Mungkin kita masih ingat tentang bagaimana gencarnya pemerintah
Indonesia mempromosikan Pulau Komodo sebagai salah satu dari Tujuh
Keajaiban Dunia Baru atau New7Wonders. Terlepas dari sejumlah pro kontra
dan konflik di dalamnya, walau bagaimana pun kemudian pada tanggal 11
November 2011 Pulau Komodo berhasil masuk dalam urutan ketujuh
New7Wonders. Selain Pulau Komodo, yang kemudian menarik bagi saya adalah
Jeju Island (Pulau Jeju) di Korea Selatan yang juga masuk salah satu
Tujuh Keajaiban Dunia Baru.
Ketika berbulan-bulan kita tengah
gencar-gencarnya promosi vote Komodo, pemerintah Korea Selatan (Korsel)
tidak hanya memanfaatkan promosi melalui iklan-iklan di televisi dan
sejumlah media lainnya, namun juga memanfaatkan drama Korea-nya. Yang
masih saya ingat sekali adalah salah satu drama Korea berjudul “Lie to
Me”. Meskipun drama diputar di televisi Korea, namun para pecinta drama
Korea seperti saya misalnya, bisa download via youtube secara gratis
tiap episodenya, selain youtube juga banyak sekali situs-situs di mana
kita bisa update drama terbaru Korea yang sekarang tengah tayang di
televisi Korea. “Lie To Me” sebenarnya sebuah tontonan dengan konflik
yang sangat biasa menjadi menarik untuk disaksikan.
Didukung
kemampuan akting pemeran utamanya yang diceritakan sebagai pegawai
negeri di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Korea. Meskipun jelas ini
hanya sebuah komedi romantis, namun hal menarik lainnya, di serial ini
juga mengangkat keindahan pulau Jeju sebagai salah satu tempat
pariwisata di Korea. Serial tersebut sepertinya dibuat khusus
mempromosikan pulau Jeju yang kini menjadi salah satu Tujuh Keajaiban
Baru Dunia. Bahkan banyak sekali adegan-adegan seperti dalam kisah nyata
di mana pemeran utama mempromosikan pulau Jeju dengan mempresentasikan
dan mengantarkan para pejabat dan turis-turis local maupun internasional
keliling pulau Jeju dan menikmati pemadangan menarik, mulai dari
hotel-hotel mewah dan unik yang ada di sekitarnya hingga puncak
tertinggi di Korea Selatan, dan pantai-pantai indahnya.
Budaya
Korea, utamanya yang disosialisasikan melalui industri hiburannya, telah
menarik minat masyarakat dunia. “Lie to Mie” hanyalah satu dari sekian
banyaknya drama Korea yang menurut saya cukup berkualitas. Jika
dibandingkan dengan sinetron Indonesia, siapapun penikmat drama Korea
pasti akan sama seperti saya betapa sinetron Indonesia masih sangat jauh
dari berkualitas. Korea memiliki kelebihan dan keunikan yang sulit bisa
ditemukan di sinetron Indonesia. Mulai dari setting ceritanya, acting
pemainnya, kostumnya, hingga jumlah episodenya yang tidak begitu pajang
seperti sinetron Indonesia.
Nilai yang juga tidak pernah ketinggalan
dari drama-drama Korea adalah nilai edukasi (pendidikan), seperti pada
penghormatan dan pelestarian budaya leluhur. Bagaimana menghormati orang
tua atau yang lebih tua, menjaga dan melestarikan makanan tradisional
seperti sup Kimchi atau kue beras untuk perayaan tertentu. Tidak heran
kemudian budaya Korea melanda dunia khususnya Indonesia, atau yang
popular disebut Korean Wave (gelombang Korea). Seolah tak ada pilihan,
penetrasi dasyat berbagai produk budaya Korea itu mulai dari film, lagu,
fashion, style, hingga gaya hidup, harus ditelan mentah.
Secara
jujur kita harus mengakui bahwa gelombang budaya Korea ini memang sangat
luar biasa dahsyat. Dunia mengakuinya. Narasi sukses penetrasi budaya
ini, tentu berimbas positif bagi citra Korea. Kesuksesan mengekspor
budaya ini, pasti tidak lahir secara tiba-tiba. Korea berhasil
menciptakan gelombang budaya ini berkat kebijakan budaya yang sepenuhnya
mendukung industri kreatif negara. Industri film misalnya, dikelola dan
dibuat untuk memperkenalkan budaya Korea ke dunia luar.
