mungkin masih ingat tentang paragraf-paragraf yang disusunnya sehingga berhasil membuatku ‘menangis’ pada benar, aku menangis. aku juga pernah berbagi tentang salah satu pemikirannya dalam berdialoglah.
mengenal sosoknya dalam keseharian dan menjadi bagian dari salah satu
perjuangannya, membuatku selalu ingin menulis tentangnya. keinginan yang
begitu besar dan bahkan ingin mencatat detail dan banyak tentangnya.
tapi di luar sana juga sudah banyak yang menuliskan tentang sosoknya.
dia adalah Husein Muhammad. salah satu penulis di kompasiana, Much. Aly
Taufiq, menuliskan sosoknya dengan judul Satu-satunya Kyai Feminis Indonesia, yang kemudian juga diangkat dalam website lembaga Fahmina-institute, LSM tempatku bekerja.
aku
pikir menarik bagaimana membaca pikiran orang lain tentang Kyai
kelahiran cirebon 9 Mei 1953 ini. karena selama ini aku sering
setengah-setengah berbagi informasi tentangnya, semoga apa yang ditulis
Much. Aly Taufiq dan sedikit aku paparkan dengan gaya berceritaku di
blog ini, semoga bisa menambah informasi kita tentang sosok yang merasa
dirinya muda di masa tuanya, dan merasa tua di masa mudanya. aku dan
sejumlah orang yang mungkin merasa akrab dengan sosoknya, biasa
menyapanya buya Husein. ia kerap menjadi narasumber dalam berbagai
pertemuan yang mendialogkan isu keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan
Perempuan. bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
misalnya, sebagai pembicara dalam konferensi internasional bertema
“Trends in Family Law Reforms in Muslim Countries” di Kuala Lumpur,
Malaysia. sebelumnya, dia diundang ke Dhaka, Banglades, dalam konferensi
internasional pula. ia juga pernah mengisi mata kuliah yang diampu oleh
Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, padahal saat itu Nasr Hamid tidak
berhalangan. Nasr Hamid hanya ingin melihat pengasuh pesantren Dar al
Tauhid Cirebon itu memberi pencerahan kepada mahasiswanya.
fatwanya tentang imam perempuan
sekali lagi, Much. Aly Taufik menyebutnya sebagai satu-satunya Kyai
feminis Indonesia yang tak pernah merasa lelah membela perempuan. ia
berjuang mendongkrak kemapanan pemahaman relasi gender yang telah mapan.
pandangannya banyak berbeda dengan pandangan keagamaan arus utama,
terutama ketika membahas fikih mengenai perempuan. salah satu fatwanya
yang berbeda adalah, ia membolehkan perempuan sebagai Imam Salat yang
makmumnya laki-laki. Menurutnya, Imam Salat hendaknya yang pandai
membaca Al-qur’an, ahli fiqih, dan yang pandai di antara kamu. al-qur’an
tidak pernah menyebutkan soal laki-laki dan perempuan, justru yang
ditekankan sebagai Imam salat adalah kemampuan individu, bukan jenis
kelamin.
satu-satunya hadis yang melarang perempuan sebagai imam adalah
“Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam Salat bagi laki-laki,”.
dalam riset Husein Muhammad, hadits itu bertumpu pada periwayat bernama
Muhammad bin Abdullah al-Adawi. Sosok ini banyak menuai kritik. Imam
Bukhari menyebutnya “munkar”. Abu Hatim menyebutnya “syaikh majhul”.
Daruquthni menilai hadisnya “matruk”. Ibnu Hibban menyebut hadisnya
“tidak boleh dijadikan dasar hukum”.
menurut buya Husein, ada hadis sahih yang memperbolehkan perempuan
menjadi Imam atas laki-laki, Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh Ummu
Waraqah mengimami Salat penghuni rumahnya. hadits itu dipersepsi luas
para periwayatnya dipercaya kredibel. dalam hadits Abu Daud, Imbuh
Husein Mhammad, ada penjelasan tambahan: pembaca azannya seorang pria.
