Kamis, 19 Januari 2012

sedikit mengenal perempuan Lombok

bagiku sepertinya sulit mencari istilah yang tepat untuk judul di atas. bagaimana agar tetap berbagi cerita yang tak sekadar berbagi. tapi bersama-sama membangun sudut pandang yang tetap memihak perempuan. maka tanpa berpikir agar bombastis dan memang tidak ada kepentingan agar bombastis, maka secara sederhana kuberi judul yang sangat biasa. selain itu, tulisan ini juga tidak untuk mewakili bagaimana gambaran perempuan Lombok seluruhnya, ini hanya sedikit yang baru kuketahui dari perempuan Lombok. ini juga tentang perempuan Lombok juga label-label yang dilemparkan pada mereka. yang jujur, aku masih tidak sepakat dengan itu dan mencari istilah yang tepat untuk menggantikannya. pertemuan pertamaku dengan mereka, perempuan Lombok, sangat singkat. tepatnya awal Oktober 2-5 Oktober 2011 lalu. itu pun hanya demi kepentingan salah satu workshop. namun sebelumnya aku telah mendengar cerita salah seorang kawan aseli Lombok dan juga salah satu peneliti budaya Lombok. selebihnya hanya membaca dari media. dan awal Oktober itu adalah pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di Lombok dan menatap secara langsung perempuan-perempuan Lombok.

sampai pada awal Januari lalu menemukan sebuah artikel tentang Lombok Pulau Janda yang diangkat di website Radio Nederland Wereldomroep Indonesia (NWI). pemilihan judul artikel yang cukup singkat itu membuatku risih, meskipun ampuh untuk menarik pembaca dan menggelitik pemerintah agar lebih memperhatikan nasib mereka. menulis apapun, akan memiliki kesan tersendiri pada pembacanya. maka menulis sesuatu juga harus ada perspektif tersendiri. bagiku pribadi, menulis tentang perempuan maka wajib menggunakan perspektif gender, artinya tulisan tersebut memiliki keberpihakan terhadap perempuannya. keberpihakan ini yang kemudian berpengaruh pada pemilihan judul dan kata-katanya. memang di sini kita harus berhati-hati, tidak semata bombastis. karena apa yang akan kita tulis berdampak pada sudut pandang dan imajinasi yang dibangun pembaca terhadap objek penulisan.


tentang label “janda”


sebelum berlanjut pada artikel (NWI), mari sejenak berbagi kembali pada label “janda”. janda adalah sebuah predikat bagi seorang perempuan (isteri) yang tak lagi bersuami, baik ditinggal cerai atau ditinggal mati. secara sosial predikat janda cerai kerap menimbulkan ‘hambatan psikologis’ dalam berinteraksi. bisa jadi hambatan ini muncul lantaran cerai berkonotasi dengan ‘huru-hara’. konotasi ini semakin menghujam karena tak menjelaskan siapa yang membuat ulah dan akhirnya siapa yang bersalah. masalah ini hanya konsumsi ruang privat bukan publik. namun, tak urung menjadi pembicaraan publik. lain lagi dengan isteri yang ditinggal mati sang suami. predikat ini dianggap masih mengundang rasa simpatik. kendati demikian, tetap tak mampu mengubah omongan miring yang membuat hati miris.


tapi mengapa masyarakat tidak merasa perlu terjun dalam ‘kesibukan’ saat melihat fenomena para duda? padahal realita keduanya sama. sama-sama ditinggalkan cerai atau ditinggal mati pasangannya. realitasnya, janda lebih ‘survive’ menghadapi kehidupan selanjutnya dibanding duda, meski harus berperan ganda sebagai ibu dan ayah. status janda akhirnya menjadi “sesuatu yang berbeda”. ‘perbedaan’ itu memang telah lama dicitrakan oleh masyarakat sekaligus ‘disetujui’ pula oleh masyarakat pada umumnya. meski semestinya, sebagai fenomena kemanusiaan, status janda tidak harus disikapi dengan berlebihan.

janda. sebuah label yang membuat banyak perempuan takut menyandang predikat itu. tak sedikit yang menganggap perempuan berstatus janda, terutama karena cerai, bukan sebagai ‘warga’ masyarakat biasa. seakan ada catatan merah. ada lingkaran penanda.