Pajak rendah
untuk film lokal diberlakukan, bahkan diberikan bantuan dana khusus
untuk produksi film yang mengusung budaya Korea. Bahkan menurut Kepala
Pendidikan Indonesian and Korean Cultural Studies (IKCS), Chang Ik Hwan
yang dilansir Republika Online (27/12), mulai 20 tahun silam Pemerintah
Korea memberikan beasiswa besar-besaran kepada artis dan seniman untuk
belajar di Eropa dan Amerika. Kemudian artis-artis dipoles sedemikian
rupa sampai benar-benar menjadi artis ‘’jadi’’ untuk kemudian
diluncurkan. Kini, Korea memetik hasil dari keseriusan mereka menggarap
industri kreatifnya.
Sementara dunia hiburan kita, termasuk
program televisi kita masih jauh dari berkualitas. Belum lagi sejumlah
pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang penyiaran. Tidak heran
kemudian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sering mengeluarkan surat
peringatan pada sejumlah proram televise termasuk sinetron Belum lama
ini, seperti tahun 2009, KPI pernah menetapkan ada enam sinetron
bermasalah yang ditayangkan pada Januari 2009. Enam sinetron itu
melanggar Undang-Undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 tentang Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, begitu pun yang terjadi
saat ini, pelanggaran-pelanggaran terus dilakukan sejumlah program di
televisi. Selain sinetron sejumlah program talkshow, infotaimen, maupun
reality show seperti di transtv misalnya yang juga tidak luput dari
surat peringatan dari KPI baik programnya maupun actor dan aktrisnya. Di
sisi lain, dunia pertelevisian Indonesia sendiri sampai saat ini masih
belum beranjak dari sejumlah persoalan di bidang penyiaran terutama
kebijakan-kebjikannya, seperti yang masih hangat terkait kepemilikan
media (media ownership) yang kini telah dikuasai oleh segelintir orang
(pengusaha) yang secara tidak langsung akan berdampak pada isi media.
Padahal
sampai hari ini, kita masih masih prihatin terhadap berbagai tayangan
televisi kita. Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2002, dalam menjalankan fungsinya KPI
mempunyai wewenang, menetapkan standar program siaran, menyusun
peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran, serta mengawasi
pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar
program siaran. Pun, masih saja ada tayangan "bermasalah" yang lolos
dari monitoring KPI.
Selain masih kerepotan dengan isi (content)
media dari sejumlah program televisi, dunia pertelevisian juga masih
harus berhadapan dengan isu kepemilikan media (media ownership) yang
secara tidak langsung akan berdampak pada kebijakan isi media.
Sementara, selama ini tidak ada tafsir tunggal atas penerapan kedua
pasal 18 (1) dan pasal 34 (4) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran.
Kondisi ini menyebabkan dunia penyiaran Indonesia bergeser dari semangat
awalnya untuk menerapkan keberagaman kepemilikan (diversity of
ownerships) dan keberagaman isi siaran (diversity of contents). Kemudian
pasal 18 (1) UU Penyiaran menyatakan kepemilikian dan penguasaan
Lembaga Peyiaran Swasta oleh satu wilayah siaran atau di beberapa
wilayah siaran adalah dibatasi. Sedangkan Pasal 34 ayat (4) dan
penjelasannya, menegaskan bahwa izin Penyelenggaraan dan Penyiaran
dilarang dipindahtangankan dengan cara dijual, dialihkan kepada badan
hukum lain atau perseorangan lain di tingkat manapun.
Tulisan ini
bermaksud membahas mengenai kedua Undang-Undang penyiaran tersebut
terkait isu kepemilikan media (media ownership) serta dampak terhadap
kepemilikan media terhadap kebijakan isi (contents) media.
