“Robohnya gereja kami...” ini bukan judul sebuah novel maupun film.
Namun pertama kali membacanya memang mengingatkan saya pada sebuah judul
kumpulan cerpen sosio-religi karya A.A. Navis berjudul “Robohnya Surau
Kami” yang diterbitkan tahun 1956. Cerpen ini menceritakan dialog Tuhan
dengan Haji Saleh, seorang warga Negara Indonesia yang selama hidupnya
hanya beribadah dan beribadah. Namun ini adalah status facebook seorang
kawan. Tentu saja langsung mengingatkan saya pada salah satu karya
monumental dalam dunia sastra Indonesia tersebut. Ia adalah individu
yang juga menjadi bagian dari komunitasnya.
Sepertihalnya ia, pada
situasi dan kondisi yang kurang lebih sama, bisa jadi saya juga
mengungkapkan hal yang sama tentang apa yang terjadi pada kehidupan dan
komunitas di mana saya berada. Termasuk ketika kita mendengar dan
menyaksikan sejumlah aksi kekerasan, terutama yang dilatarbelakangi
perbedaan agama maupun keyakinan, seakan tidak pernah selesai terutama
dalam kurun sepuluh tahun terakhir pasca tumbangnya rezim Orde Baru
(Orba). Sejumlah aksi kekerasan secara tidak langsung mempertegas,
meskipun kebebasan telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan
masyarakat sehari-hari, namun tidak demikian halnya dengan kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Karena pada saat yang sama, beberapa kelompok
‘bebas’ melakukan intimidasi, teror, dan penyerangan terhadap orang
lain yang dianggap berbeda. Seperti praktik diskriminasi dan kekerasan
yang menimpa sejumlah komunitas di Indonesia seperti komunitas gereja,
Ahmadiyah, Syi’ah dan sejumlah komunitas lainnya.
Tindak
kekerasan dan intolerasi terus meningkat setiap tahunnya. Jika malas
membuktikannya berdasarkan sejumlah riset meningkatnya intoleransi di
negeri ini, saya pikir bagi kita yang peka sudah cukup untuk
membuktikanya melalui pemberitaan di media massa. Dalam kasus-kasus
penyerangan seperti terhadap Ahmadiyah dan sejumlah gereja, aparat
pemerintah dalam hal ini kepolisian dan militer telah bertindak abai dan
membiarkan meski mengetahui adanya potensi ancaman dan penindasan yang
akan terjadi . Terlalu seringnya menyaksikan peristiwa kekerasan dan
bagaimana pemerintah kita menyikapi hal ini, tentunya kita juga telah
faham bahwa Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan
jaminan hak-hak dasar sebagai bagian dari pelaksanaan konstitusi negara.
Indonesia
merupakan negara yang majemuk baik dari segi budaya, bahasa, agama
maupun sistem sosialnya. Kemajemukan dapat menjadi sumber kekayaan dan
pengikat bangsa, namun juga dapat menjadi sumber konflik, jika
penyelenggara negara tidak mampu mengelolanya. Bangsa Indonesia telah
memilih Pancasila sebagai ideologi negara dan menjadikan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai puncak nilai dan tujuan akhir
negara. Ahmadiyah misalnya, mengalami tindakan kekerasan terbanyak pada
era reformasi. Pelarangan Ahmadiyah menjadi issue yang digunakan dalam
proses pemiihan umum.
