jika aku bertanya, apa yang muncul di kepalamu tentang kesan pemimpin
negeri kita sekarang? atau silahkan jika ingin menambahkan daftar nama
pemimpin-pemimpin sebelumnya. jika bisa kutebak, pasti di antara kita
memiliki kesan yang sama. tentang sosok pemimpin yang kurang tegas,
penakut, bimbang, lebay, atau ganteng mungkin, yang terakhir itu
relatif, tapi bukan itu yang aku maksud. atau mungkin ada yang berpikir
dia telah melakukan perubahan yang signifikan atau bagaimana, silahkan
ungkapkan. tapi di ruangan ini aku akan lebih banyak berbagi bahwa kita
tidak membutuhkan pemimpin yang kurang tegas dan lain sebagainya. tapi
tentang pemimpin yang transforming, bukan transaksional.
suatu waktu secara berulang-ulang, aku dan sejumlah teman
membincangkan sejumlah isu di negeri ini. aku pikir dengan era
mediatisasi dengan mudahnya bersosial media, tidak hanya aku, hampir
setiap orang melakukan hal yang sama. berdiskusi dan berbagi. ketika kau
tak mampu mendiskusikannya di ruang nyata yang sudah terlalu padat dan
tidak terlalu praktis, maka ruang maya adalah alternatif yang tepat.
facebook, twitter, blog, atau media apapun yang mampu kau jangkau.
termasuk akhir tahun 2011 dan awal tahun 2012, dinding facebook-ku dan
sejumlah dinding facebook teman masih terus dipenuhi dengan perbincangan
tentang sejumlah persoalan sensitif negeri ini. dan aku pikir ini sudah
semacam tugas utama kita sebagai warga negara di negara yang tengah
merangkak pada sistem demokrasi yang bermutu.
perbincangan kami biasanya berujung pada, “lalu bagaimana, apa yang
harus dilakukan?”. kami perlahan berpikir tentang solusi, berpikir
tentang tindakan apa yang bisa dilakukan. bagiku, yang juga menjadi
pikiran sejumlah orang, negeri ini butuh pemimpin-pemimpin yang berani
melakukan perubahan. okay, itu sudah pasti, setiap rakyat membutuhkan
sosok pemimpin yang demikian. namun apa dan bagaimana sosok pemimpin
ini, mari kita diskusikan di ruangan ini.
pemimpin yang mengubah
aku mungkin tergolong telat dalam memahami ini, tapi mari kita saling
berbagi tentang teori Kepemimpinan, salah satu teori yang menekankan
suatu perubahan dan yang paling komprehensif berkaitan dengan
kepemimpinan adalah teori kepemimpinan transformasional dan
transaksional (Bass, 1990). gagasan awal mengenai gaya kepemimpinan
transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James MacFregor
Gurns yang menerapkannya dalam konteks politik. gagasan ini selanjutnya
disempurnakan serta diperkenalkan ke dalam konteks organisasional oleh
Bernard Bass (Berry dan Houston, 1993). Burns (1997) mengemukakan bahwa
gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional dapat dipilah
secara tegas dan keduanya merupakan gaya kepemimpinan yang saling
bertentangan.
menyebut
nama Burns, aku jadi ingin mengaitkannya dengan R.William Liddle atau
biasa disapa Bill, guru besar Emeritus, Departemen Ilmu Politik, Ohio
State University Amerika baru-baru ini dalam orasi ilmiahnya yang
berjudul “Marx atau Machiavelli” dalam Nurcholis Madjid Memorial Lecture
V, pada Kamis (08 Desember 2011). Bill juga yang mengenalkanku bahwa
kita membutuhkan pemimpin transforming dari pada transaksional. jika
ingin sempurna, sebenarnya begitu banyak teori tentang kepemimpinan
transforming dan transaksional. seperti dalam pidatonya Bill.
mengungkapkan tentang tantangan terbesar terhadap demokrasi bermutu
pada masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya politik yang
tidak merata. setidaknya kalau demokrasi dimaknai sebagai kesetaraan
politik antara semua warganegara, definisi Robert Dahl, salah satu
pencipta tersohor teori demokrasi abad ke-20. sayangnya, menurut Bill,
cita-cita itu sulit diwujudkan di ekonomi-ekonomi kapitalis pasar, baik
yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang seperti
Indonesia. masalahnya: secara ironis, kapitalisme pasar sekaligus
merupakan dasar ekonomi mutlak buat negara demokratis modern sambil
menggerogoti terus dasar politik negara tersebut.
serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan
pada pertengahan abad ke-19 oleh teoretisi sosial Karl Marx yang
mengutamakan perbenturan kelas selaku kekuatan dinamis dalam sejarah.
namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21 tidak banyak membantu kita
memahami apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi. di
Indonesia Bill memberi contoh tulisan-tulisan Richard Robison dan Vedi
Hadiz. selain yakin berlebihan terhadap peran perbenturan kelas, mereka
menyepelekan mandirinya lembaga-lembaga demokrasi yang dijuluki
demokrasi borjuis, demokrasi yang hanya melayani kepentingan kelas
kapitalis.
Niccolo
Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke-16, menurutnya lebih tepat
selaku pemandu global abad ke-21 ketimbang Marx. pendekatan Machiavelli
terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki,
menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik. ia menawarkan
kerangka berharga, terdiri atas konsep-konsep virtu dan fortuna,
yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan teori tindakan baru pada zaman
kita. virtu, ketrampilan, berarti luas semua sumber daya yang berguna
bagi aktor politik untuk mencapai tujuannya. kita juga diingatkan
Machiavelli bahwa ada tensi, mungkin tak terhindarkan sepanjang masa,
antara moralitas pribadi dan moralitas politik.
teori tindakan Machiavelli diterapkan secara persuasif oleh sejumlah ilmuwan politik di Amerika pada paruh kedua abad ke-20 dan dasawarsa
pertama abad ke-21. Richard Neustadt mengamati dari dekat tiga presiden
Amerika: Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower. Bagi
Neustadt, sumber daya politik terpenting seorang presiden yang mau
berprestasi adalah the power to persuade, kekuatan untuk meyakinkan
orang lain tentang kebijakan-kebijakannya. Neustadt menawarkan lima
ukuran keberhasilan presidensial: keterlibatan pribadi sepenuh hati;
pernyataan posisi yang tidak samar-samar; pesan yang disiarkan
seluas-luasnya; persiapan pelaksanaan yang matang; serta pengakuan
keabsahan presiden oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat atau
berkepentingan.
James
MacGregor Burns, intelektual dan aktivis kiri ternama, menulis tatkala
Amerika sedang bergejolak akibat protes gerakan hak sipil minoritas
Amerika-Afrika dan perlawanan luas terhadap perang Amerika di Vietnam.
Dalam bukunya yang terbaik, Leadership, ia menciptakan konsep-konsep
followership, kepengikutan, dan transforming leadership, kepemimpinan
yang mengubah masyarakat secara mendasar. perubahan yang mendasar
bergantung pada pengejaran moralitas tinggi antara pemimpin dan pengikut
secara intensif, bersama dan terus menerus. Burns bersitegas bahwa
kepemimpinan tak terpisahkan dari moralitas, lalu memuji Mao Zedong
selaku transforming leader. buku James MacGregor Burns yang paling
berpengaruh, Leadership, diterbitkan hampir dua dasawarsa setelah buku
Neustadt. zaman sudah berubah drastis, khususnya di Amerika, tempat
semakin banyak warganegara dimobilisasi untuk melawan berbagai kemapanan
yang memalukan. perjuangan minoritas Amerika-Afrika untuk hak sepadan
dengan kaum putih sudah banyak berhasil, tetapi tokoh kharismatisnya,
Martin Luther King, telah tewas terbunuh di Memphis, Tennessee. pada
waktu yang sama protes dan oposisi jutaan orang dipicu perang Amerika
yang kebablasan di Vietnam. Presiden Lyndon Johnson mengaku gagal
memimpin bangsa. dalam pemilihan presiden berikut, dia digantikan oleh
Richard Nixon, yang kemudian merasa terpaksa menerima penyatuan kembali
negara Vietnam di bawah kepemimpinan komunis.