Media Dikuasai Segelintir Orang
Dalam
pendekatan ekonomi politik, kepemilikan media (media ownership)
mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media dan
efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat. Menurut Anthonny Giddens,
sebagaimana dikutip Werner A. Meier, para pemilik media merupakan pihak
yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam demokrasi. Golding dan
Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol
media sebagai sebuah hubungan tidak langsung. Bahkan pemilik media,
menurut Meier, dapat memainkan peranan yang signifikan dalam melakukan
legitimasi terhadap ketidaksetaraan pendapatan (wealth), kekuasaan
(power) dan privilege.
Hal mendasar yang harus dipahami dari
struktur media adalah pertanyaan mengenai kepemilikan dan bagaimana
kekuasaan dari pemilik digunakan. Pendapat yang mengatakan bahwa
pemiliklah yang akhirnya menentukan sifat dari media tidak hanya teori
Marxist, namun sebenarnya aksiom pemikiran yang sama juga disimpulkan
dalam Altschull (1984): “Isi dari media selalu merefleksikan kepentingan
dari orang-orang yang membiayai media”. Tidak heran, ada beberapa
bentuk yang berbeda dari kepemilikan media yang berbeda, dan bagaimana
kekuasaan dari pemilik digunakan dengan cara yang berbeda pula.”
Termasuk
di dalam pernyataan Altshull, bahwa tidak hanya kepemilikan yang
diperhitungkan, ada pertanyaan yang lebih meluas mengenai siapa yang
sebenarnya membeli produk dari media. Walaupun ada media yang pemiliknya
membayar secara personal untuk memperoleh hak istimewa dalam
mempengaruhi isi, kebanyakan media hanya menginginkan untung dan
kebanyakan media dibiayai dari sumber yang berbeda. Di sini termasuk
jangkauan dari private investor (di antara perusahaan media mereka),
advertisers, consumers, publik yang beraneka macam, para pembeli
subsidi, dan pemerintah.
Kebanyakan dari media mengacu kepada satu
dari tiga kategori dari kepemilikan; perusahaan komersial, badan usaha
publik non-profit, dan public sector. Walaupun begitu, setiap kategori
dari ketiganya adalah bagian yang penting. Untuk kepemilikan media ini
akan menjadi sangat relevan apakah perusahaan tersebut “public” atau
“private”, rangkaian media yang luas atau konglomerat, atau kecil yang
berdiri sendiri. Inilah yang juga menjadi masalah tidaknya, perusahaan
media dimiliki oleh media tycoon atau mogul, yang dilambangkan sebagai
seseorang yang ingin menggunakan kepentingan pribadi dalam kebijakan
editorial (Turnstall dan Palmer,1991). Badan usaha non-profit dapat
dipercaya netral, dibentuk untuk melindungi kebebasan dalam beroperasi
atau badan-badan usaha dengan dengan budaya yang spesial atau untuk
kepentingan sosial semacam partai-partai politik, masjid, dan lainnya.
Kepemilikan publik juga datang dengan bentuk yang beraneka ragam,
menjangkau secara langsung administrasi untuk memperluas dan membuat
beraneka ragam konstruksi untuk memaksimalkan kebebasan pengambilan
keputusan mengenai isi.
Sejak abad ke 20, kepentingan kapital
telah menentukan arah tumbuhnya media, bahkan besar-kuatnya media.
Pemilik media adalah para “businessman”; mereka merupakan pemilik modal
yang mendirikan atau turut mendirikan usaha media dan berupaya untuk
mencari keuntungan ekonomi melalui usahanya itu. Struktur organisasi
media menjadi terkait dengan sistem ekonomi kapitalis yang membawa
tujuan bisnis kompetitif dari pemilik industri media. Setiap media
menghitung laba yang dikeluarkan dari tiap kerja pemberitaannya. Maka,
item-item pemberitaan pun diseleksi dengan menggunakan asumsi riset
pasar. Kerja pemberitaan bukan lagi dihitung hanya berdasar ongkos
operasional liputan.
