Rabu, 19 Desember 2012

salju dan catatan ke sekian

pagi buta tadi, aku menyadari satu hal. bahwa salju sudah berjatuhan memenuhi ruangan blog-ku. kau yang pernah merasakan nyata bagaimana lembutnya salju dan menyaksikan bahwa mereka memang benar-benar putih, mungkin akan menertawaiku yang menulis ini. tapi ini adalah kali ke sekian, seperti biasa di bulan yang sama, Desember. di bulan itu, tanpa sadar catatanku dipenuhi tema tentang “kelak”. kelak aku akan seperti ini, melangkah seperti ini, mendapatkan ini dan itu dan seterusnya.

tapi setelah pagi buta itu, aku tak langsung mencatatnya di blog ini. aku malah asyik mengikatnya di ruang kepalaku. tak ingin tema “kelak” itu lari dari ruang kepalaku, aku pun terus berkisah tentang “kelak”-ku. orang pertama yang dengan setia mendengarkanku adalah seorang sepupu perempuanku yang mimpinya juga sama besarnya denganku. sementara orang kedua setelah sepupuku adalah kakak perempuan iparku, yang juga memiliki rencana-rencana yang tak terduga.

tiba-tiba, aku merasa lelah dengan pikiranku sendiri. pikiran yang tak habis-habisnya dipenuhi gagasan tentang sesuatu. yang bahkan terkadang memenuhi dan menuntut untuk dituntaskan pada saat yang kurang tepat. beruntung aku menyadarinya. ibuku yang dulu terbiasa melihat pekat di mataku, mungkin tak pernah menyangka aku menyimpan sesuatu yang begitu besar yang kapanpun bisa meledak. tapi tidak, aku menyadarinya, artinya aku faham kapan semua itu akan kuledakkan.

kali ini aku dalam proses menahan. menahan semua itu untuk tidak berjalan begitu cepat. meski jika kumau, aku bisa mempercepatnya. tentang bagaimana aku menahan semuanya, hanya aku yang faham. kendati mereka tak berhenti bertanya dan menuntutku, aku tetap bertahan dengan ‘pertahananku’. lalu aku akan terus berterimakasih pada Tuhan karena mampu membuatku bertahan dengan pertahananku. sampai tiba saatnya aku kembali menjalankan satu demi satu rencana-rencana besarku. bagiku, semua rencana bernilai besar. tapi untuk sejenak, saat ini, biarkan aku merasakan kenyataan dari mimpiku dahulu. 
sebelum kembali pada kelak-kelak berikutnya. yang berarti aku tidak lagi dengan “dunia sendiri”, tapi ada si kecil yang menemaniku yang juga akan kudengarkan mimpi-mimpinya.

Kamis, 29 November 2012

Ia Ibarat Kitab Hayat

Rama mengibaratkan dirinya sebagai kitab hayat (buku kehidupan), jika kita membacanya maka akan menemukan makna dan manfaatnya…
Demikian penuturan Dewi Kanti (43 Tahun), salah seorang puteri dari Pangeran Djatikusuma yang akrab disapa Rama Djati, Tokoh Penghayut Cigugur Kuningan. Namun dari penuturannya, Dewi Kanti menegaskan bahwa ia tidak bermaksud agar Rama Djati menjadi sosok yang dikultuskan, melainkan sebagai motivasi bagi komunitas Paseban untuk banyak belajar dan bertanya.

Sementara Rama Djati sendiri enggan menceritakan perihal peribadinya. Namun banyak pihak yang tak habis-habisnya berkisah tentang sosoknya. Termasuk sejumlah media, entah berkisah tentang sosoknya maupun menggali rasa ingin tahu mereka tentang pandangan Rama Djati tentang kehidupan.

Rama Djati lebih banyak bercerita tentang Seren Taun dan Sunda Wiwitan. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana diskriminasi terhadap penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maupun komunitas adat sampai detik ini masih terus berlangsung.

Sejumlah peraturan yang dikeluarkan secara sistematis oleh pemerintah dan menjadi hukum positif telah mendiskriminasi para penganut aliran kepercayaan dan komunitas adat Indonesia. Jangankan untuk mendapatkan pengakuan atas tradisi adat dan spiritual yang diyakini sebagai agama, untuk mendapatkan dokumen sipil dengan pengakuan terhadap kepercayaan mereka, itu masih dapat dikatakan mustahil.

Dalam konteks negara, bentuk diskriminasi itu bersumber dari sejumlah perundangan dan peraturan yang dinilai sangat merugikan para penganut kepercayaan dan komunitas adat di Indonesia. Karena semua itu, Pangeran Rama Djatikusumah, atau yang akrab disapa Rama Djati, harus mendekam di penjara selama beberapa waktu, begitu pun dampak pada ketiga anaknya. Mereka tidak bisa mendapatkan akte kelahiran, sedangkan puluhan anggota mereka harus berpindah agama dulu untuk bisa mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Sementara itu, para penghayat yang kebetulan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak bisa melangsungkan sumpah jabatan untuk promosi karir kepegawaian maupun mendapatkan fasilitas yang seharusnya mereka dapatkan sebagai PNS, seperti tunjangan keluarga (isteri dan anak) dan lain sebagainya. Proses diskriminasi tidaklah bersifat alamiah. Diskriminasi bukan gempa bumi, tidak pula angin badai yang datang tiba-tiba. Diskriminasi lebih mirip dengan tindakan akibat sikap rasisme yang memandang budaya dan cara hidupnya terunggul, sementara pilihan hidup yang lain sebagai cacat dan rendah. 

Selanjutnya, ia dipertahankan dan berjalin-kelidan dengan kekuasaan. Ia direproduksi dan diproduksi terus menerus untuk mengukuhkan dominasi dan kepentingan. Dan salah satu alat reproduksinya adalah melalui kurikulum dan pendidikan sekolah, sebagaimana dialami sejumlah keluarga para penghayat di Cigugur termasuk anak-anak Rama Djati sendiri.

Karena enggan menceritakan perihal pribadinya, maka di sini lebih banyak mengungkap pemaparannya tentang Seren Taun dan Sunda Wiwitan itu sendiri. Dan tidak heran mengapa Dewi Kanti menyebutnya sebagai “kitab hayat” seperti yang juga diungkapkan Rama Djati sendiri, sosok yang memberi motivasi untuk banyak belajar dan bertanya.

Mengejar Kekayaan Batin, Bukan Materi

Tentang Seren Taun, ia memaparkan bahwa inti dari tujuan diadakannya upacara Seren Taun adalah di samping sebagai bentuk syukur dan permohonan berkah serta limpahan kesejahteraan kepada Tuhan, juga sebagai sarana yang efektif untuk mewarisi tradisi luhur para leluhur yang dimiliki bangsa dan penggalian kearifan local. Budaya local yang dimaksudnya adalah yang bisa menemukan dan menumbuhkan jati diri dan perilaku manusia yang seharusnya. Baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai bangsa.
“Karena dalam upacara ini yang dikejar adalah kekayaan batin bukan perolehan materi yang melimpah,” paparnya.

Bulan Rayagung dipilih sebagai symbol dari perayaan terhadap keagungan Tuhan. Selanjutnya menjelaskan makna dari angka 22 yang diambil karena memiliki makna simbolik tertentu. Angka 22 sendiri adalah terbagi 2 pertama angka 20 memiliki makna sifat wujud makhluk hidup ke-20 sifat itu adalah getih, daging, bulu, kuku, rambut, kulit, urat, polo, bayah/paru, ati, kalilimpa/limpa, mamaras/maras, hamperu/empedu, tulang sumsum, lemak, lambung, usus, ginjal dan jantung. Sementera angka 2 bermakna keseimbangan karena segala sesuatu terdiri dari 2 unsur positif dan negatif, seperti adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan. Angka 22 kemudian digunakan sebagai jumlah berat padi yang akan ditumbuk yang hasilnya diserahkan kepada masyarakat setiap pelaksanaan Seren Taun, padi yang digunakan seberat 22 kwintal, 20 kwintal ditumbuk dan dikembalikan dan 2 kuintal lainnya sebagai bibit yang akan ditanam.

Upacara ngajayah, pengolahan padi hasil panen masyarakat kemudian ditumbuk bersama-sama yang kemudian berasnya akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Jumlah padi yang ditumbuk 20 kuintal, 2 kuintal yang dijadikan bibit dengan total 22 kuintal. Selama tahapan ini dilaksanakan diiringi dengan mantera-mantera mistis. Upacara ini merupakan upacara simbolik penuh makna. Inti dari upacara ini adalah mempertemukan dan mengawinkan benih jantan dan benih betina dan dari tumbuhan yang diyakini sebagai tahap bertemunya energi hidup dari sang Hyang Asri Pwah Aci. Energy Pwah Aci yang berupa energi kesuburan dan keselamatan turun kebumi dan kemudian meresap ke dalam apa yang dimakan. Pwah Aci merupakan zat Tuhan, sehingga apabila Pwah Aci turun ke bumi dan meresap kedalam bahan makanan maka setidaknya akan ada dua kesadaran yang akan diraih. Yaitu rasa syukur atas nikmat dan berlaku tidak sewenang-wenang terhadap alam karena dalam setiap bagian alam terdapat zat tuhan yang harus dihormati.

Menitik Beratkan Pikiran, Naluri, dan Rasa

Ajaran sunda wiwitan dikenal dengan ajaran Tritangtu. yakni Tritangtu di buana, Tritangtu di naraga, dan Tritangtu di nagara. Ajaran Tritangtu merupakan ajaran yang menitik beratkan makna apa yang ada dalam pikiran, naluri dan rasa. Paseban dipakai sebagai tempat berkumpul dan bersyukur dalam merayakan ketunggalan selaku umat Gusti Hyang Widi Rasa dengan meyakinkan kemanunggalan dalam mengolah kesempurnaan getaran dari 3 unsur yang disebut sir, rasa dan pikir dimana unsur lainnya, panca indera dapat menerima dan merasakan keagungan Gusti.

Begitu pula dalam laku kehidupan benar-benar merupakan ketunggalan selaku manusia dan kemanunggalan antara cipta, rasa, dan karsa diwujudkan dalam tekad, ucap, serta lampah. Menyatakan diri manusia seutuhnya dalam memancarkan pamor kebudayaan bangsa dengan ketentuan hukum kodrati. Intinya Paseban Tri Panca Tunggal merupakan tempat penyatuan pikiran, perkataan dan perbuatan dari pihak manusia tanpa melihat latar belakang agama, suku, etnis, dan ras. Sebagai wujud mensyukuri yang diberikan Sang Pencipta.