leadership
merupakan respon Burns terhadap perubahan dan tuntutan itu. Pandangan
hidupnya lebih kiri dari Neustadt, walaupun dalam konstelasi partisan
Amerika mereka berdua berada di lingkungan Partai Demokrat. Artinya,
mereka menerima prinsip positif peran negara, berbeda dengan Partai
Republik yang menjunjung prinsip peran pasar di atas negara. namun,
Burns lebih menekankan keharusan konflik sebagai pendorong perubahan
sosial. lagi pula, pendekatannya lebih psikologis dan moralis ketimbang
ilmu politik empiris murni. Burns memperkenalkan dua unsur baru: konsep
followership, kepengikutan, selaku saudara kembar Siam tak terpisahkan
dari konsep leadership, kepemimpinan; serta pemisahan kepemimpinan dalam
dua tipe baru, transactional (bertransaksi atau bertukaran) dan
transforming (mengubah bentuk). kepemimpinan transactional yang lebih
umum dijelaskan sebagai tertukarnya sumber daya politik dalam bentuk
barang dan jasa, termasuk suara dalam pemilu, antara pemimpin dan
pengikut. dua belah pihak memperoleh sesuatu yang berharga dan
masyarakat juga diuntungkan. Namun, tidak ada tujuan lebih tinggi yang
mengikatkan pemimpin dan pengikut dalam suatu pengejaran tujuan luhur
bersama-sama dan terus menerus.
tipe kepemimpinan tinggi itu disebut transforming. ilustrasinya
diambil dari berbagai negara, termasuk Amerika, Inggris Raya, Perancis,
Rusia, dan Tiongkok. sumbangan Burns kepada pengembangan teori tindakan
cukup berkesan dan menjanjikan. konsep followership yang dipelajari
selaku interaksi timbal-balik dengan kepemimpinan bisa membantu kita
untuk mengerti pasang-surut gerakan-gerakan sosial yang sering punya
dampak politik. di Amerika, Martin Luther King berhasil menjembatani
desakan keras orang Amerika-Afrika untuk memperoleh hak-hak
konstitusional mereka dengan resistensi orang putih yang juga cukup
keras. kuncinya: strategi kepemimpinan King yang mementingkan ahimsa,
perjuangan tanpa kekerasan, dari bawah serta tuntutannya kepada
pemerintah agar cita-cita Pernyataan Kemerdekaan Amerika terkabul bagi
semua warganegara. di Indonesia, konsep followership Burns bisa dipakai
untuk menelusuri segala macam gerakan, dari zaman Pergerakan sampai
zaman kita, tempat banyak kelompok sosial berjuang untuk mencapai
tujuannya. satu contoh: kemampuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk
survive, sintas, dan bertumbuh pada zaman Orde Baru bisa dipelajari
sebagai kasus leadership dan followership berbarengan dan saling
mengisi. kasus kasus Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) juga menarik dipelajari dalam kerangka ini.
distingsi antara kepemimpinan transactional dan transforming kini
populer sekali di Amerika sebagai alat jurnalis dan sejarawan mengukur
keberhasilan presiden-presiden kami. hal itu wajar saja. banyak yang
dituntut dari presiden-presiden AS dan kita memerlukan konsep analitis
yang tepat untuk mengukur jenis dan tingkat prestasi mereka. salah satu
presiden favorit saya, Bill Clinton, pernah mengeluh bahwa dia mustahil
dianggap transforming leader di mata sejarawan, sebab pada masa
kekuasaannya tak ada tantangan besar! Clinton memang perlu dilihat
selaku transactional leader, namun sumbangan positifnya cukup baik di
dalam maupun di luar negeri. jumlah presiden di Indonesia sudah cukup
banyak untuk dibandingkan tingkat prestasi mereka. sekilas saja, menurut
pendapat Bill, Sukarno adalah presiden transforming sampai tahun 1949,
tetapi setelah itu beliau sama sekali gagal baik sebagai transforming
maupun transactional leader. Soeharto berhasil mentransformasikan
ekonomi Indonesia, tetapi ongkos represifnya tinggi. menurut ukuran
Burns, Soeharto bukan seorang pemimpin sejati. di bawah kepemimpinan B.
J. Habibie, politik Indonesia tertransformasi dari kediktatoran ke
demokrasi, tetapi perilaku Habibie sendiri lebih bersifat transactional
ketimbang transforming. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan
Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden transactional. sumbangan
mereka, seperti Bill Clinton, perlu diukur dalam kerangka itu.
setiap kali membaca kembali buku Burns, sambil kagum saya teringat
pada dua keberatan saya terhadap pendekatannya. pertama, kompas moralnya
keliru. seperti banyak intelektual kiri pada zamannya, Burns terlalu
bersedia memaafkan perilaku kejam atas nama higher purpose yang
dikejarnya. satu contoh: pada pertengahan tahun 1970-an, riwayat Mao
Zedong selaku pembunuh massal, mungkin yang terbesar pada abad ke-20,
sudah banyak terungkap. namun, Burns masih mencap Mao pemimpin
transforming yang berhasil “meningkatkan kesadaran dan
mentransformasikan nilai-nilai pada skala yang sangat besar,
memobilisasikan harapan-harapan tinggi rakyat Tionghoa.” tentu bukan
hanya pengamat kiri yang melihat zamannya sendiri dengan sebelah mata.
