siang tadi. panas menyengat. kedua pundakku penuh beban. ruang
kepalaku hampir meledak meski setengah mati kutahan. kedua kakiku,
memang diam. tapi tulang-tulangnya tak henti-hentinya mengeluh. aku
mendengarkan semuanya. semua keluhan nyaris membuncah. aku lelah. tapi
aku tak ingin mengeluh atau disebut mengeluh. lalu aku diam. keringat
tak hentinya mengucur. tapi aku diam. cukup berhenti dan menelan air
putih di botol bening. lalu meneruskan perjalanan. aku tak ingin
paragraf ini membuatku tertuduh sebagai "tukang keluh". aku hanya lelah.
laiknya deja vu. entah berapa kali aku dalam kondisi lelah seperti ini.
lelah yang sebenarnya.
tapi kakiku masih di atas bumi. dan masih
bersedia menahan berat badanku. ada satu waktu aku merindukan lelah ini.
tapi juga ada satu waktu terlintas sesal. sesal yang sama sekali tak
berguna. aku benci mengeluh. apalagi mendengar mulut-mulut yang tak
hentinya mengeluh. agar aku tak mendengar mulutku mengeluh, maka aku
butuh huruf-huruf ini, lalu bergegas memberi mereka nyawa. tapi di satu
tempat aku mendengar keluhan. aku benci. tapi aku harus mendengarnya,
sambil kembali mengingatkan diri bahwa setiap kepala memiliki sudut
pandang berbeda. tapi aku tetap benci aku yang mengeluh.
mengurai kehidupan mulai dari istilah gender
-
sudah sangat sering saya mendengar seorang lelaki mengomentari seorang
perempuan yang bersikap atau melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan
oleh lelaki...
11 tahun yang lalu