Pelanggaran hak atas kebebasan
beragama/berkeyakinan telah mengakibatkan pelanggaran hak-hak dasar
lainnya baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan
budayanya baik sebagai individu, maupun kelompok. Hal ini disebabkan
pemerintah sebagai pemangku kewajiban, tidak mengacu kepada konstitusi
yang telah disepakati, melainkan menggunakan nalar agama dalam
kebijakan-kebijakan publik. Kondisi ini memberikan sinyal yang
mengkhawatirkan bahwa empat pilar kebangsaan tidak dijadikan dasar dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga dapat
dipastikan akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan ‘mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Untuk mengatasinya,
seluruh elemen harus kembali menjadikan empat pilar kebangsaan sebagai
dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan
mendorong proses demokratisasi ke arah kedewasaan untuk hidup
berdampingan
Hak Individu (dari Hobbes dan Locke)
Dalam
judul kecil ini, saya ingin mengawalinya dengan berdiskusi tentang
konsep individu dalam tatanan politik dari konsep kedua tokoh ini,
keduanya berangkat dari sebuah konsep yang sama. Yakni sebuah konsep
yang dinamakan konsep negara alamiah atau yang lebih dikenal dengan
konsep “State of Nature”. Dalam diskusi-diskusi politik, apa yang saya
diskusikan ini sangat sering dikutip. Namun saya benar-benar ingin
mendiskusikan ini dengan bahasa saya sendiri, semoga mudah difahami.
Hobbes
(1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam "State of Nature" individu itu
pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia
ingin hidup damai. Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat
baru—suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian
demi melindungi hak-haknya dari individu lain di mana perjanjian ini
memerlukan pihak ketiga (penguasa).
Sedangkan John Locke (1632 –
1704) berpendapat bahwa individu pada “State of Nature” adalah baik,
namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka
khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka
membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah
namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli
kucing dalam karung’. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah
penguasa/pihak ketiga (Negara), di mana Hobbes berpendapat akan timbul
Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.
Bertolak
dari ke semua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan
pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. Inti dari terbentuknya
Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing
individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu ke depannya tergantung
pemimpin negara. Sementara Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan
dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas—hanya
sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi
konflik.
Lalu bagaimana asumsi Hobbes dan Locke tentang tatanan politik dan individu?
Hobbes
Hobbes
seringkali dianggap orang yang berjasa memperkenalkan teori kontrak
sosialnya yang kemudian diikuti oleh dua penerusnya, Locke, dan Rosseau.
Walau pun di antara ketiganya ada juga perbedaan-perbedaan yang cukup
tajam. Berdasarkan pemikiran Hobbes dalam “The State of Nature and the
Basis of Obligation,” Hobbes memulai pendapatnya dengan memandang secara
negatif terhadap manusia. Hobbes berpendapat bahwa individu-individu
itu bersifat egois dan saling mencurigai satu sama lain. Karena
kebutuhan-kebutuhan mereka harus dipenuhi dalam wilayah dan dari
persediaan alamiah yang sama.
Mereka berada dalam situasi
persaingan. Individu satu merupakan pesaing bagi individu lainnya, dan
karena itu harus dimusuhi. Akhirnya, terpaksa masing-masing mengambil
tindakan untuk saling melindungi. Dari pandangan inilah kemudian muncul
catchword dari Hobbes yang sangat terkenal, yakni homo homini lupus
(manusia adalah serigala bagi manusia lain) dan bellum omnium contra
omnes (perang semua lawan semua).
Keadaan inilah yang akhirnya
memaksa individu-individu itu untuk mengambil tindakan bersama. Mereka
mengadakan perjanjian di antara mereka sendiri dan saling memberi janji
untuk mendirikan satu lembaga dengan wewenang mutlak untuk menata mereka
melalui undang-undang dan untuk memaksa semua agar taat terhadap
undang-undang itu. Mereka menyerahkan semua hak alamiahnya kepada
lembaga itu, kecuali tentu hak untuk melindungi diri. Hal ini disebabkan
hak itulah yang mendasarkan kerelaan mereka untuk tunduk terhadap
lembaga itu. Dari perjanjian bersama ini lahirlah negara.