Dalam menjalankan usahanya, media atau
pemilik media bersinggungan dengan kekuasaan. Para pemilik media kerap
ditemukan sebagai elite-elite bisnis industri yang berhubungan erat
dengan para elite pemegang kekuasaan. Bisnis mereka kerap terkait dengan
kebijakan elite kekuasaan. Hal itu mengakibatkan “politik dagang” para
pemilik media dituding ikut melestarikan status quo kekuasaan para tokoh
politik yang menjadi rekanan mereka. Inilah pentingnya mengapa isu
kepemilikan media menjadi isu yang cukup mengkhawatirkan, karena jika
memang demikian, maka kekuasaan pemilik media, meski secara etik
dibatasi dan secara normatif disangkal, bukan saja memberi pengaruh pada
konten media, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat
selaku audience. Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi; muatannya
kerap memperhitungkan aspek pasar dan politik. Produk pemberitaan
menjadi margin komoditas laba ekonomi sekaligus margin kepentingan
politik. Hal itu, pada banyak kasus, telah mereduksi kemandirian
institusi media. Akibatnya, terjadi kasus-kasus dimana liputan media
harus berhadapan dengan kepentingan politik dan bisnis. Tema-tema
liputan disesuaikan dengan orientasi tersebut.
Dampak lainnya
ialah perubahan arah pemberitaan. Area pemberitaan “hard journalism”
berubah jadi “soft journalism”. Kisah-kisah soft news dan human interest
menjadi buruan wartawan. Liputan politik, seperti korupsi dan
manipulasi serta nepotisme, menjadi fleksibel dan adaptabel.
Berita-berita tersebut tidak segera atau bahkan terkadang tidak dapat
disiarkan. Tapi, kerap dihambat, difilter, diatur, atau dikontrol.
Kepemilikan media itu bersifat kapitalistik. Analisis kepemilikan media
yang bersifat kapitalistik akan dapat dijumpai jika berada pada satu
negara yang menganut sistem demokrasi, dimana campur tangan pemerintah
sangat sedikit dalam mengatur media dan pasar memegang kendali dalam
semangat kapitalisme.
Para peneliti, baik liberal maupun Marxis,
sama-sama sepakat bahwa analisis kepemilikan media berhubungan erat pada
kapitalisme. Kepemilikan media juga menjadi sebuah term yang selalu
dihubungkan dengan konglomerasi dan monopoli media. Untuk melihat lebih
dekat bentuk kepemilikan media, ini menyarankan untuk membedakan media
menjadi media komunitas, media publik dan media privat. Media komunitas
-misalnya televisi lokal, blog, electronic magazine atau newsletter-
merupakan media yang diorganisir secara non-profit dan berbasiskan pada
kelompok kepentingan tertentu yang spesifik (seperti kelompok perempuan,
kelompok etnik, kelompok pelajar, dan lain-lain). Media komunitas
mencoba untuk mengakomodir dan menarik audience secara terbatas dan
dalam ruang atau tempat yang juga terbatas, seperti di kampus-kampus
atau di kota tertentu.
Operasionalisasi media dihidupi oleh sejumlah
kecil iklan dan sponsorship sehingga media komunitas cenderung
independen dari berbagai kepentingan. Kepemlikan media komunitas berada
di tangan “komunitas” bukan di tangan pemilik modal tertentu atau di
tangan satu-dua orang elit pemilik.
Teori liberal berasumsi bahwa
kepemilikan media secara efektif harus terpisah dari kontrol dan
editorial decisions. Keputusan yang lebih besar mengenai sumber daya,
strategi bisnis, dan kepentingan dapat diambil oleh pemilik atau para
pemegang faham, sedangkan editor dan pengambil keputusan yang lain
dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan yang profesional mengenai isi
media berdasarkan keahlian mereka. Dalam beberapa situasi dan di
beberapa negara ada lembaga penengah yang sudah ditetapkan (semacam UU
editorial) yang dibuat untuk menjaga integritas dari kebijakan editorial
dan kebebasan jurnalis. Sebaliknya, professionalism, kode etik, public
reputation (sejak media selalu dalam pengawasan publik), dan common
sense mengharuskan untuk memperhatikan permasalahan yang tampak dan
tidak pantas untuk dipegaruhi oleh pemilik.