‘gelar’ baru pulau Lombok


di ruang kepala kita, selain Lombok dikenal sebagai pulau seribu masjid, bayangan lainnya adalah keindahan alamnya, juga pantainya yang indah. namun selain itu, Lombok juga dikenal dengan jumlah penduduk perempuannya yang lebih banyak dari kaum lelakinya. mereka yang pernah ke Lombok, setidaknya akan berkisah bahwa selama di Lombok mereka lebih banyak bertemu dengan perempuan. termasuk pengalamanku ketika pertama kali menginjak Lombok dan mencicipi Bandara barunya. di depan Bandara dipenuhi warga sekitar yang juga tengah asyik menikmati Bandara baru mereka. sebagaian besar mereka adalah perempuan dan anaknya. selain itu, mereka menjadi pedagang di pasar tradisional, pelayan di hotel atau bahkan perempuan yang gigih menawarkan cindera mata khas Lombok di tempat-tempat wisata. senyum di bibir kering mereka tetap tulus, meski di tengah terik dan juga keringnya Lombok sekitar Bandara. sepertinya mereka baik-baik saja, tidak ada yang faham bahwa sebelum mereka berangkat bekerja untuk menjajakan barang dan jasa mereka, paginya mereka mendapat kekerasan dari suami -suami mereka baik dalam bentuk fisik maupun batin. setidaknya demikian penggambaran mereka yang pernah menyaksikan secara langsung kehidupan perempuan Lombok.


kekerasan terhadap perempuan di pulau nan indah ini sepertinya sudah menjadi mainstream yang berlaku luas pada masyarakat Lombok pada umumnya. bahkan fenomena kawin cerai menjadi hal yang biasa dan seakan tidak ada masalah dan sangat biasa. termasuk cerita Fadlurrahman, Administrative Reform Team @Center for Good Governance Jogja. dia memiliki catatan tersendiri tentang ini, setidaknya, paparnya, ia menjadi saksi bagaimana pola ini membentuk circle yang melekat erat dalam budaya masayarakat Lombok pada umumnya.


sementara dalam artikel NWI tersebut, Pulau Lombok, NTB, mendapat gelar baru karena kerap disebut sebagai pulau dengan ribuan janda. meski lagi-lagi aku tidak sepakat dengan gelar tersebut, karena akan berdampak pada bagaimana perempuan Lombok dilihat dan diperlakukan dunia. bahkan meskipun pemerintah telah mencoba menghapus gelar tersebut, akan sulit hilang di kepala kita karena telah melekat kuat. perempuan yang ditinggalkan suaminya itu, pada umumnya masih berusia belia, belasan tahun. para suami dengan mudahnya menceraikan isteri, dan perempuan-perempuan muda itu tak berdaya. lalu salah satu reporter KBR68H Rony Rahmatha menemui para perempuan yang disebut “janda muda” tersebut di sejumlah daerah di Lombok Barat. sang reporter pun mulai me-list penyebab mereka menjadi janda. mulai dari tidak disetujui orang tua (Ortu) sampai pada bahwa semua itu merupakan sebuah pembenaran.

