...Proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif,
tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi
kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori
tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan dan pembahasan suatu
kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi
sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus
menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan
peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya...(Komnas Perempuan, 2012)
Saat
ini perbincangan publik tengah diramaikan dengan pro dan kontra
larangan perempuan yang ngangkang saat di sepeda motor. Pro kontra
tersebut mengemuka setelah Walikota Lhokseumawe, Suaydi Yahya menyatakan
berencana mengeluarkan peraturan larangan tentang perempuan ngangkang
ketika naik sepeda motor. Sontak pernyataan ini menjadi pembicaraan
hangat yang terus bergulir di masyarakat, terutama di social media.
Seperti diketahui umum, sebelumnya Aceh juga memberlakukan larangan
perempuan memakai celana jeans.
Suaydi menilai bahwa, perempuan
duduk ngangkang di atas sepeda motor dinilai tidak sesuai dengan Syariat
Islam dan adat istiadat setempat. Larangan duduk ngangkang tersebut
hanya bagi perempuan. Nantinya, penumpang yang duduk di belakang juga
dilarang memakai jeans karena pakaian seperti ini dinilai tak sesuai
syariat Islam. Dengan dalih tambahan untuk meneruskan budaya dalam
masyarakat yang hampir hilang, Suaydi begitu yakin dan memastikan akan
menetapkan aturan tersebut. Bahkan ia juga akan segera menghimbau
masyarakat di desa-desa. Namun seperti dikutip sejumlah media massa,
kendati dia mengaku belum memastikan bentuk aturan yang akan
diberlakukan tersebut, namun sejumlah pihak telah mengeluarkan
argumentasinya terkait pelarangan yang ditujukan pada perempuan ini.
Yang cukup berbeda, kali ini bukan hanya Komisi Nasional Anti-Kekerasan
Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah aktifis gerakan perempuan yang
tidak sungkan menyatakan keberatan dan larangannya terhadap rencana
pemberlakuan tersebut, namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turut
mengeluarkan argumen yang intinya bias memberatkan rencana pemberlakuan
aturan tersebut.
Buruknya Kualitas Pendidikan
Komnas
Perempuan menilai larangan perempuan duduk ngangkang di sepeda motor,
adalah peraturan sia-sia. Selain tidak perlu diatur, hal tersebut
dianggap mengada-ada dan bermuatan politis. Ketua Gugus Kerja Perempuan
dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan, Husein Muhammad
seperti dikutip Okezone.com pada Rabu (2/1/2013) , menilai kebijakan
Pemkot Lhokseumawe tersebut menandakan buruknya kualitas pendidikan.
Menurutnya, masih banyak hal yang perlu diperhatikan, namun para
pemegang kebijakan justru lebih mengurusi hal-hal sepele. Seperti
masalah pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, itu yang
menurutnya semestinya menjadi perhatian. Kebijakan juga semestinya
dibuat bukan untuk mengatur individu atau moral personal melainkan
publik secara umum.
Kebijakan yang akan segera diberlakukan di
Lhokseumawe itu , dinilainya sebagai peraturan yang pertama kali ada di
dunia. Sebab menurutnya, negara-negara Islam pun tidak memberlakukan
peraturan itu. Tidak ada negara yang memberlakukan aturan seperti di
Aceh, bahkan negara seperti Mesir dan Pakistan juga tidak
memberlakukannya. Komnas Perempuan juga akan melayangkan surat ke
sejumlah instansi terkait mengenai peraturan kontroversial itu.
Syariat Islam Tidak Mengatur Perempuan Ngangkang
Alasan
tidak sesuai syari’at seperti diungkapkan Suaydi, segera dibahas
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menyikapi Pemerintah Kota
Lhokseumawe, Aceh, yang akan memberlakukan larangan bagi perempuan duduk
terbuka atau ngangkang di atas sepeda motor. Menurut Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan, dalam Syariat Islam tidak ada aturan
yang secara jelas membahas perempuan duduk ngangkang. Hal tersebut lebih
menyangkut etika dan sopan santun, bukan pada hukum Syariat Islam.
Bahkan jika dengan duduk ngangkang, lanjut Amidhan, tidak membahayakan
ketika mengendarai sepeda motor, maka hal tersebut justru dianjurkan.
Untuk kepentingan yang mendesak, maka ngangkang di sepeda motor di-ma’fu
(dimaafkan).
Kendati demikian, menurut Amidhan, aturan yang akan
diberlakukan di Lhokseumawe itu karena sebagai daerah otonomi khusus
sehingga dapat membuat aturan tersendiri. Ada tiga hal yang menjadi
landasan diterbitkannya suatu aturan baru yakni, pada aspek budaya,
pendidikan, dan Agama Islam.