Perjanjian
itu tidak diadakan antara individu-individu dengan negara (karena pada
waktu mereka mengadakan perjanjian, negara belum ada), tapi antara
individu-individu saja. Isi perjanjian itu adalah untuk manciptakan
negara. Jadi, negara bukanlah patner dalam perjanjian itu, tetapi hasil
buahnya. Hobbes menarik kesimpulan bahwa negara—karena tidak ikut
mengadakan perjanjian itu—tidak terikat olehnya dan tidak dapat juga
melanggarnya. Artinya, dalam perjanjian itu individu-individu
menyerahkan semua hak mereka kepada negara, tetapi negara tidak
mempunyai kewajiban apa-apa terhadap mereka. Begitu mereka selesai
menciptakan negara, negara akan berdiri tegak dengan segala hak, tetapi
tanpa kewajiban apa pun.
Negara yang telah terbentuk itu memiliki
hak menentukan nilai-nilai moralitas. Negara menentukan baik dan
buruknya suatu norma atau sistem nilai. Negara berhak memutuskan sistem
perkara yang dipersengketakan. Dalam hal ini negara merupakan hakim
tertinggi. Apa yang dianggap nilai-nilai kebenaran haruslah haruslah
sesuai dengan apa yang ditentukan negara. Hak atas pemilikan kekayaan
dapat di sita negara kapan pun bila negara menghendakinya. Kedekatan
pada negara akan berarti kemudahan memperoleh akses atas kekayaan.
Pengangkatan jabatan-jabatan strategis, baik dalam birokrasi sipil atau
militer sepernuhnya hak prerogative penguasa negara.
Negara juga
lembaga politik yang hanya mengenal hak, tapi minus kewajiban. Penguasa
diberi hak untuk melakukan apa saja demi kebaikan negara. Dengan
alat-alat kekerasan yang dilembagakan, negara berhak memaksa warganya
untuk patuh kepada aturan-aturan yang ditetapkannya. Bila menentang,
negara dapat menjatuhkan hukuman kepadanya. Penggunaan koersi dan
penggunaan ancaman kekerasan dibenarkan dalam menegakkan hukum.
Negara
versi Hobbes memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaannya tidak boleh
terbelah. Kekuasaan terbelah akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang
sipil atau perang agama dalam negara. Dengan logika yang sama, Hobbes
juga tidak setuju dengan demokrasi atau sejenis dewan rakyat. Sebab,
negara demokrasi menuntut adanya pluralism politik, termasuk dalam arti
adanya berbagai pusat-pusat kekuasaan. Kekuasaan negara menjadi tidak
solid dan padu. Adanya banyak pusat-pusat kekuasaan dalam negara inilah
yang dikhawatirkan Hobbes menjadi cikal bakal terjadinya konflik
kekuasaan. Sehingga menurutnya, Monarkhi absolute dengan hanya memiliki
seorang penguasa akan bisa tetap konsisten dengan kebijakan-kebijakan
yang ditetapkannya. Sedangkan bila negara dikuasai oleh sebuah dewan
besar kemungkinan kebijakan negara akan mudah berubah.
Locke
Jika
Hobbes berpandangan bahwa negara itu harus diatur oleh seorang penguasa
yang kuat dan diperbolehkan menggunakan segala cara untuk menuju
kehidupan masyarakat yang lebih baik, sebab menilai bahwa manusia pada
dasarnya adalah jahat dan tidak baik, maka perlu ada yang mengaturnya
dengan cara yang ”keras” pula. Namun Locke yang hidup setelah masa itu
berpandangan lain, dia berusaha membawa masyarakat dan negara kepada
pemikiran yang lebih baik dengan meninggalkan kesewenang-wewnangan dan
cara pemerintahan yang absolut (seperti abad kegelapan). Dia menilai
bahwa asal manusia (State of Nature) dan kehidupan itu adalah baik dan
tidak seperti yang dikatakan oleh Hobbes.
Sebelum Locke menulis
Two Treatises of Government kehidupan politik Inggris dan Perancis Abad
XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam konteks
sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan jawaban
terhadap kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan
perang-perang agama yang terjadi pada saat itu. Locke adalah penentang
gigih monarki absolut di negaranya, karena bertentangan dengan prinsip
civil society yang diyakininya.