Eksistensi dari check
and balance tidak dapat, walaupun begitu, mengaburkan beberapa fakta
kehidupan operasi media. Salah satunya adalah fakta bahwa, media
komersial, harus menghasilkan keuntungan untuk tetap dapat bertahan
hidup, dan hal ini sering melibatkan pengambilan keputusan yang langsung
mempengaruhi isi (seperti menghemat biaya, penggantian staf, selidiki
atau tidak, dan operasi gabungan). Pada dasarnya pemilik media tidak
akan jauh dari pemikiran ekonomi yang berimbang. Ini juga merupakan
fakta bahwa kebanyakan private media memiliki kepentingan pribadi yang
tetap dalam sistem kapitalis dan cenderung memberikan dukungan yang
nyata kepada partai politik defenders-conservative. Misalnya, besar
sekali dukungan koran-koran di Amerika yang memuat berita calon presiden
dari partai Republik selama bertahun-tahun (Gaziano 1989), dan fenomena
yang serupa juga terjadi di beberapa negara di Eropa, mungkin merupakan
akibat dari perubahan dan kebijakan alami yang mungkin tidak sama.
Banyak
cara nyata yang sedikit banyak sama dalam kecenderungan yang berlaku,
tidak lain adalah tekanan dari para pengiklan. Media yang dimiliki oleh
publik (public sector) berpikiran netral dan seimbang terhadap tekanan
semacam ini. Teori Kebijakan Liberal Konvesional menyatakan bahwa cara
terbaik atau satu-satunya jalan keluar dari permasalahan semacam ini
adalah terletak pada keberagaman dari kepemilikan pribadi. Situasi ideal
bila salah satu perusahaan baik kecil atau menengah berkompetisi dengan
yang lain untuk menarik perhatian publik dengan menawarkan secara luas
ide-ide, informasi dan berbagai tipe budaya. Kekuatan yang dimiliki oleh
para pemilik media tidak seburuk kelihatan namun dapat menjadi buruk
bila konsentrasi dan penggunaannya secara selektif untuk membatasi atau
mencegah akses. Posisi ini cenderung merendahkan tekanan fundamental di
antara ukuran kriteria pasar, keuntungan, dan kriteria kualitas dan
pengaruh. Mereka tidak akan mudah untuk saling dipertemukan. Perhatian
utama dari isi terpusat pada debat teoritikal.
Konteks Indonesia
Media
privat merupakan media yang dikelola oleh satu atau segelintir orang
tertentu yang biasanya merupakan pemilik modal. Tujuan media ini sangat
jelas, yakni mencari profit dalam bentuk keuntungan ekonomi. Karena itu
operasionalisasi media privat sangat bergantung pada iklan, sponsorship
dan berbagai aktivitas komersial lain. Dengan kata lain, media privat
inilah yang sering disebut sebagai “media konglomerat” yang dikelola
secara kapitalistik.
Dalam konteks Indonesia, terutama sejak era
reformasi bergulir, media privat tumbuh dengan sangat cepat dan subur.
Berbeda dengan era Orde Baru ketika di mana media masih sangat dikontrol
oleh pemerintah baik dari produksi maupun distribusi media. Kepemilikan
media dengan model media privat atau dengan kata lain media dimiliki
oleh satu atau segelintir orang pemilik modal menumbuhkan ekses kepada
konglomerasi dan monopoli media. Di Indonesia beberapa contoh
konglomerasi dan monopoli tersebut dapat dilihat pada kepemilikan Jawa
Post Grup, MNC Grup, Media Grup, Bakri Grup, Trans Media Grup, Gramedia
Grup dan Femina Grup. Masing-masing memiliki lebih dari satu media dan
bentuknya sangat beragam, misalnya Media Grup memiliki jaringan televisi
(Metro TV) sekaligus koran (Media Indonesia); Jawa Post Grup memiliki
koran, tabloid dan majalah.
Pada dasarnya masalah kepemilikan
media dengan menggunakan model media privat sudah mendapat batasan dari
pemerintah melalui regulasi yang mengaturnya, yakni melalui
Undang-Undang Penyiaran. Dalam Undang-Undang Penyiaran misalnya
dikatakan bahwa kepemilikan media harus berjaringan atau bisa
menggunakan sistem kepemilikan silang (cross ownership). UU Penyiaran
Pasal 16 ayat 2 mengatakan; “Kepemilikan silang antara lembaga penyiaran
swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio, dan lembaga
penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi; antara
lembaga penyiaran swasta dengan perusahaan media cetak; dan antara
lembaga penyiaran swasta dengan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran
lainnya; baik langsung maupun tidak langsung, dilarang.”