“Kita memang tidak sepengakuan tetapi kita sepengertian, menghargai perbedaan yang ada dan tidak menjadi hambatan untuk melakukan hal bersama-sama, ulah mikir naon nu dipikamenang, tapi mikir anu bisa dilakukeun (jangan berpikir apa yang didapat, tapi berpikir apa yang bisa dilakukan).”

Dalam malam satu suro yang bertepatan pada tanggal 14 November 2012 tahun masehi, Rama Djati memberi wejangan kepada masyarakat Sunda wiwitan di ruangan Paseban agar selalu menjaga tatakrama, bersikap dan bertutur kata sopan dan santun kepada  orang lain.

Sesepuh masyarakat adat Karuhun Urang, Rama Djatikusumah mengatakan, berkumpulnya masyarakat adat dari berbagai daerah diharapkan bisa menunjukkan keragaman masyarakat dan budaya di Indonesia.
"Inilah gambaran Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia. Jangan hanya sekedar menjadi slogan. Dengan berkumpul seperti ini, tidak ada lagi orang Sunda, orang Jawa, atau orang Kalimantan. Kita semua disini putra Nusantara, bersatu dan berkata bahwa kita orang Indonesia," tutur pria berusia 76 tahun ini di sela-sela Seren Taun, Sabtu (20/12).

Perbedaan, lanjut Rama Djati, bukan berarti setiap kelompok masyarakat adat mengkotak-kotakkan diri. "Dalam perbedaan itu sesungguhnya ada dasar kepercayaan yang sama. Meskipun cara menyebut dan menyembahnya berbeda. Generasi sekarang ini banyak yang sudah lupa cara cirinya sebagai manusia, makhluk Tuhan dan manusia dalam berbangsa," ujarnya.

Keberadaan masyarakat, seharusnya dipandang sebagai modal untuk menguatkan kearifan lokal. Bersatunya beberapa kelompok masyarakat adat di Cigugur, mendapat perhatian luas dari masyarakat sekitar. Dalam Helaran yang digelar siang tadi, 22 delman yang membawa puluhan masyarakat yang mengenakan pakaian adatnya, diarak keliling Kuningan.

Ratusan masyarakat terlihat antusias mengikuti rombongan yang bergerak dari Gedung Paseban-Kota Kuningan-Gedung Paseban. Lagu-lagu yang dilantunkan pun tak melulu lagu daerah, tapi juga didominasi dengan lagu wajib yang menyuarakan semangat persatuan.

"Dari sini (Cigugur), kami berharap ada gema persatuan yang sampai ke seluruh penjuru Tanah Air. Bisa menggetarkan daya rasa dan daya pikir serta menimbulkan kedamaian," ungkap Rama Djati.

Dari Cigugur, ia berharap kebhinekaan Indonesia bisa semakin menguat dalam ketunggalikaan.

hanya karena berbeda, mereka dibungkam, dan dipaksa mengikuti identitas 'resmi'

Karena dinilai 'berbeda' dan tak mampu mengungkapkan identitas agama, etnis, dan bangsanya. Mereka dipaksa mengikuti identitas yang resmi. Perlakuan-perlakuan tidak adil pun tak jarang harus mereka terima...

Selain tentang Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah komunitas lain yang semakin akrab kita ketahui melalui media massa. Tentunya kita juga pernah mengetahui tentang bagaimana seseorang dari sebuah komunitas sulit mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), hanya karena ia bukan termasuk penganut agama resmi seperti diakui Negara. Pengalaman ini sudah biasa dialami oleh komunitas Sunda Wiwitan. Mereka  terbiasa dimainkan aparat birokrasi.

Seperti keterangan yang diungkapkan Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan yang akrab disapa Rama Djati, ini melalui pengalaman pribadinya, keluarganya, serta sejumlah penganut Sunda Wiwitan terutama di Cigugur Kuningan, tak jarang harus berhadapan dengan perlakuan tidak adil para pejabat negara setempat. Khususnya berkaitan soal agama. Para penghayat (sebutan untuk penganut Sunda Wiwitan) ditanya agama mereka masuk agama mana: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha? Jika sudah demikian, maka penghayat Sunda Wiwitan akan menjawab: “agamanya, ya, Sunda Wiwitan”.

Demikianlah, terutama sejak masa Orde Baru (Orba), para penghayat masih juga mengalami diskriminasi. Hak-hak sipil dan politik mereka tidak diperhatikan oleh pemerintah. Alasan yang diberikan oleh pemerintah dan petugas biasanya adalah karena masalah agama. Seperti dalam kasus untuk mendapatkan KTP, birokrasi hanya mengetahui dan mengakui Lima Agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dalam perkembangannya kemudian Khong Hu Cu masuk di dalamnya sehingga menjadi Enam agama resmi yang diakui pemerintah) berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)" (Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama). Dari sini lah kemudian perlakuan-perlakuan tidak adil sering diterima penghayat Sunda Wiwitan.
13540782941796866590
Rama Jatikusuma, salah satu tokoh penghayat di Cigugur Kuningan.

Agama yang diakui oleh pemerintah hanya Lima pada waktu itu (enam saat sekarang) menghambat para pengikut Sunda Wiwitan untuk mendapatkan kartu tanda penduduk, akta lahir, dan surat kependudukan lainnya. Bahkan, anak-anak para pengikut Sunda Wiwitan mengalami kesulitan saat hendak masuk sekolah pemerintah. Oleh karena itu, banyak sekali warga Sunda Wiwitan yang akhirnya memeluk agama Islam maupun Katolik. Meskipun sekarang masyarakat Sunda Wiwitan memeluk agama yang berbeda akan tetapi mereka menjiwai ajaran dan filosofi hidup yang sama yang menjamin kerukunan umat beragama tetap lestari juga menciptakan pluralisme yang berlandaskan pada kultur asli tanpa rekayasa sosial apapun. Prinsip pluralisme yang tertanam jauh di lubuk hati masyarakat Sunda Wiwitan dan selalu didengungkan oleh mereka adalah meskipun tidak sekeyakinan akan tetapi sepengakuan.

Persoalan pembuatan KTP dan administrasi lainnya, hanyalah bagian kecil dari sejumlah masalah ketidakadilan yang harus diterima penganut Sunda Wiwitan. Remeh kelihatannya. Tapi itulah fakta. Penganut Sunda Wiwitan telanjur dicap negara sebagai anonimitas, tak punya status. Di zaman Orde Baru, mereka akan diidentifikasi sebagai subversif. Setiap penduduk harus memiliki identitas yang lengkap. Petugas sensus yang ditunjuk Badan Pusat Statistik tidak diperkenankan mengosongkan kolom agama pada lembar identitas penduduk. Kolom agama harus diisi.

Namun sebenarnya apa dan bagaimana sesungguhnya Sunda Wiwitan ? Dalam laporan kali ini, bersama Rama Djati, penghayat asal Cigugur Kuningan Jawa Barat (Jabar) megulas apa dan bagaimana Sunda Wiwitan. Para penganut Sunda Wiwitan di Cigugur telah akrab dengan perlakuan tidak adil pemerintah. Namun di tengah-tengah pemeberitaan miring tentang kerukunan umat beragama dengan maraknya kekerasan atas nama agama, radikalisme, terorisme, dan lain sebagainya, siapa sangka dari mereka yang selama ini diperlakukan tidak adil, kita mendapatkan pelajaran berharga bagaimana seharusnya berkehidupan di tengah perbedaan agama.

Menengok Kehidupan Sunda Wiwitan di Cigugur

Sebelumnya mungkin tidak pernah terbayang dalam benak kita betapa dalam satu kampung, setiap rumahnya terdapat perbedaan agama, ayah seorang penghayat, tapi anak-anaknya ada yang beragama muslim dan katolik. Tapi hal demikian nyata terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa Cigugur Kabupaten Kuningan. Di desa yang terletak di kaki Gunung Ciremai tersebut, masyarakat hidup rukun walaupun berbeda agama.

Kerukunan ini bisa dilihat misalkan jika ada salah satu masyarakat beragama Islam meninggal dunia, maka tak sungkan orang yang beragama Katolik maupun Penghayat untuk mengurus acara pengurusan jenazah hingga tahlilan. Begitu pun jika yang meninggal adalah orang yang beragama kristen, maka orang dari umat agama lain tak segan untuk terlibat dalam acara pengurusan jenazah. Selain itu, di Desa Cigugur sendiri terdapat berbagai macam tempat ibadah dari berbagai agama, dari mulai gereja hingga masjid.

Awalnya masyarakat Cigugur adalah pemeluk ajaran adat Sunda Wiwitan yang dikembangkan oleh Ki Madrais. Akan tetapi, oleh karena ada larangan dan tekanan dari Pemerintah di masa Orde Baru (Orba), maka pemeluk ajaran ini ada yang berpindah ke agama katolik dan Islam untuk mendapatkan hak sipil dan politiknya nya sebagai warga negara yang sah. Sampai saat ini, hak sipol masih menjadi masalah bagi sebagian warga Cigugur yang masih berpegang teguh menjadi penghayat adat Sunda Wiwitan.

Lebih Dekat Mengenal Sunda Wiwitan

Dari arti bahasa, Sunda Wiwitan berarti Sunda Permulaan, akar, pertama. Makna Sunda Wiwitan sama dengan yang tertulis dalam naskah Carita Parahiyangan dengan apa yang disebut Jati Sunda. Ajaran sunda wiwitan sangat berpegang teguh dengan adat budaya sunda, tempat di mana para pemeluknya hidup. Pangkal ajaran ini sebenarnya adalah mendasari hidup dengan memaknai kehidupan sehari-hari, dari tanah dan air yang dipijak.

Berdasarkan penuturan dari Pengeran Djatikusuma, tetua adat Sunda Wiwitan, ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya meyakini bahwa setiap manusia yang dilahirkan ke dunia tidak merasa mempunyai keinginan untuk menjadi manusia. Juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi orang Sunda atau pun orang Jawa. Semuanya itu atas kehendak Maha Pencipta. Dengan kata lain, menjadi manusia adalah perintah dari Maha Pencipta.

Setiap manusia mempunyai kodratnya sendiri-sendiri menyebutnya dengan Cara-ciri. Karena itu, Sunda Wiwitan sangat memegang teguh Pikukuh Tilu, yakni, pertama, cara-ciri manusia (kodrat manusia) yakni unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Dalam konsep Sunda Wiwitan, ada lima unsur yang termasuk di dalamnya, Welas Asih (cinta kasih), Undak Usuk (tatanan/hierarki dalam kekeluargaan, Tata krama (tatanan perilaku), Budi bahasa dan budaya, Wiwaha Yudha Naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya). Kalau satu saja Cara-ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.

Kedua, Cara-ciri bangsa (kodrat kebangsaan). Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara-ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada Cara-ciri bangsa yang terdiri dari Rupa, Adat, Bahasa, Aksara, Budaya. Pikukuh yang ketiga adalah Madep ka ratu raja (mengabdi kepada yang seharusnya).

