“Maaf pak asap rokoknya, saya sedang hamil.”
Akhir-akhir ini, saya seakan harus sering konfirmasi bahwa saya
adalah perempuan yang sedang hamil muda. Entah di angkot, ojek, mini
bus, di kantor, di rumah, di warung makan, dan di beberapa tempat
lainnya. Terutama masalah asap rokok, nyaris di manapun bisa kita temui.
Jangankan bagi perempuan hamil muda yang belum kelihatan jelas menonjol
perut besarnya. Bagi perempuan hamil tua yang sudah menonjol perutnya,
pun terkadang para perokok itu tidak peduli. Entah faktor pengetahuan
atau memang watak/karakter perokok yang begitu egois.
Setelah empat tahun menikah dan kini akan dikaruniai anak, siapa yang
tidak bahagia dan bersyukur karenanya. Sejak saat itu, saya yang biasa
berangkat ke kantor dengan mengendarai motor sendiri, kini mau tidak mau
harus menggunakan angkutan umum. Maka terkadang meskipun terkesan lebay
atau cerewet, saya akan tetap melakukannya demi melindungi janin saya.
Apalagi banyak ibu hamil, terutama yang masih muda, banyak mengalami
keguguran. Saya bukan seorang dokter kandungan, namun berdasarkan
nasehat dari dokter, artikel yang saya baca, serta masukan-masukan
antara mitos dan fakta dari sejumlah mereka yang berpengalaman, hamil
muda di tiga bulan pertama (trimester pertama) memang sangat rawan.
Apalagi bagi perempuan bekerja, selain kelelahan, stress karena banyak
pikiran juga sering menjadi pemicu keguguran. Tak hanya mereka yang
bekerja, tetanggaku yang masih tergolong ABG (Anak Baru Gede) dan
perempuan rumahan, mengalami keguguran karena terlalu banyak pikiran
akibat ditinggalkan suaminya setelah beberapa bulan menikah dan hamil.
Jadi, menurut salah satu dokter di Puskesmas terdekat desaku, hal
mendasar yang menyebabkan para perempuan hamil muda mengalami keguguran
adalah bukan karena kelelahan dan stress karena banyak pikiran. Namun
karena ketidaktahuan atau ketidakfahaman para ibu hamil dalam melindungi
diri dan janinnya.
Pentingnya Informasi Kespro
Bagi perempuan yang memiliki akses informasi begitu mudah dan banyak,
tentunya mendapatkan informasi seputar kesehatan reproduksi (Kespro)
sangatlah mudah. Namun, berpendidikan tinggi dan akses informasi mudah,
belum tentu mau membaca informasi terkait Kespro jika kesadaran tentang
pentingnya pemahaman Kespro belum terbangun. Itulah mengapa penting
adanya sosialisasi tentang betapa pentingnya mengenal Kespro kita (baik
perempuan maupun lelaki).
Apalagi sudah jelas, bahwa mendapatkan informasi merupakan salah satu
dari 12 hak pokok dalam Hak Asasi Manusi (HAM) yang harus diberikan
negara kepada warganya. Artinya ketika kita mendapatkan informasi,
berarti sudah mendapatkan apa yang sudah menjadi hak kita. Dalam hal ini
termasuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi (Kespro).
Selain soal kehamilan, hal-hal kecil dan mendasar lainnya, terkadang
kita tidak benar-benar memahaminya. Dalam kehidupan sehari-hari
contohnya sangat banyak, mulai dari soal keputihan, haid tidak lancar,
hingga soal kamar mandi dan air yang tidak bersih dan berdampak pada
Kespro kita.
Di dalam kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo dalam chapter VII dari plan of action,
Kesproadalah kesehatan reproduksi mencakup fisik, mental dan sosial
serta perolehan hak atas pelayanan kesehatan reproduksi yang aman,
efektif dan terjangkau. “Kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik,
mental, kelaikan sosial yang menyeluruh dalam segala hal yang
berhubungan dengan sistem reproduksi berikut fungsi-fungsi dam
proses-prosesnya. “…hak laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
informasi dan mendapat akses pada perencanaan keluarga yang aman,
efektif, terjangkau, dan layak, atas pilihannya sendiri”.
