Kemarin saya baru membaca berita bahwa agka perceraian di kabupaten Cirebon semakin tinggi. Saya membacanya dari media online suarajabar. Hanya
saja, ada yang membuat saya tidak nyaman ketika membacanya, yaitu
kalimat “angka perceraian di kabupaten Cirebon diprediksi akan naik
seratus persen”. Dalam benak saya, kok seenaknya memprediksi perceraian
seperti memprediksi penjualan. Tapi saya akui informasi ini penting,
setelah teridentifikasi penyebabnya, tentunya ada gambaran bagaimana
agar segera dicarikan solusinya. Jika bukan dari pemerintah, setidaknya
individu yang membacanya.
Data tersebut berasal dari Pengadilan
Agama Sumber kelas 1, yang mencatat sebanyak 6156 kasus perceraian yang
diterima selama setahun. kasus itu terdiri dari kasus cerai gugat, cerai
talak, izin poligami, dan isbat nikah. Penyebab dari kasus perceraian
tersebut ada beberapa faktor. di antaranya karena krisis akhlak, cemburu
dan piligami tidak sehat, itu yang termasuk dalam penyebab perceraian
dari faktor moral. Sedangkan dari faktor lainnya adalah karena
meninggalkan kewajiban yang indikatornya karena kawin paksa, ekonomi dan
tidak ada tanggung jawab. Dari penyebab perceraian karena poligami
tidak sehat terdaapat 15 kasus, krisis akhlak 33 dan karena cemburu
sebanyak 72 kasus. Adapun karena faktor ekonomi menjadi dominan dengan
jumlah 1563 kasus dan tidak bertanggung jawab sebanyak 1351.
Saat
saya memberi komentar bahwa jika memungkinkan bisa diliput bagaimana
nasib perempuanya, seorang komentator lainnya (sepertinya reporternya)
mengatakan bahwa perempuan yang lebih banyak menceraikan. Dia juga
mengatakan bahwa menurut pihak pengadilan agama, itu disebabkan faktor
HAM dan UU PKDRT. Lalu dia bertanya balik kepada saya, apakah ini faktor
negatif atau positif? lalu saya menjawab, untuk menjawabnya bukan soal
melamparkan atau menunjuk penyebab persoalan tersebut apakah karena
faktor HAM atau lainnya, ini kasuistik.
Perempuan Semakin Memahami Haknya
Pada
tahun 2009, Komnas Perempuan mendata adanya kekerasan terhadap
perempuan yaitu mencapai 143.586 kasus atau naik 263% dari jumlah
kekerasan terhadap perempuan tahun lalu sebanyak 54.425 kasus.
Peningkatan kesadaran korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya
menjadi sebuah catatan penting. Diperkirakan kenaikan tingkat kesadaran
korban melaporkan kasusnya dikarenakan mereka sudah mulai memahami
hak-haknya, terutama hak atas keadilan. Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang telah disosialisasikan
secara massif juga dinilai menjadi faktor pendukung terbangunnya
pemahaman masyarakat atas hak-hak perempuan untuk memperoleh keadilan
dari tindak kekerasan.
Publik lebih peka terhadap kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan dan bisa menerima (tidak ragu lagi) ketika
ada perempuan mengadukan tentang kekerasan yang dialaminya. Lahirnya UU
PKDRT yang merupakan salah satu manifestasi perlindungan hukum yang
tegas oleh negara terhadap korban kekerasan. Tujuan UU PKDRT adalah
untuk melindungi korban kekerasan khususnya perempuan ternyata dianggap
oleh sebagian pihak memberikan peluang besar bagi terjadinya perceraian.
Angka
pelaporan kekerasan terhadap perempuan hanya merupakan puncak gunung
es, masih banyak korban yang diam atau menutup mulut karena penanganan
korban, baik dari aspek hukum, sosial maupun kebijakan institusi
belumlah terbangun dengan baik, jauhnya penyelesaian kasus dari
keadilan. Lebih spesifik lagi adalah data perkara KDRT yang pernah masuk
di Pengadilan Agama di Kabupaten Cirebon.
Hal ini menunjukkan
bahwa korban yang melaporkan/berani melaporkan perkara ke pihak berwajib
adalah mereka yang mengalami kekerasan dalam kurun waktu cukup lama.
Hampir tidak ditemukan, istri yang melapor karena baru sekali mengalami
perlakuan kekerasan.
Bahkan berdasarkan pengalaman di lembaga saya, fahmina-institute,
ketika mendampingi perempuan korban KDRT yang meminta cerai dari
suaminya, terpidana kasus KDRT cenderung mengungkapkan penyesalan
mendalam dan menyatakan keinginan mempertahankan rumah tangganya. Namun,
korban KDRT menolak karena sudah tidak dapat lagi menahan penderitaan
psikis dan fisik yang dialaminya. Jadi, tidak cukup alasan fakta yang
mengungkapkan perceraian ditempuh karena perasaan dendam akibat
dilaporkan oleh pasangannya. Dengan demikian, tidak bisa mengatakan
bahwa munculnya UU PKDRT sebagai penyebab perceraian. Perceraian
bukanlah akibat dari adanya UU PKDRT namun, salah satunya karena
kekerasan itu sendiri.
mengurai kehidupan mulai dari istilah gender
-
sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki mengomentari seorang
perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan
oleh lelaki...
11 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca, mari kita berbagi pengalaman hidup :)