Tentang kekuasaan, Locke menilai
penguasa bukan berasal dari Tuhan atau diwariskan turun-temurun,
melainkan kekuasaan merupakan produk perjanjian sosial antara warga
negara dengan penguasa negara sebab manusia dilahirkan dengan kesamaan
derajat. Pada kesimpulannya Locke menganggap bahwa kekuasaan absolut
adalah antitesis dari kebebasan.
Seperti pemikir sebelumnya
termasuk Hobbes, Locke pun membahas eksistensi negara dengan mendasari
pada keadaan alamiah manusia (state of nature). Banyak ilmuan lain saat
ini juga membandingkan Locke dengan Hobbes sebagai sebuah hubungan yang
anti-tesis, sebab konsep negara yang dikemukakan oleh Locke sangat
berbeda dengan Leviathannya Hobbes. Menurut Ahmad Suhelmi (2001), asal
muasal pemerintahan adalah suatu keadaan alamiah. Keadaan alamiah
menurut Locke merujuk pada keadaan di mana manusia hidup dalam
kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tidak ada rasa
takut dan penuh kesetaraan.
Locke berpendapat bahwa kebebasan
individu hanya dapat dijamin dengan suatu pemerintahan yang memiliki
kewenangan yang terbatas. Sebelum terbentuknya masyarakat dan
pemerintah, secara alamiah manusia berada dalam keadaan yang bebas sama
sekali dan berkedudukan sama (perfectly free and equals). Karena bebas
dan berkedudukan sama, tiada orang yang bermaksud merugikan kehidupan,
kebebasan, dan harta milik orang lain. Manusia bersifat rasional karena
dialah satu-satunya makhluk yang memiliki akal budi. Locke percaya akal
akan selalu membuat manusia berperilaku rasioanal dan tidak merugikan
manusia lain. Ini karena akal budi tidak lain adalah hukum alam yang
dikatakan Locke memiliki sifat-sifat ketuhanan atau Locke menyebut akal
sebagai “suara tuhan” (reason is the voice of god).
Tidak boleh
sesorang atau individu tertentu lebih tinggi dari pada individu yang
lain atau dikenal dengan keadaan sub-ordinasi, kecuali keadaan tersebut
bagi seorang penguasa dan pemimpin. Artinya tidak dimaknai bahwa keadaan
masyarakat itu memungkinkan dan membolehkan manusia untuk berbuat
sekehendak hatinya. Nilai-nilai moral yang diajarkan di antaranya bahwa
manusia sebagai individu tidak boleh saling membalas yang menghancurkan
dirinya dan orang lain, sebab keadaan alami memiliki sebuah hukum alam
untuk mengaturnya. Hukum alam menurut Locke bersifat normatif. Hukum ini
menyuruh orang bagaimana seharusnya ia bersikap, bukan bagaimana
sebenarnya ia bersikap. Sikap yang dikemukakan oleh Locke inilah yang
kemudian membuat ia lebih dikenal sebagai Bapak Hak Asasi Manusia (HAM)
dunia.
Dalam bukunya “Etika Politik”, Franz Magnis Suseno
mengatakan bahwa Locke dikenal sebagai pelopor HAM, sebab menurutnya hak
untuk hidup adalah sesuatu yang terpenting, dan manusia penting pula
mempertahankan hidupnya. Dari hak untuk hidup inilah kemudian ia
mengembangakan hak atas milik. Dengan demikian, pada dasarnya manusia
sudah mengenal hubungan-hubungan sosial, maka mungkin sekali untuk
menghindari perpecahan dan hal-hal yang memicu peperangan.
Pemikiran
Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai
belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan
berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat
kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar
ilmu politik modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari
pertanggungjawaban dengan menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung
jawab kepada Tuhan. Dengan demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang
pemerintahan pada “delegation”, pada penyerahan pemerintahan itu oleh
mereka yang diperintah.