Namun UU
yang mengatur cross ownership ini ditentang bahkan mendapat penolakan
keras dari pemilik media dan praktisi. Mereka bergabung dalam berbagai
organisasi, di antaranya Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia (ATVSI),
Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), serta
Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI). Dasar dari penolakan
terhadap larangan cross ownership ini dilakukan atas nama kebebasan
pers, revolusi teknologi informasi dan wacana demokrasi yang sedang
dibangun Indonesia. Untuk komunikasi massa, permasalahan utama adalah
selalu berkaitan dengan keputusan akhir untuk mempublikasikan.
Sampai
saat ini yang terjadi dalam prakteknya, satu orang atau satu badan
hukum boleh memiliki berapapun lembaga penyiaran swasta di satu atau
beberapa wilayah siaran. Seperti MNC Group (sebelumnya disebut TPI) dan
GlobalTV, selain jejaring stasiun televise likal. Demikian juga
VisiMedia Group yang menguasai dua frekuensi lewat TVOne dan ANTV. Juga
TransCorp yang punya Trans7 (sebelumnya TV7) dan Transtv. Pendeknya,
telah terjadi pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran yang luar biasa,
baik vertical maupun horizontal. Ini tentu bertentangan dengan semangat
demokratisasi penyiaran dan bertentangan dengan bunyi pasal 18 (1) UU
Penyiaran 2002.
Selain itu seakan sudah lazim terjadi sekarang
ini, merger atau akuisisi lembaga penyiaran swasta yang diikuti dengan
pengambilalihan frekuensi siaran. Padahal, UU Penyiaran sudah jelas
menegaskan bahwa bahwa frekuensi adalah sumber daya alam milik negara
yang mengusai negara dan seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk
kepentingan masyarakat. Yang terjadi saat ini, berdasarkan sejumlah
pemberitaan, para pemiliki stasiun televise berkilah bahwa merger
terjadi di tingkat perusahaan induk (holding companies), sehingga sama
sekali tidak terjadi perpindahan kepemilikan frekuensi.
Padahal,
semua ini jelas tanpa frekuensi penyiaran yang dikuasainya, lembaga
penyiaran swasta nyaris tidak mempunyai nilai apapun. Karena itu, amat
sangat tidak masuk akal, jika pemilik SCTV bersedia mengakuisisi
Indosiar semata-mata karna programnya. Jelas ada motif penguasaan
frekuensi dari strategi eskpansi para pemiliki stasiun televise ini.
Sementara pihak pemerintah dan DPR masih berkilah bahwa sudah ada PP
Nomor 50 Tahun 2005 yang mengatur soal kepemilikan lembaga penyiaran
lebih dari satu, sebagai penafsiran atas pasal 18 dan pasal 34 UU
Penyiaran. Sehingga DPR sendiri menurut sejumlah media, memandang bahwa
dalam pasal tersebut tidak memerlukan tafsir pertama dan kedua.
Padahal
yang menjadi masalah justru menegasikan ketentuan UU Penyiaran.
Pemerintah bersikeras itulah tafsir yang benar atau UU itu, meski jelas
bertolak belakang dengan ketentuan di atasnya. Dalam situasi
ketidakpastian hukum macam ini, banyak sekali pihak yang mencoba mengail
keuntungan dari suasana status quo yang transisional ini. Di mana
kepemilikan saham media bisa tersebar di sejumlah tangan pemodal yang
sangat mungkin memiliki bisnis inti di wilayah lain. Para pemilik media
ini lazim mendirikan, membeli atau menanam saham di perusahaan media
semata-mata atas alasan keuntungan finansial.