Sampai di sini bisa dilihat kenapa masyarakat adat Sunda Wiwitan sangat toleran, mereka sangat meyakini bahwa semua manusia itu pada dasarnya adalah sama dan tak berdaya terhadap kodrat kemanusiaannya. Pada taraf yang sangat hakiki, manusia itu sama dalam Cara-cirinya, terbedakan dari hewan dan tumbuhan serta makhluk hidup lainnya. Selanjutnya, universalitas kemanusiaan yang melekat pada diri setiap manusia tersebut menampakan perbedaanya saat manusia harus menempati ruang dan waktu. Manusia menempati tempat tertentu di waktu tertentu yang dia juga tidak bisa menentukan sendiri tempat lahir hidup dan berkembangnya. Dari lingkungan kehidupan yang tidak bisa manusia negosiasikan. Inilah kemudian manusia mempunyai adat, budaya, bahasa, rupa, aksara dan mungkin agama yang berbeda-beda.

Ciptakan Kehidupan Damai di Bumi Cigugur

Toleransi dan kerukunan yang diresapi oleh masyarakat Sunda Wiwitan adalah toleransi yang berpegang teguh pada adat budayanya, kesadaran ruang dan waktu menjadikan mereka kukuh pada adat dan budaya sunda. Kalau mereka berada di daerah yang bukan sunda mungkin mereka akan berpegang pada kultur mereka bertempat tinggal tersebut. Inti dan akar toleransi yang dimiliki mereka bukan pada adat sundanya tapi pada cara berfikir mereka terhadap kehidupan, budaya dan adat. Jadi, sikap seperti ini sepertinya bisa juga untuk diadopsi oleh orang di daerah lain (selain sunda) dengan cara berfikir seperti demikian.

Menurut Rama Djati, seorang yang mengamalkan Sunda Wiwitan tidak harus beragama tertentu, dia boleh beragama apa saja tapi dia menghayati benar tempat dan waktu dia hidup. Rama mencontohkan bagaimana seharusnya orang yang beragama Islam tanpa harus berbangsa Timur Tengah ataupun beragama Kristen tanpa harus berbangsa Romawi. Akan tetapi beragama apapun dengan menghayati tempat dimana dia hidup. Dia juga mencontohkan bagaimana hidup harus mengikuti zaman (berbeda dengan keyakinan Sunda Wiwitan Kanekes Banten). Artinya kesadaran akan kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat Sunda Wiwitan adalah kesadaran kodrat manusia, kemanusiaan yang terbatas ruang dan juga waktu. Oleh karena itu, masyarakat  Sunda Wiwitan tidak anti dan menutup diri dari teknologi atau apapun yang muncul pada zaman sekarang yang bersifat positif.

Sikap hidup yang demikian menciptakan kehidupan yang damai di bumi Cigugur. Setiap orang di kampung ini menghayati kehidupan beragama dengan tidak mengadu kepercayaan, akan tetapi dengan mengembalikan perbedaan kepada yang sama, yakni sama-sama percaya kepada Yang Maha Pencipta, Tuhan. Seperti yang diutarakan oleh warga Sunda Wiwitan setempat Arga dan Sarka sebagaimana saat berbincang-bincang dengan mereka di tengah-tengah kesibukan mereka menyiapkan acara Seren Taun. Mereka meyakini bahwa apapun agamanya itu tidak penting yang penting adalah dia percaya ada Tuhan Maha Pencipta.

Arga (73), salah seorang Penghayat Sunda Wiwitan, mempunyai anak yang memeluk Agama Islam dan Kristen, tapi dia tetap mempersilahkan anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Rama Djati sendiri membebaskan anak-anaknya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Walaupun dari kecil anak-anaknya dididik dengan ajaran adat, akan tetapi setelah menginjak dewasa mereka dibebaskan untuk memeluk agama yang diyakininya. Kecuali untuk anak laki-laki yang paling tua, dia harus kukuh menjaga dan meneruskan ajaran adat Sunda Wiwitan.

Agama dilihat oleh mereka hanya sebagai kodrat kebangsaan, kodrat yang melekat setelah kita memasuki dimensi ruang dan waktu. Hal demikian tersebut lebih rendah dan bersifat permukaan dan untuk memahaminya lebih mendalam harus ditarik ke arah kodrat yangn lebih tinggi yakni kodrat manusia, dimana setiap orang yang dilahirkan sebagai manusia mempunyai cara-ciri yang sama.

Ajaran Sunda Wiwitan tentang kodrat manusia dan kodrat kebangsaan yang ditanamkan oleh Ki Madrais meniscayakan bahwa kehidupan manusia yang benar adalah dengan berpegang teguh hanya pada kodrat kebangsaan dalam hal sosial dengan tanpa melupakan kodrat manusia dalam hal spiritual. Kedua kesadaran terhadap kodrat ini saling berkait, tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain, artinya landasan spiritual kemanusiaan seperti yang diajarkan oleh Madrais akan paripurna jika terejawantahkan dalam kehidupan sosial dengan landasan sosial tentunya. Karena spiritualisme tanpa sosial akan sulit dipahami oleh orang lain, sebagaimana Rama Djati mencontohkan sosok Syeikh Siti Jenar  sebagai manusia yang mempunyai pemahaman spiritual yang tinggi akan tetapi tidak menggunakan sifat sosialnya.

Ajaran sosial Sunda Wiwitan berprinsip pada kodrat kebangsaan, artinya dalam kehidupan sosial manusia tidak lepas dari karakteristik masing-masing daerah. Beda tempat beda zaman, beda pula karakteristiknya. Setiap karakter muncul dari dalam hidup keseharian manusia, dari tanah dan air yang dipijaknya, sehingga setiap manusia mempunyai budaya sebagai usaha mengatasi kehidupan sehari-harinya, mempunya bahasa sebagai usaha berkomunikasi satu sama lain/bersosialisasi, dan lain-lain. Madrais meyakini bahwa setiap bangsa akan berbeda dalam menghayati hidup, sehingga bangsa yang satu tidak bisa memaksakan nilai, norma, aturan, atau agama kepada bangsa yang lain. Ajaran Madrais inilah yang kemudian menjadi batu sandungan dan kerikil tajam bagi usaha pemerintah Belanda untuk menjajah.

Kalau kita Ingat, penjajahan (imperialisme) pada prinsipnya adalah menguasai kelompok tertentu secara ekonomi politik. Sebelum dapat dilaksanakan dengan baik, Imperialisme meniscayakan terjadinya kolonisasi. Kolonisasi lebih bersifat paradigmatik, artinya dia mempengaruhi wilayah kesadaran dengan pemaksaan nilai, moral, agama, aturan, dan semacamnya. Ajaran Madrais dalam hal ini adalah ajaran yang menggelorakan semangat anti-kolonial dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, wajar jika kemudian Belanda sangat membenci Madrais dan ajaran yang dibawanya. Hingga untuk mengawasi gerak-gerik Madrais, Belanda harus mengirimkan mata-mata yang menginap di Cigugur, yang diingat oleh masyarakat nama mereka adalah Yakob, Steepen, Relles dan Destra.

Marginalisasi Sunda Wiwitan

Bagi pemerintah Belanda, Madrais adalah biang kerok yang selalu dicurigai siang dan malam. Segala cara pun dilakukan oleh pemerintah belanda untuk menghilangkan pengaruh ajarannya dari masyarakat Cigugur. Pada tahun 1901-1908 Belanda mengasingkan Madrais ke Marauke setelah sebelumnya dia dituduh melakukan pemerasan dan penipuan kepada masyarakat. Setalah pulang dari marauke dan kembali ke Cigugur pada tahun 1908, Belanda melarang para pengikutnya mendatangi Ki Madrais.

Tak habis akal, setelah pesantrennya dilarang oleh belanda, Madrais pun berjuang di wilayah pertanian, selain menanam padi beliau juga dikenal sebagai orang yang pertama kali menanam bawang merah di Cigugur. Pada akhirnya, pengikutnya pun bisa sering bertemu dengan madrais sebelum akhirnya ketahuan juga dan sempat beberapa kali keluar masuk bui.

Setelah ditekan selama bertahuan-tahun, Belanda memperbolehkan Madrais meneruskan ajarannya dengan syarat menyanjung-nyanjung Belanda. Meskipun pada akhirnya Belanda mengakui ajaran Madrais dalam adapt recht (hukum adat) akan tetapi hasutan terus dilakukan oleh pihak Belanda kepada Madrais. Segala cara diusahakan untuk melumpuhkan pengaruh ajaran anti-kolonial dari Madrais, termasuk saat memplintir salah satu ajaran pokok madrais. Belanda menghembuskan berita bahwa “madrais mengajarkan pengikutnya untuk minum air keringatnya sendiri”, dia adalah tukang sihir dan segala macam (kekeliruan dan stigma ini sempat dijadikan inspirasi pembuatan film Kafir yang disutradarai oleh Mardali Syarif dengan pemeran utama Sudjiwo Tejo). Padahal ucapan Madrais yang sebenarnya adalah “makan minumlah kalian dari keringat sendiri” yang berarti pengikutnya harus makan dan minum dari hasil kerja kerasnya sendiri, tidak dengan memeras orang lain ataupun meminta-minta. Inilah prinsip kehidupan mandiri, berdikari dan anti-kolonial yang diajarkan Madrais.

(Tulisan ini disusun berdasarkan pengalaman lembaga kami, Yayasan Fahmina, selama beberapa bulan berinteraksi dengan masyarakat di Cigugur, terutama komunitas Sunda Wiwitan. Sudah banyak sebenarnya yang menuliskan prihal Sunda Wiwitan serta pendampingan maupun advokasi masalah yang menimpa mereka. Tulisan ini hanya secuilnya saja untuk media alternatif lembaga kami, disusun berdasarkan laporan Abdul Rosyidi, salah satu mahasiswa Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Crebon,dan sedikit saya edit)

geliat pemuda lintas iman ciptakan budaya damai

“Saya melihat Indonesia hari ini ada di Cirebon”. 


Kalimat tersebut diungkapkan seorang ibu, isteri dari Presiden RI Keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ya, dia adalah Nyai Sinta Nuriyah Wahid. Beberapa waktu lalu ia menggelar acara acara buka dan sahur bareng bersama sejumlah komunitas di wilayah tiga Cirebon termasuk Komunitas Lintas Iman, di Klenteng Talang, Hotel Intan, dan Cigugur Kuningan.

Bahkan pada Rabu (25/7), gema kebahagiaan “shalawat” pun dilantunkan di halaman Kelenteng Talang, Kota Cirebon, Jawa Barat. Ya, acara sahur bersama di Kelenteng Talang itu pun menjadi ajang berkasih-kasihan antarwarga, apa pun suku-bangsa dan agamanya.

