingga Aktifis Sosial
Biasanya setelah lulus sekolah, orang Australia langsung melanjutkan
pendidikannya di sebuah universitas atau mencari pekerjaan. Tetapi Jo
lebih memilih untuk pergi ke luar negeri. “Saya sudah sempat menyimpan
uang dari pekerjaanku sebagai pelayan restoran Thailand. Saya juga
beruntung mendapatkan warisan dari nenekku, tidak banyak sekali tetapi
cukup untuk membeli tiket pesawat,” papar Jo yang mengaku keluar
Australia sejak berumur 18 tahun.
Ya, tahun 1998, Jo pergi ke United Stated of America (USA). Di sana,
dia tinggal dengan bibinya yang sudah lama menetap di Amerika. Dari
rumah bibinya, Jo mulai menjelajah USA dan Kanada dengan menaiki bus
Greyhound. Terkadang, dia menginap di rumah kenalan tetapi untuk
sebagian besar dia tidur di sebuah hotel atau asrama untuk wistawan yang
tidak berduit.
“Saat itu saya hanya sendirian, tetapi sempat bertemu dengan banyak
orang, tidak hanya dari USA tetapi dari seluruh dunia. Dari pengalaman
itu saya belajar hidup mandiri,” ujar Jo. Awalnya, dia juga mengaku
kangen pada keluarga, merasa kesepian, dan takut karena tidak ada teman.
“Karena sebelum berangkat dari Australia, mencuci baju dan mengurus
uang sendiri, pun saya masih tidak bisa. Namun lama-lama saya merasa
nyaman dan malah bangga kalau saya hanya tergantung pada diri sendiri,
tidak tergantung pada orang lain.”
Setelah tiga bulan di USA (Irlandia), Jo pergi ke Irlandia. Di sana,
dia bekerja sebagai pembantu dan buruh kebun di sebuah pertanian milik
teman bibinya. “Teman bibiku itu bisa disebut “priayi” Irlandia.
Rumahnya besar sekali dengan lebih dari 100 kamar, dibangun
pada abad
ke-18. Di depan rumah tersebut ada danau pribadi dan ada juga
peninggalan dari abad ke-14, yaitu sebuah “castle” yang sudah setengah
roboh.”
Sesudah tiga bulan bulan di USA, Jo bertemu dengan beberapa teman
sekolah yang kebetulan sedang bekerja di Inggris (negara tetangga dari
Irlandia) dan jalan-jalan di negara Italia selama dua minggu. Setelah
itu, dia ditinggalkan temannya yang harus balik lagi ke Inggris.
Lagi-lagi dia pun berjalan-jalan sendiri di beberapa negara termasuk
Slovenia, Mesir dan Israel. Dari beberapa negara tersebut, saya pergi ke
Inggris (di sela ke luar negeri) untuk mencari pekerjaan.
“Di Inggris, awalnya saya hanya bekerja sebagai pelayan bar, tetapi
karena gajinya kecil sekali, saya mencari pekerjaan sebagai sekretaris
atau staf administrasi. Karena gaji di Inggris agak tinggi, dan karena
saya rajin menyimpan uang, maka sekitar tiga bulanan sekali saya pergi
luar negeri untuk mengunjungi negara-negara lain,” ujarnya.
Pada tahun 1999, Jo kembali mengunjungi beberapa negara seperti di
Afrika timur dan selatan. Dia juga sempat mengunjungi negara Turki,
Philippines, Thailand, Mesir (lagi) dan Jurdania. Pada tahun 2000,
visanya di Inggris habis, sehingga dia berangkat ke USA lagi dan
meneruskan perjalanannya ke beberapa negara di Amerika Selatan termasuk
Peru dan Bolivia. Di sana, dia bekerja di Honduras sebagai guide
menyelam scuba (menyelam dengan bantuan oksigen).
“Dari pengalamanku di Amerika selatan, saya dapat dua hobi baru.
Yaitu belajar bahasa dan mendaki gunung. Sesudah itu, pada tahun 2001
saya pulang ke Australia dan mulai kuliah S1-ku di University of Sydney.
Saya mengambil beberapa mata kuliah termasuk matematika, sastra
Inggris, bahasa Spanyol dan bahasa Arab,” ungkap Jo yang juga sempat
bekerja di beberapa tempat, termasuk di bandara sebagai information
officer dan di customer service di sebuah telkom kecil.
Menjadi Aktifis Sosial Kemanusiaan
Pada tahun 2002, Jo diajak dua teman dekatnya yang kebetulan sedang
kuliah dan bekerja di Indonesia. Pada Agustus 2002, Jo pun mulai
mengunjungi Indonesia untuk pertama kalinya. Mulai dari Jakarta ke
Bogor, Bandung, Garut, Pangandaran, Yogyakarta, Gunung Bromo, Bali dan
Lombok, termasuk naik Gunung Rinjani.
“Saya terkesan sekali dengan Indonesia dan langsung merasa betah di
sini. Karena kedua temanku itu sudah lancar ngomong bahasa Indonesia.
Saya juga sempat belajar bahasa Indonesia dan sesudah tiga bulan di
Indonesia sudah bisa berkomunikasi dengan orang pakai bahasa Indonesia,”
terangnya lancar dalam bahasa Indonesia.
Setelah
pulang ke Australia, Jo sadar tidak bisa melanjutkan kursus bahasa Arab
dan Spanyol karena kursus tersebut dicancel (dibatalkan). Tetapi ada
kursus bahasa Indonesia, sehingga dia mulai mengikuti kelas bahasa
Indonesia. Selama kuliah S1, dia bekerja di beberapa tempat termasuk di
universitas sebagai web consultant, administrator dan sebagai guru
bahasa Inggris untuk beberapa orang asing (termasuk orang Indonesia)
yang kuliah atau bekerja di Australia.
