Peribahasa
tersebut
seakan mewakili rasa kecewa kelompok yang selama ini dianggap
minoritas, berbeda, terdiskriminasi, dan terpinggirkan. Beberapa pekan
ini, media
komunitas tempat saya bekerja mencoba mengangkat suara-suara komunitas
yang selama ini dinilai terpinggrirkan dan terdiskriminasi. Lalu
terjadilah berbincang-bincang dengan tokoh-tokoh yang digambarkan
demikian. Dari curahan hati mereka, peribahasa “habis manis sepah dibuang” kerap mereka ungkapkan ketika
menggambarkan kekecewaan mereka atas para calon pemimpin. Dalam “Kamus
Peribahasa Indonesia”, sepah sama dengan ampas. Kalau kita makan tebu, setelah
tebu kita kunyah-kunyah untuk mengisap airnya yang manis dan setelah airnya
habis, sepahnya kita buang. Yang kita ambil hanya manisnya saja, sepahnya tidak
kita perlukan lagi, karena itu kita buang.
Dalam
konteks ini, peribahasa tersebut mengiaskan seseorang/kelompok yang setelah
dianggap tidak berguna lagi, lalu disia-siakan. Setidaknya demikian salah satu
hal yang dirasakan mereka, korban janji manis para calon pemimpin negeri ini.
Harapan akan perubahan yang lebih baik atas kondisi mereka, seakan hanya
sekadar janji manis demi memperoleh suara lebih banyak.
Ya,
di tengah hiruk pikuk Pemilu 2014 mendatang, beragam suara kian menggema. Tak
terkecuali suara-suara yang merasa kecewa dengan Pemilu sebelumnya maupun
pemilihan kepala daerah (Pemilukada) yang sampai saat ini akan dan telah
berlangsung di sejumlah daerah. Menjadi apatis terhadap Pemilu, memilih Golput
(Golongan Putih), serta bersuara lantang menggugat sistem Pemilu, bisa menjadi
puncak rasa kekecewaan mereka atas harapan adanya perubahan yang lebih baik.
Mereka adalah kelompok yang disebut
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai kelompok rentan. Karena
dianggap minoritas, mereka rentan terpinggirkan dan terdiskriminasi. Termasuk
suara mereka dalam Pemilu, ada yang enggan menyentuh komunitas mereka karena
khawatir dianggap menjadi bagian dari mereka, atau sebaliknya, memanfaatkan
suara mereka dengan janji-janji manis yang entah terlaksana atau tidak.
Tapi siapakah mereka sehingga
disebut minoritas? Dari kaca mata sosiologi seperti dipaparkan Anthony Giddens
dalam “Sociolog” (1995, 253-254),
minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga gambaran
berikut: (1) anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari tindakan
diskriminasi orang lain terhadap mereka; (2) anggotanya memiliki solidaritas
kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya
sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; (3) biasanya secara
fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar.
Istilah minoritas di sini mengacu
pada sekelompok orang yang dianggap ‘kecil’ oleh sebuah proses historis,
politis, dan sosiologis, selain juga proses intelektual. Oleh karena itu,
pengertian ‘kecil’ tidak selalu berarti angka atau jumlah, tetapi juga berarti
posisi atau peran. Pada masa Orde Baru, orang Cina atau Tionghoa adalah
kelompok yang paling sering disebut sebagai kaum minoritas karena secara
politik mereka dipinggirkan, meski secara ekonomi mereka sangat dominan.
Memasuki masa reformasi, istilah kaum minoritas mengacu pada kelompok-kelompok
yang lebih luas, tidak hanya orang Cina atau Tionghoa, tetapi juga kaum
perempuan, masyarakat adat, penganut agama non-mayoritas, Ahmadiyah, dan
seterusnya.
Sampai
saat ini, masih banyak partai-partai tertentu, termasuk partai Islam yang tidak
pernah menjadikan isu pembelaan terhadap kaum minoritas sebagai isu utama
politiknya. Bahkan, tidak jarang, partai-partai Islam ikut menyudutkan kelompok
minirotas untuk menarik simpati dari kelompok mayoritas. Nasib kelompok
minoritas kian mengenaskan dan di saat yang sama hukum impoten karena selalu
ada kepentingan-kepentingan politik di baliknya.
Pemilu
yang harusnya adil dan damai, namun tidak bagi mereka yang sampai saat ini
mendapat perlakuan tidak adil baik oleh Negara maupun masyarakat golongan
tertentu. Jemaat Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, mereka terancam
Golput (Golongan Putih) karena tidak memiliki KTP.
BAYANGKAN!
Seperti apa wajah demokrasi Indonesia ke depan kalau Golput semakin menjadi
pilihan politik masyarakat? Maka, sangat mungkin kekuatan legitimasi kekuasaan
pun menjadi berkurang. Dengan meningkatnya perlakuan diskriminasi seperti
dirasakan komunitas seperti Ahmadiyah, Syiah, dan sejumlah komunitas adat, sangat
mungkin akan terjadi peningkatan angka Golput. Kenapa semakin banyak orang
memilih Golput? Selain mungkin karena ada kesalahan administrasi, setidaknya
ada tiga penyebab. Pertama, bisa jadi karena mereka kecewa terhadap praktik
demokrasi. Mereka tidak percaya bahwa Pemilu akan mengubah nasibnya menjadi
lebih baik. Kedua, mereka tidak sreg dengan kandidat yang ditawarkan untuk
dipilih. Ketiga, hari pelaksanaan Pemilu yang diliburkan membuat mereka lebih
memilih untuk berlibur ketimbang harus datang ke TPS.
Janji-janji
kampanye yang menggiurkan ternyata tidak mampu memikat mereka. Kenapa? Betapa
mereka sudah kenyang dengan janj-janji, yang semuanya dianggap sebagai
kebohongan dan kemunafikan. Bukti tentang itu tersaji secara terbuka
berdasarkan Pemilu-Pemilu sebelumnya.