perempuan-perempuan perkasa Lombok (2) dari DetikFoto


tidak disetujui Ortu. di sini reporter mewawancarai salah satu perempuan Lombok berusia mendekati dua puluh tahun dan telah menjadi janda. namanya Fatmini, di usianya yang tergolong muda tersebut, ia sudah harus sibuk dengan keseharian membesarkan anaknya yang berusia satu tahun. menurut si reporter, seharusnya ia tak perlu terlalu sibuk kalau masih ada suaminya. meski saya menangkapnya bukan berarti perempuan tidak perlu terlalu sibuk, tapi perempuan muda itu kini memiliki beban ganda. sebelum Fathimi menikan dengan suaminya, ia telah melalui masa pacaran yang dijalani selama dua tahun. pernikahan yang tak disetujui orang tua. pernikahan berakhir setelah suaminya menjadi TKI di Malaysia. tragisnya, perceraian hanya dilakukan melalui telpon genggam. kini Fatmini menyandarkan hidupnya bersama orang tua di Hambalan, Lombok Barat. ia malu menjadi beban ibunya dan bertekad mencari pekerjaan. “mau kita cari kerja, tapi bayi ini kan masih kecil. nggak ada yang jagain juga. malu juga kita, apalagi ibu kita sudah tua, bapak aku udah meninggal juga."


selain tidak disetujui Ortu, juga korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sayangnya reporter ragu untuk menulisnya sebagai korban KDRT, ia lebih memilih menuliskannya sebagai “korban kekerasan menikah”. reporter bercerita tentang Kaswati, usianya lebih belia dibanding Fathimi, umurnya baru 15 tahun saat itu, baru tamat SMP. warga Hambalan, Lombok Barat ini menjadi korban KDRT. suaminya sering memukuli Kasmawati pada saat sedang mabuk minuman keras. dan berakhri cerai. perceraian itu tidak melalui pengadilan karena sebelumnya ia menikah tanpa surat akte nikah. “waktu itu belum banyak yang buat semacam akte nikah. perceraian nggak melalui pengadilan agama, tapi kan kalau di penduduk sini kalau lakinya sudah bilang cerai, kita cerai. misalnya dia sudah menjatuhkan talak satu kan kita cerai. secara sah secara agama.


kemudian ada juga istilah “Janda Malaysia”. berbeda dengan Fatmini dan Kasmawati, dua dari ribuan perempuan Lombok yang menikah di usia muda dan menjadi janda, juga di usia muda. namun ternyata pada umumnya perceraian terjadi setelah suami menjadi TKI di luar negeri, seperti di Malaysia. akhirnya para perempuan muda itu sering dijuluki Jamal alias Janda Malaysia. sungguh miris bukan? selain itu mereka juga tidak mudah mendapatkan data akurat dari pengadilan agama terkait perceraian. baik itu di ibukota provinsi, Mataram, maupun di kabupaten lainnya di Lombok. sebabnya, banyak pernikahan di Lombok tidak didaftarkan ke pengadilan agama setempat.


sang reporter juga mewawancarai Ketua Dewan Pengawas Perempuan dari Solidaritas Perempuan Mataram, Yuni Riawati. menurutnya, perceraian hanya dilakukan melalui proses ritual agama yang mereka yakini dan dianggap sah. “faktanya di Lombok ini, kawin cerai itu banyak sekali. Kemudian menjadi beban saat terjadi cerai itu adalah ibu. bapak itu, tidak mengurus, karena dia bisa kawin ke sana ke mari dan beban anak adalah ibunya. kenapa hal itu terjadi, karena administrasi pernikahan tidak terurus. akte nikah mereka tidak ada, apalagi akte cerai.”


Yuni Riawati melanjutkan, akibat tak ada administrasi pernikahan, anak dan ibu menjadi korban kesemena-menaan kaum lelaki. menurutnya banyak sekali pelanggaran hak, terutama hak anak. “kalau perceraian, anak masih memperoleh nafkah dari bapaknya. karena tidak ada putus hubungan dengan bapak, itu nggak ada seperti itu. apalagi pelanggaran pada hak istri. Sebenarnya selama istri belum nikah, bisa mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. itu nggak ada. karena dari proses menikahnyapun mereka tidak ada itu. ini juga menjadi pelanggengan kekerasan terhadap perempuan.”