“Saya juga sempat bekerja di Bali sebagai koordinator peluncuran buku
di Festival Penulis dan Pembaca Internasional Ubud pada tahun 2006.
Selain itu skripsi S1 saya tentang tulisan hasil karya Oka Rusmini,
salah satu penulis di Bali. Nah, setelah lulus S1 pada tahun 2007, saya
baru mendapatkan pekerjaan di Fahmina-Institute.”
Sebelum bekerja di Fahmina, Jo pernah bergabung dengan beberapa
lembaga sosial. Seperti di USA, dia menjadi sukarelawan di sebuah
lembaga swadaya masyarakat (LSM). LSM tersebut melakukan pendampingan
terhadap perempuan muda (remaja) yang hamil di luar nikah. Perempuan
muda itu biasanya hamil karena diperkosa atau dipaksa melakukan hubungan
seksual oleh pacarnya, yang kemudian meninggalkannya ketika mengetahui
dia hamil. Selain itu, juga membantu perempuan muda untuk melanjutkan
sekolahnya, serta mengajarkan ketrampilan (skill) yang dibutuhkan untuk
membesarkan anaknya dengan baik.
Di Selandia Baru (New Zealand), Jo juga mengikuti program yang
menyediakan guru bahasa Inggris untuk pengungsi-pengungsi dari seluruh
dunia yang terpaksa melarikan diri dari negaranya sendiri. Dia mengajar
bahasa Inggris untuk seorang perempuan Iran– seorang Kurdi, namanya
Hurmat.
“Hurmat berumur sekitar 30-an tetapi sudah terlihat lebih tua karena
perjalanan hidupnnya susah. Dia lahir di Iran, tetapi pada umur 12
tahun, dia terpaksa mengungsi ke Iraq. Selama 20 tahun, dia tinggal di
sebuah “refugee camp” di Iraq. Dia menikah di situ dan memiliki 4 anak
(3 laki-laki dan 1 perempuan). Anak terakhirnya, yang perempuan, punya
penyakit serius, hydrocephalus,” papar Jo.
Mungkin karena itu, lanjut Jo, Hurmat dan keluarganya diberi visa
untuk New Zealand di mana anaknya bisa dirawat di rumah sakit yang
bagus. “Karena tentu saja di refugee camp, fasilitas kesehatan sangat
minim. Hurmat sendiri sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Dia juga
buta huruf total dalam bahasanya sendiri, karena tidak pernah sekolah.
Tetapi dia semangat sekali belajar membaca bahasa Inggris,” tukasnya.
Melihat Langsung Persoalan Perempuan
Di Australia, Jo mengaku terbiasa membaca dan belajar tentang isu-isu
perempuan. Tetapi di Indonesia dia melihat secara langsung masalah real
yang dihadapi perempuan miskin yang hidup di budaya “patriarkhis” di
negara berkembang. Di Fahmina, dia merasa baru memulai memahami betul
tentang isu-isu seputar perempuan. Seperti persoalan tenaga kerja wanita
(TKW). Menurutnya, TKW sering menjadi korban karena banyak faktor.
Jo memaparkan, persoalan yang menimpa perempuan tersebut tidak
terlepas dari faktor pendidikan yang rendah, karena negara juga belum
mampu memastikan semua orang yang akan memperoleh pendidikan. Belum lagi
kesempatan untuk mendapat pekerjaan yang bagus, namun terbatas karena
kondisi ekonomi negara atau daerah. Faktor lain, para perempuan itu juga
tidak berani untuk menuntut haknya. Sementara budaya yang ada, juga
menganggap perempuan layak mengorbankan diri untuk kepentingan keluarga.
Sementara itu, pemerintah dan aparat hukum di Indonesia belum mampu
melindungi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri.
“Ketika pertama kali melihat iklan untuk posisi translator dan editor
di Fahmina, saya sangat senang karena posisi tersebut seakan didesain
khusus untuk saya. Saya juga sangat menikmati bekerja di Fahmina, di
sini banyak teman untuk berdiskusi. Pekerjaan di sini juga menarik dan
sangat berarti,” ungkap Jo.
Hal itu diakui Jo karena pengalaman kerja dan pendidikan sebelum datang
di Fahmina, terkesan tidak teratur. Maksudnya, ketika orang mengambil
kursus, contohnya ekonomi dan mata kuliah mereka terkait ekonomi semua,
atau hukum, atau sastra atau pendidikan dan lainnya. Tetapi dia tidak
mengikuti kursus yang jelas saat S1-nya. Dia belajar bahasa Arab, bahasa
Indonesia, sejarah Islam, Peace Studies, Development di Asia Tenggara,
kajian wanita, dan sastra Indonesia. Pekerjaannya juga beramacam-macam.
Dia tidak pernah membayangkan bahwa ada pekerjaan di dunia ini yang
menurutnya cocok dengan pengalamannya. Yaitu di Fahmina.
“Saya betah di Indonesia tetapi untuk menetap, saya belum bisa karena
masih ada keluarga di Australia. Tetapi mudah-mudahan saya masih bisa
sering kembali ke Indonesia,” ungkap Jo yang kini telah kembali ke tanah
airnya, Australia.
all pictures are taken from Joanne’s facebook album
0 komentar:
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca, mari kita berbagi pengalaman hidup :)