suatu hari seorang perempuan menghubungiku dan merencanakan sebuah
pertemuan antara ia dan suaminya. suaranya di siang menyengat itu
membuatku berhenti dan berpikir sejenak. apa yang sudah terjadi pada
perempuan itu dan suaminya. meski penasaran, sayangnya aku tak mendapat
kesempatan bertanya lebih banyak lagi. ia menutup pembicaraannya, lalu
sms berisi waktu pertemuan kami. sayangnya lagi, pikiranku saat itu
dipenuhi dengan paper-paper tugas kuliah yang tak kunjung terselesaikan.
maka meminta maaf tak bisa bertemu secepatnya adalah satu-satunya
alasan yang bisa kuberikan. setelah itu panggilan-panggilan dan pesannya
tak sesering sebelum aku beberapa kali menolak pertemuan yang kami
rencanakan. tiba-tiba dalam kondisi seperti ini, aku dipaksa untuk tak
peduli. aku menjelma sosok yang egois dan tak mau berbagi. tapi saat ini
aku tak bisa berbuat lebih. kondisiku memaksaku untuk fokus pada satu
hal. semoga rumah tangganya baik-baik saja, hanya itu yang bisa
kulakukan.
perempuan itu adalah seorang perempuan paruh baya yang memilih duduk
di sampingku, ketika pertemuan pertama kami. saat itu aku tak banyak
berpikir kenapa. bagiku itu sesuatu yang wajar, duduk di kereta
sendirian dan akan segera datang penumpang lain entah laki-laki
perempuan. aku hanya orang pertama yang kebetulan lebih awal mendapatkan
tempat dudukku. “ini bukan nomorku,” ujarnya tiba-tiba. “tapi aku
memilih duduk dengan sesama perempuan, nomor dudukku di sebelah sana,”
lanjutnya sambil menunjuk tempat duduk yang sudah terisi laki-laki. “aku
tak terbiasa duduk bersama lelaki yang bukan muhrimku,” ujarnya lagi.
“oh, silahkan bu,” jawabku singkat sembari menyunggingkan senyum yang
biasa saja.
kami adalah penumpang yang sama-sama tidak mendapat tiket eksekutif
karena telah habis. di gerbong Bisnis kereta Cirebon Ekspres (Cireks)
tujuan Cirebon-Jakarta. aku pikir tak apa meski tak senyaman eksekutif.
tapi melihat penampilan perempuan itu di tengah gerbong Bisnis, rasanya
sedikit janggal. penampilannya yang begitu berkilau lengkap dengan
aksesoris dan tas-tas jinjing yang juga bukan tas perjalanan biasa. tak
perlu lama menebak dan menanti jawabannya, aku sudah faham, ia juga
kemungkinan tak mendapat tiket di gerbong yang nyaman itu. dan benar
juga, seperti mampu membaca pikiranku, tiba-tiba ia menjelaskan bahwa ia
juga tidak mendapat tiket eksekutif karena sudah habis. saat itu kami
memang melakukan perjalanan di hari Minggu sore. ah, tapi seharusnya tak
seramai itu. tapi bisa juga terjadi.
sesaat kami duduk dalam diam. dan suasana hening, diam dan tak peduli
satu sama lain adalah hal yang biasa terjadi dalam kereta, bus, angkot,
pesawat, dan perjalanan lainnya. lalu perempuan dengan pernak-pernik di
kerudungnya itu membuka pembicaraan. “saya tak terbiasa naik kereta
bisnis, apalagi harus satu bangku dengan laki-laki,” tukasnya membuka
pembicaraan. aku masih membacanya, sepertinya perempuan di sampingku
akan bercerita lebih banyak lagi. itu petanda perjalananku sekitar tiga
jam akan diisi sebagai pendengar yang setia. benar saja, ceritanya terus
mengalir. tentang suaminya yang begitu keras bagai batu, demikian dia
mengistilahkan sikap dan karakter suaminya. bahkan sampai ia pensiun dan
anak-anaknya telah berumah tangga. suaminya sulit merubah sikapnya.
kepadaku, perempuan yang baru dikenalnya di kereta, perempuan itu terus
bercerita dan sangat terbuka tentang rumah tangganya. dan kesimpulan
dari semua yang dialaminya adalah ia harus terus bersabar. seperti
perempuan lainnya, ia ingin suaminya mampu memahaminya dan sesekali
mengalah. tapi sikap keras kepala suaminya membuatnya takut setengah
mati. bahkan di dunia ini, yang paling ditakutinya adalah suaminya. dia
takut dicerai, karena anak-anaknya telah dewasa. suaminya adalah pekerja
keras yang sukses, namun kini telah pensiun. meski demikian, sikapnya
tak selayaknya orang tua. sama-sama tak memiliki banyak waktu untuknya.
sikapnya tak ubahnya pria muda yang tak pernah absen berkumpul dengan
tema-temannya di kafe-kafe dan club-club malam.
seperti perempuan lainnya, perempuan itu hanya ingin agar suaminya
normal seperti suami teman-teman pengajiannya. “apalagi sudah tua,”
ujarnya. “setidaknya memikirkan akhirat,” tuturnya lagi. tanpa kuminta
dan bertanya, dia bercerita begitu detail dengan rumah tangganya.
sementara aku masih memilih menjadi pendengar setia. hingga tiba-tiba
dia mulai bertanya siapa aku dan ada kepentingan apa ke Jakarta. usai
kuceritakan, dia terkejut. “bagaimana bisa perempuan menikah tak
berkumpul dengan suami? ah, itu namanya bukan rumahtangga. rumahtangga
adalah suami isteri harus ada di rumah bersama-sama,” ungkapnya.
aku tak sampai berpikir, ada perempuan yang begitu terkejut mendengar
pengalamanku yang sering berjauhan dengan suami. tapi aku memahaminya.
karena pengalamannya berbeda dengan pengalamanku. “apakah ini pengaruh
emansipasi Kartini itu? tapi saya sangat tidak sepakat, sungguh keluarga
yang akan dikorbankan. bagaimana kamu bisa menjalankan ini?,” tanyanya
bertubi. lalu kami pun melanjutkan obrolan kami. ia membagi
pengalamannya, dan aku membagi pengalamannya. termasuk pengalamanku
bertemu dengan perempuan-perempuan lain yang juga mengalami persoalan
serupa dialaminya. aku tak bisa mengatakan bahwa aku begitu banyak
memberi masukan dan saran kepadanya. namun dia mengaku pikirannya
terbuka, meski lagi-lagi pada akhirnya ia tetap merasa berat menerima
kenyataan ada perempuan sepertiku. namun ia menerima dan antusias
bertanya lebih jauh ketika kami membahas tentang strategi komunikasi
yang tepat dan baik dengan pasangan kita masing-masing.
sungguh tak bisa bercerita lebih lagi tentang perempuan ini, namun
bertemu dan mendengarkan perempuan yang lain menjadi satu pengalaman
yang sangat berharga. bagaimana kita belajar mendengarkan, bertanya, dan
saling berbagi pengalaman. sepanjang perjalanan ketika dia mendapat
panggilan dari suaminya via mobile, dia melanjutkan dan mempertajam
ceritanya, hingga akhirnya kami berpisah setelah saling bertanya nama
dan nomor Hp. semoga rumahtangganya semakin baik.
mengurai kehidupan mulai dari istilah gender
-
sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki mengomentari seorang
perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan
oleh lelaki...
11 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca, mari kita berbagi pengalaman hidup :)