tradisi kawin lari di Lombok


Aturan adat


sementara itu masyarakat adat Pulau Lombok memiliki aturan adat dalam perhelatan pernikahan. aturan adat atau awiq-awiq mengajarkan tata krama pernikahan atau dalam bahasa Suku Sasak disebut Merariq. dalam pelaksanaan merariq atau pernikahan, diharuskan seorang calon pengantin pria membawa lari calon mempelai perempuan secara rahasia. Budayawan Nusa Tenggara Barat Jalaluddin Arzaki: “Diambil secara rahasia itu dilakukan, pertama, untuk menunjukkan orang tuanya memberikan kesempatan demokratis kepada anaknya memilih calon pasangannya. nggak boleh orang tua yang menentukan. jadi unsur demokrasinya ada di situ. kedua, orang tua itu ingin menunjukkan secara adil kepada calon suami atau pacar-pacar lainnya yang mau sama anaknya. kalau ada satu atau tiga orang yang mau, maka kalau satu saja kelihatan terang-terangan dikasih, maka yang lain akan iri. demi keadilan dan bukti kalau ini pilihan anaknya, maka dia diambil secara rahasia itu.”


Pemuka adat


setelah proses melarikan calon mempelai perempuan, barulah kedua belah pihak keluarga akan bertemu untuk mencari kesepakatan pernikahan adat. Pertemuan akan dijembatani oleh pemuka adat dari wilayah mempelai masing-masing. namun saat ini telah terjadi pergeseran pemahaman adat itu. istilah melarikan calon mempelai perempuan dalam aturan merariq disamakan dengan menculik. bahkan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Lombok Barat Raden Rais mengatakan, bukan hanya pemahaman yang bergeser, aturan merariq juga sudah dilanggar. “Anak muda sekarang, banyak yang dipelesetkan, ketemu di sekolah, kawin, lari. Ketemu di pasar, bawa lari, dengan alasan merariq secara adat Sasak. padahal itu sudah diatur di dalam awiq-awiq itu, itu sudah melanggar.”

di saat Lombok terancam krisis air, perempuan-perempuan mereka tak berhenti bergerak


Pembenaran


seorang pelopor kesetaran gender di Nusa Tenggara Barat, Hasanain Juani mengatakan, pilihan bercerai seakan menjadi budaya pembenaran di Pulau Lombok. hal ini dipicu oleh faktor ekonomi, rendahnya pendidikan dan pemahaman yang kurang akan arti dan tujuan pernikahan. Adat merariq tidak sampai mengatur hal ini. “tidak ada dalam tradisi kita ini mempersiapkan secara khusus pra nikah, itu yang tidak ada. untung saja dalam sekolah agama itu ada pelajaran figih nikah. tapi kan tidak semua mereka dapat mempelajari figih nikah ini. sehingga persiapan mereka untuk menjadi perempuan yang baik, ibu yang siap itu memang lemah.”


Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Lombok Barat Raden Rais mengatakan, pemuka adat Sasak tengah memikirkan mencari solusi untuk meluruskan kembali tata krama adat Sasak, termasuk merariq. “Banyak sekali penyimpangan di ranah hukum adatnya, sehingga kami berfikir bagaimana caranya agar adat istiadat, pakem yang ada di fair di nambalat itu dihidupkan kembali sesuai dengan khitahnya. Kalau yang dulu di pakem adat suku Sasak yang khusus di fair nambalat tata cara merariq atau kawin itu adalah, pertama harus cukup umur dan harus diketahui identitas keturunannya laki dan perempuan sama kedua keluarga. Itu yang tergeser sehingga kami membangun lembaga itu.” Fair nambalat yang dimaksud Raden Rais adalah lembaga adat di tingkat kecamatan. Lembaga inilah yang akan memberikan pemahaman kembali kepada masyarakat tentang tata cara adat yang sudah mulai menyimpang.


*terlepas dari segala label yang dilemparkan pada perempuan-perempuan Lombok dan lainnya, bagiku mereka tetap perempuan-perempuan tangguh yang tak hanya hidup demi kehidupannya, tapi juga demi kehidupan yang lain.


Alimah, 19 Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar

terimakasih sudah membaca, mari kita berbagi pengalaman hidup :)