Saya jadi ingin sedikit bergeser dari soal kehamilan ke persoalan Kespro yang lebih umum lagi. Lembaga di tempat saya bekerja, Fahmina-institute pernah
melakukan penelitian untuk memaksimalkan “Program Penguatan Kesadaran
Kritis Kesehatan Reproduksi (Kespro) Berbasis Islam bagi Kelompok Muda
dan Usia Produktif di Pondok Pesantren Se-Wilayah III Cirebon.” Nah,
salah satu cara menggali informasi dari sahabat-sahabat santri puteri
itu dengan cara melakukan sharing, dalam focused group discussion
(FGD) di 15 Ponpes Wilayah III Cirebon pada tahun 2010. Dari FGD
tersebut, ternyata banyak dari mereka yang memiliki masalah namun
bingung bagaimana mengatasi masalah tersebut. Parahnya, karena
ketidakfahaman mereka, mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka
ungkapkan adalah termasuk masalah Kespro.
Ternyata selama ini beberapa pengetahuan santri tentang kesehatan
reproduksi, salah satunya tidak didasari oleh informasi yang tepat dan
benar. Bahkan ada yang justru menyesatkan dan berbahaya lho!
Terutama bagi kesehatan reproduksinya. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, selama ini pemahaman santri perempuan terhadap kesehatan
reproduksi terbagi dalam tiga sub bahasan, yaitu pertama, pemahaman santri yang beragam dan timpang; kedua, pengetahuan santri didominasi oleh mitos; dan ketiga, Santri berada dalam dualism nilai.
Pemahaman santri perempuan terhadap kesehatan reproduksinya secara
umum masih sangat terbatas. Hal ini di antara sebabnya karena tidak
adanya kurikulum khusus kesehatan reproduksi yang diberikan kepada
santri perempuan. Pengetahuan santri diperoleh dari berbagai sumber yang
mayoritas santri sudah tidak lagi ingat sumbernya.
Hal ini, terlihat dalam setiap wawancara, santri menyampaikan
pengetahuannya dengan kalimat yang ragu dan tidak yakin. Seperti yang
diungkapkan dengan pernyataan “kayaknya…”, “kalau tidak salah…”, atau diakhiri dengan kalimat pertanyaan “bener nggak bu..?”. Bahkan beberapa santri secara tegas menjawab “tidak tahu” atau “lupa” ketika ditanyakan sumber informasi dari pernyataan yang disampaikan sebelumnya.
Beberapa pengetahuan santri tentang kesehatan reproduksi juga tidak
didasari oleh informasi yang tepat dan benar, bahkan ada yang justru
menyesatkan dan berbahaya bagi kesehatan reproduksinya. Salah satu
contohnya adalah keputihan. Hampir semua santri menyatakan mengalami
keputihan sepanjang masa suci (tidak menstruasi) dalam tiap bulan.
Keputihan ini kebanyakan dialami seminggu sebelum haid dan seminggu
setelah haid, sementara masa suci santri kebanyakan berkisar 15-20 hari.
Itu artinya, kemungkinan tidak adanya keputihan hanya sekitar
seminggu di masa suci santri. Ketika mengalami keputihan, respon yang
dilakukan santri berbeda-beda. Ada yang menggunakan produk pembersih
vagina seperti Resik V dan betadine cair yang dicampur air hangat, ada
juga yang meramu sendiri dengan air rebusan daun sirih dan ramuan dari
buah delima, ada juga yang mengganti celana dua kali sehari. Pada
sebagian kasus, kondisi keputihan santri ada yang sampai berwarna hijau,
berbau dan gatal. Pada kasus keputihan berbau dan gatal, kebanyakan
santri tidak melakukan intervensi apa-apa karena dianggap sesuatu yang
sudah biasa dan tidak perlu dikhawatirkan, sebagaimana seorang santri
menjawab, “…biasa aja, gak terlalu apa namanya ya…, gak terlalu penting.”
Bahkan ada kisah satu santri yang mencoba melakukan tindakan karena
tidak tahan menahan rasa gatal, dengan mengoleskan minyak kayu putih
pada kemaluannya. Tindakan ini menjadikannya merasa kepanasan pada area
kemaluannya, namun dia mengakui rasa gatalnya berkurang. Apabila
dikategorisasikan, pemahaman dan pengetahuan santri dapat dibagi dalam
tiga kelompok, yaitu kelompok yang cukup paham beberapa isu tertentu,
kelompok yang mengetahui beberapa hal tentang kesehatan reproduksi, dan
kelompok yang hampir tidak tahu tentang kesehatan reproduksi perempuan
kecuali pengalaman yang dirasakan saja.
*tentang persoalan Kespro yang dialami santriwati di Pondok
Pesantren, masih ada lagi beberapa faktor penyebab selain karena
kekurangan informasi yang benar tentang Kespro. Namun saya singkatkan
sampai di sini saja. Terimakasih sudah membaca.
mengurai kehidupan mulai dari istilah gender
-
sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki mengomentari seorang
perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan
oleh lelaki...
11 tahun yang lalu