Ummu Waraqah juga dijelaskan memiliki budak pria. di rumahnya pun ada
kakek-kakek. isi hadits itu, menurut Husein, sejalan dengan prinsip Islam yang
memberi kesetaraan laki-laki dan perempuan. dari sini Husein Muhammad
menyimpulkan, tidak ada nash agama yang melarang perempuan jadi imam.
sejak dahulu, tutur Husein, sudah ada ulama sekaliber Mujtahid Mutlak
yang memperbolehkan Imam perempuan. di antaranya, seorang ahli fiqih
Abu Tsaur, Al-Muzani (wafat 878 M) dan Ibnu Jarir al-Thabari (wafat 923
M). namun, pendapat mereka kurang dikenal hingga saat ini.
mengapa arus utama ahli fikih melarang? Husein menyimpulkan, karena
kondisi masyarakat Arab pada saat itu sangat dominan dengan laki-laki,
selain itu perempuan di depan atau di tengah laki-laki, seperti diungkap
banyak buku fikih, bisa menggoda pikiran laki-laki. tapi, bagi Husein,
itu cara pandang yang bias laki-laki.
menuliskan pemikirannya
Husein Muhammad adalah satu-satunya Kyai yang concern meneliti
Gender. Ia begitu erat dengan khasanah kitab-kitab klasik. maklum, masa
mudanya ia habiskan untuk mendalami kitab kuning. sejak kecil, ia sudah
hidup di lingkungan pesantren. sembari bersekolah, ia belajar ilmu agama
dari orang tua sendiri.
namun, ia tidak puas hanya belajar di pesantren orangtuanya sendiri.
“Belajar ke yang pintar, beguru ke yang pandai”, pepatah itulah yang
menyulutkan semangat Husein untuk merantau ke kediri, menimba Ilmu agama
di pesantren Lirboyo, Tahun 1969 sampai 1973.
pada tahun 1973, ia melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Ilmu
Al-qur’an (PTIQ) Jakarta. di sini, ia mendapatkan ilmu-ilmu baru,
tentang organisasi, menulis karya ilmiyah, hingga demonstrasi. pada
1976, ia tercatat sebagai pendiri dan pemimpin redaksi buletin PTIQ,
“Fajrul Islam”. meskipun buletin itu masih menggunakan mesin ketik dan
tulisan tangan, namun tidak mengurangi semangatnya berkarya.
tahun 1980 ia merasa lega, sebab telah berhasil menjadi sarjana
jebolan PTIQ. namun, ayah dari lima anak ini belum merasa puas. “Berguru
kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi”, pekerjaan yang dilakukan
dengan tanggung-tanggung tidak akan mencapai hasil yang baik. karena
tidak mau setengah-setengah, ia pergi ke Mesir. menyeberang pulau ia
jalani, berkelana ke negara lainpun ia sanggupi.
namun, setelah sampai di Universitas Al-Azhar Mesir, Husein Muhammad
dikecewakan dengan Kurikulum yang banyak pengulangan dan menggunakan
sistem hafalan. ia merasa apa yang diajarkan di sana kurang menantang.
semua sudah dipelajarinya di pesantren. akhirnya ia mengurungkan niat
untuk melanjutkan studinya. selama tiga tahun di Mesir, ia habiskan
waktunya di perpustakaan dan mengisi diskusi di Kaum Muda Nahdlatul
Ulama (KMNU) cabang Mesir.
akhirnya pada tahun 1983, Ia pulang ke Indonesia tanpa gelar dari
Universitas al-Azhar. namun membawa segudang ilmu yang akan digunakan
berjuang membela kaum yang didiskriminasikan, yaitu perempuan.
sebagai bentuk pembelaan terhadap perempuan, pada bulan November
2000, ia mendirikan Fahmina Institute. Lalu pada tangga 3 Juli 2000,
bersama Sinta Nuriyah A. Wahid, Mansour Fakih, dan Mohamad Sobari, ia
mendirikan Pesantren Pemberdayaan Kaum Perempuan ‘Puan Amal Hayati’.
Pada tahun 2000 juga, ia mendirikan RAHIMA Institute, dan pada tahun
yang sama pula, ia mendirikan Forum Lintas Iman, tiga tahun kemudian, ia
tercatat sebagai Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on
population and Development. lalu pada tahun 2005, ia bergabung sebagai
pengurus The Wahid Institute Jakarta. Selain itu ia juga tercatat
sebagai angota National Board of International Center for Islam and
Pluralisme (ICIP).
saat
ini, selain sibuk sebagai Komisioner pada Komnas Perempuan dan
konsultan Yayasan Balqis untuk hak-hak perempuan, kesehariannya ia
jalani dengan menulis berbagai buku dan artikle. bukunya yang sudah
terbit adalah Fiqh Perempuan, Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan
Gender (Lkis, Yogyakarta, 2001), Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan
Kiyai Pesantren (LkiS, Yogyakarta, 2005), Spiritualitas Kemanusiaan,
Perspektif Islam Pesantren, (LKiS Yogyakarta ,2005). Ijtiihad Kyai
Husein ; upaya membangun keadilan (2011), Mengaji Pluralisme maha guru
pencerahan (sedang tahap akhir).