Sebagaimana disebut di atas, menurut
Locke, negara didirikan juga untuk melindungi hak milik pribadi. Negara
didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol
pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap
menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak
milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik
tetapi juga kehidupan dan kebebasan. Locke menyebut hak-hak ini dengan
istilah hak-hak yang tidak asing dan negara justru didirikan justru
untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.
Dari penjelasan di atas,
Locke tampak sekali telah melakukan desakralisasi terhadap kekuasaan
politik. Ia menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat sekuler.
Artinya, kekuasaan bersifat duniawi dan sama sekali tidak berkaitan
dengan transendensi ketuhanan atau gereja. Selanjutnya Locke menegaskan
bahwa bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu kekuasaan politik adalah
untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan
sipil itu, cara apa pun boleh dilakukan oleh negara. Negara
diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan
tujuan lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan bersama. Hobbes dan
Locke, keduanya membatasi kekuasaan negara walaupun pembatasan Hobbes
tidak efektif. Sebaliknya, Locke mengembangkan konstitusi negara untuk
menjamin kekuasaan negara tidak melampaui batas yang wajar.
Konsekuensi Pemikiran Hobbes dan Locke terhadap Isu Toleransi dan Pluralism
Konsekuensi
pemikiran Hobbes dan Locke tentang individu berpengaruh pada bagaimana
mereka memandang isu toleransi dan pluralism. Berdasarkan penjabaran di
atas, asumsi Hobbes dan Locke tentang manusia sangat berbeda. Perbedaan
pandangan tersebut juga mempengaruhi cara pandang mereka tentang
toleransi agama dan isu pluralism.
Locke misalnya, karena
berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah pada dasarnya rasional dan
baik, maka ada universal values. Manusia pada dasarnya baik, ketika
manusia tidak toleran, itu karena manusia belum tercerahkan saja.
Manusia di mana-mana di dunia ini pada dasarnya baik. Sehingga ketika di
dunia ini terjadi intoleransi dan lain sebagainya, hal tersebut
disebabkan karena mereka belum tercerahkan (enlightenment).
Sehingga
kembali lagi pada based assumption keduanya tentang manusia. Seperti
Locke, pada dasarnya manusia adalah baik, ada universal value
(nilai-nilai universal) yang kita bisa secara serempak kita percaya dan
kita sepakati, karena kita pada dasarnya manusia itu baik dan rasional
seperti perdamaian (peace) dan keadilan (justice). Jadi peace dan
justice misalnya sangat kontekstual. Peace dan justice di suatu tempat
atau negara berbeda, seperti di Israel dan Palestina. Meskipun sama-sama
peace dan justice (dua ‘universal values’), namun dalam kondisi dan
konteks yang berbeda akan menimbulkan konflik, satu dan yang lain tidak
bisa dipertukarkan.
Selain itu juga pemaknaan manusia universal
(universal human) sendiri tidak ada, hanya ada di angan-angan kaum
liberal saja. Seperti Hobbes (proto liberal) yang mengasumsikan tidak
adanya universal human. Yang ada adalah kehidupan bersama walaupun
berbeda atau beragam budaya, suku, maupun agama. Sehingga menurut
Hobbesian, local identity tidak bertentangan dengan national identity.
Dalam konteks Indonesia, menurut Malik Gismar, Indonesia bukanlah nation
state, Indonesia sangat beragam maka harus dikelola dengan baik.
Sehingga pancasila seharusnya tidak hanya mudah disebutkan, tetapi juga
harus dipraktikkan.
Apa yang diasumsikan Hobbes tentang universal
human tersebut adalah apa yang tidak ditoleransi oleh Locke. Kebebasan
menurut Locke adalah nilai berharga, sehingga menurut pemikiran ini
eksistensi kehidupan manusia akan lenyap seiring lenyapnya kebabasan
dari diri manusia. Salah satu bentuk kebebasan yang harus dihargai
menurut Locke adalah kebabasan menganut agama dan keyakinan dalam civil
society. Dalam konteks inilah terletak relevansi pembahasan gagasan
toleransi agama dalam pemikiran Locke.