Suasana indah dan damai, juga sangat terasa untuk kali ke sekian di Yayasan Fahmina pada satu sore menjelang buka puasa. Bagaimana tidak indah, sejumlah pemuda dan sesepuh mereka dari beragam latar belakang suku budaya dan keyakinan, duduk setara dalam sebuah acara buka puasa bersama. Tidak hanya para pemuda dari beragam keyakinan yang tergabung dalam “Pemuda Lintas Iman (Pelita)”, namun juga para orang tua maupun sesepuh yang tergabung dalam forum keberagaman beragama “Forum Sabtuan”,  pun turut melebur dalam acara tersebut. Rangkaian acara buka bersama ini juga tidak sekadar diisi pentas seni, karena selain itu juga setiap perwakilan dari agama-agama merefleksikan makna puasa bagi diri mereka dan kehidupan umat beragama di Cirebon, di Indonesia dan dunia.

Kegiatan serupa, bukan hanya sekali dua kali digelar komunitas lintas iman di Cirebon seperti Pelita dan forum Sabtuan. Lebih dari itu, Pelita juga menggelar Pasar Murah di Kelurahan Kesunean, atas kerjasama dari Gratia FM dan BEM ISIF Cirebon. Dalam pasar murah tersebut, 1.500 paket sembako dijual dengan harga murah, termasuk di dalamnya berbagai pakaian murah, mainan, dan alat-alat bayi. Menjelang waktu buka puasa, tepatnya tiga hari menjelang hari raya Idhul Fitri 2012, di lampu merah Jalan Pemuda, Pelita juga mengadakan “Posko Mudik Pelita,” dengan membagikan 1.500 kotak nasi kucing kepada para pemudik, atas kerjasama Gereja Bala Keselamatan dan Kodim Kota Cirebon.

Kendati demikian, bukan berarti acara tersebut tidak tanpa kendala, terutama menjelang berlangsungnya acara. Karena ada saja saja kelompok-kelompok yang masih keliru memahami kebersamaan tersebut. Dalam beberapa kali kegiatan misalnya, tak jarang mereka didatangi organisasi massa (Ormas) Islam tertentu, bahkan diminta membubarkan acaranya. Ketika para komunitas pecinta damai tersebut memilih meneruskan kegiatannya, mereka tidak diam, secara terang-terangan merekam acara tersebut. Lalu esoknya, video acara tersebut muncul di media Youtube, dengan judul “Pemurtadan Berkedok Pasar Murah”. Padahal jelas terlihat dalam video tersebut, beragam keyakinan ada di dalamnya, termasuk umat Islam yang jelas terlihat symbol keagamaannya dari para muslimah berjilbab. Tidak hanya itu, melalui medianya, kelompok yang tidak menyukai kegiatan komunitas lintas iman tersebut juga mengabarkan informasi-informasi yang isinya hanya memicu kebencian terhadap sesama.

Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati

Dulu ketika mendengar tentang Cirebon, bukan hanya mendapat gambaran tentang budayanya. Namun juga sudut-sudut di mana terjadinya pertukaran budaya, yang memungkinkan adanya peningkatan ilmu pengetahuan serta akulturasi budaya. Begitu juga dengan tempat-tempat ibadah, seperti gereja dan klenteng. Klenteng Welas Asih yang berusia sekitar 700 tahun ada di sana. Soal spiritualitas, keraton Cirebon adalah cermin Islam yang lembut dan toleran.

Akulturasi budaya juga terlihat di berbagai aspek lain. Lihat bangunan keraton-keratonnya. Ia memiliki unsur India, Jawa, Belanda, Cina, sekaligus Arab. Penggunaan atap yang bertingkat-tingkat adalah pengaruh Hindu, tapi tembok putih, kemudian aula yang diisi kursi-kursi yang berderet dan berhadapan adalah Eropa. Porselen keramik di tembok-tembok adalah pengaruh Cina, namun beragam kaligrafi, juga adanya mesjid di sekitar keraton adalah representasi Islam. Cirebon paham akan sejarah budayanya sendiri. Dan, melalui akulturasi budaya yang terjadi bertahun-tahun, mereka mampu menghayati pluralisme.

Namun beberapa tahun terakhir, ada imej popular baru tentang Cirebon terkait intoleransi beragamanya. Puncaknya pada aksi bom bunuh diri di masjid Polres Kota Cirebon, pada 15 April 2011. Belum lagi aksi penolakan konser Ahmad Dani oleh organisasi massa (Ormas) Islam tertentu, serta aksi kekerasan untuk membubarkan atau mengusir sejumlah kelompok minoritas di Kabupaten Cirebon.

Rangkaian kejadian berbau kekerasan atas nama agama, menjadi kegelisahan tersendiri bagi komunitas lintas iman di Cirebon, terutama para pemudanya. Diawali dari niat baik menciptakan budaya damai di kalangan sejumlah pemuda di Cirebon, sampai akhirnya terbentuklah Pemuda Lintas Iman (Pelita).

“Mencegah lebih baik daripada mengobati,” demikian niat awal Pelita sebelum kelahirannya. Kata “mencegah” yang dimaksud di sini adalah mencegah para pemuda menjadi korban pencarian jadi dirinya sendiri. Karena disadari Pelita, seperti diungkap Devida, Ketua Pelita, pemuda adalah kelompok manusia yang sangat rentan. Maka Pelita ini adalah lternative untuk mencegah para pemuda Cirebon terjerumus ke dalam radikalisme agama.

“Pelita selama ini cukup solid, agenda acaranya jelas dan rutin dalam mengadakan pertemuan dwi mingguan. Pelita bergerak dengan hati, semua pertemuan dwi bulanan sengaja  di-setting dalam bentuk lesehan dan melingkar, supaya lebih saling akrab dan mengenal satu sama lain,” papar Devida.

Tetap Bergerak untuk Indonesia Damai

Memulai sesuatu terkadang memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Termasuk upaya Pelita mengajak pemuda dari berbagai agama, juga bukan hal mudah. Namun Pelita terus mencoba bergerak.
“Apa yang kami lakukan adalah baik, kami yakin itu, karena bergerak dengan hati yang tulus akhirnya mereka yang awalnya enggan datang ke acara Pelita pun melihat niat baik kami. Sebut saja Pemuda Komunitas Hindu di Pure Jati Permana, Perumnas Cirebon, juga Pemuda Ahmadiyah dengan nama “Lajnah Ima Illah”. Lalu Syi’ah, serta pemuda-pemudi gereja yang dulu sangat tertutup sekarang mereka mau berkumpul dan duduk bareng,” ungkap Devida.

Pelita adalah organisasi kepemudaan yang di dalamnya terdiri dari berbagai agama dan keyakinan. Ide terbentuknya, lanjutnya, bermula dari inisiatif para orang tua dalam forum lintas iman yang bernama “Komunitas Sabtuan” terutama Marzuki Wahid, Ketua Majelis Pengurus Yayasan Fahmina. Hingga terbentuk gagasan bersama membuat wadah di mana para pemuda lintas iman kota Cirebon bisa berkumpul dan berjuang bersama untuk satu Indonesia yang damai dan rukun.

“Para pemuda dan forum sabtuan pada waktu itu berkumpul di Gereja Rahmani dan Gereja Katolik (GK) Pengampon untuk membahas ide ini lebih lanjut dan yang pada akhirnya menelurkan Pelita,” jelasnya.

Hanya Ingin Cirebon Sejalan Bhinneka Tunggal Ika

Sesuai sifat dasar manusia, kehidupan damai menjadi harapan semua umat manusia apapun latar belakang suku, budaya, dan agamanya. Sayangnya, selalu saja ada pihak-pihak yang terus berusaha memicu timbulnya permusuhan. Termasuk di Cirebon, kendati keberagamannya sangat bagus, namun masih ada kerikil penghalang mewujudkan damai.  Seperti diungkap salah satu pemuka agama Budha, Surya Pranata. Sampai saat ini, ia menjadi bagian dari komunitas lintas iman “Forum Sabtuan” Cirebon, yang tak bosan-bosannya memperjuangkan budaya damai. Ia hanya ingin agar kehidupan di Cirebon sejalan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika, berbeda tapi tetap satu.

“Berbeda tapi menghargai perbedaan dan hidup dengan harmonis tanpa melihat agamanya apa. Puasa kemarin, saya ikut menjadi narasumber dalam acara buka bersama di Kampus ISIF. Puasa jangan dimaknai sebagai ritual belaka, tapi puasa harus dimaknai dari prosesnya. Puasa adalah meditasi, pelatihan jiwa, dan menahan segala amarah,” ungkap Surya dengan penuturan khasnya yang pelan dan tenang.

Ia juga mengaku sangat menyambut baik lahirnya Pelita. Menurutnya, hubungan antar agama di Cirebon sudah terjalin bahkan saat tahun 2000 lahir Forum Sabtuan.

“Akan tetapi ada kesadaran dalam benak para anggota Forum Sabtuan bahwa perlu ada regenerasi, makanya lahirlah kemudian Pelita. Saya sangat apresiatif terhadap semangat, komitmen dan pemuda lintas agama dan keyakinan di Cirebon.”

Ruang Segar Membangun Damai

Sementara menurut salah satu Anggota Majelis Pengurus Yayasan Fahmina, Rosidin, Cirebon dengan dinamika sosial dan heterogenitas masyarakatnya, membutuhkan sebuah lembaga atau forum komunikasi antar umat beragama dan antar golongan masyarakat yang akan menginisiasi munculnya ketahanan budaya (cultural resistance) antikonflik. Forum yang  dimunculkan dari budaya setempat sebagai kecerdasan lokal (local genius) diharapkan mampu mengantisipasi berbagai gejala sosial baru yang berpotensi merusak keseimbangan sosial.

“Pelita ini sepertinya memberi ruang yang cukup bagi terjadinya proses dialogis antar kelompok kepentingan, khususnya yang berkaitan dengan isu ras, dan agama. Forum yang berisi para pemuda lintas iman ini memberikan raung segar bagi pemuda-pemuda lintas iman untuk saling belajar dari keyakinan yang berbeda-beda,” papar Rosidin.

Dari berbagai aktifitas Pelita mulai dari roadshow ke tempat-tempat ibadah, diskusi bulanan mengenal lebih dekat teman, sampai pada momen-momen memperingati besar nasional bahkan hari besar keagamaan, menurutnya Pelita seakan menjadi safety falfe atau katup pelepas yang menjadi saluran bagi kelompok antar agama di kalangan pemuda melepaskan uneg-unegnya.  Sehingga, lanjutnya, pada skala tertentu mampu meredakan ketegangan antar golongan yang berkonflik.