sedangkan buku yang ia tulis bersama-sama adalah Dawrah Fiqh
Perempuan, Modul Kursus Islam dan Gender, (Fahmina Institute, Cirebon,
2006), Fiqh Anti Trafiking, Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan
Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, (Fahmina Institute,
Cirebon, 2009), Fiqh Hiv Dan Aids, Pedulikah Kita, (PKBI-Jakarta),
Kembang Setaman Perkawinan, (Kompas, Jakarta). selain buku di atas,
artikel Husein muhammad juga tersebar di berbagai media, baik lokal
maupun nasional. Ia juga seringkali diminta memberi komentar dan
pengantar berbagai buku.
tak seorang pun meragukan kegigihan perjuangannya dalam membela hak
perempuan. bahkan, Ia tidak segan mengkritik buku ataupun kitab yang
dinilai mendiskriminasikankan perempuan. Bersama Forum Kajian Kitab Kuning,
selama tiga tahun ia mendikusikan isi dan meneliti kembali kualitas
hadis yang terdapat dalam kitab Uqud al Lujain fi Huquq al Zaujain.
walhasil, ia menemukan 33 % hadis Maudhu’, 22 % hadis Dhoif, sisanya ada
yang Hasan dan Sahih, namun dari sisi matan masih diperdebatkan.
penelitian itu terbit dengan judul Ta’liq wa Takhrij Syarh Uqud al
Lujain (LkiS, Yogyakarta, Tahun 2001)
lengkaplah sudah. K.H. Husein Muhammad mampu membuktikan kepada
publik, bahwa ia menjadi tokoh lantaran Keihlasan dan konsistensinya
dalam memilih jalan hidup. ia terus membela perempuan dan tidak pernah
beralih ke dunia lain yang mungkin lebih banyak memberikan materi.
apa yang dimiliki Husein Muhammad semua mendukung citranya bergelut
di dunia Gender. belum nampak sosok yang lain seperti Husein Muhammad
yang peduli dengan Gender. kalaupun ada, mungkin hanya sosok semangatnya
saja yang menonjol, tetapi belum tentu dedikasinya. Kalau Husein
Muhammad, semua yang ada pada dirinya memang betul-betul medukung untuk
membela perempuan.
sehingga tidak heran jika Moch. Nur Ichwan mensejajarkan Husein
Muhammad dengan feminis internasional seperti Qasim Amin, Tahir Haddad
di Tunisia, Asghar Ali Angineer di India, dan Nasr Hamid Abu Zayd di
Mesir. Tak usah heran pula jika Ulil Abshar Abdalla menjulukinya dengan
“Pemulung kebenaran terpinggirkan”.
meskipun pujian dan cacian mendera, Kyai Husein tetap membela
perempuan. Kemanapun pergi, ia tetap sebagai Kyai dan sarjana jebolan
PTIQ yang kaya dengan prinsip tawadhu’ serta berakhlak mulia.
Husein menuturkan, bahwa PTIQ telah memberi pengaruh besar pada
dirinya. PTIQ ikut terlibat pada proses pencarian karakternya, hingga
menjadi seperti saat ini. “Terima kasih PTIQ” imbuhnya. Namun, Husein
menyayangkan, PTIQ saat ini belum menghasilkan intelektual yang
berkualitas. banyak sekali alumni yang menjadi politisi, Imam masjid,
hakim MTQ, pengasuh pesantren, birokrat dan akademisi, namun sedikit
yang menjadi intelektual produktif.
jika diibaratkan PTIQ sedang membangun sebuah tembok, maka sudah ada
“batu bata” politisi, “batu bata” Imam masjid, hakim MTQ, pengasuh
pesantren, birokrat dan akademisi, namun “batu bata” intelektual belum
ada, sehingga tembok itu masih berlubang. Itu adalah tugas alumni
mendatang, untuk mengisi lubang “batu bata” intelektual yang masih
kosong.
tulisan ini adalah bagian dari buku “PTIQ dan Para Tokohnya”
Sumber: http://sejarah.kompasiana.com
Sumber: http://fahmina.or.id/
mengurai kehidupan mulai dari istilah gender
-
sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki mengomentari seorang
perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan
oleh lelaki...
11 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca, mari kita berbagi pengalaman hidup :)