Bill juga mengaku belum pernah menulis secara berimbang tentang
kepemimpinan Soeharto yang boleh jadi bertanggungjawab sekaligus atas
pembantaian massal 1965-1966 dan pembangunan ekonomi yang terjadi
setelah itu. kedua, dan lebih pokok, Burns menuntut terlalu banyak waktu
dan tenaga baik jasmani maupun rohani dari kita sebagai warganegara
biasa negara-negara besar dan modern. menurutnya, anjurannya lekas
sekali melelahkan! Pendekatan Burns mirip teori-teori normatif demokrasi
partisipatoris (participatory democracy), tempat anggota masyarakat
diajak berpartisipasi langsung dalam keputusan publik, dan deliberative
democracy, tempat anggota masyarakat diajak bermusyawarah sampai mufakat
tercapai.
ide-ide seperti itu mungkin bisa dipraktikkan di polis, negara-kota
Yunani kuno, atau di tingkat desa/kelurahan di Indonesia masa kini.
namun, di mana-mana kesediaan manusia untuk melibatkan diri, langsung,
dan sepenuh hati dalam kegiatan politik bersifat sangat terbatas. pendek
kata, sebuah teori normatif atau moral yang mengharuskan partisipasi
tinggi dan terus-menerus mustahil terwujud dalam dunia nyata. kemudian
salah satu ilmuwan yang diakui Bill sebagai ilmuan favoritnya, selaku
penerus tradisi pemikiran Machiavelli adalah John Kingdon, profesor ilmu
politik kawakan di Universitas Michigan. Kingdon menerjemahkan
konsep-konsep pokok Machiavelli dalam bahasa studi kebijakan umum dan
ilmu politik empiris, perhatian utamanya sendiri sejak masa mahasiswa.
dalam pemikiran Kingdon ini, menurut Bill kita diajak membayangkan
proses pembuatan kebijakan umum yang terdiri atas tiga aliran penemuan
masalah, penciptaan usul-usul kebijakan, dan kejadian-kejadian politik.
tiga aliran itu dipertemukan oleh wiraswastawan kebijakan yang peka
terhadap terbuka dan tertutupnya jendela keputusan.
menurut Bill, alangkah baiknya kalau buku Kingdon diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia
dan dipakai ilmuwan politik Indonesia untuk
memperbaiki pengertian kita semua tentang hal-hal yang menghambat
peningkatan mutu demokrasi. tokoh terakhir yang dikutip Bill adalah
Richard Samuels, pakar Jepang di Massachusetts Institute of Technology,
menawarkan kerangka baru yang berbobot sambil menelusuri proses
modernisasi abad ke-19 dan ke-20 di Jepang dan Italia. tiga unsur
utamanya: alat-alat mobilisasi yang diberi label membeli, menggertak,
dan mengilhami; peran warisan dalam proses pengambilan keputusan; serta
pelonggaran kendala yang konon dilakukan semua pemimpin yang berhasil
mengubah sejarah. selaku negara-negara terlambat dalam proses
modernisasi, boleh jadi Jepang dan Italia bermanfaat sebagai model buat
Indonesia. akhirulkata, begitu tutur Bill dalam kemampuan bahasanya yang
terbilang sempurna, kita diingatkan Dahl bahwa penambahan dan
pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi bermutu
merupakan masalah tersendiri. baik di Indonesia maupun di Amerika,
jurang pemisah tetap menganga antara yang mampu dan yang kurang mampu
berpolitik. penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah ini, atas
nama pendekatan kemampuan, sedang dilakukan oleh sejumlah kecil ekonom
dan filsuf dibimbing Amartya Sen dan Martha Nussbaum. namun, kegiatan
intelektual saja tak cukup. selain itu, pemerataan sejati memerlukan
tindakan politik yang dilakukan oleh orang-orang yang mengidamkan
demokrasi yang bermutu.
mengurai kehidupan mulai dari istilah gender
-
sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki mengomentari seorang
perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan
oleh lelaki...
11 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca, mari kita berbagi pengalaman hidup :)