“Fungsi strategis adanya forum semacam ini adalah juga untuk menjadi sarana dialogis antar kelompok, terutama dalam rangka mengembangkan suasana toleran dan pemahaman tentang perlunya menghargai keberagaman dalam masyarakat multi-kultur ini,” jelasnya.

Fungsi lain yang tak kalah urgennya, tambahnya lagi, adanya Pelita adalah sebagai lembaga yang secara kultural (dan alamiah) mampu mengembangkan semacam early warning system atau sistem peringatan dini terhadap berbagai konflik yang memiliki potensi mengganggu keseimbangan social, terlebih dapat menghancurkan tatanan sosial melalui aksi-aksi kekerasan. 

diangkat di majalah Blakasuta dan website http://fahmina.or.id

menimbang sesuatu, lalu loncat

satu waktu aku sering sekali menimbang sesuatu lalu melangkah setelah memutuskan salah satunya. kali ini masih seperti biasa, dengan percaya diri kukatakan bahwa aktivitas menimbang sesuatu bukan hanya aku yang melakukakannya. siapapun yang punya pilihan dan gelisah akan pilihan itu, ia akan menimbangnya, meski tidak selalu berakhir pada memutuskannya.

tapi kali ini aku tidak melangkah, tapi ingin langung meloncat dan menerjang apa yang sudah lama matang di ruang kepala. bertahanku di tengah mereka yang dengan percaya diri akan terus memanfaatkan diamku adalah muaranya. aku sudah meyakinkan diri, bahkan sebelum mereka memanfaatkanku, aku sudah meyakinkan diri bahwa aku berkuasa pada diriku. persoalan bahwa sekarang aku masih bertahan di tengah mereka adalah karena aku merasa kasihan terhadap mereka. dan ingin berbuat baik pada mereka dan melihat perkembangan perubahan mereka ke arah yang lebih baik.

tapi tidak, seperti yang sudah kubilang, apa yang ada di depanku adalah proses. belum akhir. kali ini untuk proses ini sepertinya aku sudah mulai yakin untuk mengakhirinya dan meneruskan proses berikutnya. mungkin terlintas dalam pikiranmu bagaimana aku begitu bodoh untuk tetap bertahan di tengah mereka. tidak, aku tidak bodoh, aku hanya butuh waktu mematangkan kesabaranku. bukan, lebih tepatnya, mematangkan kebijaksanaanku sebagai manusia. dan dengan kebijaksanaanku, aku memutuskan untuk segera meloncat merubah diriku lebih baik lagi, sebelum secara sia-sia berkelanjutan berharap merubah mereka lebih baik lagi.

Rabu, 24 Oktober 2012

Memprihatinkan: Dikeluarkan Sekolah Secara Sepihak, Sampai Harus Tes Keperawanan

Sebut saja namanya Indah (18) (bukan nama sebenarnya), menjelang beberapa bulan ujian akhir nasional, ia harus menerima kenyataan dikeluarkan secara sepihak dari sekolahnya. Tepatnya pada Senin, 24 September 2012, ia dikeluarkan dari SMK Hasanudin, Eretan, Indramayu. Ia dikeluarkan secara sepihak karena pada saat ia dikeluarkan, orang tuanya tidak ikut dilibatkan termasuk diinformasikan kasus yang menimpa anaknya, surat hanya ditandatangani oleh Kepala Sekolah. Pada saat para guru dan beberapa teman menuduhnya, dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menerangkan kondisi yang sebenarnya. Ia selalu dilarang bicara oleh gurunya. Sebelum diberikan surat keputusan dikeluarkan dari sekolah tersebut, ia dan teman sekelasnya, Andi (bukan nama sebenarnya) dipukul sebanyak dua kali oleh guru dan salah seorang petugas mushola yang mengaku menyaksikan perilaku mereka di kamar mandi siswa.

Belum usai rasa malu akibat tercemar nama baiknya, Indah juga harus menerima kenyataan dari rasa sakit akibat visum yang dilakukan secara tidak wajar untuk membuktikan bahwa ia masih perawan. Visum dilakukan atas perintah petugas kepolisian resort (Polres) Indramayu saat ia dan keluarganya melaporkan perilaku kekerasan dan tuduhan dari pihak sekolah kepadanya. Demi membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan masih perawan, ia pun menurut saja apa yang diperintahkan oleh pihak kepolisian untuk memeriksa keperawanannya. Sayangnya, akibat visum yang sangat tidak wajar, ia harus menderita sakit di bagian organ vitalnya selama berminggu-minggu bahkan sampai sekarang.
Berniat Membantu Teman 

Kali pertama menemuinya, dia masih bisa bersikap tegar dengan menyunggingkan senyum manisnya, sehingga siapa sangka bahwa sebulan lalu dia baru saja dikeluarkan secara sepihak oleh pihak sekolah. Juga, siapa sangka bahwa selama beberapa minggu ini dia merasakan sakit yang sangat di bagian vaginanya setelah diminta membuktikan keperawanannya dengan visum yang sangat tidak wajar. Ketidakwajaran tersebut juga diungkapkan oleh salah satu bidan di desanya saat ia berobat untuk memeriksakan rasa sakit akibat visum selama berminggu-minggu. Menurut bidan tersebut, tidak seharusnya tes keperawanan dilakukan dengan cara yang sangat tidak wajar seperti yang dialaminya ketika di visum di salah satu rumah sakit di Indramayu.