Larangan perempuan ngangkang ketika
mengendarai sepeda motor, tambah Amidhan, bisa jadi hanya cocok
diberlakukan di Aceh dan beberapa daerah lain yang memiliki kebiasaan
atau budaya menutup aurat. Seperti Kalimantan Selatan dan Sumatera Barat
yang kental nuansa agamanya, ketika perempuan dibonceng duduknya satu
arah. Itu bukan karena aturan agama, melainkan kebiasaan dan budaya di
sana. Berbeda halnya ketika di kota besar seperti Jakarta, perempuan
yang duduk satu arah ketika dibonceng sepeda motor justru mengancam
keselamatan jiwanya. Sebab kondisi lalu lintas yang padat dan macet,
membuatnya rawan jatuh.
Lagi-lagi Perempuan Menjadi Objek Kebijakan
Sejumlah
pro kontra yang bermula dari rencana pemberlakuan kebijakan Pemerintah
Daerah (Pemda) di Aceh, ini mau tidak mau mengingatkan kita pada
sejumlah kebijakan yang juga tak kalah ramai menuai pro kontra. Mungkin
kita masih ingat membaca berita atau setidaknya mendengar tentang
peristiwa meninggalnya Lilis Lisdawati pada tahun 2008. Ia adalah korban
salah tangkap berlatar belakang Peraturan Daerah (Perda) No. 8/2005 di
Kota Tangerang. Saat itu media setempat cukup ramai memberitakan ini,
salah satunya seperti diberitakan Suara Warga (Edisi 007/011), Lilis
Lisdawati adalah karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan.
Suaminya Kustoyo, adalah guru SD. Tanggal 27 Februari 2006, Lilis
ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum di daerah
Tangerang. Ia dituduh telah melanggar Perda No. 8 Tahun 2005 tentang
Pelarangan Pelacuran.
Aturan Perda tersebut memang multitafsir
sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menyebabkan
salah tangkap. Pasal 4 ayat 1 misalnya, menyebutkan bahwa: “Setiap orang
yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu
anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum,
di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah
penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat
tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat
lain di daerah.”
Petugas lalu bisa menangkap seseorang, terutama
perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah
pelacur (PSK). Meski telah menyampaikan bahwa ia bukan PSK, Lilis tetap
ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8
hari penjara dan denda Rp 300 Ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4
hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda
tersebut.
Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban
salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan
Lilis semakin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak
permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda tersebut.
Alasannya, Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang
disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk
merehabilitasi nama baik Lilis. Lilis mengalami keguguran pasca
peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar
dari pekerjaan karena tertekan dengan tudingan beristrikan pekerja seks.
Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan
ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup
berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008
dalam kondisi depresi.
Tangerang adalah satu dari 38 daerah yang
memiliki perda tentang pelacuran yang mengkriminalisasi perempuan. Tidak
satupun peraturan daerah serupa ini yang dibatalkan. Bahkan, Mahkamah
Agung juga kembali menolak permohonan judicial review untuk Perda serupa
dari Bantul. Kali ini dengan alasan bahwa permohonan diajukan melewati
batas waktu yang diperbolehkan, yaitu 180 hari sejak Perda itu
ditetapkan. Dari depresi Lilis hingga meninggal dunia, setidaknya jelas
bagi kita bahwa ini efek dari penahanan-nya atau efek dari berbagai
masalah (sosial, hukum, ekonomi) yang juga turut di-blow-up media.
Selain Lilis, ada sejumlah korban salah tangkap petugas ketentraman dan
ketertiban (Tramtib) bekerja sama dengan petugas penyidik pegawai negeri
sipil (PPNS), dan polisi setempat, yang juga dicurigai sebagai pelacur.
Selain korban salah tangkap Perda Tangerang, yang juga cukup ramai
diberitakan adalah kasus penggundulan di Aceh oleh polisi Syariah.
Meskipun pada akhirnya Qanun Jinayat yang sudah disahkan Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2009, harus segera dibatalkan
untuk kemudian dilakukan revisi dan dilengkapi sesuai dengan kaidah
hukum Islam kaffah atas desakan Ulama se-Aceh. Menurut mereka, dalam
sejumlah pemberitaan, Qanun tersebut masih mengabaikan hal-hal prinsipil
dalam Hukum Islam. Ulama Aceh juga mengimbau semua pihak baik Gubernur,
politisi, DPRA, Ulama dan komponen masyarakat agar turut berpartisipasi
member masukan kepada ulama. Hal tersebut terkait polemik yang terjadi
terhadap pengesahan Qanun Jinayat dan Acara Jinayat yang disahkan pada
pertengahan September 2009.