Dalam konteks ini,
secara tidak langsung akan berpengaruh pada keberagaman dan kualitas isi
media. Inilah pentingnya mengapa isu kepemilikan media menjadi isu yang
cukup mengkhawatirkan, karena jika memang demikian, maka kekuasaan
pemilik media, meski secara etik dibatasi dan secara normatif disangkal,
bukan saja memberi pengaruh pada konten media, namun juga memberikan
implikasi logis kepada masyarakat selaku audience. Pemberitaan media
menjadi tidak bebas lagi; muatannya kerap memperhitungkan aspek pasar
dan politik. Produk pemberitaan menjadi margin komoditas laba ekonomi
sekaligus margin kepentingan politik. Hal itu, pada banyak kasus, telah
mereduksi kemandirian institusi media. Akibatnya, terjadi kasus-kasus
dimana liputan media harus berhadapan dengan kepentingan politik dan
bisnis. Tema-tema liputan disesuaikan dengan orientasi tersebut.
Sehingga sangat bisa dipahami bahwa segenap gagasan tentang media
sebagai ’agen pencerahan’ tidak pernah dipertimbangkan secara serius.
Sebagaimana digambarkan Herman tentang sistem pertelevisian di AS: ’’Tak
ada ruang bagi para manajer yang memiliki tanggungjawab sosial dalam
sebuah sistem yang matang, dan di AS seluruh jaringan televisi secara
faktual kini dikuasai oleh para pemilik perusahaan yang sepenuhnya
digerakkan oleh pasar’’ (1993, hal. 181).
Dengan segenap
karakteristik itu, pilihan untuk mengembangkan swastanisasi dan
liberalisasi pertelevisian di sebuah negara akan memiliki implikasi
serius. Sebagaimana dikatakan Golding dan Murdock (1974, hal. 228),
dalam sebuah sistem komersial, segenap proses pengumpulan dan pemrosesan
informasi yang dijalani akan memproduksi sebuah artifak budaya yang
melegitimasi konsensus kelas dominan. Stasiun televisi komersial tidak
apat diharapkan bersikap kritis terhadap kebijakan yang mendorong laju
ekspansi perusahaan-perusahaan transnasional, misalnya, bukan karena
tidak ada jurnalis profesional dengan gagasan-gagasan tercerahkan yang
bekerja di divisi pemberitaan stasiun tersebut, atau bahkan karena
divisi pemberitaan ditekan oleh para pemasang iklan, tapi bisa juga
karena alasan yang lebih mendasar: secara kolektif, terinternalisasi
gagasan di antara para pengelola dan pekerja media bahwa bersikap kritis
terhadap kecenderungan-kecenderungan utama dalam sistem kapitalistik
adalah sesuatu yang bertentangan dengan kodrat media komersial itu
sendiri. Peningkatan kompetisi akan mempersulit laju pengembalian modal,
yang dengan sendirinya akan mendorong perusahaan media untuk
memfokuskan perhatian mereka pada upaya memperbanyak penonton yang pada
gilirannya akan meningkatkan jumlah iklan. Dalam kondisi ini, berbagai
pertimbangan tentang potensi positif media untuk mendidik dan
mencerahkan masyarakat akan terpinggirkan. Manajemen yang gagal
merespons peluang pasar dan berada di bawah tekanan pemilik dan mungkin
pula ditendang keluar oleh proses internal.
Belum lagi
pertimbangan tingginya rating (minat masyarakat untuk menonton) pada
segmentasi tertentu, televisi rela menghilangkan dua fungsi yang lain
sebagai informatif dan edukatif. Indonesia, terutama dengan dikuasainya
industry televise oleh segelintir orang menyebabkan sulit terwujudnya
fungsi pelayanan informasi yang sehat, salah satunya seperti yang
tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu
Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of
Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). Pelayanan informasi yang
sehat berdasarkan Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah
tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis
program maupun isi program, yang salah satunya disebabkan
ketidakberagaman pemilik media. Yang juga akan berbeda dengan Diversity
of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) adalah jaminan bahwa
kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan
dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Karena prinsip
Diversity of Ownership juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara
pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Sumber:
Ade
Armando, 2011. Televisi Jakarta diatas Indonesia, kisah Kegagalan
Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia. Yogyakarta : Bentang.
Sandi
Suwardi Hasan, 2011. Pengantar Cultural Studies, Sejarah, Pendekatan
Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut. Yoyakarta :
Ar-Ruzz Media.
Kompas.com
mengurai kehidupan mulai dari istilah gender
-
sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki mengomentari seorang
perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan
oleh lelaki...
11 tahun yang lalu