Dituduh melakukan tindak asusila di kamar mandi mushola sekolah serta tidak mendapatkan kesempatan untuk menjawab tuduhan tersebut, membuatnya menyepakati tes keperawanan tersebut. Saat itu, bagi Indah, apapun akan ia lakukan untuk membuktikan bahwa ia masih perawan dan tidak melakukan tindak asusila yang dituduhkan padanya.
Selama ini, Indah sendiri dikenal sebagai sosok yang sangat toleran dan suka membantu teman, hal ini juga yang dilakukannya ketika ada salah satu teman sekelasnya (laki-laki) mendapatkan sejumlah luka di bagian tubuhnya. Siang usai solat sunnah Duha, dia pun berniat membantu temannya tersebut untuk mengobati lukanya dengan meminjam obat luka seperti Betadin dan kapas di ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS).
Karena lukanya di bagian dada dan punggung, maka ia pun harus membantu temannya tersebut di ruang tertutup, yaitu saat itu ia dan temannya memilih di toilet mushola sekolah. Tanpa diduga, beberapa menit kemudian datang beberapa orang berteriak dan menuduh mereka tengah berbuat mesum. Salah seorang yang menuduh mereka di antaranya seorang petugas mushola yang juga mengaku merekam perilaku mereka. Tanpa menanyakan terlebih dahulu, Andi (teman Indah) pun ditampar, selain ditampar petugas mushola, Andi juga ditampar salah satu guru ketika sudah sampai di ruang guru. Kali ini bukan hanya Andi yang ditampar, Indah juga ikutan ditampar pipinya.
“Padahal apa yang mereka tuduhkan itu sama sekali nggak bener, jelas-jelas saya bawa betadin dan baju saya masih utuh dan rapat. Niat saya hanya ingin membantu teman yang kesakitan karena luka lebam di badannya akibat main bola,” paparnya.
Tidak Diberi Kesempatan Bicara
Sayangnya, meskipun berkali-kali membuka mulutnya untuk menjawab tuduhan, namun dia selalu dilarang oleh gurunya yang menurutnya jelas-jelas tidak faham duduk persoalannya. Karena tidak ada pilihan lain, maka Indah dan Andi pun bungkam. Sementara semua mata teman-teman dan guru-guru lain sudah berteriak dan menatapnya marah. Keduanya benar-benar tidak diberi hak berbicara untuk menjawab tuduhan yang dilemparkan padanya.
“Setiap saya ingin bicara untuk menerangkan yang sebenarnya, saya sama sekali tidak diberi kesempatan oleh guru saya. Padahal semua tuduhan itu tidak benar. Pak guru selalu bilang “Udah, kamu diem aja!,” jadi saya nggak punya kesempatan untuk membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar,” terang Indah yang sesekali matanya mulai berkaca namun masih sempat ditahannya.
Dikeluarkan Secara Sepihak
Di hari yang sama setelah dituduh melakukan perilaku asusila, keduanya tiba-tiba langsung mendapatkan Surat Keterangan Pindah Sekolah. Namun menurut Indah, ada yang tidak wajar dari surat tersebut, karena selain dibuat secara instan, surat tersebut juga hanya ditandatangani oleh Kepala Sekolah. Hal tersebut juga diungkapkan ibunya Indah yang mengaku tidak dipanggil oleh pihak sekolah terkait kasus yang menimpa anaknya. Meskipun ada kolom tanda tangan Orang Tua/Wali, namun kolom tersebut sengaja dikosongkan.
“Padahal seharusnya orang tua saya dipanggil terlebih dahulu agar mereka mengetahuinya. Namun ini hanya ditandatangani Kepala Sekolah. Selain itu yang membuat saya aneh, mereka itu seakan sudah menyiapkan surat pengeluaran saya di hari-hari sebelumnya,” ungkap Indah.
Hal janggal lainnya adalah ketika keluarganya datang ke sekolah untuk meminta rekaman video perbuatannya, tidak ada satu orang pun yang mengaku memiliki rekaman video tersebut. Bahkan kepala sekolah pun sampai bersumpah bahwa ia tidak mendapatkan rekaman video tersebut. Rekaman video tersebut pernah disebut-sebut seseorang yang katanya mengaku merekam perilaku mereka di kamar mandi.
“Namun anehnya, ketika kami meminta ingin melihat video tersebut, semua orang mengaku tidak melihat bahkan memilikinya. Jadi tidak jelas videonya ada atau tidak,” tuturnya.
Tes Keperawanan yang Tidak Wajar
Untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan tidak melakukan tindak asusila seperti yang dituduhkan sekolahnya, keluarga Indah pun akhirnya melaporkannya ke pihak kepolisian resort (Polres) Indramayu. Tidak disangka, dari Kepolisian malah memintanya melakukan visum dan membuktikan bahwa ia tidak pernah melakukan hubungan seksual dan dia masih perawan.
“Kalau saya, apapun akan saya lakukan untuk membuktikan bahwa saya tidak bersalah termasuk untuk tes keperawanan. Jadi saya menurut saja ketika polisi meminta saya untuk visum di rumah sakit,” ungkapnya.
Namun, siapa sangka bahwa tes keperawanan yang dibayangkannya bersama keluarganya sangat berbeda dengan apa yang dialaminya. Oleh dua suster dan satu dokter, dia menjalani tes keperawanan yang menurutnya cukup lama, bahkan dia mengaku berteriak dan menangis karena kesakitan. Usai dilakukan visum, ia tidak bisa mendapatkan langsung hasilnya, ia bahkan tidak mendapatkan nasihat apapun dari si dokter. Selain itu, hal yang tidak terduga, rasa sakit usai visum, membuatkan tidak bisa hidup nyaman selama berminggu-minggu lamanya.
“Saya trauma baget, karena sampai sekarang juga masih merasa sakit, lalu ibu mengantar ke Puskesmas dan konsultasi ke bidan. Ternyata, kata bidan, tes keperawanan seharusnya tidak demikian. Itu tes keperawanan yang keliru,” paparnya lagi.
Sementara menurut orang tua Indah (ibunya), tes keperawanan yang dialami puterinya ternyata tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. “Saya pikir tes keperawanan itu sekarang sudah modern seperti melalui computer. Tapi kok malah diperiksa sampai ke masuk dalem gitu, sampai anak saya teriak-teriak mengeluh kesakitan dibiarkan saja. Kalau tahu seperti itu, mendingan gak usah divisum,” ungkapnya.
Mendapat Teror
Pasca dituduh melakukan perilaku asusila dan dikeluarkan dari sekolah, bukan hanya nama baiknya dan orang tuanya yang sudah tercemar. Kini hampir seluruh desa mengetahui kabar yang jelas merupakan aib bagi keluarganya. Bahkan kini bukan hanya keluarganya yang sering diperlakukan sejumlah tetangga dengan kata-kata yang tidak mengenakkan, Indah sendiri sampai sekarang sering mendapatkan telfon dan sms-sms yang bernada kecaman, caci maki dan ancaman.
“Sms-sms tersebut ada yang secara terang-terangan ditulis pengirimnya, seperti ada sms perwakilan kelas 12A, kelas saya. Karena tidak tahan, sms-sms itu sudah saya hapus. Ada lagi yang terbaru yang belum saya hapus, tapi cuma satu sms,” ungkapnya yang kemudian menunjukkan sms itu kepada kami (Fahmina).
Masih Menunggu Perkembangan dari Kepolisian
Kini sudah beberapa minggu setelah melaporkan kasusnya ke Polres Kabupaten Indramayu, Indah dan keluarganya belum mendapatkan informasi perkembangan kasusnya. Sementara itu Yayasan Fahmina bekerjasama dengan Women Crisis Center (WCC) Balqis sudah siap melakukan pendampingan kasus Indah, namun masih menunggu perkembangan kasus yang kini sedang ditangani kepolisian. Proses pendampingan akan dilakukan setelah mendapatkan informasi perkembangan kasus Indah yang sudah dilaporkan ke Polres sebelumnya, serta dilakukan setelah pihak keluarga mengizinkan proses pendampingan dilakukan oleh LSM.
Tes Keperawanan Tidak Ada Urgensinya
Wacana untuk melakukan tes keperawanan bagi calon siswa sekolah menengah atas (SMA) merupakan tindakan yang sangat terbelakang. Bahkan bisa dibilang barbar. Ini adalah wacana yang sangat lebih dari terbelakang. Kebijakan yang dikeluarkan dengan logika yang sangat salah. Tes keperawanan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pertama, karena hanya perempuan yang memungkinkan terdeteksi perawan atau tidaknya. Sedangkan laki-laki tidak bisa terdeteksi keperjakaannya. Kedua, diskriminasi perempuan di bidang pendidikan, jika kemudian terbukti si perempuan tidak perawan, lalu ditolak dan tidak mendapatkan akses pendidikan. Padahal pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang harus diberikan penyelenggara negara. Diskriminasi di bidang pendidikan sudah menyalahi Undang-Undang Dasar 1945.
Indramayu adalah salah satu daerah yang Bupatinya memberlakukan kebijakan tes keperawanan bagi siswi di Indramayu sebagai syarat masuk sekolah. Tahun 2007, wacana pemberlakua kebijakan oleh Bupati ini pernah menuai kritik dari banyak pihak. Karena tes keperawanan bagi calon siswa tidak ada urgensinya. Karena hanya melihat dimensi keperawanan dari satu perspektif saja. Padahal, keperawanan bukan hanya karena hubungan seks. Selaput dara perempuan bisa saja robek karena jatuh dari sepeda. Kebijakan ini sangat mundur dan tidak memiliki perspektif kemajuan. Seharusnya kita sudah tidak lagi mempersoalkan keperawanan yang sangat personal. Dalam hal ini, seharusnya, penyelenggara negara membuat kebijakan yang membuat remaja lebih produktif. Seperti membuat arena olahraga atau kesenian yang mendorong remaja beraktivitas.
Jika persoalannya adalah menyikapi kenakalan remaja, tes keperawanan adalah cara yang tidak akan efektif. Pendidikan reproduksi di rumah atau di sekolah akan lebih efektif untuk mengatasinya. Akan lebih efektif lagi jika negara menyelenggarakan pendidikan seks untuk remaja seputar kesehatan reproduksi (Kespro). Remaja menjadi lebih paham perilaku seperti apa yang bisa menyebabkan kehamilan, serta bisa menghindari terjadinya kehamilan tidak diinginkan.
Tes keperawanan tidak menawarkan solusi apapun, termasuk untuk orang tua dalam mengawasi perilaku anaknya. Pemahaman mengenai hukuman sosial atau pengucilan sosial jika remaja hamil juga bisa menambah pemahaman remaja untuk menjaga perilakunya.
*Tulisan ini berdasarkan hasil wawancara langsung dengan korban dan orang tua korban di rumahnya pada Rabu (24 Oktober 2012). Tulisan ini berharap dapat membangun opini publik untuk tidak mendukung kebijakan sekolah yang tidak adil dalam kebijakanya dan melakukan diskrimansi gender.

Sabtu, 01 September 2012

maaf, saya sedang hamil

“Maaf pak asap rokoknya, saya sedang hamil.”

Akhir-akhir ini, saya seakan harus sering konfirmasi bahwa saya adalah perempuan yang sedang hamil muda. Entah di angkot, ojek, mini bus, di kantor, di rumah, di warung makan, dan di beberapa tempat lainnya. Terutama masalah asap rokok, nyaris di manapun bisa kita temui. Jangankan bagi perempuan hamil muda yang belum kelihatan jelas menonjol perut besarnya. Bagi perempuan hamil tua yang sudah menonjol perutnya, pun terkadang para perokok itu tidak peduli. Entah faktor pengetahuan atau memang watak/karakter perokok yang begitu egois.
Setelah empat tahun menikah dan kini akan dikaruniai anak, siapa yang tidak bahagia dan bersyukur karenanya. Sejak saat itu, saya yang biasa berangkat ke kantor dengan mengendarai motor sendiri, kini mau tidak mau harus menggunakan angkutan umum. Maka terkadang meskipun terkesan lebay atau cerewet, saya akan tetap melakukannya demi melindungi janin saya. Apalagi banyak ibu hamil, terutama yang masih muda, banyak mengalami keguguran. Saya bukan seorang dokter kandungan, namun berdasarkan nasehat dari dokter, artikel yang saya baca, serta masukan-masukan antara mitos dan fakta dari sejumlah mereka yang berpengalaman, hamil muda di tiga bulan pertama (trimester pertama) memang sangat rawan. Apalagi bagi perempuan bekerja, selain kelelahan, stress karena banyak pikiran juga sering menjadi pemicu keguguran. Tak hanya mereka yang bekerja, tetanggaku yang masih tergolong ABG (Anak Baru Gede) dan perempuan rumahan, mengalami keguguran karena terlalu banyak pikiran akibat ditinggalkan suaminya setelah beberapa bulan menikah dan hamil.
Jadi, menurut salah satu dokter di Puskesmas terdekat desaku, hal mendasar yang menyebabkan para perempuan hamil muda mengalami keguguran adalah bukan karena kelelahan dan stress karena banyak pikiran. Namun karena ketidaktahuan atau ketidakfahaman para ibu hamil dalam melindungi diri dan janinnya.
Pentingnya Informasi Kespro
Bagi perempuan yang memiliki akses informasi begitu mudah dan banyak, tentunya mendapatkan informasi seputar kesehatan reproduksi (Kespro) sangatlah mudah. Namun, berpendidikan tinggi dan akses informasi mudah, belum tentu mau membaca informasi terkait Kespro jika kesadaran tentang pentingnya pemahaman Kespro belum terbangun. Itulah mengapa penting adanya sosialisasi tentang betapa pentingnya mengenal Kespro kita (baik perempuan maupun lelaki).
Apalagi sudah jelas, bahwa mendapatkan informasi merupakan salah satu dari 12 hak pokok dalam Hak Asasi Manusi (HAM) yang harus diberikan negara kepada warganya. Artinya ketika kita mendapatkan informasi, berarti sudah mendapatkan apa yang sudah menjadi hak kita. Dalam hal ini termasuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi (Kespro).
Selain soal kehamilan, hal-hal kecil dan mendasar lainnya, terkadang kita tidak benar-benar memahaminya. Dalam kehidupan sehari-hari contohnya sangat banyak, mulai dari soal keputihan, haid tidak lancar, hingga soal kamar mandi dan air yang tidak bersih dan berdampak pada Kespro kita.
Di dalam kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo dalam chapter VII dari plan of action, Kesproadalah kesehatan reproduksi mencakup fisik, mental dan sosial serta perolehan hak atas pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, efektif dan terjangkau. “Kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik, mental, kelaikan sosial yang menyeluruh dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi berikut fungsi-fungsi dam proses-prosesnya. “…hak laki-laki dan perempuan untuk memperoleh informasi dan mendapat akses pada perencanaan keluarga yang aman, efektif, terjangkau, dan layak, atas pilihannya sendiri”.