Perda Berpotensi Merugikan Perempuan
Berdasarkan
hasil mini riset penulis dan kawan-kawan (dkk) tentang Qanun Jinayat
pada tahun 2009, tahun 1998 awal mulai terjadi dinamika politik hukum
Indonesia, yang ikut membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum
Islam yang merupakan bagian dari hukum nasional turut mengalami
perubahan, tidak terkecuali sektor hukum pidana (jinayat) yang
sebelumnya penuh dengan ketidakmenentuan. Dinamika hukum, terutama
sekali, ditandai peralihan sistem pemerintahan sentralistik menjadi
sistem otonomi. Sistem ini tertuang di dalam UU No. 32 Tahun 2004.
Provinsi Aceh yang mayoritas muslim dan memiliki pengalaman di bidang
hukum Islam Qanun dan memberlakukannya di dalam sosio-yuridis
masyarakat. Masa dinamika ini kerap dikenal era reformasi. Bagi Aceh,
era ini menjadi awal penyelesainan konflik selama 30 tahunan secara
beradab, melalui jalur perundang-undangan.
Lalu tahun 2000-an
mulai marak kemunculan Perda-perda diskriminatif, bahkan dalam beberapa
tahun terakhir sejumlah hasil penelitian mengungkap Perda-perda
diskriminatif di Indonesia semakin meningkat. Dimulai dari munculnya
sejumlah pemberitaan tentang deretan persoalan dalam menyikapi proses
eksekusi atas seorang terpidana, mulai dari gugatan atas konsistensi
perundang-undangan yang dianggap merendahkan martabat, tidak manusiawi,
tidak efektif dan lan sebagainya. Termasuk awal tahun 2012 ini, Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis data tentang maraknya
berbagai kebijakan diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan
Jender, berupa kebijakan di tingkat nasional maupun kebijakan lokal.
Dalam
kajian perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan pronografi, yang justru menghalangi perempuan untuk dapat
menikmati hak asasinya secara utuh khsususnya hak atas kepastian hukum
dan atas kebebasan berekspresi. Komnas Perempuan mencatat hingga bulan
Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan
moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebanyak 78 dari 207
kebijakan tersebut secara khusus menyasar pada perempuan, lewat
pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan
pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan.
Berdasarkan
pemantauan Komnas Perempuan, melihat proses pembentukan suatu kebijakan
yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung
melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif.
Termasuk dalam kategori tidak berpartisipatif adalah proses penyususnan
dan pembahasan suatu kebijakan, yang tidak melibatkan kelompok
masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif
yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada
keterlibatan peremuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya.
Pentingnya Peningkatan Keterwakilan Perempuan
Di
sisi lain, dalam dunia politik sendiri, perempuan adalah bagian dari
warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi. Termasuk jumlah
perempuan yang duduk di DPR-RI hasil 10 kali Pemilihan Umum yang tidak
pernah mencapai angka kritis 30% adalah buktinya. Padahal, minimnya
keterwakilan perempuan di lembaga pengambil kebijakan secara lagsung
akan menyebabkan suata perempuan menjadi tidak terwakili, sehingga
pengalaman khas dan spesifik yang dialami perempuan tidak terangkat.
Lebih jauh, masih berdasarkan rilis yang pernah dikeluarkan Komnas
Perempuan pada Rabu (8/2/2012), fakta kekerasan terhadap perempuan akan
kehilangan ruang untuk disuarakan dan diangkat sebagai bagian dari
persoalan bangsa yang harus dicegah dan ditangani.
Berdasarkan
penelitian Perserikatan Bangsa-bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh
per seartus) merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya
suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil
dalam lembaga-lembaga publik. Penetapan 30% ditujukan untuk menghindari
dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik
yang merumuskan kebijakan politik. Dengan demikian, diharapkan
peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menjadi salah satu
ruang penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijakan publik.
Sumber
tulisan: okezone.com pada tanggal 2, 3, dan 4 Januari 2013; hasil mini
riset Alimah dkk tentang Qonun Jinayat tahun 2009; salah satu tulisan
penulis (Alimah) di
http://kppri.or.id/index.php/id/artikel/11-perempuan-dalam-cengkeraman-kebijakan-diskriminatif;
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/02/apa-kabar-perda-diskriminatif-474053.html
Melalui Jalan Lain
-
Melalui jalan yang tak pernah dilewati sebelumnya. Rasanya seperti menguji
diri sendiri. Kembali menghapal berapa lampu merah yang akan dilewati.
Bangunan ...
8 tahun yang lalu