Gagasan Locke mengenai
toleransi agama sejalan dengan pandangannya tentang perjanjian
masyarakat dan wewenang kekuasaan negara. Yaitu, bahwa negara tidak
memiliki hak mencampuri persoalan keyakinan individual atau kehidupan
beragama seseorang. Agama merupakan keyakinan subjektif individu dan
hanya individu bersangkutan yang berhak mendefinisikan benar tidaknya
keyakinan yang dianutnya. Masalah agama menurut Locke adalah masalah
keyakinan pribadi yang tidak ada otoritas mana pun berhak menggugat
kebenarannya. Campur tangan negara terhadap persoalan keberagaman
individu bertentangan dengan hak-hak manusia yang paling dasar dan
melanggar asas kebebasan berkeyakinan.
Lalu, haruskah
pemerintah memiliki seluruh kekuasaan sebagaimana dipersaratkan oleh
Hobbes dalam rangka menjamin keamanan? Dapatkah keamanan (security)
dipastikan/dijamin dengan cara lain?
Dalam kondisi
tertentu, kekuasaan seperti yang dipersyaratkan Hobbes sangat penting.
Dalam konteks Indonesia misalnya dalam situasi di mana sejumlah golongan
terus berkonflik, serta aksi kekerasan terjadi secara terus menerus
dalam beragam bentuk, maka negara harus memonopoli kekerasan. Karena
dengan memonopoli kekerasan, menurut Hobbes ini akan menjadi syarat
pertama agar negara aman. Di mana negara harus memonopoli penggunaan
kekuasaan dan ancaman, seperti terjadinya premanisme dan sejumlah aksi
kekerasan yang dipimpin oleh kelompok tertentu karena persoalan beda
keyakinan dan lain sebagainya. Karena ketika aksi kekerasan apapun
bentuknya masih terjadi di mana-maa, maka berarti bahwa kekuasaan tidak
dimonopoli negara.
Selain itu, tentunya jika warga menyerahkan
haknya dan negara memonopoli kekerasan, maka negara harus memberi
jaminan. Dan ini yang menjadi kekhawatiran dari penerapan konsep
kekuasan Hobbes, dikhawatirkan negara tidak memberikan jaminan. Setelah
Leviathan menerima dan individu menyerahkan haknya untuk mempertahankan
negara, apa obligasi negara, melalui hukum yang dibangun dan sebagainya,
negara harus menjamin interaksi sosial itu terjadi, economic affair,
negara punya obligasi dan jaminan-jaminan lainnya, bukan sekadar
menangkap hak, tetapi juga penyerahan hak itu harus disertai dengan
jaminan hak.
Hal-hal yang dikhawatirkan atau penyimpangan dari
kekuasaan yang dikonsepkan Hobbes adalah seperti yang terjadi dalam
konteks Indonesia pada rezim Suharto, di mana obligasi negara banyak
tidak dipenuhi. Sedangkan dalam konsep Hobbes, menuntut obligasi besar
oleh negara. Sehingga dalam hal ini, tentunya Leviathan dan the
ruler-nya tidak bisa terpisah. Antara konsep Leviathan itu dan the
ruler-nya itu satu, berarti kalau ada penguasa tidak memahami bahwa
Leviathan sebagai penjaga keamanan, maka si penguasanya tidak masuk
dalam kategori si peguasa ini, tapi justru dia terintegrasikan.