Saya jadi ingin sedikit bergeser dari soal kehamilan ke persoalan Kespro yang lebih umum lagi. Lembaga di tempat saya bekerja, Fahmina-institute pernah melakukan penelitian untuk memaksimalkan “Program Penguatan Kesadaran Kritis Kesehatan Reproduksi (Kespro) Berbasis Islam bagi Kelompok Muda dan Usia Produktif di Pondok Pesantren Se-Wilayah III Cirebon.” Nah, salah satu cara menggali informasi dari sahabat-sahabat santri puteri itu dengan cara melakukan sharing, dalam focused group discussion (FGD) di 15 Ponpes Wilayah III Cirebon pada tahun 2010. Dari FGD tersebut, ternyata banyak dari mereka yang memiliki masalah namun bingung bagaimana mengatasi masalah tersebut. Parahnya, karena ketidakfahaman mereka, mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka ungkapkan adalah termasuk masalah Kespro.
Ternyata selama ini beberapa pengetahuan santri tentang kesehatan reproduksi, salah satunya tidak didasari oleh informasi yang tepat dan benar. Bahkan ada yang justru menyesatkan dan berbahaya lho! Terutama bagi kesehatan reproduksinya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, selama ini pemahaman santri perempuan terhadap kesehatan reproduksi terbagi dalam tiga sub bahasan, yaitu pertama, pemahaman santri yang beragam dan timpang; kedua, pengetahuan santri didominasi oleh mitos; dan ketiga, Santri berada dalam dualism nilai.
Pemahaman santri perempuan terhadap kesehatan reproduksinya secara umum masih sangat terbatas. Hal ini di antara sebabnya karena tidak adanya kurikulum khusus kesehatan reproduksi yang diberikan kepada santri perempuan. Pengetahuan santri diperoleh dari berbagai sumber yang mayoritas santri sudah tidak lagi ingat sumbernya.
Hal ini, terlihat dalam setiap wawancara, santri menyampaikan pengetahuannya dengan kalimat yang ragu dan tidak yakin. Seperti yang diungkapkan dengan pernyataan “kayaknya…”, “kalau tidak salah…”, atau diakhiri dengan kalimat pertanyaan “bener nggak bu..?”. Bahkan beberapa santri secara tegas menjawab “tidak tahu” atau “lupa” ketika ditanyakan sumber informasi dari pernyataan yang disampaikan sebelumnya.
Beberapa pengetahuan santri tentang kesehatan reproduksi juga tidak didasari oleh informasi yang tepat dan benar, bahkan ada yang justru menyesatkan dan berbahaya bagi kesehatan reproduksinya. Salah satu contohnya adalah keputihan. Hampir semua santri menyatakan mengalami keputihan sepanjang masa suci (tidak menstruasi) dalam tiap bulan. Keputihan ini kebanyakan dialami seminggu sebelum haid dan seminggu setelah haid, sementara masa suci santri kebanyakan berkisar 15-20 hari.
Itu artinya, kemungkinan tidak adanya keputihan hanya sekitar seminggu di masa suci santri. Ketika mengalami keputihan, respon yang dilakukan santri berbeda-beda. Ada yang menggunakan produk pembersih vagina seperti Resik V dan betadine cair yang dicampur air hangat, ada juga yang meramu sendiri dengan air rebusan daun sirih dan ramuan dari buah delima, ada juga yang mengganti celana dua kali sehari. Pada sebagian kasus, kondisi keputihan santri ada yang sampai berwarna hijau, berbau dan gatal. Pada kasus keputihan berbau dan gatal, kebanyakan santri tidak melakukan intervensi apa-apa karena dianggap sesuatu yang sudah biasa dan tidak perlu dikhawatirkan, sebagaimana seorang santri menjawab, “…biasa aja, gak terlalu apa namanya ya…, gak terlalu penting.”
Bahkan ada kisah satu santri yang mencoba melakukan tindakan karena tidak tahan menahan rasa gatal, dengan mengoleskan minyak kayu putih pada kemaluannya. Tindakan ini menjadikannya merasa kepanasan pada area kemaluannya, namun dia mengakui rasa gatalnya berkurang. Apabila dikategorisasikan, pemahaman dan pengetahuan santri dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok yang cukup paham beberapa isu tertentu, kelompok yang mengetahui beberapa hal tentang kesehatan reproduksi, dan kelompok yang hampir tidak tahu tentang kesehatan reproduksi perempuan kecuali pengalaman yang dirasakan saja.

*tentang persoalan Kespro yang dialami santriwati di Pondok Pesantren, masih ada lagi beberapa faktor penyebab selain karena kekurangan informasi yang benar tentang Kespro. Namun saya singkatkan sampai di sini saja. Terimakasih sudah membaca.

Selasa, 14 Agustus 2012

Konflik Etnis Rohingya Berusaha Dimanipulasi ke Konflik Agama

Siapa yang tidak turut prihatin melihat kesadisan atau kekejaman seseorang atau kelompok terhadap kelompok lainnya. Apalagi jelas terlihat bagaimana tubuh manusia seperti tak berharga, bahkan meskipun diperlihatkan melalui sebuah gambar. Saya salah satunya yang pernah tidak berpikir panjang tentang gambar-gambar tersebut. Ketika ada gambar yang memperlihatkan kekejaman suatu kaum, dengan penuh empati, saya turut menyebarkannya. Apalagi saat itu gambar-gambar tersebut juga saya dapat dari orang-orang yang begitu banyak turut men-share di timeline -nya.

Namun beruntungnya banyak kawan-kawan yang segera memberitahukan kebenaran gambar tersebut, serta konteks bagaimana gambar tersebut diambil sampai akhirnya dimanfaatkan atau dimanipulasi golongan tertentu untuk menyudutkan golongan lainnya. Yang sekarang masih hangat dibicarakan terutama terkait konflik etnis Rohingnya. Baru saja saya membaca sharing tentang fakta gambar-gambar tersebut dari milis “pluralisme-indonesia” yang saya ikuti.

Apakah di antara kita juga pernah merasa, terutama sejak mulai maraknya media memberitakan konflik etnis Rohingnya, terutama beberapa bulan terakhir ini?

Berita-berita yang disebar menimbulkan prasangka yang mengintimidasi kalangan Buddhis. Konfliknya sendiri berawal dari 3 orang pria etnis Rohingya yang di Myanmar merupakan suku pendatang dari Bangladesh, memperkosa seorang gadis Myanmar suku Rakkhine yang beragama Buddha. Kemarahan warga suku Rakkhine memicu terjadinya bentrokan antara kedua etnis. Berita-berita di dunia maya dimanipulasi, bahkan unjuk rasa di Indonesia sendiri menggunakan gambar-gambar yang dimanipulasi sehingga berakibat terjadinya intimidasi terhadap kalangan Buddhis di beberapa daerah.

Berikut adalah pelurusan gambar-gambar yang digunakan oleh beberapa kalangan untuk memecah belah kerukunan ber-bangsa dan ber-agama.
Berikut adalah gambar-gambar yang dimanipulasi:

https://fbcdn-photos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-snc6/165886_3568842147951_1810485170_n.jpg

Pelurusan gambar dengan bukti-buktinya:

Gambar 1): ditulis bahwa mayat-mayat tersebut adalah Muslim Rohingya yang dibantai Biksu Buddha. Faktanya adalah umat Buddha (warga Tibet) tengah mengevakuasi korban gempa besar di Kyigudo provensi Yulshul, Tibet pada 14 April 2010. Bukti-buktinya bisa dilihat dalam video, gambar, dan keterangan lengkapnya dalam link Tibet Community.

Gambar 2): ditulis bahwa ada pembunuhan masal terhadap Muslim Rohingya oleh Biksu Buddha. Lebih dari 1000 terbunuh. Faktanya adalah foto tersebut bukan mayat, melainkan foto para demonstran Muslim yang ditangkap dan sedang disuruh tiarap oleh tentara Thailand ketika terjadi kerusuhan Pattani di negara Thailand pada Oktober 2004. Uraian tentang peristiwa ini juga bisa dilihat dalam pemberitaan Telegraph.

Selain gambar-gambar terkait konflik etnis Rohingnya, saya yakin di antara kita masih sering mendapat informasi-informasi keliru bahkan dalam bentuk gambar sekalipun. Hampir di setiap konflik, selalu saja ada pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan ini, entah karena ada kepentingan tertentu atau memang karena ketidakfahamannya dan malas mencari kebenarannya. Namun siapapun kita, sebagai orang yang menginginkan negara Aman & Damai, hendaknya mulai selektif dan tidak mudah terpancing dengan gambar-gambar yang belum jelas kebenarannya.

Mungkin di antara kita banyak yang sudah memahami dan tidak mudah terpancing untuk berprasangka pada golongan tertentu hanya dengan melihat sebuah gambar, namun sharing ini meski singkat, semoga bisa semakin membuka mata kita tentang kebenaran di balik sebuah gambar. Selanjutnya silahkan jika ada yang ingin sharing lebih banyak lagi.

Kamis, 26 Juli 2012

"obrog-obrog", tradisi membangunkan sahur

Bulan puasa tahun ini adalah bulan puasa di mana aku bisa menikmati suasana puasa seperti dulu ketika masa kanak-kanak. Menjelang buka puasa akan diramaikan dengan "obrog-obrog" seperti biasa. Paginya, "obrog-obrog" juga akan membangunkan sahurku. Kenapa aku mengatakan ini, karena selama hampir lima tahun lebih, bulan puasa pertamaku selalu ada di luar daerah kelahiranku. Dan yang tidak pernah kutemukan di daerah sekitar Jawa Barat tersebut adalah tradisi "obrog-obrog" salah satunya seperti yang kutemukan di Cirebon. Hari ini saja, sudah ada sekitar tiga grup "obrog-obrog" yang lewat di depan rumahku. Sore hari menjelang buka puasa, para grup "obrog-obrog" tersebut juga kembali menghibur warga di desa. Biasanya, saat menjelang puasa, grup bisa lebih banyak dan lebih meriah dari pada menjelang sahur.

Saat itulah aku baru sadar bahwa "obrog-obrog" belum tentu ada di semua daerah, apalagi di perkotaan. Ternyata, menurut sejumlah artikel yang saya baca, "obrog-obrog" ini juga merupakan bagian dari tradisi di Kabupaten Cirebon. Seperti keterangan dari artikel wong dewek "obrog-obrog" memang merupakan tradisi khas di Kabupaten Cirebon.
Lazimnya pada bulan Ramadhan, orang membangunkan sahur dengan cara berteriak atau memukul beduk keliling kampung. Tapi berbeda dengan wilayah pantai utara, Indramayu, Cirebon & Brebes. Di daerah pantura ini bukan saja terkena dengan beragam kekayaan laut yang melimpah, tetapi juga beragam tradisi unik ada di sana. Di sana, menjelang sahur akan ramai dengan suara nyanyian yang diiringi musik oleh suatu rombongan yang berkeliling. Bulan Ramadhan kota Indramayu dan Cirebon semarak dengan hingar-bingar musik dari kesenian obrog. Warga di daerah pantai utara (pantura) ini “dibangunkan” dari tidurnya untuk melaksanakan sahur dengan bunyi musik yang khas.

Fenomena obrog, sebagai sebuah seni tradisi sangat menarik untuk ditelisik, khususnya pada perubahan media (alat musik), bentuk, dan pergeseran fungsinya. Apa itu obrog? Nama obrog berasal dari bunyi alat musik yang sering dipakai, semacam kendang. Tidak diketahui dengan pasti kapan kesenian ini tercipta. Obrog merupakan kesenian yang banyak ditemui selama bulan Ramadhan. Selama sebulan penuh, rombongan musik obrog berkeliling dari desa ke desa guna membangunkan warga untuk segera begegas makan sahur. Mereka menyusuri desa-desa dengan memainkan alat-alat musik dan bernyanyi pagi-pagi buta. Biasanya beraksi mulai pukul 2 atau 3 dini hari.

Alat-alat musik yang dimainkan oleh rombongan obrog, dahulu berupa alat-alat musik tradisional. Sekarang rombongan obrog bermain dengan menggunakan alat musik modern. Mulai dari gitar elektrik, bass, organ, tamborin, dilengkapi dengan sound system yang didorong di atas roda. Ada juga rombongan obrog yang menyediakan panggung mini yang didorong di atas roda. Para biduannya juga banyak yang membawakan lagu-lagu dangdut kontemporer. Mirip sebuah grup organ tunggal. Pada tahun 1985-an, obrog banyak dimainkan oleh grup dangdut kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap.
Teknologi karaoke yang marak pada 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog. Beberapa tahun belakangan obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal. Pada saat bulan puasa tiba, grup obrog menjamur di sekitar wilayah pantura. Satu grup obrog biasanya masih terikat hubungan kerabat. Dahulu para pelakunya melulu kaum laki-laki. Ini disebabkan karena kaum perempuan dianggap tabu untuk keluar malam oleh masyarakat. Namun sekarang rombongan obrog banyak menyertakan perempuan di dalamnya, terutama yang bertindak sebagai seorang biduan.

Dinamika "Obrog-Obrog"
Sebagai tradisi khas bulan Ramadhan, makna kesenian obrog di Cirebon dan Indramayu telah bergeser. Ini adalah salah satu ciri kesenian daerah pantai utara yang dihidupi oleh pendukungnya, yaitu rakyat kebanyakan. Obrog adalah tradisi warga Indramayu dan Cirebon membangunkan orang untuk sahur. Inti dari kesenian ini adalah membuat bebunyian keras pada dini hari sambil berjalan berkeliling permukiman. Uniknya, saat Lebaran masyarakat akan memberi uang, beras, atau makanan sebagai tanda terima kasih telah dibangunkan sahur selama bulan puasa.

Menurut Rektor Universitas Wiralodra Ir Tohidin MP, selain fungsi religius, obrog juga menjadi media komunikasi sosial masyarakat. Di sini, kita melihat hubungan timbal balik antara pemberi dan penerima manfaat. Pengamat kebudayaan Indramayu, Supali Kasim, mengatakan, ada beberapa tradisi membangunkan warga untuk sahur di pantai utara (pantura). Misalnya, kempling, yakni membangunkan warga secara berkeliling menggunakan gamelan lengkap. Karena tidak praktis, budaya ini kalah populer dengan obrog yang alat musiknya bisa dijinjing dengan mudah.

Kata "obrog" berasal dari bebunyian yang dihasilkan alat musik semacam kendang. Sebagai tradisi masyarakat, sulit ditelusuri kapan tradisi ini berawal. Kesenian ini berkembang ketika masyarakat wilayah pantura sadar bahwa kesenian merupakan hiburan massa.



Menghibur Mereka yang Berpuasa, tapi Tidak Berpuasa

Saat ini yang lazim disebut obrog adalah permainan organ tunggal dengan biduan wanita menyanyikan lagu-lagu dangdut populer. Namun, hal itu berbeda dengan obrog pada masa lalu. Karena merupakan kesenian rakyat, obrog tidak sakral dan bisa berubah sesuai dengan pergeseran selera masyarakat. Menurut Supali, obrog mengalami perubahan dari waktu ke waktu tergantung tren yang sedang berlaku pada masa itu. Obrog zaman dahulu hanya menggunakan alat musik tradisional. Pelakunya hanya laki-laki karena perempuan dianggap tidak pantas keluar malam. Berbeda dengan sekaranng, perempuan seakan wajib ada sebagai penyanyi, sedangkan para lelaki memainkan musik. Hal ini berlaku tidak hanya pada saat membangunkan sahur, tetapi juga pada sore hari saat menjelang buka puasa.

Pada tahun 1985-an, obrog banyak dimainkan oleh grup dangdut kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap. Teknologi karaoke yang marak pada 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog. Beberapa tahun belakangan obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal. Selain pergeseran bentuk, Supali melihat pergeseran orientasi. Dahulu, bermain obrog kental dengan tujuan religius. Atau, kalaupun tidak, bermain obrog didorong unsur kesenangan termain musik.

Bahkan, banyak grup organ tunggal sudah memulai permainannya pukul 22.00. Tentu saja masih terlalu dini untuk membangunkan orang sahur. Sebab itu, ada pihak yang sebenarnya kurang setuju dengan bentuk obrog yang sekarang. Meski demikian, sejauh ini obrog organ tunggal tetap populer. Pihak yang kurang berkenan juga tidak pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan aksi anarkis.

Sekarang, tradisi obrog tak bisa lepas dari tujuan ekonomi untuk memperoleh pendapatan. Ini nyata terlihat dari adanya saweran dan pembayaran uang untuk permintaan lagu. Saya pribadi dalam beberapa tahun terakhir, merasakan bagaimana perubahan tradisi ini merupakan sebuah ironi di bulan Ramadhan. Karena tujuan ekonomi untuk memperoleh pendapatan tersebut, malah mendorong para 'artis' "obrog-obrog" tersebut menghalalkan segala cara.

Di antara mereka tidak jarang tanpa malu-malu membatalkan puasanya dengan meminum air pada saat ngobrog. Selain itu, persaingan ketat antara grup "obrog-obrog" satu desa dengan desa yang lain terkadang membuat mereka saling menghasut dan menjatuhkan. Hal lain yang menurut saya sangat tidak pantas adalah ketika meminta uang di tiap-tiap rumah, mereka memanfaatkan anak kecil yang terkadang ikut-ikutan tidak puasa. Selebihnya, kemunculan grup "obrog-obrog" yang semakin banyak, membuat warga harus mengeluarkan uang lebih banyak ketika mereka datang untuk meminta-minta uang dari rumah ke rumah.

Kamis, 05 Juli 2012

perceraian meningkat, jangan salahkan UUPKDRT

Kemarin saya baru membaca berita bahwa agka perceraian di kabupaten Cirebon semakin tinggi. Saya membacanya dari media online suarajabar. Hanya saja, ada yang membuat saya tidak nyaman ketika membacanya, yaitu kalimat “angka perceraian di kabupaten Cirebon diprediksi akan naik seratus persen”. Dalam benak saya, kok seenaknya memprediksi perceraian seperti memprediksi penjualan. Tapi saya akui informasi ini penting, setelah teridentifikasi penyebabnya, tentunya ada gambaran bagaimana agar segera dicarikan solusinya. Jika bukan dari pemerintah, setidaknya individu yang membacanya.

Data tersebut berasal dari Pengadilan Agama Sumber kelas 1, yang mencatat sebanyak 6156 kasus perceraian yang diterima selama setahun. kasus itu terdiri dari kasus cerai gugat, cerai talak, izin poligami, dan isbat nikah. Penyebab dari kasus perceraian tersebut ada beberapa faktor. di antaranya karena krisis akhlak, cemburu dan piligami tidak sehat, itu yang termasuk dalam penyebab perceraian dari faktor moral. Sedangkan dari faktor lainnya adalah karena meninggalkan kewajiban yang indikatornya karena kawin paksa, ekonomi dan tidak ada tanggung jawab. Dari penyebab perceraian karena poligami tidak sehat terdaapat 15 kasus, krisis akhlak 33 dan karena cemburu sebanyak 72 kasus. Adapun karena faktor ekonomi menjadi dominan dengan jumlah 1563 kasus dan tidak bertanggung jawab sebanyak 1351.

Saat saya memberi komentar bahwa jika memungkinkan bisa diliput bagaimana nasib perempuanya, seorang komentator lainnya (sepertinya reporternya) mengatakan bahwa perempuan yang lebih banyak menceraikan. Dia juga mengatakan bahwa menurut pihak pengadilan agama, itu disebabkan faktor HAM dan UU PKDRT. Lalu dia bertanya balik kepada saya, apakah ini faktor negatif atau positif? lalu saya menjawab, untuk menjawabnya bukan soal melamparkan atau menunjuk penyebab persoalan tersebut apakah karena faktor HAM atau lainnya, ini kasuistik.

Perempuan Semakin Memahami Haknya

Pada tahun 2009, Komnas Perempuan mendata adanya kekerasan terhadap perempuan yaitu mencapai 143.586 kasus atau naik 263% dari jumlah kekerasan terhadap perempuan tahun lalu sebanyak 54.425 kasus. Peningkatan kesadaran korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya menjadi sebuah catatan penting. Diperkirakan kenaikan tingkat kesadaran korban melaporkan kasusnya dikarenakan mereka sudah mulai memahami hak-haknya, terutama hak atas keadilan. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang telah disosialisasikan secara massif juga dinilai menjadi faktor pendukung terbangunnya pemahaman masyarakat atas hak-hak perempuan untuk memperoleh keadilan dari tindak kekerasan.

Publik lebih peka terhadap kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan bisa menerima (tidak ragu lagi) ketika ada perempuan mengadukan tentang kekerasan yang dialaminya. Lahirnya UU PKDRT yang merupakan salah satu manifestasi perlindungan hukum yang tegas oleh negara terhadap korban kekerasan. Tujuan UU PKDRT adalah untuk melindungi korban kekerasan khususnya perempuan ternyata dianggap oleh sebagian pihak memberikan peluang besar bagi terjadinya perceraian.

Angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan hanya merupakan puncak gunung es, masih banyak korban yang diam atau menutup mulut karena penanganan korban, baik dari aspek hukum, sosial maupun kebijakan institusi belumlah terbangun dengan baik, jauhnya penyelesaian kasus dari keadilan. Lebih spesifik lagi adalah data perkara KDRT yang pernah masuk di Pengadilan Agama di Kabupaten Cirebon.

Hal ini menunjukkan bahwa korban yang melaporkan/berani melaporkan perkara ke pihak berwajib adalah mereka yang mengalami kekerasan dalam kurun waktu cukup lama. Hampir tidak ditemukan, istri yang melapor karena baru sekali mengalami perlakuan kekerasan.
Bahkan berdasarkan pengalaman di lembaga saya, fahmina-institute, ketika mendampingi perempuan korban KDRT yang meminta cerai dari suaminya, terpidana kasus KDRT cenderung mengungkapkan penyesalan mendalam dan menyatakan keinginan mempertahankan rumah tangganya. Namun, korban KDRT menolak karena sudah tidak dapat lagi menahan penderitaan psikis dan fisik yang dialaminya. Jadi, tidak cukup alasan fakta yang mengungkapkan perceraian ditempuh karena perasaan dendam akibat dilaporkan oleh pasangannya. Dengan demikian, tidak bisa mengatakan bahwa munculnya UU PKDRT sebagai penyebab perceraian. Perceraian bukanlah akibat dari adanya UU PKDRT namun, salah satunya karena kekerasan itu sendiri.