Selain
itu, konsep Leviathan juga memiliki kekuatan memaksa. Apakah yang
memaksa itu presiden atau kah gabungan Presiden dan DPR. Maka gabungan
negara bukan secara keseluruhan oleh Presiden tapi juga ada di dalamnya
DPR, Jaksa Agung, dan sejumlah state apparatus (dalam konsep Montequi)
untuk menertibkan negara. Kemudian Civil society, dalam konteks jamannya
Thomas Hobbes berada di bawah gereja, yang waktu itu justeru gereja dan
negara bukan seseuatu yang terpisah. Jaman itu civil society bagian
dari negara, lewat gereja. Leviathan, tidak termasuk dengan gereja. Maka
diisyaratkan saja, orangnya harus Leviathan.
Kekhawatiran dari
konsep kekuasaan Hobbes juga jika menyerahkan total ke negara, maka
dikhawatirkan akan menimbulkan kepemimpinan dictator, contohnya semua
keputusan ada di negara, seharusnya kekuasaan itu diserahkan ke rakyat
melalui perwakilannya di DPR, maka wajar kalau DPR seharusnya meminta
hak interpelasi kenapa pemerintah menurunkan TNI hanya untuk menghalau
massa demo rencana kenaikan BBM. Hal ini karena rakyat tidak diberi
kesempatan. Kasus BBM, dikhawatirkan seperti itu jika semuaya diserahkan
kepada negara. Dikhawatirkan memberangus hak-hak warga sipil. Meskipun
awalnya mau melindungi sipil, namun kecenderungannya malah mengekang
hak-haknya.
Karena kekhawatiran kemungkinan munculnya negara
totaliter, maka cara lain adalah dengan adanya pembatasan kekuasaan
negara. Seperti menurut Locke, kekuasaan negara harus dibatasi dengan
cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga.
Hal ini menurut Locke dilakukan dengan memisahkan politik ke dalam tiga
bentuk: kekuasaan eksekutif (excecutive power), kekuasaan legislative
(legislative power) dan kekuasaan federasi (federative power). Kekuasaan
eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang sedangkan
kekuasaan legislative merupakan lembaga perumus undang-undang dan
peraturan-peraturan hukum fundamental negara lainnya. Menurut Locke
kekuasaan legislative adalah manifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat
pada negara. Kekuasaan ini dijalankan oleh parlemen yang merupakan
pengejawantahan atau bentuk representasi semua kelas sosial masyarakat
baik kaum bangsawan, orang-orang kaya maupun representasi semua kelas
sosial itu, yaitu House of Commons dan House of Lord. Kekuatan suara di
parlemen itu menurut Locke ditentukan oleh prinsip mayoritas.
Sehingga
dalam konteks menjamin keamanan, cara lainnya adalah dengan penegakan
hukum yang seadil-adilnya. Kalau memang terbukti melakukan tindak
kriminal, maka harus dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Jadi cara lainnya adalah penegakan hukum, di mana hukum berupa
undang-undang dan sejumlah kebijakan lainnya, berdasarkan inisiasi dari
kekuatan suara di parlemen itu menurut Locke ditentukan oleh prinsip
mayoritas. Tetapi kelemahannya dalam praktiknya adalah suara minoritas
dalam kasus tertentu seringkali terabaikan. Contohnya seperti maraknya
peraturan daerah (Perda) yang diskriminatif gender, meskipun disahkan
berdasarkan kesepakatan suara di parlemen, namun suara parlemen itu
sendiri tidak seimbang antara suara laki-laki parlemen dan perempuan di
parlemen. Pada umumnya suara laki-laki lebih mendominasi, apalagi
laki-laki di parlemen sendiri tidak memiliki perspektif gender. Sehingga
dengan mudah mengesahkan Perda yang diskriminatif gender yang akan
berdampak pada misalnya pengekangan terhadap perempuan, fitnah terhadap
perempuan, serta aksi masa dalam kondisi tertentu karena pengaruh
penerapan Perda yang tidak sensitive gender.
mengurai kehidupan mulai dari istilah gender
-
sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki mengomentari seorang
perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan
oleh lelaki...
11 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
terimakasih sudah membaca, mari kita berbagi pengalaman hidup :)